سورة الجمعة
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ (1)
Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (62: 1)
Surat Al-Jumu'a diturunkan di Madinah dan terdiri dari 11 ayat. Pembahasan utama ayat ini mengenai tujuan pengutusan nabi, kesiapan untuk menghadapi kematian dan anjuran untuk menunaikan salat Jumat.
Surat ini seperti surat sebelumnya, diawali dengan pujian dan tasbih kepada Tuhan, dan menyebutkan pujian seluruh makhluk di alam semesta kepada sang pencipta. Dalam budaya al-Quran, seluruh makhluk memiliki kecerdasan tertentu, bukan saja mereka mengenal penciptanya, bahkan mereka bertasbih kepada-Nya. Tapi kita manusia tidak mampu memahami tasbih mereka. Oleh karena itu, al-Quran di ayat ke-44 Surat al-Isra' menyebutkan, ".... kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka."
Kelanjutan ayat ini menekankan bahwa Ia bukan saja pencipta alam semesta, tapi juga penguasa seluruh alam dan mengelola dunia, tapi bukan seperti penguasa manusia yang umumnya mereka zalim dan tidak adil. Ia adalah penguasa yang kekuasaan-Nya tidak memiliki kekurangan dan cacat, dan bersih dari segala bentuk kezaliman terhadap hamba-Nya, karena Ia Maha Agung dan Bijaksana, serta mengelola alam semesta berdasarkan ilmu dan hikmah.
Dari satu ayat tadi terdapat dua pelajaran penting yang dapat dipetik.
1. Seluruh makhluk alam semesta, baik di bumi dan langit, nyata atau tersembunyi, padat, tanaman dan hewan seluruhnya bertasbuh kepada Tuhan.
2. Pengelolaan alam semesta berdasarkan pengetahuan dan hikmah sangat luas Tuhan, dan tidak ada seorang pun yang dapat menolak kehendak-Nya. Karena pemerintahannya disertai dengan kekuatan dan kebijaksanaan, dan Ia tidak terkalahkan.
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (2) وَآَخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (3) ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (4)
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, (62: 2)
dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (62: 3)
Demikianlah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah mempunyai karunia yang besar. (62: 4)
Ayat ini menyebutkan tujuan pengutusan Rasulullah Saw, dan menyatakan, Tuhan memilih satu orang di antara kaum Arab yang buta huruf, sesat dan penuh takhayul dalam kehidupannya sebagai utusan-Nya.
Risalahnya adalah memberi petunjuk kepada kaum ini, dan berdasarkan ayat al-Quran, pertama-tama kaum Arab dibersihan dari akhlak dan perilaku buruk, dan kemudian mereka dapat meraih derajat tinggi dan pertumbuhan dengan mengajarkan kepada mereka ajaran kitab samawi serta kata-kata dan ungkapan bijak.
Tentunya risalah dan ajaran nabi ini tidak terbatas para warga Mekah dan Semenanjung Arab, tapi mencakup semua orang yang kemudian beriman kepadanya, dan meneriman seruannya, mereka akan mendapat manfaat dari ajaran dan pendidikannya, dan hal ini akan terus berlanjut hingga hari Kiamat.
Pengutusan seluruh nabi sepanjang sejarah, khususnya nabi terakhir, Nabi Muhammad Saw adalah nikmat dan rahmat Allah yang terbesar kepada umat manusia, yaitu menyelamatkan manusia dari berbagai adat istiadat dan keyakinan yang penuh kesesatan dan penuh ifrath-tafrith (berlebihan), serta mereka dibimbing menuju kebahagiaan berdasarkan wahyu Ilahi dan akal sehat.
Dari tiga ayat tadi terdapat empat pelajaran penting yang dapat dipetik.
1. Pengutusan para nabi adalah faktor pertumbuhan, gerakan dan kesempurnaan masyarakat manusia.
2. Pengutusan seseorang untuk memberi petunjuk masyarakat yang berada di puncak kebodohan dan kesesatan adalah sebuah mukjizat ilahi.
3. Penyucian diri (Tazkiyah) harus dilakukan di bawah bimbingan ayat al-Quran dan sunnah Rasul, bukan aliran pemikiran manusia dan ilmu tasawuf (irfan) palsu.
4. Risalah Rasulullah Saw tidak terbatas bagi etnis Arab atau masyarakat di zaman beliau, tapi mencakup seluruh manusia, dari etnis dan kaum mana pun, serta membawa seluruh manusia yang mencari kebenaran ke arah kebahagiaan dan keselamatan.
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآَيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (5)
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (62: 5)
Di ayat sebelumnya dibicarakan mengenai pengurusan Rasulullah di antara warga Mekah; Ayat ini memperingatkan muslimin untuk berhati-hati jangan sampai seperti kaum Yahudi yang diberi kitab Taurat dan diwajibkan untuk mengamalkan ajarannya, tapi sekelompok orang tidak melakukannya dengan benar dan hanya berpura-pura melaksanakannya. Sekelompok lainnya berperilaku sebaliknya dan bertolak belakang dengan ajaran Taurat, serta mendustakan ayat-ayatnya dan menyebutnya tidak benar.
Hewan yang mengangkut buku, hanya merasakan bobotnya saja, dan tidak memanfaatkan isinya. Begitu juga seorang muslim yang membawa al-Quran di berbagai acara, mencium dan menghormatinya, hanya merasakan beratnya saja. Orang seperti ini tidak memanfaatkan ajaran al-Quran dan bimbingan ilaghi dalam kehidupannya.
Dari satu ayat tadi terdapat tiga pelajaran penting yang dapat dipetik.
1. Al-Quran menyamakan manusia yang lalai dan orang pandai yang tidak mengamalkan ajaran kitab ini seperti hewan, karena mereka tidak memanfaatkan akal dan wahyu dengan benar.
2. Membaca al-Quran harus sampai pada tahap pengamalan sehingga benar-benar bermanfaat; Jika tidak maka manusia akan mendapat teguran Tuhan.
3. Tidak mengamalkan ajaran kitab samawi sebuah bentuk pendustaan amal perbuatan mereka, dan membuat manusia tidak mendapatkan petunjuk ilahi.