Islam dan Gaya Hidup (36)

Rate this item
(0 votes)
Islam dan Gaya Hidup (36)

 

Keluarga merupakan tempat untuk meraih ketenangan dan ketentraman serta institusi utama di setiap masyarakat. Garis star embrio keluarga dimulai ketika dua insan dewasa (pria dan wanita) dengan tujuan hidup satu atap, mengikat janji suci secara syariat dan hukum. Sejak awal kehadiran manusia di planet bumi ini, laki-laki dan perempuan menjalani hidup mereka di bawah naungan keluarga dan kemudian mendidik anak-anak mereka dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Islam sendiri menyiapkan program untuk menjaga poros suci keluarga antara lain, menciptakan lingkungan yang sehat untuk keluarga dan masyarakat, mempromosikan pernikahan dan pembentukan keluarga, menjelaskan hubungan baik antara suami-istri dan para anggota keluarga, serta menekankan masalah pendidikan anak.

Dalam perspektif Islam, inti utama pembentuk keluarga adalah pernikahan sah antara pria dan wanita. Setelah menikah, keduanya mengemban tugas-tugas dan kewajiban baru, begitu juga dengan hubungan moral, jalinan kasih sayang, dan aturan-aturan baru. Jika melihat sekilas, kita memahami bahwa unsur-unsur utama pembentuk keluarga adalah kehadiran seorang pria dan wanita, mereka mengikat janji suci berdasarkan adat-istiadat dan tradisi sosial, dan kemudian mereka memperbanyak anak keturunannya. Namun pandangan sekilas ini saja tidak cukup. Kita perlu juga melihat mengapa pria dan wanita ingin membentuk sebuah kehidupan baru dan apakah ini satu kebutuhan fitrah dan alamiah?

Pernikahan dilakukan dengan beragam motivasi. Ada orang yang menikah semata-mata karena motif ekonomi. Sebagai contoh, keluarga tertentu menikahkan putrinya dengan saudagar kaya untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Begitu juga dengan sebagian laki-laki, mereka memilih wanita tertentu karena hartanya atau kekayaan yang dimiliki oleh orang tuanya.

Sebagian pernikahan juga dilakukan demi kekuasaan dan jabatan politik atau sosial kedua pihak. Keluarga-keluarga penguasa dan punya posisi sosial yang tinggi, mereka ingin menggunakan pernikahan sebagai sarana untuk memperluas kekuasaan dan memperkuat posisinya. Kecantikan juga menjadi motivasi lain untuk menikah. Sejumlah orang menganggap kecantikan sebagai kunci dalam pernikahan dan mereka sama sekali tidak mengindahkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan.

Secara umum dapat dikatakan bahwa orang-orang yang menikah karena harta, kekuasaan, atau kecantikan, institusi keluarga bagi mereka merupakan sarana untuk mengekspoitasi harta, kecantikan, atau fasilitas lainnya. Mengingat filosofi pernikahan di keluarga seperti ini dibangun atas landasan perkara lahiriyah dan materi, maka keutuhan rumah tangga juga bergantung pada ketersediaan sarana tersebut. Jelas bahwa dengan hilangnya salah satu dari faktor itu, kehidupan berumah tangga juga akan ikut pudar.

Jika kita merenungkan ajaran-ajaran agama, kita memahami bahwa keluarga dalam budaya agama, merupakan sebuah identitas yang dibangun atas dasar cinta, kesepahaman, dan saling pengertian. Melalui kasih sayang ini, keluarga memenuhi kebutuhan-kebutuhan emosional dan secara umum kebutuhan material dan spiritual manusia. Islam tidak menentang suami-istri memanfaatkan harta, kekuasaan, dan kecantikan atau ketampanan satu sama lain, tapi mengingatkan mereka agar tidak menjadikan masalah materi sebagai landasan untuk membangun rumah tangga.

Menurut pedoman al-Quran, pemilihan pasangan hidup kembali pada fitrah dan penciptaan manusia. Masing-masing pihak pria dan wanita selama belum menginginkan satu sama lain dan belum mencapai kesepahaman, maka mereka belum menjadi makhluk yang sempurna, sebab mereka diciptakan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Namun jika semata-mata untuk melampiaskan syahwat materi, pria dan wanita tidak akan sampai pada perkembangan dan kesempurnaan. Kehadiran anak-anak dengan sendirinya juga tidak membuat hidup mereka bahagia.

