Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (1)

Rate this item
(0 votes)
Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (1)

Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Udzma Sayyid Ali Khamenei, pada hari pertama tahun baru 1397 HS, di hadapan ribuan warga yang berada di makam suci Imam Ridho as di kota Mashhad, memberikan analisa komprehensif terkait berbagai transformasi regional dan berbagai indeks kekuatan politik-ekonomi serta kemajuan bangsa Iran pada tahun ke-40 Republik Islam.

Menyinggung kekuatan dan kedinamisan Revolusi Islam pada usianya ke-40 tahun, serta gagalnya seluruh makar Amerika Serikat di kawasan, Rahbar mengatakan, "Dari sisi sumber daya manusia ahli universitas dan sumber daya energi yang melimpah (minyak dan gas) serta kreativitas dalam produksi, Iran memiliki kekuatan besar dan dengan bersandar pada kemampuan yang dimiliki akan terus bergerak maju dengan cepat menuju berbagai keberhasilan gemilang."

Republik Islam Iran sejak awal dibentuk dengan menitikberatkan pada parameter demokratik, pelaksanaan referendum. Setelah itu, digelar pula berbagai pemilu secara rutin selama 40 tahun terakhir dan munculnya banyak pemerintahan dengan kecenderungan yang berbeda-beda. Ini menunjukkan bahwa parameter kedaulatan dalam Republik Islam Iran adalah suara rakyat.

Isu pembangunan dan perkembangan politik termasuk di antara pembahasan yang dalam beberapa dekade terakhir menjadi fokus para peneliti serta menjadi bahan riset bagi para sosiolog dan pakar politik. Isu tersebut, khususnya untuk para cendikiawan dari negara-negara dunia ketiga memiliki prioritas dan nilai penting tinggi. Karena di negara-negara tersebut, masalah proses pembangunan dan keterbelakangan menjadi tantangan utama masyarakat mereka dan mempengaruhi seluruh fakta, transformasi politik, sosial dan ekonomi yang ada.

Kemajuan politik berdasarkan definisinya, merupakan bagian terumit dari pembangunan nasional di mana dua dimensi pembangunan yang termanifestasi pada partisipasi dan persaingan politik.

Di negara-negara maju, terjadi berbagai transformasi dalam satu abad terakhir di mana manifestasinya bersumber dari satu titik yaitu "kemajuan politik." Selama itu, kemajuan politik, dari sisi konten, memiliki penafsiran dan perspektif yang berbeda-beda.

Lucian Pye menawarkan tiga aspek dalam mendefinisikan kemajuan politik, pertama adalah partisipasi yang setara dan populer dalam politik. Kedua, kapasitas sistem politik dalam mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat melalui hasilnya. Ketiga adalah perbedaan dan spesialisasi. Aspek ketiga itu adalah aspek pengembangan ini melibatkan diferensiasi dan spesialisasi struktur. Departemen dan agensi cenderung memiliki fungsi yang berbeda dan terbatas serta kesetaraan dalam pembagian kerja dalam pemerintahan.

Di ketiga pembagian tersebut, aspek "partisipasi" dapat ditemukan sebagai landasan kemajuan politik. Dalam konteks ini, kemajuan politik berarti perkembangan partisipasi politik dan persaingan, meski banyak tantangan dan rintangan, telah lama diterima sebagai parameter politik dunia.

Jika kita menerima kemajuan politik dalam praktik itu berarti terjadi perkembangan partisipasi politik dan persaingan di antara sejumlah kelompok dan kepentingan terorganisir untuk menguasai kekuatan politik dan administrasi negara sesuai dengan kebijakan dan posisi masing-masing, dalam hal ini, partai-partai, pemilihan dan parlemen, merupakan inti dari kehidupan demokratis, dan partisipasi dan persaingan politik.

Salah satu contoh utama analisa sosiologis penting tentang hubungan antara kekuatan sosial (masyarakat) dan modernisasi politik adalah analisa dari Barrington Moore Jr. Dia menekankan faktor-faktor internal masyarakat dalam proses perkembangan politik dan modernisasi. Moore dalam studinya menyatakan bahwa pembangunan bukanlah proses yang mulus, melainkan penuh dengan kontradiksi, tantangan dan revolusi.

