Mari Mengenal Lingkungan (5)

Rate this item
(0 votes)
Mari Mengenal Lingkungan (5)

 

Air adalah anugerah Ilahi dan nikmat terbesar serta tak ada bandingannya. Air sumber kehidupan dan kehidupan tanpa air tidak mungkin dapat berlangsung. Urgensitas air sebagai sumber kehidupan juga ditekankan di agama Samawi dan di ajaran agama, sangat ditekankan untuk berhemat dalam menggunakan air. Misalnya Islam di al-Quran banyak diisyaratkan bahwa air merupakan ciptaan paling berharga Tuhan setelah manusia. Al-quran juga menyebutkan karakteristik unik pemberi kehidupan pada air.

Allah Swt di surat al Anbiya ayat 30 berfirman yang artinya, “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.” Namun sangat disayangkan manusia saat ini malah membuat dunia menghadapi krisis kelangkaan air dengan ulah mereka mencemari serta menghambur-hamburkan air. Insititut Manajemen Internasional Air (IWMI) juga membenarkan hal ini dan dilaporannya menyebutkan bahwa 98 persen kelangkaan air di dunia saat ini disebabkan oleh ulah manusia dan hanya 2 persen diakibatkan oleh faktor alam.

Manusia modern dengan ulahnya mencemari dan menghambur-hamburkan air  serta membuat dunia menghadapi kelangkaan air. Krisis ini tidak dialami oleh negara tertentu, namun hampir alami oleh seluruh negara dunia. Tingkat air bawah tanah setiap hari semakin tipis dan air yang terkandung di bawah tanah setiap hari digunakan secara berlebihan tanpa ada kesempatan untuk mengisi ulang.

Menurut prediksi yang ada, setiap negara yang rata-rata hanya mampu mengakses air kurang dari 1700 meter berada dalam kondisi berbahaya. Jika angka ini kurang dari 1000 meterkubik untuk setiap orang dalam satu tahun, negara tersebut dikategorikan mengalami kelangkaan air. Mengingat indeks ini, PBB di tahun 1990 mulai menelitik kondisi air yang dapat dikonsumsi berbagai negara dunia. Hasilnya adalah di antara seluruh negara, tercatat 28 negara dengan total polulasi 335 juta jiwa mengalami tekanan karena didera krisis air. Berdasarkan bukti yang ada, negara-negara tersebut kini malah bertambah jumlahnya dan diprediksikan hingga tahun 2025, jumlahnya akan membengkak menjadi 50 negara.

Oleh karena itu, World Wide Fund for Nature (WWF) di laporannya yang dirilis tahun 2006 menyebutkan, seluruh negara dunia dihimbau untuk melakukan penghematan penggunaan air. Di laporan ini ditekankan bahwa negara-negara kaya dunia terancam krisis air dan penggunaan air di kota Sydney, Australia dan Boston, Amerika Serikat terlalu besar.

Laporan ini juga mengisyaratkan penghamburan sumber air di berbagai kota besar seperti London, khususnya kebocoran air di pipa dalam sehari yang setara dengan 300 kolam renang. Oleh karena itu, lembaga tersebut meminta negara-negara maju memodernisasi pipa saluran air dan memerangi pencemaran air sehingga menjadi teladan bagi negara lain.

Di sisi lain, berbagai lembaga riset internasional dan organisasi lingkungan hidup memperingatkan bahwa pola konsumsi 50 tahun silam di berbagai negara berkembang tidak dapat terus berlanjut dan harus ada revisi soal pola konsumsi air. Pemilihan sistem pengairan di negara berkembang yang mayoritasnya yang minim penghamburan air, pemilihan bijian yang memiliki ketahanan lebih termasuk sejumlah faktor yang mampu menghidupkan kembali sumber air.

Menurut para pengamat lingkungan hidup, salah satu faktor penting terkait krisis air adalah pembangunan bendungan besar. Bendungan besar yang ketinggiannya mencapai lebih dari 15 meter. Hingga kini sekitar 40 ribu bendungan besar telah dibangun di dunia dan 45 ribu lainnya tengah dibangun. Pembangunan bendungan besar selain menghancurkan ribuan desa dan memaksa warganya mengungsi, juga mengakibatkan perubahan cuaca.

Berdasarkan data statistik sekiar 80 juta penduduk pedesaan selama 50 tahun lalu terpaksa mengungsi akibat proyek bendungan. Misalnya pembangunan bendungan raksasa Merowe di Sudan memaksa lebih dari 50 ribu orang meninggalkan tempat tinggal mereka. Para penduduk adalah para petani di pinggir sungai Nil. Kelompok hak asasi manusia menuding perusahaan raksasa menangani proyek dam tersebut hanya berdasarkan pada kepentingan pribadi mereka dan perusahaan ini bertanggung jawab atas arus pengungsian warga.

