
کمالوندی
Kontroversi Akal dan Kalbu dalam Pembentukan Pengetahuan Manusia: Sebuah Refleksi Kritis (2)
Kaidah yang disebut dengan basith al-haqiqah kullu asyya’ ini dipakai oleh para filosof Muslim, khususnya dalam mazhab filsafat Hikmah, untuk menegaskan kemanunggalan dan kesederhanaan eksistensi yang abstrak. Makin abstrak suatu hakikat makin sederhana dan makin utuh semua sifat kesempurnannya.
Kaidah Pertama
Untuk menjawab kontroversi akal dan kalbu, ada baiknya kita pahami kaidah filosofis yang dapat meluruskan salah satu sumber kerancuan berpikir yang lazim terjadi dalam wacana-wacana abstrak dan filosofis. Yakni kecenderungan orang untuk meletakkan pembahasan filosofis dan mistis dalam kerangka fenomena material dan jasmani.
Padahal, perwujudan abstrak seperti kategori-kategori kesempurnaan, keberakalan, dan pengetahuan bersifat sederhana dan manunggal. Perbedaan dan pembedaan hanya dipakai untuk tujuan menjelaskan, menguraikan, dan mengandaikan sesuatu.[1]
Modus eksistensi abstrak senantiasa bersifat manunggal, sederhana dan universal, yang berbeda dengan sifat benda-benda material yang majemuk dan terbagi-bagi ke dalam satuan-satuan khusus yang terbatas.
Oleh karena itu, di dalam tataran eksistensi abstrak, tidak ada kebodohan versus akal. Yang ada sebenarnya hanyalah akal versus tingkat-tingkat akal di bawahnya.
Tingkat-tingkat kekurangan akal itu lalu dipersepsi dan diungkapkan sebagai kebodohan, yang bersifat relatif terhadap kesempurnaan akal mutlak. Demikian pula halnya dengan kesempurnaan versus kekurangan, kebaikan versus kejahatan, kebenaran versus kebatilan, dan sebagainya.[2]
Upaya membedakan akal dengan kebodohan untuk tujuan-tujuan analitis dan argumentatif sering merancukan dan menyesatkan pikiran dalam menelaah wacana-wacana di alam abstrak.
Kaidah yang disebut dengan basith al-haqiqah kullu asyya’ ini dipakai oleh para filosof Muslim, khususnya dalam mazhab filsafat Hikmah, untuk menegaskan kemanunggalan dan kesederhanaan eksistensi yang abstrak. Makin abstrak suatu hakikat makin sederhana dan makin utuh semua sifat kesempurnannya.
Berdasarkan kaidah tersebut, para filosof menyimpulkan bahwa sifat-sifat Allah identik dengan Zat-Nya yang dinyatakan dengan rumusan shifatul-llah ‘aynu dzatih. Sifat Allah identik dengan Zat-nya dan bersumber dari dalam Zat Yang Mahasuci lagi Mahatinggi itu sendiri.[3]
Kaidah yang sama juga dapat diterapkan pada hakikat atau sifat yang abstrak seperti akal, pengetahuan, pengalaman, kesadaran, kesempurnaan dan kemaujudan. Hakikat-hakikat dan sifat-sifat abstrak itu tidak bisa dibeda-bedakan, semuanya bersumber pada kemaujudan atau kesempurnaan yang sama.
Kebergandan atau bahkan keberagaman yang tampak di alam material tidaklah nyata dan hakiki, melainkan relatif atau nisbi, aksidental atau tambahan, kiasan atau andaian (putative). Yang hakiki dan nyata ialah kemaujudan, akal, pengetahuan, dan kebenaran, sementara lawannya bersifat relatif dan mengikut (bin nisbah ila atau bil idhafah ila) pada keberadaan yang sempurna.[4]
Ada dua contoh keberadaan andaian dan relatif;
Pertama, keberadaan warna dalam cahaya. Menurut fisika, foton-foton atau partikel-partikel terkecil cahaya yang memancar dari suatu sumber memiliki energi yang berbeda-beda. Indra kita menangkap beragam denyar energi itu sebagai warna, yang sama sekali tidak bisa dibilang ada vis-a-vis cahaya. Sebaliknya, cahaya adalah satu-satunya yang secara objektif ada, sedangkan warna hanya ada sebagai kiasan dan pantulan cahaya dalam persepsi indra manusia.