Allah Swt – sebagai pencipta alam semesta – telah menciptakan pria dan wanita dalam sebuah bentuk, di mana kebutuhan jiwa dan raga mereka akan terpenuhi ketika hidup bersama. Dalam diri manusia terdapat potensi kasih sayang dan rahmat, dan tempat untuk mengaktualisasikan potensi ini adalah lingkungan keluarga.

Dalam surat ar-Rum ayat 12, Allah Swt berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”  

Ketika kasih sayang dan saling pengertian antara suami-istri mencapai fase tertentu, di mana mereka sudah menjadi teman dalam suka dan duka, maka kehidupan menjadi hangat, penuh gairah, dan bahagia. Inilah dia kasih sayang yang disinggung oleh al-Quran. Pria dan wanita saling membutuhkan dan mereka menemukan kedamaian ketika sudah saling mengerti.

Memenuhi kebutuhan materi atau faktor-faktor lain penting dalam membentuk rumah tangga, tapi ia tidak cukup untuk mempertahankan keutuhannya. Hal yang tak kalah penting adalah mewujudkan keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang antara suami-istri sehingga ketenangan jiwa – yang disinggung al-Quran – dapat tercapai.

Di tengah keluarga, jika hubungan biologis dan kedekatan fisik menjadi satu dasar dan kedua pihak mengabaikan kebutuhan jiwa dan psikologis, maka jiwa penuh dahaga pria dan wanita terhadap kasih sayang tidak akan terobati. Dalam situasi seperti ini, keheningan dan kegagalan akan menampakkan wujudnya. Jelas bahwa keluarga di samping pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani, juga harus memperhatikan kebutuhan ruhani dan pikiran.

Dengan begitu, kita bisa menyaksikan keselarasan dan keseimbangan perilaku dan cinta di antara suami-istri. Mereka akan mencapai sebuah tahapan, di mana menemukan dirinya tidak terpisah dari pasangannya. Di sinilah, kita – dengan mengambil ilham dari ajaran agama – memahami sebuah realitas bahwa keluarga adalah tempat untuk mengisi kekosongan jiwa.

Dalam Islam, ikatan suci dan pernikahan dibangun atas seperangkat prinsip dan nilai-nilai, dan mungkin saja berbeda-beda di setiap budaya. Dalam budaya Islam, kita harus memperhatikan nilai-nilai tertentu untuk memilih pasangan hidup. Jika tidak, kita telah membahayakan kehidupan rumah tangga atau ia kehilangan fungsi yang diperlukan.

Akhlak mulia, taat agama, kesetaraan, dan cinta adalah di antara kriteria pemilihan pasangan hidup dalam budaya Islam. Agama ini melarang umatnya untuk memilih pasangan atas dasar materi dan fisik belaka. Kriteria ini tentu saja perlu diperhatikan, tapi jangan jadikan ia sebagai tolok ukur.

Seseorang mungkin saja menyimpan kecantikan/ketampanan, namun perangainya tidak baik dan memiliki kepribadian yang buruk. Menikah dan membentuk rumah tangga dengan orang seperti ini jelas bukan pekerjaan yang rasional.

Dalam sebuah hadis dari Rasulullah Saw disebutkan bahwa jika seseorang menikah hanya karena kecantikan, ia tidak akan melihat kebaikan dalam pernikahannya dan mungkin saja tidak akan mencapai tujuannya, ia akan menjalani kehidupan yang pahit dan penuh dengan masalah. Oleh sebab itu, dianjurkan agar parameter utama pilihan kita adalah baik agamanya.

Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang menikahi wanita karena kecantikannya, ia tidak akan menemukan sesuatu yang dicarinya, dan barang siapa yang menikahi wanita karena hartanya, Allah akan membiarkan dia dengan harta dan kekayaan itu. Maka menikahlah kalian dengan wanita karena agamanya.”

Salah satu parameter Islam dalam memilih pasangan hidup adalah memperhatikan nasab/keturunan seseorang. Jika ia tidak berasal dari nasab yang baik dan tidak dibesarkan atas dasar nilai-nilai takwa, moral, dan agama, tentu saja ia hanya akan menjadi sebuah pondasi yang rapuh untuk mendirikan bangunan rumah tangga di atasnya.

Rasulullah Saw bersabda, “Wahai manusia, jauhilah oleh kalian rumput hijau yang berada di tempat kotor.” Para sahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan rumput hijau yang berada di tempat kotor itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu wanita yang sangat cantik, yang tumbuh dan berkembang di tempat yang tidak baik.”

Read 636 times