Ayat ke 214
Artinya:
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh mala petaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan dengan bermacam-macam cobaan sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman yang bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah." Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.
Melanjuti ayat sebelumnya yang menjelaskan peran keimanan kepada Allah dalam menyampaikan kepada kesejahteraan dan kebahagian serta menjauhkan perselisihan, ayat ini menjelaskan, "Iman tadi dengan sendirinya tidak cukup, melainkan harus dibuktikan dalam praktek. Di saat tertimpa peristiwa-peristiwa pahit, seorang Mukmin harus tetap memelihara keimanannya dengan bertawakal dan dalam liku-liku kehidupan, ia tidak menyeleweng dari jalan Allah. Karena semua kejadian merupakan ujian dan derajat keimanan seseorang diuji atau ditimbang dalam ujian-ujian tadi.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Berharap masuk surga tanpa menempuh kepahitan adalah harapan yang salah.
2. Ujian merupakan salah satu sunnah Allah bagi semua manusia agar setiap manusia dapat menemukan dan menunjukkan jati dirinya.
Ayat ke-215:
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan, hendaklah diberikan kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya."
Di antara sekian tanda orang Mukmin yang banyak kali disinggung oleh al-Quran adalah suka membantu orang-orang tertindas dan mau mendengar keluh kesah mereka. Kaum Muslimin di permulaan kedatangan Islam pernah bertanya kepada Rasul Saw, berapa besar dan benda apakah yang sebaiknya kita infakkan?
Dikarenakan jenis dan jumlah infak bukanlah merupakan perkara tetap dan jelas, dan bergantung kepada fasilitas kita serta keperluan pihak yang akan menerima infak, maka al-Quran dalam menjawab pertanyaan tadi menyatakan, dalam infak, yang penting adalah benda yang kita infakkan itu berfaedah, apapun saja, dan tak terbatas jumlahnya. Dalam hal ini hendaknya seorang Mukmin peduli terhadap semua orang yang ada di sekitarnya, terutama ayah, ibu yang sangat memerlukannya, demikian juga kepada kerabat miskin serta berbagai lapisan masyarakat yang memerlukan uluran bantuannya.
Bagian akhir ayat menyatakan, "Bukan hanya infak, akan tetapi setiap perbuatan baik yang anda kerjakan untuk orang lain, Allah Maha Mengetahui. Maka janganlah anda berobsesi, agar semua orang mengetahui amal baik anda, akan tetapi berusahalah berinfak dengan cara rahasia yang mana hal itu lebih dekat dengan budi pekerti mulia."
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dalam infak, kedua orang tua dan kerabat yang memerlukan harus didahulukan dari orang lain.
2. Amal baik seseorang tidak akan sia-sia, baik orang lain mengetahuinya, atau pun tidak mengetahuinya, terbuka ataupun rahasia.
Ayat ke 216
Artinya:
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal perang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.
Untuk memelihara dan membela agama, Allah Swt mewajibkan jihad kepada orang-orang Mukmin. Namun secara fitrah, manusia cenderung kepada kesenangan dan kebebasan, dan tidak menyukai perang yang melahirkan luka, kematian dan kerugian. Ayat ini menjelaskan bahwa kendati perang dengan musuh itu sulit dan tidak menyenangkan, namun kebahagiaan dunia dan akhirat kalian bergantung kepadanya.
Maka di hadapan perintah-perintah Allah, janganlah kalian mendefinisikan baik dan buruk sesuai dengan hawa nafsu dan insting jiwa. Seperti anak kecil yang lari dari suntikan, padahal kesehatan dan kehidupannya bergantung kepada suntikan tadi. Sebaliknya, ia menyukai makan lezat, padahal makanan itu merugikan dan berbahaya buatnya, ketika ia sedang sakit. Maka kesimpulannya adalah bukan semua kesenangan itu baik dan bukannya segala yang sulit dan pahit itu buruk.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kriteria baik dan buruk bukanlah diukur dengan insting manusia, melainkan diukur dengan perintah-perintah Allah yang telah ditetapkan berdasarkan maslahat dan menjamin serta membawanya kepada kesejahteraan.