Kedua, keberadaan nol dalam matematika. Secara bahasa, nol didefenisikan sebagai the complete absence of quantity (ketiadaan kuantitas). Meskipun hampa dan tidak punya kuantitas, nol adalah andaian yang bisa efektif bila diberi angka 1, 2, 3, dan seterusnya. Tanpa diberi angka di depannya, berapa pun banyaknya, deretan nol takkan berhasil-guna. Secara filosofis, ia disebut sebagai tiada (non-being) atau relatif (nisby).
Dengan demikian, dalam menelaah eksistensi abstrak seperti akal, pengetahuan, kebenaran, kesempurnaan, kekuasaan dan sebagainya orang tidak boleh gegabah. Watak kesederhanaan dan kemanunggalan kategori-kategori tersebut harus senantiasa dipelihara.
Dalam bahasa filsafat, kesederhanaan (basathah atau simplicity) bermakna keadaan asli dan hakiki sesuatu yang senantiasa menyertainya. Karena itu, keliru bila kita menganggap sifat kesalahan atau kebatilan dapat secara mandiri (independent) melawan sifat kebenaran, sehingga seolah ada dua sifat yang sedang bertempur dalam posisi yang seimbang dan setara.[5]Sebab, yang sebenarnya terjadi ialah berkurangnya cahaya kebenaran at the expense of menguatnya kegelapan kebatilan secara relatif.[6] (MK)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki
[1] Penjelasan menarik seputar masalah ini dapat dilihat pada Murtadha muthahari dan S.M.H. Thabathaba’i, Menapak Jalan Spiritual, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995, hal. 66.
[2] Tentang makna pembedaan dan perbedaan, lihat Murtdha Muthahhari, Keadilan Ilahi, Bandung: Mizan, 1992, hal. 98-99.
[3] Murtadha Muthahhari, Neraca Kebenaran dan Kebatilan, Bogor: Cahaya, 2001. Lihat juga Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi, Op Cit.
[4] Mulla Shadra, Mafatih al-Ghayb, Mu’assasa-e Muthala’at va Tahqiqat Farhang, 1363 Tahun Iran, pada pengantar Muhammad Khajawi.
[5] Ghulam Heusein Ibrahim Deydani, Qawa’id-e Kully Falsaf-e Islam, Mu’assasa-e Muthala’at va Tahqiqat Farhang, 1419 H, dengan merujuk pada kata basith.
[6] Istilah ‘kerajaan’ ini mengacu kepada hadis Nabi yang sangat masyhur. Lihat Sachiko Murata, The Tao of Islam, Bandung: Mizan 1996, hal. 317-318.
Baca selanjutnya: https://ganaislamika.com/kontroversi-akal-dan-kalbu-dalam-pembentukan-pengetahuan-manusia-sebuah-refleksi-kritis-2/
Kontroversi Akal dan Kalbu dalam Pembentukan Pengetahuan Manusia: Sebuah Refleksi Kritis (1)
Keyakinan adalah derajat dan tingkat pengetahuan yang hanya dapat diperoleh melalui akal, keberakalan, keberpikiran, selain juga tindakan dan pelaksanaan. Untuk mencapai keyakinan itu, fitrah manusia akan mendesak akal untuk bertanya, meragukan, memikirkan, mempertimbangkan, mencari bukti, mengotak-atik semua objek yang hadir di dalam dirinya.
Latarbelakang
Salah satu masalah terbesar dalam epistemologi Islam adalah persoalan kedudukan akal dan kalbu. Apakah keduanya saling bertentangan—seperti asumsi sebagian? Jika bertentangan, manakah yang lebih unggul? Jika tidak bertentangan, bagaimana posisi masing-masing dalam pembentukan pengetahuan manusia?
Dari persoalan tersebut di atas kemudian para sarjana Muslim biasanya membagi dua kelompok besar pakar Islam: para filosof dan teolog dianggap lebih mengunggulkan akal, sementara kaum sufi dianggap mengedepankan kalbu dalam meraih pengetahuannya.
