Surat al-Zukhruf ayat 49-56

Rate this item
(0 votes)
Surat al-Zukhruf ayat 49-56

 

وَقَالُوا يَا أَيُّهَا السَّاحِرُ ادْعُ لَنَا رَبَّكَ بِمَا عَهِدَ عِنْدَكَ إِنَّنَا لَمُهْتَدُونَ (49) فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُمُ الْعَذَابَ إِذَا هُمْ يَنْكُثُونَ (50)

Dan mereka berkata, “Hai ahli sihir, berdoalah kepada Tuhanmu untuk (melepaskan) kami sesuai dengan apa yang telah dijanjikan-Nya kepadamu; sesungguhnya kami (jika doamu dikabulkan) benar-benar akan menjadi orang yang mendapat petunjuk. (43: 49)

Maka tatkala Kami hilangkan azab itu dari mereka, dengan serta merta mereka memungkiri (janjinya). (43: 50)

Sebelumnya dijelaskan tentang upaya Nabi Musa as menghidayahi Firaun, dan orang-orang dekatnya dengan menunjukkan berbagai mukjizat kepada mereka. Sementara di ayat ini dijelaskan bahwa mereka tidak mempedulikan isi ajakan Nabi Musa kepada Tauhid, dan ketaatan kepada Allah Swt. Akan tetapi saat mendapat kesulitan, dan penderitaan serta bala, mereka meminta Nabi Musa memohon kepada Alla Swt untuk membebaskannya dari penderitaan, dan musibah, lalu berjanji jika terbebas dari semua penderitaan akan beriman, dan menerima seruan Nabi Musa.

Namun yang menarik adalah, meski meminta bantuan kepada Nabi Musa, mereka tetap menyebutnya penyihir. Mereka mengira para nabi serupa penyihir yang melakukan hal-hal luar biasa, dan dikelilingi orang-orang. Hal ini menjadi bukti bahwa janji orang-orang sombong, dan takabur untuk beriman, adalah bohong, dan mereka sebenarnya mencari jalan untuk menyelamatkan diri dari penderitaan, dan bala yang menimpanya, bukan mencari hidayah. Maka dari itu, ayat di atas melanjutkan, ketika para penindas terbebas dari segala kesulitan, dan topan bala sudah mereda, mereka melanggar janjinya, dan tidak beriman kepada Tuhan.

Dari dua ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:

1. Kebanyakan manusia saat ditimpa kesulitan berlindung kepada wali Allah Swt, agar mendoakan mereka selamat.

2. Saat didera kesulitan, dan merasa terancam, fitrah menemukan Tuhan akan muncul dalam diri manusia, ia teringat akan Tuhan, namun setelah semua kesulitan itu teratasi, ia kembali lalai, dan melupakan Tuhan.

وَنَادَى فِرْعَوْنُ فِي قَوْمِهِ قَالَ يَا قَوْمِ أَلَيْسَ لِي مُلْكُ مِصْرَ وَهَذِهِ الْأَنْهَارُ تَجْرِي مِنْ تَحْتِي أَفَلَا تُبْصِرُونَ (51) أَمْ أَنَا خَيْرٌ مِنْ هَذَا الَّذِي هُوَ مَهِينٌ وَلَا يَكَادُ يُبِينُ (52) فَلَوْلَا أُلْقِيَ عَلَيْهِ أَسْوِرَةٌ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ جَاءَ مَعَهُ الْمَلَائِكَةُ مُقْتَرِنِينَ (53)

Dan Firaun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata, “Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat(nya)? (43: 51)

Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)? (43: 52)

Mengapa tidak dipakaikan kepadanya gelang dari emas atau malaikat datang bersama-sama dia untuk mengiringkannya?” (43: 53)

Firaun dan kaumnya dari satu sisi menyaksikan mukjizat Nabi Musa, di sisi lain selamat dari penderitaan, dan musibah berkat doanya. Hal ini memberikan pengaruh besar pada masyarakat, dan anggapan mereka selama ini terkait Firaun mulai goyah. Pada saat yang sama Firaun, dan orang-orang di sekitarnya tetap tidak bersedia menerima seruan Nabi Musa.

Firaun berusaha sekuat tenaga mencegah agar para pembesar istana, dan kaumnya dari pengaruh perkataan logis, dan mukjizat Nabi Musa. Ia mengolok-olok Nabi Musa, dan membesar-besarkan dirinya.

