Surat At-Tahrim 9-12
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (9)
Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. (66: 9)
Pada program sebelumnya telah disebutkan kehinaan dan aib orang-orang kafir serta kehormatan dan kebanggaan orang-orang beriman di hari kiamat. Ayat ini ditujukan kepada Rasulullah: Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bila perlu tegaslah terhadap mereka karena akhir kekafiran dan kemunafikan adalah neraka.
Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ahli tafsir besar: Yang dimaksud dengan Jihad pada ayat ini bukanlah perang militer dengan orang-orang kafir dan munafik, karena Rasulullah tidak pernah berperang dengan orang-orang munafik semasa hidupnya, melainkan yang dimaksud dengan Jihad adalah jihad intelektual, sebagaimana yang difirmankan dalam surat Furqan ayat 52: Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar.
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk melakukan jihad intelektual dengan orang-orang kafir dan munafik dan mengajak mereka kepada Allah dengan logika dan argumentasi yang jelas, dan jika mereka bangkit melawannya, tunjukkanlah tindakan yang keras dan tegas.
Dari satu ayat tadi terdapat tiga pelajaran penting yang dapat dipetik.
1. Hakikat agama adalah keyakinan di hati. Orang munafik adalah orang yang di luarnya muslim, tapi di batinnya kafir, karena tidak memiliki keyakinan dan keimanan di hatinya.
2. Kelembutan dan kekerasan diperlukan pada tempatnya dan sesuai dengan keadaan. Tentu saja, kebaikan selalu mendahului kekerasan.
3. Jihad melawan musuh ada banyak bentuknya, dan jihad intelektual dan penjelasan didahulukan dari jihad militer dan bersenjata melawan orang kafir atau munafik.
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا اِمْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ (10)
Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)". (66: 10)
Ayat di awal surat ini menceritakan tentang beberapa istri Nabi yang mengungkapkan rahasia Nabi kepada orang lain dan menyebabkan kesusahan dan kesilitan baginya. Ayat-ayat ini mengatakan: Pada zaman nabi-nabi terdahulu, terdapat istri-istri yang demikian; Wanita-wanita yang tinggal di rumah para Nabi seperti Nuh dan Luth, namun bekerja sama dengan musuh-musuh mereka dan menghalangi orang untuk menerima perkataan kedua nabi Ilahi tersebut.
Jelas bahwa dalam sistem keadilan Ilahi, ketergantungan atau kedekatan dengan para nabi tidak bisa menjadi suatu keistimewaan yang bisa terbebas dari hukuman, dan setiap orang ditanyai dan dihukum berdasarkan perilaku dan ucapannya. Oleh karena itu, meskipun kedua wanita ini (istri Nuh dan istri Lut) adalah istri para nabi ilahi, tapi mereka akan masuk neraka pada hari kiamat.
Dari satu ayat tadi terdapat tiga pelajaran penting yang dapat dipetik.
1. Menjadi istri atau anak Nabi tidak menyelamatkan seseorang. Sesungguhnya baik atau buruknya setiap orang di dunia dan akhirat tergantung pada pilihannya masing-masing dan tergantung pada jalan apa yang dipilihnya dan bagaimana kinerjanya.
2. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kehendak bebas dan tidak dipaksa. Oleh karena itu, istri Nabi sekalipun, meskipun memiliki hubungan keluarga dengannya, dapat memilih jalan yang bertentangan dengan jalan nabi.
3. Orang saleh harus menjaga keluarganya, karena kekafiran juga merasuk ke rumah pada nabi.
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ آَمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (11)
Dan Allah membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim. (66: 11)
Berbeda dengan istri Nuh dan Luth, yang diperkenalkan sebagai dua contoh utama wanita kafir, ayat ini dan ayat berikutnya memperkenalkan dua wanita sebagai contoh sempurna keimanan: yang satu adalah istri Fir'aun dan yang lainnya adalah Maryam. Istri Firaun, bernama Asiyah, tinggal di istana Firaun dan segala macam kemewahan dan kenyamanan tersedia untuknya. Namun ketika dia menyadari kebenaran Nabi Musa, dia percaya padanya dan menentang ancaman Firaun hingga akhirnya dia syahid di bawah siksaan berat oleh agen Firaun.
