Tafsir Al-Quran, Surat Al-Anam Ayat 115-110

Rate this item
(3 votes)

Ayat ke 115

Artinya:

Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendenyar lagi Maha Mengetahui.(6: 115)

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa ketika Al-Quran diturunkan, sebagian ilmuwan Yahudi dan Kristen berada di Madinah mengetahui bahwa Al-Quran tersebut adalah kitab samawi. Namun, karena berbagai alasan, mereka tidak mau menerima kebenaran Islam dan kitab samawi tersebut. Ayat ini berbicara kepada Nabi Muhammad Saw dengan mengatakan,sekalipun mereka tidak mau mengakui kebenaranmu, namun jangan sedih dan berkecil hati.Karena Allah Swt akan menguatkan kamu dengan menurunkan firman-Nya yang terbaik, yaitu suatu firman yang berpijak pada kebenaran dan kejujuran. Firman ini merupakan ajaran Tuhan yang terlengkap dan sempurna, sebagai sandaran untuk menegakkan keadilan dan pemerintahan di dalam masyarakat. Firman suci ini tidak akan pernah bisa diubah dan diselewengkan sedemikian rupa. Ia akan tetap lestari dan abadi. Al-Quran berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya yang telah diubah oleh tangan-tangan jahil para pengikutnya.

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Al-Quran adalah kitab samawi yang terlengkap dan firman Allah yang paling sempurna untuk dimanfaatkan oleh umat manusia. Karena ia adalah kitab samawi dari agama terakhir.

2. Dasar hukum al-Quran secara keseluruhannya mencakup kejujuran, keadilan, pandangan kebenaran, penegakan kebenaran, serta kekuatan hakikat.

 

Ayat ke 116

Artinya:

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).(6: 116)

Menyusul ayat sebelumnya, ayat ini berbicara kepada Nabi Muhammad Saw dan pengikut beliau dengan mengatakan, saat ini firman suci telah diturunkan oleh Allah Swt kepada kalian, karena itu janganlah kalian mengikuti pendapat dan pandangan orang-orang lain, sekalipun jumlah mereka banyak sekali. Jumlah terbanyak bukanlah dalil kebenaran, khususnya dalam masyarakat yang mayoritasnya lebih berpegang teguh kepada adat dan tradisi yang menyimpang dari logika dan akal sehat.

Sementara itu, pada dasarnya, ajaran yang dibawa para nabi as selalu bertentangan dengan keyakinan mayoritas masyarakatnya pada saat itu. Para nabi datang untuk mengajak umatnya ke jalan yang lurus. Apabila mayoritas merupakan tolok ukur, maka tidak perlulah diutus para nabi atau disampaikan firman suci yang bertentangan dengan pandangan orang-orang Kafir dan Musyrik. Dalam pemilihan pemilihan presiden yang menjadikan suara mayoritas masyarakat sebagai tolok ukur, sesungguhnya suara mayoritas itu bukanlah dalil bagi kelayakan seseorang untuk menjabat posisi ini.

Betapa banyak orang-orang yang mendapatkan suara mayoritas untuk menduduki sebuah jabatan, tetapi menyia-nyiakan suara tersebut dengan melakukan penyelewengan. Akhirnya, ia diturunkan dari jabatannya.Oleh sebab itu, pada dasarnya, benar dan salahnya sebuah akidah dan kepercayaan, bukanlah tergantung pada diterima atau tidak oleh masyarakat. Contoh lainnya adalah fakta bahwa merokok adalah merusak kesehatan. Bahkan bila semua orang jujur menjadi perokok, merokok tetaplah merusak kesehatan.

Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Hidayah yang hakiki ada di dalam jalan yang ditunjukkan al-Quran, bukan pada jalan yang ditempuh oleh mayoritas manusia.

2. Suara mayoritas dalam masalah-masalah pemikiran dan akidah bukanlah dalil bagi sebuah kebenaran. Kita hanya bisa berpegang pada suara mayoritas dalam berbagai masalah sosial dengan tujuan untuk mencari jalan penyelesaian, bukan jalan kebenaran dalam masalah akidah.

3. Kita harus menerima dan melaksanakan dasar logika dan kebenaran. Sebaliknya, kita tidak boleh mengikuti persangkaan dan kata hati.