Namun demikian, penyelidikan yang lebih jauh terhadap kontroversi ini dalam literatur Islam membawa kita pada kesimpulan yang berbeda. Anggapan bahwa akal dan kalbu merupakan dua daya manusia yang bertentangan ternyata lebih merupakan kesalahpahaman ketimbang kesimpulan yang berdasarkan pada bukti dan argumen yang sahih.
Sebaliknya, keduanya merupakan suatu kesatuan tunggal yang memiliki nama berbeda lantaran dilihat dari perspektif yang berbeda dengan fungsi yang berbeda. Sejumlah penganut filsafat Hikmah, sebagaimana yang akan kita lihat dalam makalah ini beranggapan bahwa alih-alih bertentangan, kalbu merupakan daya yang berfungsi mengaktifkan akal atau akal adalah aktivitas kalbu itu sendiri.
Bagi mereka, keberpikiran adalah puncak keberakalan dan kemanusiaan. Bukan hanya pengalaman mistis dan spiritual mesti melalui proses keberpikiran, melainkan lebih dari itu keberpikiran adalah hakikat dan esensi kemanusiaan.
Sejak manusia mewujud di mayapada, ia adalah makhluk yang berpikir dan rasional. Memandang keberpikiran sebagai faktor yang dapat mengurangi atau memiskinkan nilai pengalaman – mistis ataukah yang lainnya — bertentangan dengan korat manusia, dus menafikan esensi manusia mendapat peluang pengalaman mistis itu sendiri.
Prinsip ilmu hudhuri yang dianggap sebagai penjelasan filosofis yang kokoh tentang pengalaman mistis juga harus dipahami dalam kerangka keberpikiran dan keberakalan manusia. Prinsip ini tidak berkaitan dengan sembarang makhluk perasa, sehingga orang bisa dengan mudah merujuk pada contoh-contoh rasa manis, asem, pahit dan sebagainya lalu memaparkan pandangan mengenai ilmu dan kesadaran. Ilmu, kesadaran dan pengalaman mistis manusia, apa pun namanya, pasti dan niscaya berkaitan dengan statusnya sebagai makhluk berakal dan berpikir. Bahwa orang gagap menjelaskan masalah-masalah seperti itu secara tepat bukan bukti ketidakberakalan dan ketidakberpikirannya.[1]
Rasa manis, juga rasa sedih, gembira, cemas dan sebagainya adalah kebenaran swabukti (self-evident) yang tidak perlu dibuktikan selain dengan kehadiran semua objek rasa itu dalam subjek memang benar adanya. Tetapi, manakala subjek bersangkutan adalah manusia yang sudah menjadi kodrat dan fitrahnya untuk memikirkan dan merenungkan semua keadaan dan perasaan yang hadir di dalam dirinya secara sengaja maupun tidak, maka manusia itu tidak akan begitu saja menerima keadaan dan perasaannya apa adanya. Manusia akan memikirkan keadaan, pengalaman dan perasaan dalam dirinya agar sampai pada keyakinan yang setinggi-tingginya dan sedalam-dalamnya. Dan itulah titik pembeda antara manusia dan segenap binatang lainnya.[2]
Binatang bisa punya rasa tertentu mengenai objek atau keadaan, tetapi binatang tidak bisa mencapai tingkat keyakinan seperti manusia. Keyakinan adalah derajat dan tingkat pengetahuan yang hanya dapat diperoleh melalui akal, keberakalan, keberpikiran, selain juga tindakan, pelaksanaan dan pengalaman. Untuk mencapai keyakinan itu, fitrah manusia akan mendesak akal untuk bertanya, meragukan, memikirkan, mempertimbangkan, mencari bukti, dan menyelidiki objek yang hadir di dalam dirinya.
Keresahan dan kegelisahan akan terus bergelinjang dalam diri manusia sampai datang suatu keyakinan di dalam dirinya. Keresahan dan kegelisahan itu bukan keburukan atau kekurangan, melainkan hulu yang diledakkan oleh fitrah manusia untuk mencapai tangga-tangga keyakinan yang tak terbatas.
