Amr bin Abdiwud adalah salah seorang tukang perang Arab yang pemberani. Di perang Khandaq, Sayidina Ali menutup pintu gerbang Khandaq supaya musuh tidak bisa masuk. Setelah itu Amr datang di tengah-tengah medan peperangan dan berteriak, “Siapakah yang siap berperang denganku?”
Tidak ada seorangpun yang berani menantang. Amr kembali berkata, “Dimanakah umat Islam yang akan terbunuh di tanganku, lalu masuk surga? Mengapa kalian tidak segera menuju surga? Mengapa tidak ada seorangpun yang menjawab?”
Tidak ada seorangpun yang berkata. Amr bin Abdiwud dalam kondisi mengangkat pedangnya ke atas dan memutar-mutarkannya seraya berkata, “Suaraku sampai habis karena berkali-kali menginginkan lawan. Aku berdiri di tempat, dimana setiap tukang perang yang pemberani gemetaran dan ketakutan. Sesungguhnya keberanian dan pengorbanan adalah senjata yang paling bagus bagi para pelaku perang.”
Pada saat itu Sayidina Ali meminta izin kepada Rasulullah Saw untuk pergi melawan Amr. Rasulullah Saw kepada Sayidina Ali berkata, “Bersabarlah!”
Amr pun melanjutkan ocehannya dan menginginkan lawan. Setiap kali Sayidina Ali meminta izin kepada Rasulullah, beliau mengatakan, “Bersabarlah!”
Sayidina Ali berkata, “Wahai Rasulullah! Bila dia adalah Amr, maka saya adalah Ali bin Abi Thalib. Akhirnya Rasulullah Saw mengizinkannya dan berkata, “Saya meminta kepada Allah untuk memenangkanmu atas Amr.”
Kemudia Rasulullah Saw mendongakkan kepalanya dan berkata, “Ya Allah! Jangan biarkan sendirian saudaraku dan putra pamanku!”
Kemudian dengan mata berkaca-kaca kepada Sayidina Ali beliau berkata, “Pergilah! Allah menjadi penolong dan pendukungmu!”
Sayidina Ali pergi menuju medan pertempuran dan berkata, “Hai Amr! Jangan tergesa-gesa dalam perang! Orang yang akan melawanmu bukan orang yang lemah. Dia memiliki niat yang baik dan sadar dan sifat ini adalah dasar keberuntungan. Aku tidak mendatangimu kecuali dengan harapan menjadikan istrimu berduka atasmu dan aku akan memukulmu sedemikian rupa sehingga tidak akan pernah terlupakan.”
Mengingat Amr adalah lelaki sombong dan angkuh. Ia tidak mau menjawab ucapan Sayidina Ali.
Sayidina Ali melanjutkan, “Aku mendengar bahwa engkau berjanji; bila seorang lelaki dari Quraiys meminta salah satu dari tiga hal darimu, maka engkau akan menyetujuinya.”
Amr menjawab, “Iya.”
Sayidina Ali berkata, “Untuk itu, aku mengajakmu pada Islam dan risalah Muhammad Saw.”
Amr menjawab, “Aku tidak mau menerima.”
Sayidina Ali berkata, “Kalau begitu, kembalilah ke tempat dari mana kamu datang dan urungkanlah berperang dengan Rasulullah!”
Amr berkata, “Bila aku melakukan hal ini, maka para wanita Quraiys akan mencelaku. Karena ketika aku terluka di perang Badar, aku berjanji tidak akan duduk tenang selama aku belum membunuh Muhammad dan aku tidak akan berhenti melawannya.”
Sayidina Ali berkata, “Kalau begitu, aku terpaksa harus mengajakmu bertempur.”
Amr tertawa dan berkata, “Orang Arab tidak akan meminta hal ini padaku. Aku tidak suka membunuhmu. Karena dulu aku sebagai teman ayahmu Abu Thalib dan di antara paman-pamanmu ada yang lebih kuat darimu. Kamu seorang pemuda dan aku tidak ingin engkau mati di tanganku. Kamu tidak sejajar dan setingkat denganku.
Sayidina Ali berkata, “Tapi aku suka membunuhmu di jalan Allah.”
Amr berkata, “Apa yang aku dengar?” dan ia tertawa terbahak-bahak.
Sayidina Ali berkata, “Aku suka berperang denganmu dan aku bunuh engkau. Untuk itu, turunlah! Ayo kita berperang!”
Amr marah mendengar ucapan Sayidina Ali dan turun dari kudanya, kemudian mengangkat pedangnya. Sayidina Ali mengangkat tamengnya untuk menutupi kepalanya. Namun pukulan pedang membuat tameng itu terbelah menjadi dua dan mengena kepalanya. Menyaksikan hal ini, Rasulullah Saw mendatangi Sayidina Ali dan membalut kepala Sayidina Ali dengan surban.
Sayidina Ali kembali ke medan pertempuran dan berkata, “Hai Amr! Kau tidak malukah, membawa pendamping sebanyak ini, sementara aku sendirian menghadapimu?!”
Amr menoleh dan memandang pasukannya. Pada saat itu Sayidina Ali menyabet kaki Amr dengan pedangnya dan jatuhlah Amr. Tiba-tiba suara takbir para hadirin serentak menggema. Para musuh melarikan diri dan umat Islam dengan gembira mengejar dan mengusir mereka.
Imam Ali berdiri mendekati Amr dan ingin memenggal kepalanya. Amr berkata, “Kamu telah menipuku.”
Sayidina Ali berkata, “Inilah makna perang. Jangan selalu bersandar pada kekuatan lenganmu. Terkadang sebuah taktik bisa mengalahkan musuh. Demikian juga dengan kamu, seharusnya menggunakan pikiranmu daripada hanya mengoceh. Pada saat itu juga Amr meludai wajah Sayidina Ali. Sayidina Ali bangkit dan berjalan beberapa langkah kemudian kembali mendatangi Amr dan mau memenggal kepalanya.
Amr berkata, “Mengapa kamu tidak jadi dan sekarang kembali lagi?!”
Sayidina Ali berkata, “Kau meludai wajahku dan membuatku marah. Aku tidak ingin memenggal kepalamu pada saat aku dalam kondisi marah. Karena boleh jadi niatku terhitung sebagai balas dendam padamu. Padahal, sebagaimana telah kukatakan, aku berperang denganmu dengan niat karena keridhaan Allah.”
Sayidina ali memenggal kepala Amr bin Abduwud dan membawanya kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw mencium Sayidina Ali dan mendoakannya. (Emi Nur Hayati)
Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Ali as