Surat Al Jathiya ayat 21-25
أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ (21) وَخَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ وَلِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ (22)
Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. (45: 21)
Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan. (45: 22)
Di pembahasan sebelumnya dibahas nasib orang mukmin dan kafir di Hari Kiamat. Ayat ini saat membandingkan dua kelompok ini mengatakan, “Apakah orang akan berharap Tuhan Yang Maha Adil memperlakukan sama antara baik dan buruk ?
Apakah kalian menerima bahwa setiap orang di dunia harus berperilaku seperti yang mereka inginkan dan bahwa mereka yang melayani masyarakat harus dilihat sama dengan mereka yang menindas orang ?
Jika ada yang menganggap bahwa iman dan amal saleh atau kafir dan dosa tidak berpengaruh pada kehidupan, maka kepercayaan seperti ini tidak benar. Tak diragukan lagi bahwa kehidupan dan kematian orang mukmin dan kafir berbeda.
Orang mukmin di bawah naungan iman dan amal saleh memiliki ketenangan khusus, di mana peristiwa dan badai kesulitan hidup memiliki pengaruh sedikit di jiwa mereka. Orang beriman optimis dengan janji ilahi dan memandang masa depan jelas bagi mereka. Seperti disebutkan di ayat 82 Surat Al-An’am yang artinya, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Sementara orang yang tidak beriman dan tenggelam dalam kerusakan, senantiasa khawatir. Mereka meski tenggelam dalam kenikmatan duniawi, tapi ketakutan akan kehilangan nikmat ini senantiasa menyiksa mereka dan memandang masa depan yang kelam dan kematian sebagai kemusnahan.
Cahaya hidayah menyinari hati-hati kelompok pertama dan membawa mereka ke arah tujuan yang baik dan mulia. Namun kelompok kedua tidak memiliki tujuan yang jelas bagi kehidupannya dan tersesat di antara gelombang kegelapan.
Pada saat kematian yang merupakan jendela ke alam abadi, nasib kedua kelompok ini berbeda. Orang-orang beriman dan berbudi luhur diberitakan kabar baik surga saat kematian. Tetapi bagi orang-orang yang kafir itu, disuruh masuk melalui pintu neraka dan tinggal di dalamnya selama-lamanya. Singkatnya, situasi kedua kelompok ini berbeda dalam segala hal, termasuk hidup dan mati, barzah dan kebangkitan.
Poin lain adalah penciptaan langit dan bumi berdasarkan kebenaran dan keadilan. Bukan hanya sistem kehidupan manusia, tapi sistem seluruh makhluk hidup juga berdasarkan kebenaran. Oleh karena itu, Tuhan tidak menzalimi siapa pun dan juga tidak meninggalkan manusia sendirian, sehingga siapa saja dapat bertindak sesuai dengan keinginannya. Tapi berdasarkan keadilan, Ia mengazab manusia atau memberinya pahala.
Dari dua ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kita harus menghindari persangkaan buruk terhadap Tuhan, dan kita harus menyadari bahwa tolok ukur siksa dan pahala Tuhan adalah amal perbuatan kita, bukan angan-angan dan persangkaan yang keliru kita.
2. Baik iman dan amal saleh, dan juga kekufuran dan perbuatan buruk, memiliki pengaruh pada kehidupan, kematian dan nasib manusia.
3. Sistem alam semesta berdasarkan kebenaran. Oleh karena itu, manusia juga diperlakukan sesuai dengan kebenaran.
4. Filsafat Hari Kiamat adalah keadilan dan hikmah ilahi, sehingga tujuan penciptaan terpenuhi dan hak diberikan kepada mereka yang berhak.
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (23)
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (45: 23)
Ayat ini mengisyaratkan akar kejahatan dan dosa serta mengatakan, para pendosa dan kriminal menjadikan keinginan dan hawa nafsunya sebagai tolok ukur segala sesuatu, seakan-akan hawa nafsunya seperti tuhan dan memberi mereka perintah melakukan perbuatan yang menyenangkan. Mereka melakukan segala sesuatu seperti yang mereka inginkan, dan bahkan mereka menggunakan akal dan pikirannya untuk mencapai apa yang mereka inginkan.