2. Ilmu manusia terbatas dan ilmu Allah tidak terbatas. Maka haruslah pasrah dan tunduk kepada perintah-perintah Allah, kendati kita tidak dapat memahami maslahat sebagian dari perintahNya, ataupun pelaksanaan itu berat dan sulit bagi kita.
Ayat ke 217-218
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi manusia dari jalan Allah, kafir kepada Allah, menghalangi orang masuk Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar dosanya di sisi Allah dan berbuat fitnah lebih besar dosanya dari pada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka dapat mengembalikan kamu dari agamamu kepada kekafiran, seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sebelum ini, pernah kami sebutkan bahwa di kalangan bangsa Arab semenjak masa Nabi Ibrahim AS, sudah menjadi hal yang umum, di dalam empat bulan dalam setahun perang adalah dilarang. Islam menerima tradisi dan kebiasaan baik itu dan melarang perang dalam empat bulan hijriyah qamariyah yaitu bulan Rajab, Dzulqa'dah, Dzulhijjah dan Muharram.
Adapun mengenai ayat ini, dalam sejarah disebutkan bahwa sebelum perang Badar, Rasul Saw mengirim satu kelompok berjumlah delapan orang dari Muslimin untuk pergi ke Mekah guna mencari-cari informasi tentang keadaan musuh. Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan kafilah Quraisy yang mana salah seorang dari mereka adalah pemuka kafir. Para delegasi Rasul tadi tanpa mempedulikan bahwa mereka sedang berada dalam bulan haram, langsung menyerang orang-orang kafir tersebut dan membunuh si pemuka kafir tadi. Kedelapan orang tadi membawa pampasan perang dan sejumlah tawanan ke sisi Rasul.
Rasul Saw sangat marah dengan tindakan mereka itu dan bersabda, "Aku tidak memerintahkan kalian untuk menyerang mereka, karena ini bulan haram. Oleh karena itu, Rasul tidak mau menerima pampasan perang dan tawanan yang mereka bawa. Dan Muslimin yang lainpun mencela tindakan mereka. Pihak musuh mengambil manfaat dari peluang ini dan berkata bahwa Nabi Muhammad menghalalkan perang dan penumpahan darah serta penawanan di bulan-bulan haram dan mendukung Muslimin untuk melakukan tindakan ini.
Di balik propaganda musuh, ayat ini diturunkan, dan mengingatkan poin penting ini, bahwa kendati perang di bulan haram adalah perbuatan terlarang dan dosa. Namun tindakan itu berlangsung tanpa seijin Rasul dan bukanlah disengaja oleh pemimpin Muslimin, sementara gangguan dan siksaan terhadap Muslimin oleh orang-orang Kafir dan pengusiran mereka dari rumah serta penutupan rumah Allah terhadap kaum Muslimin bukan saja beberapa bulan melainkan sepanjang tahun.
Selanjutnya, ayat tadi mengingatkan Muslimin agar berwaspada dan janganlah kalian berpikir bahwa mereka akan melepaskan kalian, melainkan mereka itu terus berupaya untuk menjauhkan kalian dari agama kalian. Maka ketahuilah bahwa barang siapa yang melepaskan imannya, maka kehidupannya di dunia akan binasa, demikian juga di akhirat nanti, akan berada di barisan orang-orang Jahannam.
Di sisi lain, karena orang-orang Muslim yang menyerang kafilah tadi adalah dengan tulus untuk Allah dan mereka hijrah dan berjihad juga untuk-Nya, bukan untuk tujuan duniawi, maka Allah Swt mengampuni dosa-dosa mereka dan turunlah ayat 218 yang menyatakan bahwa mereka itu telah dimaafkan.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Hendaknya kita senantiasa mewaspadai tindak-tanduk kita, supaya musuh tidak dapat memanfaatkan kesalahan kita sebagai alasan.
2. Dalam menghukumi, kita harus realistis, bukannya melihat persoalan dari sisi lahiriahnya saja, kita harus melihat akar persoalan, bukannya ranting dan daunnya. Seorang yang berniat melakukan tindakan makar dan fitnah, pada zahirnya, ia tidak membunuh seseorang, akan tetapi, fitnahnya tadi seringkali membangkitkan pertikaian berdarah dan akhirnya konflik berdarah antar kelompok. Oleh karena itulah, al-Quran menyatakan bahwa bahaya fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan.