Di setiap masyarakat ditemukan anak-anak yang meskipun memiliki kesehatan fisik, tapi memiliki situasi dan status tertentu dan tidak hidup dengan cara yang normal dan alami. Dua faktor mungkin telah menciptakan situasi untuk anak-anak ini.
Pertama, kelahiran seorang anak mungkin karena hubungan yang tidak sah dan tidak diinginkan. Dalam hal ini, biasanya tidak ada pria dan wanita yang enggan untuk melahirkan bayi seperti itu dan mencoba untuk menghilangkannya (aborsi), atau jika anak itu lahir, mereka sering tidak mau menjaganya dan membiarkannya di suatu tempat. Anak-anak ini disebut sebagai "anak buangan" dan dalam istilah fikih "Laqit" yang berarti anak yang yang dibuang di suatu tempat agar orang lain menemukannya". Bahkan orang tua yang telah melahirkan anak yang sah lalu meninggalkannya dengan berbagai alasan seperti kemiskinan dan ketidakmampuan untuk memelihara. Namun, titik pentingnya yang perlu dicatat bahwa kelompok anak-anak ini juga harus memiliki fasilitas yang tepat untuk tumbuh dan berkembang.
Kedua, kasus-kasus seperti kematian orang tua dan bencana alam seperti banjir, gempa bumi dan perang. Beberapa anak menjadi "tidak memiliki orang tua dan wali" setelah insiden-insiden ini.
Selain kedua kelompok tersebut, perlu dicatat bahwa pertama "anak pelarian" yang lari dari rumah mereka karena berbagai alasan dan berakhir dalam situasi "anak jalanan". Kedua, "pekerja anak", yang memiliki orang tua atau wali terkadang harus kerja membantu mereka untuk menutupi kebutuhan. Kami telah berbicara tentang pekerjaan anak-anak pada topik sebelumnya. Kami akan berbicara tentang anak-anak pelarian di bawah judul yang lebih umum "anak-anak yang tidak didik dengan baik".
Pada awalnya kita membicarakan kondisi anak-anak tanpa pengasuh. Dalam ajaran agama dan pembahasan fikih, perhatian khusus telah diberikan kepada anak-anak terlantar. Meskipun dalam sistem hukum Islam, institusi adopsi anak tidak diterima, tapi ada perhatian yang cukup akan masalah ini dan telah diprediksi untuk untuk mendukung kelompok ini. Mengenai pengawasan dan pemeliharaan anak-anak ini secara umum, ada tiga pandangan yang diangkat oleh fikih.
Sekelompok ahli fikih telah memilih mendukung anak-anak ini atas dasar sejumlah alasan, seperti bantuan perbuatan baik, perlunya berbuat baik, perlunya menjaga kehidupan manusia, perlunya memberi makan orang yang benar-benar butuh dan kewajiban menolak bahaya. Sebaliknya, sejumlah ahli fikih lainnya, berdasarkan prinsip berlepas tangan dan dukungan dari perbuatan baik, memilih bahwa perbuatan ini hukumnya mustahab. Sementara kelompok ketiga telah memilih pendapat lebih detil antara wajib dan mustahab. Meskipun al-Quran telah memerintahkan untuk melakukan perbuatan baik, tapi terkadang melakukan kewajiban itu hukumnya wajib dan terkadang mustahab. Tentu saja, perlu dijelaskan bahwa pemeliharaan anak-anak seperti itu tergantung pada sejumlah kondisi khusus dan membutuhkan izin hakim syar;i.
Dalam dunia kontemporer, sejak awal abad kedua puluh, isu melindungi anak-anak tanpa pendamping telah meluas karena tekanan opini publik akibat banyaknya anak-anak yatim piatu dan terlantar. Jumlah anak-anak ini meningkat selama perang dan perlindungan mereka dianggap perlu. Untuk alasan ini, di banyak negara, peraturan diberlakukan untuk mendukung kelompok anak-anak ini dan memberi mereka peluang dan fasilitas untuk pertumbuhan mereka.
Pasal 20 Konvensi Hak Anak menyatakan, "Anak tidak boleh secara sementara atau selamanya dirampas dari lingkungan keluarganya sendiri dan pemerintah harus mendukung dan membantu masalah ini. Negara-negara anggota Konvensi sesuai dengan hukum nasional mereka, harus memastikan pengasuhan alternatif untuk anak-anak tersebut. Perawatan tersebut mencakup banyak contoh, termasuk pengangkatan seorang wali dalam hukum Islam, adopsi atau, jika perlu, mengirim anak ke tempat pengasuhan anak yang memenuhi syarat. Ketika meninjau solusi, harus ada kelanjutan yang tepat dalam memberikan perhatian khusus kepada anak, etnis, agama, budaya dan bahasa anak akan memberi perhatian khusus.
