أَمِ اتَّخَذَ مِمَّا يَخْلُقُ بَنَاتٍ وَأَصْفَاكُمْ بِالْبَنِينَ (16) وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِمَا ضَرَبَ لِلرَّحْمَنِ مَثَلًا ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (17) أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ (18)
Patutkah Dia mengambil anak perempuan dari yang diciptakan-Nya dan Dia mengkhususkan buat kamu anak laki-laki. (43: 16)
Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan sebagai misal bagi Allah Yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih. (43: 17)
Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran. (43: 18)
Ayat ini mengisyaratkan keyakinan dan hal-hak khurafat di mayoritas kaum dan umat manusia sepanjang sejarah, di mana menurut keyakinan ini laki-laki lebih unggul dari perempuan dan mereka menganggap anak perempuan sebagai hal memalukan. Oleh karena itu, ayat ini menyatakan, bagaimana kalian menganggap anak laki-laki lebih unggul dari anak perempuan serta ketika anak laki-laki lahir, kalian gembira dan sebaliknya ketika yang lahir adalah anak perempuan, wajah kalian gelap dan sedih?
Lebih buruknya kalian menisbatkan anak laki-laki kepada diri kalian dan membanggakannya. Sementara kalian menisbatkan anak perempuan kepada Tuhan bahwa Ia menciptakan anak perempuan dan kalian mengatakan tidak menghendakinya. Kalian menganggap anak laki-laki dari kalian karena mereka menjadi tangan kanan kalian di perdagangan dan penyambung keturunan, serta menjadi kekuatan kalian saat perang, tapi anak perempuan yang tinggal di rumah dan besar sebagai hiasan serta lemah saat terjadi pertengkaran, kalian nisbatkan kepada Tuhan?
Jelas bahwa anak perempuan dan laki-laki keduanya ciptaan Tuhan dan keniscayaan keberadaan serta eksistensi manusia adalah adanya dua jenis ini. Di sisi Tuhan, salah satu di antaranya tidak unggul dari yang lain. Perempuan dan laki-laki masing-masing memiliki peran tersendiri dan memiliki karekteristik fisik dan mental yang berbeda. Salah satu perbedaannya adalah perempuan lebih unggul di bidang perasaan dan emosi di ucapan serta perilaku. Sejatinya mengingat peran vital perempuan di kehidupan, yakni peran ibu, Tuhan menetapkan karakteristik ini pada mereka dan dalam hal ini, mereka dikecualikan untuk hadir di medan perang.
Dari tiga ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Membedakan anak perempuan dan laki-laki memiliki akar di pemikiran khurafat dan keliru yang ditolak keras oleh al-Quran.
2. Cinta perhiasan bagi seorang anak perempuan dan wanita adalah hal wajar dan dapat diterima.
3. Medan keras pertempuran bukan tempat perempuan, karena hal ini tidak selaras dengan tabiat dan kondisi mereka.
وَجَعَلُوا الْمَلَائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَنِ إِنَاثًا أَشَهِدُوا خَلْقَهُمْ سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلُونَ (19) وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ مَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ (20)
Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaika-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung-jawaban. (43: 19)
Dan mereka berkata, “Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat).” Mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka. (43: 20)
Salah satu pemikiran keliru dan tahayul orang musyrik adalah mereka menganggap malaikat anak perempuan Tuhan dan mereka sangat menekankan keyakinan tahayulnya ini seakan-akan mereka menyaksikan sendiri pencitaan malaikat dan bahwa Tuhan melahirkan anak perempuan!
Lebih buruk lagi, mereka menyembah malaikat dan meyakini malaikat terlibat serta berpartisipasi dalam merencanakan urusan duniawi. Padahal keyakinan seperti ini muncul dari tebakan dan perkiraan tanpa dasar serta tidak ada pembenaran dari ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, al-Quran mengatakan, klaim tak berdasar dan keliru mereka ini akan dipertanyakan di hari Kiamat, diinterogasi serta mereka tidak memiliki jawaban.
Dari dua ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Malaikat makhluk Tuhan, bukan anak-Nya. Malaikat berbeda dengan manusia, mereka tidak memiliki gender.
2. Penyembahan terhadap makhluk Tuhan baik itu malaikat atau manusia seperti Nabi Isa as, akan dipertanyakan di hari Kiamat.
3. Jangan mengira bahwa apa yang kita katakan dan apa yang keluar dari mulut kita akan terhapus. Tapi apa yang kita katakan tercatat dan suatu hari kita harus bertanggung jawab atas perkataan dan klaim kita.
4. Jangan menjustifikasi perilaku keliru kita dengan menisbatkannya kepada Tuhan. Karena Ia yang telah mengirim kitab suci, nabi dan petunjuk bagi umat manusia, tidak pernah meminta kita untuk menempuh jalan keliru.
أَمْ آَتَيْنَاهُمْ كِتَابًا مِنْ قَبْلِهِ فَهُمْ بِهِ مُسْتَمْسِكُونَ (21) بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ (22)
Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum Al Quran, lalu mereka berpegang dengan kitab itu? (43: 21)
Bahkan mereka berkata, “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (43: 22)
Melanjutkan ayat sebelumnya tentang keyakinan tahayul orang musyrik, ayat kali ini mengisyaratkan akar dari keyakinan tersebut dan mengatakan, “Mereka tidak menyandarkan keyakinan tahayulnya kepada ajaran nabi dan kitab samawi, karena tidak ada nabi yang mengajarkan keyakinan tahuyul seperti ini kepada masyarakat. Tapi mereka mengikuti keyakinan tayahul para pendahulu mereka. Leluhur mereka yang bodoh telah menisbatkan hal-hal tak masuk akal dan aneh kepada Tuhan.”
Dengan kata lain, keyakinan khurafat dan tahayul ini tidak memiliki bukti sains dan pengetahuan serta akal, dan juga tidak ada argumentasi riwayat serta ayat dari kitab samawi yang dibawa para nabi terdahulu. Ini hanya taklid buta kepada kakek dan leluhur terdahulu sehingga keyakinan ini diterima di tengah masyarakat. Padahal tidak ada manusia yang berakal yang menetapkan pemikiran dan keyakinannya berdasarkan taklid, apalagi taklid orang bodoh kepada orang bodoh lainnya.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Ideologi dan keyakinan harus didasarkan pada akal atau wahyu. Apa yang tidak selaras dengan akal dan wahyu adalah syirik dan khurafat meski hal tersebut diakui oleh adat istiadat dan budaya sebuah masyarakat.
2. Hati-hati jangan sampai kita menyebarkan sunnah dan adat keliru di tengah masyarakat dengan alasan menjaga warisan leluhur.
3. Segala bentuk fanatisme etnis, nasional dan bahasa yang berujung pada taklid buta dan perilaku tak masuk akal, ditolak oleh al-Quran.