 

Ayat ke 117

Artinya:

Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.(6: 117)

Sekarang, ketika sudah jelas bahwa pendapat mayoritas tidak bisa dijadikan sandaran untuk menentukan kebenaran, maka dalam ayat ini ditegaskan bahwa jalan kebenaran itu harus kita dapatkan dari Allah Swt. Jalan dari Tuhan itu harus kita ikuti sekalipun jumlah pengikut kebenaran itu minoritas. Untuk mengenali kebenaran dan kebatilan diperlukan ilmu dan pengetahuan yang luas mengenai akibat dan dampak dari berbagai berbagai masalah, baik di saat ini, maupun di masa depan. Pengetahuan seperti ini hanya bisa diperoleh dari ilmu Allah yang tak terbatas. Karena itu, hanya Allahyang paling mengetahui, mana jalan petunjuk yang lurus dan mana jalan yang sesat.

Allah Swt lebih mengetahui mana orang-orang yang tersesat, dan mana orang-orang yang tersesat. Meskipun manusia dengan bantuan akal sehatnya, mampu membedakan kebenaran dan kebatilan sampai batas-batas tertentu, namun ilmu Allah yang tidak terbatas terbebas dari segala kesalahan. Sebaliknya ilmu dan pengetahuan manusia mungkin untuk salah. Karena itu, ayat ini menekankan tujuan ayat sebelumnya, yang mengatakan, "Ikutilah Tuhan-mu, Dia lebih mengetahui daripada kamu, karena itu berdasarkan ilmu-Nya Dia memberi petunjuk kepadamu."

Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Sekalipun manusia itu memiliki ilmu dan akal, tetapi Allah Swt lebih mengetahui semua ilmu umat manusia. Selain itu, akal pun mengatakan bahwa kita harus mengikuti orang yang lebih berilmu.

2. Janganlah kita menyangka bahwa dengan sikap riya, sombong, dan munafik, kita dapat menipu Tuhan karena Dia mengetahui apa yang tampak dan apa yang tersembunyi. Allah Swt akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang tersesat.

 

Ayat ke 118-119

Artinya:

Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya.(6: 118)

Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.(6: 119)

Lanjutan dari berbagai pembahasan yang lalu, khususnya mengenai tanda-tanda ketauhidan dan kesyirikan, dua ayat ini telah menyinggung salah satu contoh syirik yang menonjol dalam kehidupan. Dalam ayat ini disebutkan, jauh dari jalan Allah akan menjadi penyebab terjadinya penyelewengan dan akan menghantarkan seseorang menjadi ekstrim atau sebaliknya, menjadi acuh tak acuh dalam urusan makan. Sekelompok orang dengan begitu saja membolehkan menyembelih dan memakan sesuatu binatang, padahal dia tidak mengerti batas-batas halal dan haramnya. Akibatnya, mereka menjadi pemakan bangkai, karena mereka menyembelih binatang tanpa memperhatikan aturan-aturan agama.

Al-Quranal-Karim mengatakan,hal itu tidaklah benar karena dalam Islam telah diatur cara yang benar untuk menyembelih hewan dan disebutkan pula mana hewan yang halal dimakan. Ketahuilah, bahwa kalian tidak berhak mengambil nyawa (yakni membunuh ) binatang apapun, jika Allah tidak mengijinkannya, karena Dia-lah pemilik hakiki binatang-binatang tersebut. Selain itu, sewaktu kita menyembelih binatang tersebut, lisan kita harus mengucapkan nama Allah dengan penuh iman, dan bertujuan binatang itu untuk dimakan. Sebagaimana kebersihan daging untuk keselamatan tubuh kalian, maka perlu sekali disebutkan nama Allah, sehingga jiwaraga kalian akan tumbuh dengan sehat dan sempurna dengan memakan daging ini.

Lanjutan ayat itu mengatakan,Allah Swt suka kepada kalian yang menjauhi makanan (daging) yang diharamkan, dan suka pula bila kalian memakan daging yang dihalalkan bagi kalian. Manusia tidak boleh dengan seleranya sendiri mengharamkan apa-apa yang sudah dihalalkan oleh Allah. Sikap ekstrim yang tidak pada tempatnya timbul dari hawa nafsu orang-orang yang jahil, dan sikap ini merupakan pelanggaran, baik pelanggaran terhadap hak Allah maupun hak-hak manusia.

Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:‎

1. Bahkan pada masalah makanan dan daging yang dimakanpun, orang mukmin harus bersandarkan kepada aturan Allah Swt. Agama tidak terpisahkan dari kehidupan dunia manusia dan mengkonsumsi makanan yang halal merupakan syarat iman.

2. Makanan manusia harus memperhatikan halal dan haram, dan bukan bersandarkan pada hawa nafsu serta keinginan perut manusia.

3. Memang dalam keadaan darurat, memakan makanan-makanan haram dibolehkan, namun hanya sebatas kebutuhan, karena Islam tidak pernah memberikan jalan buntu kepada pemeluknya.(

Read 5224 times