Surat al-Zumar ayat 9-10

Rate this item
(0 votes)
Surat al-Zumar ayat 9-10

 

أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آَنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآَخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ (9)

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (39: 9)

Dalam penjelasan sebelumnya, al-Quran berbicara tentang manusia yang hanya mengingat Allah ketika menghadapi kesulitan dan di bawah tekanan. Dalam kondisi biasa mereka segera melupakan Allah atau bahkan mengingkarinya. Ayat ini ingin membandingkan dengan menyebutkan, "Apakah orang yang seperti ini sama dengan orang yang di segala situasi, baik sulit atau senang, selalu mengingat Allah? Itulah orang yang di waktu malam bangun dari tidurnya dan sibuk dengan ibadah, sehingga dapat menarik rahmat Allah kepadanya dan aman dari azab neraka."

Satu satu ciri khas wali Allah adalah bangun di malam hari untuk melaksanakan shalat, berdoa dan membaca al-Quran. Sebagian manusia biasa, melaksanakan shalat wajib dengan berat hati dan berpuasa dengan sulit. Berbeda dengan mereka, ada orang mukmin hakiki yang memiliki iman yang kuat kepada Allah dan hari kiamat, bukan saja shalat dan seluruh ibadah wajib lainnya dengan gembira, tapi juga bangun malam hari untuk melaksanakan shalat sunnah dan menyibukkan dirinya dengan ibadah dan munajat kepada Allah Swt.

Jelas, kelompok orang seperti ini selain berharap akan rahmat Allah, juga takut akan azab-Nya. Mereka hidup di antara rasa takut dan harap. Kondisi membuat mereka tidak putus asa akan rahmat ilahi, juga tidak sombong akan rahmat ilahi yang tak terhingga.

Lanjutan ayat ini mengajak bicara Nabi Muhammad Saw, "Sampaikan kepada masyarakat bahwa manusia yang berilmu tidak sama dengan yang tidak berilmu. Hanya manusia yang memiliki akal sehat yang dapat membedakan dua kelompok manusia ini. Orang yang seperti ini dapat menerima nasihat dan memilih jalur kebahagiaan."

Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:

1. Dalam budaya al-Quran, malam tidak diperuntukkan hanya untuk tidur, tapi kesempatan tepat untuk menyendiri dan bermunajat dengan Allah.

2. Ulama yang hakiki adalah ahli ibadah dan bermunajat kepada Allah.

3. Tentang takut akan azab ilahi dan berharap rahmat Allah, harus menjaga batasan pertengahan. Sebagaimana para wali Allah yang takut akan akhirat dan berharap keutamaan dan rahmat Allah.

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ (10)

Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu.” Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (39: 10)

Ayat-ayat sebelumnya membandingkan antara manusia yang sombong dan tidak tahu bersyukur dengan orang yang bertaubat dan taat, begitu juga tentang orang yang berilmu dan bodoh. Tapi ayat ini melanjutkan sebagian ciri khas hamba Allah yang hakiki. Di atas semua ciri khas ini adalah takwa.

Al-Quran menyebutkan, "Tanda orang beriman adalah bertakwa kepada Allah. Suatu kondisi dimana manusia merasa malu kepada Allah atas perbuatan dosa yang dilakukan dan menahan diri dari melakukan pelbagai perbuatan yang tidak layak."

Tapi takwa saja tidak cukup, manusia perlu juga kepada perbautan baik. Takwa seperti rem bagi kendaraan yang melindungi manusia dari bahaya, ketergelinciran dan lobang. Sementara perbuatan baik seperti motor yang mampu menggerakkan manusia ke depan.

Kebaikan dalam perbuatan maupun ucapan merupakan kelaziman iman kepada Allah. Oleh karenanya, seseorang yang mengakui beriman, tapi perilaku dan ucapannya tidak baik, maka pengakuannya tidak hakiki. Klaim orang seperti ini tidak diterima oleh Allah dan untuk segala perbuatannya tidak akan mendapatkan pahala di akhirat.

Kelanjutan ayat ini menyinggung kesiapan orang beriman untuk berhijrah ke jalan Allah. Ayat ini mengatakan, "Setiap kali kalian menghadapi kesulitan besar untuk melindungi agama kalian di kota atau tempat tinggalmu, maka pergilah berhijrah ke tempat lain, bukannya bergantung pada kota dan tempat tinggal yang justru merusak agamamu. Sebagaimana para sahabat Nabi Muhammad Saw yang berhijrah dari Mekah ke Madinah karena Allah setelah menghadapi segala kesulitan dan akhirnya keluar dari dominasi Musyrikin dan kemudian menolong agama Allah."

Tidak diragukan lagi bahwa berpindah dan berhijrah dari tempat kelahiran dan tempat tinggal ke daerah lain selalu dibarengi dengan kesulitan. Oleh karenanya, kelanjutan ayat ini menyebutkan, "Mereka yang menanggung kesulitan karena Allah dan bersabar, Allah dengan kedermawanannya akan memberikan seluruh pahala mereka, bukan berdasarkan perhitungan perbuatan mereka.

Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:

1. Iman, takwa dan perbuatan baik melazimkan yang lain dan tanpa satu dari ketiganya manusia tidak akan sampai pada kebahagiaan.

2. Bila kelaziman untuk menjaga keimanan, hijrah dari rumah dan tempat tinggal harus dilakukan karena Allah dan menanggung segala kesulitan dan masalahnya agar perhatian Allah meliputi mereka.

3. Pahala ilahi sama dengan upaya kita. Dengan kata lain, surga diberikan dengan biaya bukan dengan alasan. Upaya berkelanjutan menyebabkan manusia tumbuh dan mengantarkannya ke derajat yang tinggi.

Read 1664 times