Wajar jika orang-orang seperti itu, bahkan mata dan telinga mereka, tidak mengetahui kebenaran, dan hanya menganggap apa yang mereka lihat dalam hal kesenangan dan minat mereka sebagai benar, dan apa pun yang bertentangan dengannya, adalah salah.
Sikap seperti ini membawa manusia ke tempat di mana pengetahuan dan kesadarannya kehilangan keefektifannya. Oleh karena itu, orang-orang yang menyembah hawa nafsu, bahkan jika mereka adalah ilmuwan, disesatkan dan jatuh.
Dari satu ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Bukan hanya patung kayu, batu atau bulan dan matahari, atau sejumlah binatang yang menjadi sesembahan manusia sepanjang sejarah. Tapi banyak juga manusia yang menyembah hawa nafsunya dan hanya mengejar kesenangan duniawi.
2. Jika hawa nafsu menguasai manusia, maka ia akan kehilangan pengetahuan dan kesadarannya, serta menusia akan tersesat, meski ini memiliki ilmu dan kesadaran. (Seperti dokter yang sadar akan bahaya rokok tapi ia tetap menghisapnya)
3. Hawa nafsu seperti kaca mata dengan kaca berwarna yang tidak memungkinkan manusia untuk melihat fakta sebagaimana adanya dan mengambil keputusan yang tepat berdasarkan fakta tersebut. Karena itu, dengan hawa nafsu, manusia kehilangan arah.
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ (24) وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آَيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ مَا كَانَ حُجَّتَهُمْ إِلَّا أَنْ قَالُوا ائْتُوا بِآَبَائِنَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (25)
Dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. (45: 24)
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang jelas, tidak ada bantahan mereka selain dari mengatakan: "Datangkanlah nenek moyang kami jika kamu adalah orang-orang yang benar". (45: 25)
Ayat sebelumnya berbicara mengenai hawa nafsu dan perannya dalam menjauhkan manusia dari kebenaran. Ayat ini menyinggung salah satu dampak mengikuti hawa nafsu dan mengatakan, “Mereka mengejar kesenangan instingnya dan hanya mengikuti kecenderungan hawa nafsu, mereka mengingkari alam setelah kematian dan Hari Kiamat. Mereka mengatakan, kematian akan mengakhiri kita dan tidak ada yang tersisa dari kami untuk dihidupkan kembali, serta kita harus memberi pertanggung jawaban atas perbuatan kita. Suatu hari kita terlahir di dunia dan satu hari kita akan meninggal, tidak ada alam lain untuk kita pikirkan selain dunia yang kita hidup di dalamnya.”
Mereka tidak memiliki argumentasi saat mengingkari keberadaan Ma’ad, dan hanya berbicara berdasarkan praksangkanya saja. Mereka kepada orang-orang beriman mengatakan, jika kebangkitan orang mati itu kebenaran, maka hidupkan orang tua kami di dunia ini, sehingga kami percaya bahwa ada kemungkinan orang mati dibangkitkan kembali. Sementara Tuhan telah menunjukkan kekuatannya untuk menghidupkan kembali orang mati dengan berbagai cara seperti penciptaan manusia pertama.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yagn dapat dipetik:
1. Mengikuti hawa nafsu akan membuat manusia mengingkari Hari Kiamat, sehingga mereka dapat mengejar keinginan hawa nafsunya dengan tenang dan melanjutkan kejahatan serta perbuatan dosanya.
2. Para pengingkar Ma’ad tidak memiliki argumen, tapi hanya berdasarkan prasangka.
3. Sama seperti pengingkar Tuhan yang mengatakan mereka harus melihat Tuhan untuk beriman, sebagian pengingkar Ma’ad juga berkata, kami harus menyaksikan kebangkitan orang mati sehingga kami beriman. Seakan-akan kecerdasan (akal) mereka ada di mata mereka dan mereka menyangkal segala sesuatu yang tidak mereka lihat.