Di hadapan kaumnya, Firaun berkata, apakah kekuasaan wilayah Mesir yang luas ini bukan milikku ? apakah sungai-sungai mengalir bukan karena perintahku, dan apakah semua sungai itu tidak melewati istana, dan taman-tamanku ? tapi apa yang dimiliki Musa ? ia bahkan tidak lancar berbicara, tidak ada malaikat yang menyertainya, ia tidak seperti para pembesar yang mengenakan berbagai jenis perhiasan, dan pakaian indah, serta memiliki istana megah. Apapun yang kalian inginkan aku memilikinya, tapi Musa tidak punya apapun. Lalu mengapa kita harus mematuhinya, dan menjadi pengikutnya.

Sungai Nil adalah sumber sungai-sungai kecil di Mesir, dan menyebabkan tanah-tanah di sekitarnya menjadi subur. Sungai-sungai yang memenuhi kebutuhan air minum, dan pertanian penduduk Mesir ini, dibagi atas perintah Firaun. Maka dari itu, kehidupan penduduk berada di tangan Firaun, dan ia merasa benar-benar sebagai Tuhan, tidak ada yang melebihi dirinya.

Dari tiga ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:

1. Thagut dan para penguasa lalim tidak pernah menggunakan akal, dan logika mereka, tapi bersandar pada kekuatan, kekayaan, dan kejayaan dirinya, dan menganggap semua itu sebagai dalil kebenaran.

2. Bualan, dan bangga diri serta merendahkan orang lain dikarenakan pakaian, dan tampilan fisik, gaya atau logat bicaranya, adalah perbuatan Firaun.

3. Setiap orang dengan alasan apapun kemudian menganggap diri lebih unggul dari orang lain, berarti memiliki sifat Firaun, meski ia tidak kaya, atau tidak memiliki harta sekalipun.

فَاسْتَخَفَّ قَوْمَهُ فَأَطَاعُوهُ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ (54) فَلَمَّا آَسَفُونَا انْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَأَغْرَقْنَاهُمْ أَجْمَعِينَ (55) فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلًا لِلْآَخِرِينَ (56)

Maka Firaun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. (43: 54)

Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut), (43: 55)

dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian. (43: 56)

Firaun dengan meninggikan diri, dan merendahkan Nabi Musa, kenyataannya telah menyesatkan kaumnya sendiri, dan tidak membiarkan mereka menggunakan akalnya untuk memahami hakikat. Ia telah membodohi kaumnya sendiri, dan membutakan matanya sehingga mereka menjadi remeh di hadapannya, dan mau menuruti semua perintahnya tanpa bertanya lagi.

Cara-cara membodohi masyarakat dilakukan semua penguasa lalim, dan korup untuk melanggengkan penindasan, dan menenggelamkan mereka dalam ketidaktahuan. Para penguasa itu juga mengganti nilai-nilai kebenaran dengan nilai-nilai palsu. Pasalnya, kebangkitan rakyat, dan berkembangnya pemikiran mereka adalah ancaman terbesar bagi kekuasaannya.

Di masa kini, kekuatan-kekuatan arogan melecehkan akal masyarakat melalui jaringan satelit, radio, televisi, internet, dan media komunikasi massa lain, untuk mencuci otak mereka sehingga patuh pada perintahnya. Kekuatan-kekuatan arogan itu tidak membiarkan masyarakat memahami hakikat, agar bisa dengan mudah menguasai mereka.

Di masa Firaun, rakyat bukan tidak terlibat sama sekali dalam kelaliman penguasa kejam itu. Dikarenakan kerusakan moral yang merajalela di tengah mereka kala itu, masyarakat dengan mudah patuh pada nilai-nilai yang dibuat Firaun, dan mereka membuka sendiri pintu kesesatannya. Oleh karena itu, mereka tidak siap menerima seruan Nabi Musa.

Dapat dipastikan orang-orang yang mengikuti Firaun, dan pemerintahan-pemerintahan semacam Firaun, akan menerima akibat yang sama, dan mendapat siksa Tuhan. Tidak diragukan lagi, kisah kehidupan Firaun, dan para pengikutnya, serta nasib mengenaskan yang dialaminya, merupakan pelajaran berharga bagi generasi selanjutnya.

Dari tiga tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:

1. Pemerintahan-pemerintahan korup cenderung melecehkan rakyatnya, dan berusaha menjaga agar mereka tetap lemah. Dalam pemerintahan lalim semacam ini, putus asa, dan kemiskinan masyarakat atas identitasnya, menyebabkan mereka tunduk, dan patuh pada penguasa.

2. Masyarakat yang tidak patuh pada Tuhan, pada akhirnya akan patuh pada para penguasa lalim, dan arogan.

3. Terkadang kemarahan, dan murka Allah Swt membinasakan suatu kaum di dunia ini, dan menjadikannya pelajaran bagi kaum lain.

Read 680 times