نْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ (7)
Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu. (39: 7)
Pada pembahasan sebelumnya, al-Quran telah mengupas tentang karunia Allah swt dalam penciptaan manusia dan hewan. Di ayat ini, al-Quran menjelaskan mengenai syukur dengan menegaskan bahwa sebagian orang bersyukur atas segala karunia yang dianugerahkan Allah kepadanya. Tapi sebagian lain lalai dan tidak mensyukurinya. Mereka mengira karunia tersebut hasil dari jerih payahnya sendiri, bukan dari Allah, sehingga tidak mau bersyukur kepada pemberi karunia itu.
Tentu saja Allah swt tidak membutuhkan syukur manusia kepada-Nya. Bahkan jika seluruh umat manusia di dunia kafir dan dan mengingkari karunia Allah swt, maka bagi-Nya tidak ada perbedaan sedikitpun.
Allah swt memerintahkan manusia bersyukur atas segala karunia-Nya, demi manusia sendiri. Sebab rasa syukur akan menyebabkan potensi moralitas manusia tumbuh berkembang dan spiritualitasnya juga meningkat. Oleh karena itu, al-Quran selain memerintahkan bersyukur kepada Allah swt, juga menyuruh manusia berterima kasih kepada orang tua.
Hal ini dijelaskan dalam surat Luqman ayat 14 yang artinya, "Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu."
Kelanjutan surat az-Zumar ayat tujuh mengenai sebuah prinsip universal tentang perilaku manusia bahwa setiap orang harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatan yang dilakukannya sendiri. Siapapun tidak berhak untuk melemparkan tanggung jawabnya kepada orang lain dan berlepas tangan atas tindakan yang dilakukannya. Sebab, Allah swt pada hari Kiamat kelak akan mengadili manusia sesuai perbuatannya masing-masing.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ajaran agama Islam seperti shalat, puasa dan lainnya bukan menunjukkan kebutuhan Tuhan terhadap ibadah manusia. Tapi untuk kepentingan manusia sendiri. Sebagaimana seorang guru yang memberikan tugas kepada muridnya supaya berlatih, ajaran agama bertujuan untuk menumbuhkembangkan aspek spiritualitas dan moralitas manusia.
2. Allah swt memperlakukan manusia secara adil dan siapapun akan mendapatkan ganjaran sesuai perbuatan yang dilakukannya sendiri. Oleh karena itu, hubungan darah, kekerabatan, etnis dan lainnya tidak akan bermanfaat sama sekali di hari kiamat kelak.
3. Allah swt mengetahui niat dan motif manusia dalam melakukan sesuatu. Segala bentuk perilaku manusia, sekecil apapun akan diperhitungkan dan dibalas secara setimpal pada hari pembalasan nanti.
وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ وَجَعَلَ لِلَّهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيلًا إِنَّكَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ (8)
Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah, “Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka.” (39: 8)
Ayat ini masih melanjutkan pembahasan ayat sebelumnya mengenai syukur kepada Allah swt dengan memberikan contoh perilaku manusia. Ketika manusia berada dalam kesulitan hidup, seperti penyakit ataupun kesulitan ekonomi, mereka berdoa dan memohon kepada Allah swt supaya diberikan jalan keluar. Tetapi ketika masalah yang menimpanya bisa diatasi, mereka kembali melalaikan Tuhan. Ketika karunianya ditambah, mereka justru semakin melupakan Allah swt dan sibuk dengan urusan dunia.
Saking tingginya ketergantungan mereka terhadap dunia, akhirnya Tuhan dilupakan sama sekali dan sebagai gantinya orang lain yang disebut dan dianggap berperan dalam urusan dunianya. Oleh karena itu, sebagian orang bukannya bersyukur kepada Allah swt, malah mengajak manusia lain untuk melalaikan Tuhan.
Dari ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Keimanan manusia bertingkat-tingkat dan tidak sama derajatnya. Sebab sebagian orang beriman ketika ditimpa musibah, tapi kembali melalaikan-Nya ketika berada dalam kondisi lapang. Keimanan seperti ini tidak bermanfaat bagi manusia.
2. Kesulitan hidup meskipun menyebabkan manusia harus bersusah payah, tapi memberikan manfaat bagi manusia sendiri. Salah satunya supaya manusia tidak lalai dan selalu mengingat Allah swt.
3. Sebagian manusia ketika mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup, melupakan kondisinya ketika sulit dan sering memohon pertolongan Allah swt.
4. Kemakmuran hidup di dunia bukan tanda dari kebahagiaan sejati, sebab orang-orang kafir juga dikarunia anugerah harta yang melimpah. Kemakmuran di dunia tidak seberapa dibandingkan di akhirat kelak.