Tripoli, kota besar di utara Lebanon minggu ini menjadi saksi demo krisis moneter dan ekonomi. Namun sedikit melenceng pasca kerusuhan marak. Puluhan pasukan keamanan Beirut terluka demi memadamkan api.
Al Akhbar dalam hal ini melaporkan, “Antara penunggang dan pendemo, yang hanya meminta sekepal roti, ada lampu hijau untuk menyerang Hizbullah. Nama rumus sangatlah jelas, namun game sama bahaya dengan instabilitas global satu negara.”
Mungkin termasuk negative thinking ketika berkata kepulangan Saad Hariri, mantan PM Lebanon minggu lalu dari kunjungan ke Paris, adalah satu pengumuman atas kesiapan perang dengan pemerintah sekarang. Tetapi harus dilihat bahwa kepulangan ini dilakukan ketika Corona mengamuk dan krisis ekonomi menyemarak, hal di luar kebiasaan Hariri.
“Adalah hak rakyat untuk protes dan kritik pemerintah, akan tetapi kembalinya instabilitas dalam negeri Lebanon, pasca 3 bulan redam karena pandemi COVID-19, beserta dukungan media Arab adalah satu pertanda bahwa insiden ini adalah deklarasi perang antara pro dan kontra pemerintah… (Mungkin) tema aslinya adalah perang versus Hizbullah,” lanjut Al Akhbar menganalisa.
Untuk membangun analisanya tersebut, Al Akhbar mengajukan beberapa alasan:
Pertama: Benar bahwa pemerintah Amerika berkecamuk dengan Corona dan krisis ekonomi. Ini adalah fokus utamanya. Akan tetapi tim keamanan dan diplomatis Washington tidak melupakan file-file kepentingannya. Lebanon masih diintai sebagai salah satu rantai bersambung Timur Tengah.
Skenario Amerika melawan Hizbullah, termasuk Lebanon, belum berubah. Begitu pula metode AS di hadapan Lebanon di tengah krisis ekonomi dan krisis politik, seperti blokade Hizbullah, juga belum berubah. Takkan pernah berhenti sebelum Hizbullah menyerah atau hancur. Ini adalah deklarasi tahun 90-an yang masih terngiang.
Skenario Amerika dalam situasi Lebanon ini menekankan bahwa kunci pintu keluar tidak akan pernah diserahkan ke pihak Lebanon, kecuali hanya sebatas kesepakatan dengan Amerika atau masih dalam kerangka perwayangan Gedung Putih.
Kedua: Tak perlu diragukan lagi bahwa nama Hizbullah semakin harum sedari tanggal 17 Oktober hingga krisis sekarang. Ini tak luput dari perannya memimpin ekspedisi jalan terobosan krisis. Bahkan nama itu lebih berat dari hitung-hitungan yang telah diprediksi.
Hizbullah adalah salah satu pendukung kembalinya Saad Hariri ke kursi Perdana Menteri, baik sebelum dan sesudah pengunduran diri.
Hizbullah sadar bahwa ada angin topan yang akan segera melanda sehingga Mukawamah Lebanon tersebut lebih memilih untuk berhadapan dengan poros sebelumnya yang telah terlibat, dari pada harus bertahan sendirian mengucurkan keringat menjaga pemerintah dari keruntuhan ekonomi dan kehidupan sosial.
Hizbullah mengamini peran semua pihak di pemerintahan dan tidak melayangkan veto dalam hal ini, karena Hizbullah tahu benar apa makna dari kesendirian (berjuang sendiri) dan sadar atas skenario yang telah di bangun di Kawasan maupun internasional.
Tapi meskipun Saad Hariri pergi dari Lebanon dan berlangsung gencatan senjata oposisi Hizbullah dan pemerintah, represi belum juga terkurangi. Tekanan terus mengalir di dalam negeri Lebanon. Hal ini dikarenakan, koalisi al-Ahd dan partai al-Tayyar al-Watani al Hur belum melepas jerat Hizbullah.
Gebran Bassil, Ketua partai al-Tayyar al-Watani al-Hur, tidak menganalisa penuh periode sebelum keruntuhan pemerintahan Saad Hariri atau belum mengkritisi setengah periode kepemimpinan Michel Aoun. Gebran Bassil berjalan alami dan hanya menunjuk ini dan itu sebagai penanggung jawab. Yaitu Gebran Bassil bersikap seperti tidak terjadi apa-apa, tidak ada Corona, tidak ada krisis ekonomi dan lainnya.
“Dan sekarang, partai ini kebingungan menghadapi situasi dan itu sangat jelas terlihat dalam kebijakan politiknya,” demikian Al Akhbar menganalisa.
Ketiga: Kerusuhan Tripoli, kota terbesar kedua Lebanon yang terletak di utara Beirut, dan tempat-tempat lainnya tidak bisa disebut sebagai aksi partai oposisi Hizbullah, meskipun para penunggang menggunakan metode bermacam-macam dalam manipulasi kelaparan dan kemiskinan warga.
Demo ini adalah murni buah dari gerakan rakyat. Tetapi yang perlu diperhatikan, para banker, politikus dan militer tahu bahwa ketika larangan diangkat, warga akan menggeruduk bank dan apapun yang menjadi duri dalam kehidupan mereka.
“Pembahasan ini sudah bergulir terus di meja-meja perundingan politik dan perbankan”, hemat Al Akhbar.
Lampu hijau yang dihidupkan saat ini berbeda dengan yang kemaren, yaitu lampu hijau yang diberikan kepada partai dan poros politik.
Partai, yang menggulingkan pemerintahan Saad Hariri kemaren, satu meja dengan Hizbullah. Hal lainnya adalah, sekarang Timur Tengah dan internasional ikut terjun melawan Hizbullah. Unsur-unsur konfrontasi ini masih belum tampak jelas, karena keruntuhan rakyat tidak akan terbatas pada kelaparan, kemiskinan dan pengabaian senjata.
Hal yang membahayakan adalah turunnya militer ke jalan. Kesalahan-kesalahan militeris, keamanan dan media di al-Jabal, Tripoli, Beirut dan al-Beqaa, setelah berbulan-bulan latihan, adalah hal yang sangat memalukan. Jadi, militer termasuk dalam skenario untuk meledakkan stabilitas Lebanon.
Berkaitan dengan ini, beberapa sumber di Lebanon mengatakan bahwa Dorothy Shea, Duta AS di Beirut, pergi menemui Hassan Diab, PM Lebanon. Utusan AS menyerahkan sebuah surat dan mengungkapkan kekhawatirannya melihat demo rusuh. Di sela-sela pengajuan tawarannya (intervensi), Duta AS juga menyayangkan keterlibatan militer dalam penanganan demo.