Sayidah Maryam, yang menghabiskan seluruh hidupnya melayani Yerusalem dan beribadah kepada Tuhan. Ia disayangi Tuhan dan diberi anak, Nabi Isa as.
Walaupun kedua wanita ini mempunyai keadaan yang sangat berbeda, namun karena sama-sama hamba Tuhan dan tunduk pada perintah-Nya, maka mereka diperkenalkan sebagai teladan bagi laki-laki dan perempuan beriman sepanjang sejarah agar orang-orang beriman mengetahui bahwa mereka harus mengikuti kebenaran dan hakikat dalam situasi apa pun dan menaati perintah Tuhan.
Dari satu ayat tadi terdapat empat pelajaran penting yang dapat dipetik.
1. Selain nabi, masyarakat awam juga bisa menjadi teladan hamba Tuhan. Bahkan perempuan pun bisa menjadi teladan bagi laki-laki, sebagaimana istri Fira'un telah diperkenalkan sebagai teladan bagi semua orang beriman.
2. Lingkungan rumah dan keluarga, atau tersebarnya keyakinan dan tradisi palsu di masyarakat tidak bisa menjadi alasan untuk kafir dan tidak beragama, seperti halnya istri Fir'aun yang tinggal di istana Fir'aun, namun ia beriman kepada Nabi Musa. Oleh karena itu, kata-kata pertama dan terakhir yang berbicara adalah kemauan dan kebijaksanaan manusia, bukan hal lain.
3. Orang yang beriman kepada Tuhan, mencari keridhaan-Nya, lebih mengutamakan rumah surgawi dari pada istana Fira'un dan wujud materinya, serta kemegahan dunia tidak membutakan matanya.
4. Seorang wanita tidak bergantung pada laki-laki dalam urusan agama dan tidak boleh menaati perintah suaminya dalam hal-hal yang melanggar agama.
وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِنْ رُوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ (12)
dan (ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-Kitab-Nya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat. (66: 12)
Ayat ini mengacu pada sifat-sifat Sayidah Maryam yang masing-masing dapat menjadi teladan bagi seluruh umat beriman. Ciri yang pertama adalah kesucian yang mempunyai nilai dan kedudukan yang tinggi bagi seluruh umat manusia, khususnya perempuan. Ciri lain Maryam adalah keimanannya kepada Tuhan dan pengakuan terhadap kitab suci, yang diikuti dengan ketaatan terhadap perintah Tuhan serta ibadah dan pengabdian kepada-Nya.
Karena sifat tersebut, ketika Allah hendak mengutus Nabi Isa untuk dakwah dan menjadi utusan-Nya, maka Tuhan memilih Maryam sebagai ibunya. Karena pada saat itu, Sayidah Maryam adalah wanita Bani Israel yang paling suci dan beriman. Di kalangan wanita, satu-satunya wanita yang namanya disebutkan dalam Al-Quran adalah Maryam. Maryam disebutkan lebih dari 30 kali dalam buku ini.
Dari satu ayat tadi terdapat tiga pelajaran penting yang dapat dipetik.
1. Kesucian dan menjaga kesucian dari segala pencemaran seksual adalah nilai-nilai yang ditegaskan dalam semua agama ilahi.
2. Kemurnian dan kesucian memberikan dasar untuk menerima rahmat ilahi sesuai dengan kapasitas manusia.
3. Kesucian ibu mempunyai pengaruh yang besar terhadap jiwa dan semangat anak, dan anak yang suci dan jujur tumbuh dari pangkuan ibu yang suci.