Tidak benar manusia hanya perlu “kehadiran” objek-objek rasa manis, asem, kecut, pahit untuk mengetahui adanya dan hadirnya objek-objek tersebut dalam dirinya. Manusia adalah makhluk yang punya kerinduan dan hasrat-kuat terhadap kebenaran dan akhirnya keyakinan tentang sesuatu. Karena itu, “kehadiran” objek-objek rasa itu akan dibarengi dengan suasana penuh tanya dan ragu.
Kehadiran rasa manis apel akan terjadi seiring dengan kehadiran pertanyaan-pertanyaan: Seberapa manis? Manis mana dengan apel yang sebelumnya? Apakah lidah saya sudah benar dalam merasakan manis apel itu? Bagimana rasa manis bisa timbul? Mengapa ada manis dan ada pahit? Mengapa apel manis? Siapa yang meletakkan rasa manis? Dan begitulah seterusnya sampai datang keyakinan padanya. “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan.” (QS. al-Hijr: 99).[3]
Namun, karena keyakinan dan realitas bertingkat-tingkat secara tak terbatas, dan itulah sebabnya manusia menjadi manusia dan makhluk yang paling mulia, maka pencarian, perenungan dan perjalanan intelektual-spiritual manusia pun tiada pernah berakhir. Tiada jawaban tuntas tentang suatu persoalan. Manusia akan senantiasa merindukan dan mendambakan petunjuk-petunjuk yang bisa membawa dia pada jawaban-jawaban umum tentang berbagai persoalan dan fenomena, dan terus memaksa dirinya mencari kepastian dan keyakinan.
Manusia berakal akan selalu mencari petunjuk, menuntut bukti, merindukan keyakinan, mencintai pengetahuan dan kebenaran, menghindari kekurangan dan kesalahan, serta melewati berbagai keadaan dan tantangan. Dan akhirnya manusia memanusia dengan berbagai jatuh-bangun, naik-turun, maju-mundur, pasang-surut, derita-nikmat, trial-and-eror, cinta-benci, keraguan yang akan terus menerus melecutnya untuk mencapai tingkat-tingkat kesempurnaan yang lebih tinggi sehingga mendekati Kemahasempurnaan Ilahi.
Sebagai contoh. Untuk berkata jujur saja manusia perlu terus membiasakan diri, mempertimbangkan untung-ruginya, memawas diri, dan tidak tertipu atau tergoda untuk berbohong demi satu keuntungan atau manfaat sesaat, apatah lagi untuk mencapai suatu pengalaman mistis dan keyakinan. Kejujuran yang awalnya dikonsepsikan dalam makna yang rendah akan terus digali hingga sampai pada tingkat-tingkat kejujuran yang lebih tinggi.
Jelas, para sufi sejati tidak akan mengajak kita melakukan katarsis psikologis dan eskapisme emosional. Kalaupun ada katarsis dan semacam eskapisme, seperti dalam ajaran sama’ atau semisalnya, maka itu hanya untuk sesaat menghibur jiwa yang terguncang akibat penyingkapan dan penyaksian batin yang dahsyat.
Sufi-sufi semacam Ibn Arabi, Jalal ad-Din Rumi, Hafiz, Sa’di, dan sebagainya adalah para salik yang telah melampaui berbagai tafakur, muhasabah, mujahadah, dan penderitaan. Berbagai keraguan dan keadaan mereka lalui dengan tabah dan teguh. Berbagai pertanyaan mereka urai dengan bukti dan petunjuk. Tidak begitu saja mereka mencapai tingkat-tingkat ruhani yang mereka gapai. Ada maqamat dan ada manazil. Ada khauf dan ada raja’. Ada “kurva-naik” dan ada “kurva-turun”.[4]
Demikianlah, para sufi dan ahli suluk telah mengarungi sejarah panjang perjalanan dan pelancongan yang melelahkan. Allah berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.” (QS al-Insyiqaq: 6). Semua kelelahan dan kesusahan tidak bisa kita abaikan, apalagi kita terabas tatkala berbicara mengenai maqam-maqam intelektual dan spiritual mereka. (MK)
Bersambung…
Catatan kaki:
[1] Untuk penjelasan seputar kegigihan para sufi membuat batasan dan rumusan rasional terhadap berbagai pengalaman spiritual dan mistis mereka, lihat Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy, Inggris: Polity Press, 1999, bab IV ihwal Mistisisme.