Sejumlah pemikir dan teoritisan di bidang sosiologi politik menilai demokrasi sebagai dasar pemikiran dan cara praktis, yang sejalan dengan kebaikan umum, sebagaimana ditafsirkan dan diarahkan oleh kehendak publik. Menurut definisi ini, dasar-dasar pemerintahan demokratis dapat dikatergorikan dengan adanya konstitusi atau adat, dukungan terhadap kedaulatan hukum, perlindungan kebebasan individu, dan, pada akhirnya, keberadaan struktur hukum demokratis, seperti hak untuk memilih, supremasi mayoritas, dan pemerintahan perwakilan.

Menurut aturan sistem demokrasi, manusia berada dalam posisi untuk menentukan cara hidup kolektif dan bagaimana mencapai konsensus intelektual dan praktis dalam bermasyarakat dan berpolitik, dan jika sarana pengenalan diberikan kepada mereka secara proporsional, maka mereka akan memilih praktik terbaik.

Dengan berdirinya Republik Islam di Iran muncul upaya untuk menegakkan kedaulatan perspektif Islam di kancah sosial-politik, mengingat perspektif politik memiliki posisi sangat penting dalam Islam. Legitimasi sistem pemerintahan republik adalah dukungan dari rakyat. Proses ini telah dimanifestasikan melalui pemilihan bebas pemerintahan perwakilan dan partisipasi politik.

Di Republik Islam, pendapat masyarakat sangat penting dan pemerintah sedang bergerak menuju pemenuhan tuntutan rakyat. Apa yang mengaitkan republik dengan keislaman adalah pemilihan kepemimpinan yang bebas, presiden, anggota parlemen dan pemilihan tidak langsung Rahbar pada sistem ini.

Nasser Qandeel, seorang analis Arab dalam hal ini mengatakan, "Melalui setiap pemilihan, Iran mengirim pesan dengan tenang dan akurat serta mengatur segalanya untuk menyampaikan pesan ini dan memperkuatnya. Iran, di era pasca Republik Islam, merupakan teladan unik dari sistem yang mampu menjaga stabilitas dan nilai serta sumber-sumber kekuasaannya, dan pada saat yang sama dapat menjadi cara yang lunak untuk mentransfer kekuatan berdasarkan peran opini publik dan prioritasnya serta pembagian kekuasaan di antara berbagai kelompok."

Bagi banyak pihak, Iran mewakili semangat sipil yang memayungi berbagai suku dan agama, serta penghormatan hak-hak perempuan dalam kegiatan dan misi politik secara bebas. Langkah-langkah yang tidak mungkin dilakukan di sejumlah negara seperti Arab Saudi. Ini menunjukkan perbedaan dalam indeks demokrasi di Iran dengan beberapa negara di kawasan.

Rosanna Rammal, analis masalah internasional di koran al-Bina terbitan Lebanon dalam hal ini mengatakan, "Revolusi Islam adalah tonggak yang membawa Iran ke era baru, yang mengubah segalanya. Sebagian menilainya sebagai titik awal dimulainya isolasi Iran dan sebagian lain menilainya sebagai kelahiran Iran yang bebas dari dikte dan belenggu Amerika-Barat."

Ditambahkannya, "Implementasi sistem ini merupakan salah satu asas keadilan, di mana tidak ada perbedaan antara etnis dan agama di wilayah geografis Iran yang luas, hak asasi manusia dalam sistem ini tidak disia-siakan dan dijaga oleh hukum. Ini adalah masalah satu masalah di mana negara-negara Arab dan Islam tidak dapat bertindak seperti Iran, karena Iran - jika saya menafsirkannya dengan benar - adalah satu-satunya contoh islami dan keberperadaban di kawasan dan dunia."

Sistem Republik Islam adalah tatanan yang berorientasi pada tekad masyarakat di mana manifestasi eksistensinya terwujudkan pada dewan perwakilan, penetapan jabatan, pejabat, serta penetapan proses hukum, politik dan sosial. Dengan demikian, Republik Islam Iran telah secara konsisten menekankan pada semua aturan penting terkait sistem demokrasi dan kesehatan publik yang demokratis, seperti referendum, kepartaian dan pemilihan. Iran, dengan pelaksanaan pemilunya, sebenarnya telah menyajikan contoh baru dalam demokrasi. Itulah mengapa Rahbar berulang kali menekankan bahwa pemenang pemilu adalah pemerintah dan rakyat, bukan orang yang mendapatkan jabatan.

Read 1273 times