Topik selanjutnya adalah tentang anak-anak salah asuh. Anak-anak salah asuh anak anak yang memiliki wali atau seseorang yang peduli pada mereka dan peduli terhadap hak asuh mereka, tetapi dari berbagai segi tidak memiliki wewenang untuk mengasuh mereka atau dalam berbagai bentuk justru menciptakan masalah untuk anak-anak, berperilaku buruk dan melakukan kekerasan. Dari sudut pandang sosiologi, kelompok anak-anak ini dapat dianggap "anak yatim sosial". Hari ini dan secara global, masalah kekerasan fisik, psikologis, dan seksual terhadap anak-anak dalam keluarga merupakan masalah sosial yang menantang dan sulit. Menurut paragraf 47 Laporan Pencari Fakta Independen PBB tentang Kekerasan Terhadap Anak, "Diperkirakan, rata-rata, antara 133.000 dan 375.000 anak di seluruh dunia mengalami kekerasan dalam rumah tangga."
Kekerasan terhadap anak
Anak-anak yang terkena paparan kekerasan terus menerus di rumah mereka, yang biasanya hasil dari sengketa orang tua atau ibu dengan pasangannya, dapat memiliki dampak negatif pada kesehatan anak dan masa kanak-kanak dan pertumbuhan kepribadian serta interaksi sosialnya selama masa kanak-kanak dan dewasa. Kekerasan terhadap pasangan juga meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak-anak. Studi di Cina, Kolombia, Mesir, Meksiko, Filipina dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan terhadap anak-anak. Sebuah penelitian yang dilakukan di India menunjukkan bahwa kekerasan internal di rumah meningkatkan tingkat kekerasan terhadap anak-anak dua kali lipat.
Hasil penelitian oleh psikolog dan studi terhadap anak-anak yang tidak memiliki pengasuh dan salah asuh menunjukkan bahwa masalah yang paling umum di antara anak-anak ini adalah depresi yang 40% lebih tinggi daripada anak-anak normal. Anak-anak yang tumbuh di pusat penitipan anak tidak diberi kesempatan secara alami untuk mengekspresikan kasih sayang mereka kepada orang lain dan dicintai. Tingkat kekecewaan remaja laki-laki yang tinggal di semi-keluarga, lebih tinggi dari remaja normal. Tingkat gangguan sikap keras kepala pada anak-anak salah asuh jauh lebih tinggi daripada mereka yang tumbuh di lingkungan keluarga besar.
Anak-anak yang tidak memiliki pengasuh atau salah sasuh yang telah kehilangan kasih sayang ibu dan cinta serta hubungan akrab orang tua sering menderita gangguan emosi, tidak sehat, bergantung atau terusir dan lari dari kelompok. Mereka serius membutuhkan komunikasi emosional.
Selain itu, para psikolog dengan melakukan observasi telah menyimpulkan bahwa dalam keluarga dimana ayah tidak hadir karena alasan apa pun, terlihat prestasi akademis yang buruk, tingkat bunuh diri yang tinggi pada remaja, penggunaan narkoba yang tinggi, kekerasan dan penyakit mental. Saluran telepon anak di Inggris menerima banyak laporan pahit tentang pelecehan fisik dan seksual pada malam hari dan keluarga alternatif. Beberapa dari anak-anak ini mengalami kasus pelecehan anak dan beberapa telah melaporkan beberapa kasus pelecehan seksual. Anak yang tidak memiliki pengasuh menderita tidak percaya diri karena masalah emosional mereka dan mereka memiliki sikap negatif terhadap diri mereka sendiri. Mereka selalu merasa kesepian dan persepsi negatif ini membuat komunikasi sosial anak menjadi sulit.
Mengingat hukum internal setiap negara dan dan pembahasan hak asasi manusia membuat diskusi ini dapat diperiksa dalam dua arah. Dari satu sisi adalah tindakan apa yang harus diambil dari masyarakat sipil dan negara mengenai hal ini? Dan dari sisi lain, sudahkah mereka mendefinisikan aturan untuk membela anak-anak salah asuh?
Dalam hal ini, perlindungan anak-anak juga penting dan mendasar melalui kegiatan pemerintah dan masyarakat sipil, begitu juga melalui hukum dan peraturan. Tentu saja, pada langkah pertama dalam melindungi anak, harus ditekankan bahwa status sosial yang paling penting untuk dukungan dan pengembangan anak adalah keluarga dan masalah ini telah diterima sebagai hal yang biasa di seluruh dunia.
Dalam dokumen-dokumen penting internasional dan regional, seperti Pasal 16 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Pasal 10 Kovenan Ekonomi, Sosial dan Budaya, Pasal 23 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan pembukaan dan ayat 1 Pasal 2 dan Pasal 8 dan khususnya ayat 2 Konvensi Hak Anak di Islam menekankan bahwa upaya harus dilakukan untuk memperbaiki para pengasuh yang buruk dengan pelatihan yang diperlukan dan mengembalikan suasana tegang dan krisis keluarga bagi anak kembali normal, sehingga tujuan penting yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dan pertumbuhan anak di masa depan dapat tercapai. Karena institusi keluarga memiliki potensi terbesar untuk melindungi anak-anak dan begitu juga untuk menjamin keamanan fisik dan emosional mereka.