Sejak permulaan Islam, kaum perempuan terlibat aktif di bidang ilmiah, sosial, budaya, dan ekonomi. Salah satu contohnya adalah kehadiran Sayidah Khadijah di Masjidil Haram untuk mendirikan shalat berjamaah bersama Rasulullah Saw dan Sayidina Ali as.
Kehadiran perempuan di masjid juga bisa dilacak ketika turunnya perintah perubahan arah kiblat dari Masjid al-Aqsa ke Ka'bah. Menurut catatan sejarah, perubahan kiblat terjadi di Masjid Dzul Qiblatain di kota Madinah ketika Nabi Saw dan para makmum, termasuk laki-laki dan perempuan sedang melaksanakan shalat dhuhur.
Pada masa itu, kaum perempuan lebih memilih shalat di masjid bersama Rasulullah Saw sekaligus memperoleh pengetahuan dan pengajaran. Karena banyaknya jumlah perempuan yang hadir di masjid, akhirnya Rasulullah menetapkan sebuah pintu khusus bagi mereka sehingga leluasa melakukan kegiatan di masjid. Pintu ini kemudian dikenal sebagai "Babun Nisaa" yaitu pintu khusus wanita dan sampai sekarang masih ada di Masjid Nabawi.
Saat ini, masjid-masjid menyediakan fasilitas dan akses khusus untuk perempuan sehingga bisa mengikuti berbagai kegiatan yang berlangsung di masjid. Tentu saja, di negara tertentu kehadiran perempuan di masyarakat dibatasi oleh budaya lokal dan hal ini juga berdampak pada partisipasi mereka di masjid. Di India, perempuan dilarang memasuki bagian inti masjid, namun akhir-akhir ini muncul sejumlah kampanye agar kaum hawa diizinkan memasuki masjid.
Kondisi seperti ini bisa ditemukan di beberapa negara lain karena faktor budaya dan keyakinan yang salah, meskipun tidak ada pelarangan mutlak. Di negara-negara Arab, karena fanatisme budaya, partisipasi wanita di masjid tidak begitu meriah. Namun, masjid-masjid di Indonesia dan Malaysia selalu dihadiri oleh kaum perempuan untuk mengikuti berbagai acara, terlebih selama bulan Ramadhan dan hari-hari besar Islam.
Uniknya, masjid-masjid khusus untuk perempuan sudah berdiri sejak zaman dulu di Cina dan rangkaian kegiatan di sana juga dipandu oleh perempuan. Masjid Lulan di kota Lanzhou, Provinsi Gansu adalah salah satu dari masjid yang dikhususkan untuk perempuan.
Masjid Lulan dibangun pada tahun 1956 oleh sekelompok Muslimah yang hijrah ke Lanzhou dari Provinsi Henan di Cina Tengah. Profesor Shui Jingjun dari Akademi Ilmu Sosial Henan dalam bukunya 'The History of Women Mosques in Chinese Islam' menulis, "Masjid khusus perempuan terus berkembang di dataran pusat Cina, terutama di Provinsi Henan, Hebei, Shandong, dan Anhui. Di provinsi barat laut Qinghai dan Gansu serta Ningxia Hui dan daerah otonomi Xinjiang- Uygur, partisipasi publik perempuan dalam ritual dan kepemimpinan jauh lebih terbatas. Sebagai contoh, Lulan adalah satu-satunya masjid perempuan di Lanzhou, tetapi ada 19 di Zhengzhou, ibukota Provinsi Henan."
Berdasarkan hasil riset Akademi Ilmu Sosial Henan, jumlah imam shalat perempuan meningkat tajam di tengah masyarakat Muslim Cina. Banyak dari aktivis masjid di Cina percaya bahwa masjid-masjid khusus perempuan ini memainkan peran besar dalam pendidikan Islam kaum perempuan dan keluarga.
Masjid Agung Xi'an
Masjid Agung Xi'an adalah salah satu masjid tertua Cina yang terletak di kota Xi'an, Provinsi Shaanxi. Masjid ini awalnya didirikan pada masa Dinasti Tang dan dibangun kembali selama Dinasti Ming pada abad ke-14 Masehi.
Bangunan ini telah mengalami beberapa kali renovasi sejak masa itu sampai sekarang. Namun, sebagian besar dari struktur bangunan saat ini adalah peninggalan masa Dinasti Ming dan Qing pada abad ke-17 dan 18. Tidak seperti masjid-masjid tradisional Islam, Masjid Agung Xi'an menyerupai bentuk kuil Budha era abad ke-15.
Masjid ini semula merupakan pusat keislaman bagi para pedagang Arab dan Persia yang berdagang di Negeri Cina. Di samping itu, juga sebagai pusat kegiatan hubungan dagang antara kawasan dunia Islam dan pemerintahan Dinasti Tang.
Arsitektur masjid ini dipengaruhi oleh arsitektur bangunan dan rumah-rumah ibadah Cina kala itu yaitu; banyak halaman dan pagoda. Masjid ini memiliki lima halaman dan juga memiliki banyak paviliun dengan gerbang sendiri. Halaman pertama memiliki sebuah pintu gerbang yang disebut pailou dengan tinggi 9 meter.
Halaman kedua yang terpisah dari halaman pertama memiliki sebuah pailou batu yang ditopang oleh dua tiang di sisinya. Tiang-tiang ini dipercantik dengan ukiran dan tulisan aksara Cina peninggalan Dinasti Tang dan Dinasti Ming. Ukiran tulisan ini dianggap sebagai salah satu harta karun dari seni kaligrafi Cina karena fitur-fiturnya yang sangat kuat.
Sebuah paviliun beratap yang disebut Qing Xiu Dian (tempat meditasi) dibangun di halaman ketiga. Di dalam halamannya, terdapat struktur terpenting dari kompleks bangunan masjid ini termasuk aula kekaisaran. Aula ini adalah bangunan tertua dari kompleks Masjid Agung Xi'an.
Di halaman keempat, pengunjung bisa menemukan sebuah aula besar yang difungsikan sebagai tempat shalat. Aula ini memiliki kapasitas 1.000 orang dan merupakan yang terbesar di Cina. Di atas pintu utama terdapat kaligrafi Arab yang artinya “Atas Nama Tuhan.”
Masjid Xianhe di Kota Yangzhou
Masjid Xianhe yang juga disebut sebagai masjid burung bangau terletak di jalan Nanmen, kota Yangzhou, Provinsi Jiangsu. Ia termasuk salah satu dari empat masjid yang paling terkenal di tenggara Cina selain Masjid Guangta di Guangzhou, Masjid Qilin di Quanzhou, dan Masjid Fenghuang di Hangzhou.
Masjid Xianhe adalah masjid yang secara harmonis menggabungkan gaya arsitektur Cina kuno dan arsitektur tradisional Islam. Masjid ini telah menjadi simbol persahabatan Yangzhou dan Arab.
Masjid Xianhe didirikan pada tahun 1275 dan dibangun kembali di masa Dinasti Ming dan Qing. Masjid ini berbentuk burung bangau jika dilihat dari atas, di mana dindingnya, gerbang masjid, aula shalat, dua sumur tua, dan hutan bambu menjadi anggota tubuh burung itu.
Pada hari-hari besar Islam, masyarakat Muslim berkumpul di masjid ini untuk melakukan perayaan dan ibadah. Masjid Xianhe ditetapkan sebagai situs sejarah penting di Provinsi Jiangsu dan menjadi kebanggaan warga setempat.