Ayat ke 98-99
Artinya:
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (5: 98)
Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan. (5: 99)
Sebagian orang menyangka tugas-tugas Nabi Muhammad Saw tidak hanya menjelaskan urusan haji atau ibadah lainnya. Mereka menganggap Nabi Saw juga berhak menentukan seseorang mendapat pahala atau diganjar siksa. Dua Dua ayat di atas menjelaskan dugaan mereka dan mengatakan; Pertama, para nabi merupakan utusan Allah Swt yang diperintahkan untuk menyampaikan ajaran-Nya dan beliau tidak berhak untuk menambah atau mengurangi ajaran itu.
Kedua, siksa ataupun pahala hanya ditangan Allah Swt, sedang par nabi dalam hal ini tidak berperan sedikitpun. Bila segala kewajiban telah ditetapkan oleh Allah Swt, maka Dia akan memberikan pahala dan balasan, begitu juga pelanggaran akan mendapat siksaan. Karena itulah kewajiban-kewajiban dan sangsi-sangsi dari sisi Allah dan Rasul-Nya hanya memerankan penyampai saja. Selain itu, para nabi tidak berhak memaksa umat manusia untuk menerima ajaran yang dibawanya dan mengimaninya. Karena itu, bimbingan dan arahan para nabi hendaknya diterima dan diamalkan. Penerimaan dan pengamalan ini merupakan dasar iman dan perkara yang berhubungan dengan hati. Oleh sebab itu hanya Allah yang maha mengetahui gerangan siapa yang dalam hatinya beriman dan siapa yang dalam hatinya kafir dan kotor. Sekalipun ia telah menyembunyikannya dan secara zahir dan menyatakan beriman.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Orang mukmin senantiasa hidup antara ketakutan dan harapan. Takut atas siksaan dan harapan akan rahmat dan ampunan Allah Swt
2. Tugas para nabi hanya menyampaikan agama dan bukan memaksa umat manusia untuk menerimanya.
3. Tidak ada bedanya bagi Allah apakah kita merahasiakan sesuatu atau tidak. Karena Allah Swt Maha Mengetahui.
Ayat ke 100
Artinya:
Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan". (5: 100)
Ada satu hal yang dapat melemahkan akidah seorang mukmin. Hal itu dapat terjadi ketika mengetahui betapa banyaknya jumlah orang Kafir dan sedikitnya orang Mukmin. Ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw dan mengatakan, tolok ukur kebenaran bukan dari banyak dan mayoritas. Apabila mayoritas sebuah masyarakat bertentangan dengan jalan yang ditempuh agama dan para nabi, maka keyakinan dan akidah itu tidak akan menggeser kebenaran. Karena kebenaran adalah sesuatu yang datang dari sisi Allah dan akal sehat manusia. Dengan demikian kebenaran pasti dapat diketahui karena memiliki tolok ukur.
Di bagian terakhir dari ayat ini Allah mengarahkan pembicaraan kepada kalangan cerdik pandai dan mengatakan, apabila kalian ingin memperoleh kebahagiaan, maka kalian harus memandang segala sesuatunya dari sisi-Nya. Dia lah yang memberikan penjelasan mengenai kebenaran dan kebatilan. Karena bagaimanapun juga tidak sama kebusukan dan keindahan, kesucian dan kekotoran serta kebaikan dan keburukan. Apakah dapat diterima perbuatan-perbuatan jelek yang dikarenakan banyaknya pengikut, lalu dapat dihilangkan kemudian diganti menjadi indah dan suci?
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Mayoritas bukan tolok ukur kebenaran dan kebaikan. Oleh karenanya harus bersama jamaah dan mayoritas bukan logika al-Quran.
2. Setiap manusia memiliki akal, tapi kebanyakan tidak berlaku sesuai dengan akal sehatnya. Kebanyakan mereka lebih memilih untuk berperilaku sesuai dengan mayoritas, bukan dengan akalnya.
3. Bukan hanya kebahagiaan dan kejujuran yang bertumpu pada akal, tapi iman dan takwa juga demikian, sehingga manusia mengenal dan memilih kebenaran berdasarkan tolok ukur Ilahi.
Ayat ke 101-102
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (5: 101)
Sesungguhnya telah ada segolongsn manusia sebelum kamu menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada Nabi mereka), kemudian mereka tidak percaya kepadanya. (5: 102)
Sekalipun bertanya adalah kunci ilmu pengetahuan, tapi tidak semua pertanyaan bermanfaat. Karena terkadang sebuah pertanyaan justru menjadi sumber munculnya problema masyarakat. Sebagai contoh, bila dalam kondisi perang, kemudian kita bertanya seberapa banyak simpanan gandum kita, maka pertanyaan ini akan menimbulkan kekhawatiran apakah stok makanan yang ada mencukupi atau tidak. Kekhwatiran ini dengan sendirinya menyebabkan produksi roti yang ada semakin sulit ditemui, karena telah dibeli oleh masyarakat yang khawatir akan kekurangan bahan makanan. Dalam urusan agama juga demikian. Nabi Muhammad Saw telah menjelaskan kepada orang-orang yang beriman tentang sebagian pertanyaan yang hanya menimbulkan perasan was-was. Tidak hanya itu, ada banyak juga jawaban yang akan menimbulkan persoalan dalam masyarakat.
Selain itu terkadang pengulangan pertanyaan tersebut, bertujuan memperoleh jalan keluar untuk melarikan diri dari kewajiban dan bukan untuk melaksanakan kewajiban. Kasusnya dalam kisan Nabi Musa as ketika Bani Israil yang telah diwajibkan menyembelih seekor sapi, tapi mereka merasa berat untuk melaksanakan kewajiban teresebut. Untuk lari dari kewajiban itu, mereka menanyakan tentang ciri-ciri lain dari sapi tersebut yaitu warna, bentuk dan usia. Tapi ketika Nabi Musa aw telah menjelaskan kepada mereka, mereka baru tahu betapa sulitnya menemukan seekor sapi dengan ciri-ciri tersebut.
Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad Saw berbicara kepada masyarakat mengenai haji. Ketika itu ada yang bertanya, apakah haji diwajibkan setiap tahun atau hanya sekali dalam sepanjang umur? Nabi Saw tidak menjawab, tapi orang itu terus mengulangi pertanyaannya. Setelah itu Rasulullah Saw mengatakan, apa tujuan dari sikapmu yang begitu mendesak mengenai masalah ini. Tenanglah, bila haji diwajibkan setiap tahun, maka aku sendiri yang akan mengatakannya.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Pengetahuan terhadap sesuatu, tidak mengharuskan kewajiban untuk melakukannya.
2. Kita diperintahkan untuk melaksanakan pengetahuan yang berguna, dan meninggalkan pengetahuan yang hanya memicu masalah bagi masyarakat.