[2] William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge, Albany: State University of New York Press.
[3] Untuk penjelasan mengenai tingkat-tingkat keyakinan, rujuk Abdullah Javadi Amuli, Syenakh Syenasi dar Qur’an, Qum:Markaz Mudiriyat Hauzeh Ilmiyeh, 1418, hal. 211 dan Allamah Thabathaba’i, al-Mizan, Qum, dalam kaitan dengan ayat di atas.
[4] Imam Khomeini, Al-Arba’una Haditsan, Qum: Dar Al-Kitab Al-Islami, tanpa tahun, hal. 29.
Baca selanjutnya: https://ganaislamika.com/kontroversi-akal-dan-kalbu-dalam-pembentukan-pengetahuan-manusia-sebuah-refleksi-kritis-1/
Menteri Luar Syria Berkate: Kami Mempunyai Kepercayaan Penuh kepada Putin
Damsyik, Menteri Luar Syria Faisal al-Mekdad dalam pertemuan dengan rakan sejawatannya dari Rusia Sergey Lavrov di Moscow, berkata: Kami mempunyai hubungan yang sangat baik dengan Rusia dan kerjasama dalam semua bidang.
Beliau menambah: Tindakan kami mengiktiraf kemerdekaan republik Donetsk dan Luhansk adalah satu kewajipan moral, dan kami akan bertukar duta dengan mereka tidak lama lagi.
Dalam pertemuan ini, Menteri Luar Syria berkata: Pada permulaan ucapan, saya menyampaikan salam mesra Presiden Syria, Bashar Assad kepada Presiden Rusia, Vladimir Putin. Sambil mendoakan kesihatan Presiden Rusia, beliau melahirkan harapan bahawa Rusia akan berjaya dalam perang semasa untuk masa depan umat manusia.
Faisal al-Mekdad menyambung: “Adalah suatu kebanggaan untuk mengatakan bahawa hubungan antara Rusia dan Syria terus berkembang dan bertambah baik sejak dahulu. Jika kita kini menyaksikan lembaran baru dalam pembangunan hubungan antara kedua-dua negara, ini adalah hasil daripada hubungan antara kedua-dua negara, yang berasaskan persahabatan dan usaha untuk mengekalkan keamanan dan keselamatan antarabangsa, dan sokongan berterusan Rusia terhadap Syria dalam pelbagai bidang. Saya mesti berbangga untuk mengatakan bahawa hubungan antara Syria dan Rusia telah mengekalkan trend ke hadapan walaupun terdapat pelbagai pergolakan”.
Menteri Luar Syria meneruskan: Anda sedang memerangi Nazisme dan ekstremisme di Ukraine dan negara-negara EU, dan kami, pada gilirannya, memerangi keganasan di rantau ini amnya dan Syria khususnya.
Dia menyambung: Sekarang kita berdiri bersama Rusia dalam perang yang adil dan perlu menentang Nazi, yang semua manusia mesti lawan, kerana bahaya mereka akan terus meningkat jika mereka diberi peluang.
Faisal Mekdad berkata: Kami mengiktiraf kemerdekaan republik Donetsk dan Luhansk kerana faktor moral dan sejarah mendorong kami melakukannya. Pada pendapat kami, Rusia telah menunjukkan kepada semua orang bahawa ia mempunyai interaksi yang jujur dengan negara lain dalam rangka memelihara Piagam PBB dan undang-undang antarabangsa, tetapi negara Barat mengeksploitasi PBB dan undang-undang antarabangsa untuk melindungi kepentingan penjajah mereka.
Beliau menambah: Saya akan melancong ke Abkhazia esok (Rabu, 24 Ogos) dan ini menunjukkan sokongan kita kepada negara-negara untuk menikmati kebebasan dan keadilan. Dalam beberapa hari akan datang, kami akan mengumumkan hubungan diplomatik dan pertukaran dengan Donetsk dan Luhansk.