Bendungan besar di Cina yang memiliki ketinggian lebih dari seratus meter menjadi faktor utama perubahan cuaca di dunia. Selama proses pembangunan bendungan ini, bukan saja hutan yang bernilai untuk lahan pertanian akhirnya musnah, namun air yang terkumpul di bendungan ini mengakibatkan danau di sekitar kering. Dengan demikian, tujuan dari proyek raksasa ini yang dirancang sejak 50 tahun lalu, secara praktis gagal direalisasikan.

WWF (World Wide Fund for Nature) sebagai organisasi terbesar yang melindungi lingkungan hidup dalam risetnya mengkaji tujuh proyek pengairan air. Proyek terpanjang berkaitan dengan pengairan di Spanyol. Di proyek ini, air yang terkumpul di lima bendungan diarahkan ke wilayah selatan sepanjang 300 kilometer. Proyek terkecil di riset ini adalah proyek transfer air sepanjang 100 kilometer di Australia. Dalam laporan ini disebutkan seluruh proyek tersebut tidak ada pembahasan serius terkait keuntungan dari proyek tersebut. Sementara di Spanyol, proyek ini secara praktis tidak memberikan hasil mengingat pemborosan dan limbah di sepanjang jalur.

Bahkan daerah yang menerima air di sepanjang jalur tersebut di musim kering tahun 2006 terpaksa menggunakan cadangan airnya. Kondisi seperti ini telah mendorong sejumlah orang meninggalkan rumah mereka, karena bencana alam dan uniknya jumlah mereka lebih besar dari jumlah pengungsi perang. Laporan Komisioner Tinggi PBB untuk pengungsi UNHCR menunjukkan fenomena pengungsian akibat kondisi iklim dari hari semakin semakin besar. Sementara itu, Palang Merah Internasional dalam laporannya mencatat bencana alam di dunia dan untuk saat ini sekitar 25 juta orang mengungsi akibat kerusakan lingkungan hidup.

Sekjen PBB dalam pidatonya yang bertepatan dengan Hari Air Sedunia mengisyaratkan hal ini dan mengatakan, kerugian ekonomi akibat bencana alam kini setiap tahunnya lebih dari 300 miliar dolar dan diprediksi angka tersebut akan mengalami peningkatan drastis. Ia menambahkan, kini lebih dari 40 persen penduduk dunia hidup di kawasan kering dan kekurangan air. Diprediksikan hingga tahun 2050 jumlah pengungsi di dunia akibat perubahan iklim mendekati 1 miliar orang.

Namun di dunia kita, apa metode untuk memerangi serius kendala tersebut dan tanpa perang serta kekerasan? Bagaimana kita mampu menemukan solusi rasional? Pengamat dalam hal ini memberikan sejumlah usulan. Pertama, pemerintah harus mengubah pandangannya mengenai air sebagai sumber tak terbatas dan mudah diakses. Meski air di berbagai negara dunia tercatat sebagai sumber langka, namun dibanyak kasus keterbatasan disebabkan kebijakan ekonomi keliru yang diterapkan pemerintah.

Seiring dengan pulihnya mekanisme pemanfaatan sumber air dan seruan untuk penggunaan secara efisien sumber daya ini melalui teknologi pertanian dan industri akan mampu mereduksi keterbatasan yang ada. Di samping tujuan ini, berbagai negara secara sepihak juga mengambil keputusan terkait sumber air bersama. Setiap perubahan mendasar pemanfaatan sumber air dan danau atau penggunaan tak seimbang bersama ini harus diambil melalui perundingan atau kesepahaman bukannya melalui kekerasan.

Sementara itu, pemerintah harus memiliki pandangan lintas batas dan memperluas kerjasama regional terkait isu-isu mengenai air. Pembangunan infrastruktur pemanfaatan air dan danau serta sumber mata air bawah tanah milik bersama akan membantu pengokohan kerjasama tersebut. Dalam hal ini, partisipasi aktif elit politik berbagai negara dan kehadiran mereka dalam perundingan pemanfaatan sumber air akan berujung pada peningkatan kerjasama internasional.

Alasan paling jelas akan urgensitas investasi politik dan finansial kerjasama internasional di bidang air adalah ayat al-Quran yang menyatakan, “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.” Masyarakat internasional harus melakukan langkah untuk memperkokoh sistem biologi yang menjadi faktor kemajuan manusia dengan pandangan lintas negara dan memanfaatkan kerjasama global.

Read 617 times