Ayat ke 100
Artinya:
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4: 100)
Dalam penjelasan sebelumnya telah disebutkan bahwa orang-orang Mukmin tidak terikat dengan kota dan negerinya. Karena yang utama bagi mereka adalah menyembah Allah Swt dan bukan menghambakan diri kepada negerinya. Oleh sebab itu, apabila mereka tidak bisa menjaga agama dan ibadahnya di negerinya sendiri, maka mereka harus berhijrah. Ayat ini mengatakan, bahwa jangan menyangka bahwa bumi ini hanya berakhir di kota dan negeri kalian saja. Bumi Allah sungguh sangat luas. Barangsiapa keluar dari rumahnya dan berhijrah karena Allah, maka Allah akan membukakan kepadanya pintu keberhasilan. Ia akan memperoleh kelapangan hidup yang lebih banyak di dunia ini. Disamping itu, bila maut menjemputnya dalam perjalanan hijrah tersebut, maka pahalanya telah tersedia di sisi Allah.
Meskipun dalam ayat ini, hijrah yang disebutkan adalah hijrah dalam rangka menjaga agama, namun seluruh hijrah yang bermotivasi ilahi tercakup di dalamnya. Sebagaimana berhijrah untuk menuntut ilmu atau berdakwah.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kita dituntut untuk melaksanakan tugas dan kewajiban kita, bukan memikirkan hasil. Dengan kata lain, kita harus berhijrah terlebih dahulu demi menyelamatkan diri dan agama, ketimbang diam yang membahayakan diri dan agama.
2. Dengan berpangku tangan dirumah, seseorang tidak akan mencapai apa pun. Ia berusaha dan berjuang menggapai cita-cita dan itu berarti ia telah bergerak dan berhijrah.
3. Bila sudah pasti, maka lakukan langkah yang telah dipilih. Bila meninggal atau dibunuh di tengah jalan, pahalanya adalah syahid di jalan Allah.
Ayat ke 101
Artinya:
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. (4: 101)
Ayat ini menjelaskan hukum shalat bagi orang yang bepergian. Kaum Muslimin di awal munculnya Islam begitu memperhatikan shalat, sehingga mereka melakukannya dengan sempurna, terutama jumlah rakaatnya, seperti yang diperintahkan Allah Swt. Dalam ayat ini, Allah Swt menurunkan ayat ini dengan hukum baru. Disebutkan bahwa bila dalam keadaan jihad dan berada dalam perjalanan hijrah, dimana bahaya musuh mengancam, maka mereka diperintahkan untuk memperpendek rakaat shalat agar tidak memberi peluang musuh menyerang mereka.
Sejak saat itu hingga kini, hukum yang terkandung dalam ayat ini diberlakukan secara umum. Yaitu, mencakup segala bentuk perjalanan. Dengan demikian, maka setiap musafir yang berada dalam perjalanan, harus memperpendek rakaat shalatnya, bila telah memenuhi syarat seorang musafir seperti yang dijelaskan dalam buku-buku fiqih. Shalat yang pada mulanya empat rakaat menjadi dua rakaaat.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sekalipun tengah melakukan shalat, seorang muslim tidak boleh lengah menghadapi musuh. Sebuah lembaga, bahkan negara termasuk dalam hukum ini. Bila negara Islam dalam bahaya, maka untuk mempertahankannya, maka seorang muslim harus memperpendek shalatnya.
2. Kewajiban shalat atas manusia tidak pernah gugur dalam keadaan apapun. Bahaya yang mengancam tidak menggugurkan shalat, tapi shalat diringkas atau qashar.
Ayat ke 102-103
Artinya:
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu], dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu. (4: 102)
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (4: 103)
Sebagai kelanjutan ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang kewajiban memperpendek shalat ketika berada dalam keadaan berjihad, ayat ini menjelaskan bagaimana melakukan shalat berjamaah dalam situasi perang. Shalat berjamaah dalam kondisi perang ini disebut dengan shalat "Khouf" yang berarti takut. Tata cara pelaksanaannya dilakukan dengan membuat dua kelompok. Satu kelompok bersama Imam jamaah berdiri melakukan shalat dengan senjata tetap bersama mereka. Setelah mereka melakukan sujud kedua dalam rakaat pertama, maka rakaat kedua dilakukan secara munfarid atau sendiri. Shalat mereka dilakukan dua rakaat, tidak lebih dan segera disempurnakan.
Setelah kelompok pertama ini selesai dengan dua rakaat mereka, maka kelompok kedua datang menjadi makmum untuk melakukan shalat dua rakaat bersama Imam, sebagai mana kelompok pertama. Sementara itu kelompok pertama yang sudah selesai, menggantikan kelompok kedua berjaga-jaga dengan senjata siap di tangan. Dengan cara ini, mereka tetap melaksanakan shalat, tanpa memberi kesempatan kepada musuh untuk menyerang. Di sini, shalat tetap dilaksanakan dengan berjamaah selama hal itu memungkinkan.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sedemikian pentingnya nilai shalat berjamaah, sampai-sampai di medan perangpun tetap dilaksanakan.
2. Dalam keadaan apa pun senantiasa harus waspada, sampai dalam shalat pun kaum Muslimin tidak boleh lengah dari bahaya musuh.
3. Penentuan waktu khusus untuk shalat sudah ditetapkan di dalam syariat. Umat Islam diminta untuk menjaga dan berpegang teguh dengannya.