Faisal al-Mekdad berkata: Kami telah menguji Rusia di Majlis Keselamatan dan forum antarabangsa lain. Negara ini adalah pembela kepentingan bangsa yang sebenar.
Selepas menjelaskan matlamat sebenar Barat dan menggunakan Ukraine sebagai mata anak panah untuk menyerang Rusia dan negara lain, operasi ketenteraan khas oleh tentera Rusia adalah sah sepenuhnya. Kerana dunia tidak boleh menjadi arena kehendak sistem unipolar untuk menyerang negara lain. , termasuk Rusia.
Barat tidak boleh berpuas hati dengan kekuatan material dan ketenteraannya, kerana akhirnya ia akan kalah. Kami berharap bahawa tentera Rusia akan melaksanakan misi yang diberikan kepada mereka oleh Presiden Putin, dengan baik dalam beberapa minggu akan datang dan dalam fasa seterusnya, dan kami yakin bahawa perkara seperti itu akan menjadi kenyataan.
Asyraf nafi PM didesak campur tangan kes mahkamah
Ketua Pemuda Umno Asyraf Wajdi Dusuki menafikan sebarang perbincangan mendesak Perdana Menteri Ismail Sabri Yaakob, mencampuri urusan mahkamah.
Dalam catatan Facebook hari ini, Asyraf berkata dia turut menghadiri mesyuarat berkenaan yang dihadiri ketua-ketua bahagian Umno, namun tiada agenda seumpanya dibangkitkan.
“Tiada langsung agenda perbincangan mendesak perdana menteri mencampuri urusan mahkamah apatah lagi seolah-olah wujud pertentangan di kalangan kepimpinan bahagian mengenainya.
“Apakah logik untuk mendesak perdana menteri campur tangan kes SRC yang sudah sampai ke peringkat Mahkamah Persekutuan?” kata Asyraf.
Asyraf mengulas laporan Astro Awani yang memetik sumber mendakwa sebahagian besar ketua bahagian Umno yang hadir mesyuarat itu menolak cadangan agar perdana menteri mencampuri kes SRC.
Dalam ruangan komen pada hantaran itu, Asyraf berkata dia akan mengemukakan cadangan untuk mengambil tindakan undang-undang terhadap Astro Awani.
“Ya, saya akan bawa cadangan dalam mesyuarat pengurusan parti akan datang untuk mencadangkan agar memulakan saman ke atas Awani yang melaporkan berita palsu tanpa asas yang menimbulkan prasangka negatif dan buruk kepada Umno,” kata Asyraf.
Asyraf mendedahkan pertemuan itu kebanyakannya membincangkan isu berkaitan pilihan raya umum akan datang.
“Apa yang boleh saya kongsikan secara umum, perbincangan tadi lebih kepada isu-isu mengenai PRU-15,” katanya.
Terdahulu, ketua-ketua bahagian Umno di seluruh negara diminta menghadiri pertemuan khas di ibu pejabat parti itu di WTC KL.
Sejumlah pemimpin atasan Umno turut dilihat hadir, termasuk Presiden Umno Ahmad Zahid Hamidi; timbalannya, Mohamad Hasan, dan naib presiden Mohamed Khaled Nordin.
Bagaimanapun, Perdana Menteri Ismail Sabri Yaakon yang juga memegang jawatan naib presiden Umno tidak kelihatan.
Perkembangan itu hadir di tengah khabar angin berhubung pilihan raya selain prosiding akhir kes SRC International melibatkan Pengerusi Lembaga Penasihat BN Najib Razak di Mahkamah Persekutuan.
Di Mana Wajah Tuhan?
Alkisah, serombongan pendeta datang ke Madinah. Mereka bertanya kepada Khalifah Abu Bakar tentang Nabi saww dan Kitab yang dibawanya – Al-Qur’an.
Abubakar berkata,”Betul, telah datang kepada kami Nabi kami dan ia membawa Kitab suci.”
Lalu terjadi dialog berikut:
+ Adakah dalam Kitab Suci itu disebut wajah Allah?
– Betul.
+ Apa tafsirnya?
