Inkonsistensi Vonis Djoko

Rate this item
(0 votes)

Putusan terhadap Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo terlihat tidak konsisten. Bekas Kepala Korps Lalu Lintas ini terbukti melakukan dua kejahatan sekaligus-korupsi proyek simulator kemudi dan pencucian uang. Tapi hukuman yang diterimanya amat ringan: 10 tahun penjara.

Ganjaran itu tidak setimpal dengan perbuatannya. Dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, ia dituduh terlibat mark-up pengadaan simulator. Djoko juga menerima duit Rp 32 miliar dari pelaksana proyek. Di atas kertas, ancaman pidana maksimal kejahatan ini adalah hukuman penjara 20 tahun atau seumur hidup.

Djoko pun didakwa melakukan pencucian uang selama periode 2003-2010 dan 2010-2012. Nilai buku semua harta yang disembunyikan mencapai Rp 120 miliar. Kini, harta yang bernilai pasar sekitar Rp 200 miliar ini disita oleh negara. Sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Pencucian Uang, pelaku diancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Hukum memang bukan matematika. Kita juga tidak menganut hukuman kumulatif. Tapi, karena Djoko dijerat dengan dua jenis kejahatan berat sekaligus, semestinya ia dituntut dengan hukuman maksimal seumur hidup atau 20 tahun penjara. Tuntutan jaksa di bawah hukuman maksimal itu, yakni hanya 18 tahun penjara. Celakanya, majelis hakim kemudian memberikan "diskon" besar sehingga vonis bagi terdakwa semakin jauh dari rasa keadilan.

Putusan itu timpang karena, di sisi lain, majelis hakim secara jelas menyatakan terdakwa terbukti melakukan dua jenis kejahatan tersebut. Tidak ada hal yang signifikan pula yang bisa meringankan terdakwa. Bersikap sopan selama sidang, juga penghargaan yang diterima dari pemerintah selama menjadi polisi, tak relevan sebagai pertimbangan hakim.

Djoko juga bukan justice collaborator yang pantas mendapat rabat hukuman. Ia tak mengungkap peran petinggi lain di kepolisian dalam skandal ini. Padahal beberapa jenderal diduga terlibat dalam patgulipat proyek simulator. Bungkamnya terdakwa seharusnya memberatkan hukuman. Begitu pula posisinya sebagai penegak hukum dan abdi negara, yang semestinya terdepan dalam menjunjung aturan dan bukan sebaliknya.

Benar, tanah dan rumah Djoko yang berserakan di banyak kota telah disita negara. Putusan ini patut diapresiasi. Tapi dirampasnya harta tidak bisa mengurangi hukuman pidana. Ini hanyalah hukuman tambahan seperti halnya penggantian kerugian negara. Soalnya, kerugian moril dan materiil negara ini akibat korupsi dan pencucian uang jauh lebih besar dibanding harta yang disita.

Putusan hakim terasa menyepelekan dahsyatnya bahaya kejahatan korupsi. Vonis Djoko juga tak akan menimbulkan efek jera bagi para koruptor. Karena itu, penting bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengajukan banding. Tak sepantasnya terdakwa dihukum ringan hanya karena banyak hartanya telah dirampas.

Read 1500 times