– Ini pertanyaan yang terlarang dalam agama kami. Nabi saw tidak menjelaskannya kepada kami.
Para pendeta itu tertawa sambil berkata,”Demi Allah. Nabi kamu itu hanya pendusta belaka. Dan kitab sucimu itu hanyalah kepalsuan dan kebohongan saja.”
Ketika keluar dari situ, Salman Al-Farisi mengajak mereka menemui Imam Ali bin Abithalib a.s., ‘pintu kota’ ilmunya Nabi saw.
Kepadanya, para pendeta mengajukan pertanyaan yang sama.
Ali lalu berkata,”Aku akan menjawabnya dengan demontrasi, tidak dengan ucapan.”
Lalu ayah Imam Hasan dan Husain a.s. itu memerintahkan agar dikumpulkan kayu bakar dan ia pun membakarnya.
Api menyala-nyala dari unggun kayu bakar.
Ali lalu bertanya para para pendeta,”Wahai pendeta, mana muka api?”
Maka, semua pendeta itu menjawab: “Ini semua muka api.”
Mendengar itu, Ali berkata,”Semua wujud ini adalah wajah Allah.”
Kemudian Imam Ali a.s. membaca Al-qur’an Surat 2 ayat 115:
“Ke mana pun kamu menghadap di situ wajah Allah.”
Tidak cukup begitu. Imam Ali (yang adalah lelaki pertama yang masuk Islam) itu menambahkan: ”Semuanya binasa, kecuali wajah-Nya. Kepunyaan-Nya segala hukum. Dan kepada-Nya kamu semua kembali. “(Q.S. 28: 88).
Mendengar penjelasan itu, semua pendeta tadi masuk Islam.
(Diinspirasi dari buku ‘Rahasia Basmallah dan Hamdalah‘, karya Ayatullah Khomeini, Mizan, 1994).
Wasiat Terakhir Imam Ali – The Last Will of Ali
Setelah ditikam Ibnu Muljam saat solat di masjid Kufah (Irak) pada dini hari 19 Ramadhan 40 Hijriah , berikut di antara wasiat Khalifah Ali: “Perjuangkan kebenaran. Perangi para penindas, dan bantulah yang didzalimi. Jaga persatuan. (Bersatu kembali di atas perbedaan yang ada lebih berharga ketimbang semua solat dan semua jenis puasa –reconciliation of your differences is more worthy than all prayers and all fasting). Beri makan anak-anak yatim. Jaga hubungan baik dengan tetanggamu. Nabi saw berkali-kali mengingatkan soal tetangga, sehingga seolah-olah mereka itu berhak mendapatkan warisan.”
Dan seterusnya, silakan baca pesan-pesan wasiat beliau di bawah… Tentang saat-saat terakhir kehidupan Khalifah Ali silakan klik ‘Imam yang Syahid di Mihrab” ini.
Imam Ali‘s (AS) last will to his sons Imam Hasan (AS) and Imam Hussain (AS) after the attempt on his life by a stab from Ibn Muljam:
Jadilah seperti lebah madu: semua yang dimakannya bersih, segala yang dihasilkannya manis, dan ranting pohon yang didudukinya tidak patah. (Imam Ali as).
Wasiat terakhir Khalifah IV Ali bin Abithalib (as) kepada kedua putranya Hasan dan Husain setelah beliau ditikam (di Masjid Kufah) oleh Ibn Muljam:
Nasihatku untuk kalian, selalu ingatlah kepada Allah dan jaga agamamu sebaik-baiknya. Jangan mengejar dunia, dan jangan sampai tergoda olehnya. Jangan menyesali apa pun yang kau luput daripadanya (tidak memperolehnya). Perjuangkan kebenaran; dan beramal-lah untuk akhirat. Lawanlah para penindas (orang dzalim), dan bela mereka yang tertindas (terdzalimi).
Aku nasihatkan kepadamu, semua anak-anakku, keluargaku, dan siapa saja yang menerima pesan ini, ingat (bertakwa)-lah selalu kepada Allah; hilangkan semua perbedaan, dan jagalah selalu tali persatuan (ukhuwah). Aku pernah mendengar kakek kalian (Nabi saw) berkata: “Menyambungkan perbedaan (silaturahim) lebih tinggi nilainya daripada semua solat dan segala (jenis) puasa.”
Tulisan ini awalnya ditayangkan pada 7 Januari 2013.
Takutlah pada Allah dalam urusan anak yatim. Berikan makanan mereka dan jangan lupa kebutuhan mereka di tengah-tengah urusanmu sendiri.
Takutlah pada Allah dalam urusan dengan tetangga kalian. Nabi saw sering menasihati kalian soal ini, sedemikian seriusnya sehingga kami berpikir beliau (saw) akan mewajibkan pemberian warisan kepada tetangga.
Selalu jaga kedekatanmu dengan Al Quran. Jangan sampai ada seorang pun lebih dari kalian dalam keseriusan (kekhusyukan) dalam perkara ini, atau lebih ikhlas dalam penerapan (ayat-ayat)-Nya.
Bertakwalah kepada Allah dalam urusan solat. Solat itu tiang agama kalian.
Bertakwalah kepada Allah dalam kaitannya dengan haji (baitullah); jangan meninggalkannya selama Engkau hidup. Jika kalian sampai meninggalkannya, berarti kalian kehilangan kemuliaan diri.
Selalu bersungguh-sungguh (berjihad) di jalan (demi) Allah, dengan harta, jiwa dan lidah kalian.
Tetaplah menjaga komunikasi (saling bertegur-sapa) dan saling bertukar pendapat sesama kalian. Hati-hatilah kalian (jangan sampai) berpecah belah. Jangan pernah berhenti mengingatkan kepada kebaikan (amr ma’ruf) dan melarang kejahatan (nahi munkar). Kalau sampai kalian lupakan itu, maka yang terburuk dari kalian-lah yang akan menjadi pemimpin kalian, dan kalian tidak akan dihiraukan Allah.
Wahai anak-anak Abdul Muttalib (maksudnya kakek mereka), jangan sampai menumpahkan darah Muslimin dengan alasan (bahwa): ‘Imam (maksudnya Ali bin Abithalib sendiri) telah dibunuh. Hanya pembunuhku saja yang mesti dibalas sampai mati.’
Jika aku meninggal akibat tikaman ini, qisos-lah dia (Bin Muljam) dengan pukulan yang serupa (setimpal dengan tikaman yang membunuh Ali; artinya tetap berlaku adil). Jangan mencincangnya. Aku pernah mendengar Nabi saw, berkata: “Jangan lakukan pencincangan bahkan kepada seekor anjing (pemburu kelinci) sekali pun.”
Nasihat Ali bin Abithalib ra: Penyakitmu datang dari dirimu sendiri, tapi engkau tidak menyadarinya; dan obatnya pun ada dalam dirimu, namun engkau tidak menengarainya. Engkau menganggap dirimu hanya setitik debu, padahal dalam dirimu bersemayam seluruh alam semesta… dst
Shahih Hadis Manzilah Dalam Mazhab Syi’ah
Para pengikut Syi’ah biasanya sering berhujjah dengan hadis-hadis keutamaan Ahlul Bait dalam kitab Ahlus Sunnah. Hal ini menimbulkan kesan di mata para pembenci Syi’ah seolah-olah dalam mazhab Syi’ah tidak ada hadis shahih keutamaan Ahlul Bait. Di antara hadis yang sering dijadikan hujjah adalah hadis Manzilah. Tulisan ini hanya ingin menunjukkan bahwa hadis Manzilah kedudukannya shahih dalam literatur mazhab Syi’ah.
Riwayat Shahih
Al Kulainiy meriwayatkan dalam Al Kafiy hadis dengan sanad yang shahih sampai ke Imam Shaadiq hadis yang dalam sebagian matannya menyebutkan hadis manzilah.
قال ان تكونوا وحدانيين فقد كان رسول الله صلى الله عليه وآله وحدانيا يدعو الناس فلا يستجيبون له، وكان أول من استجاب له علي بن أبي طالب عليه السلام وقد قال رسول الله صلى الله عليه وآله أنت منى بمنزلة هارون من موسى الا أنه لا نبي بعدي
Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] berkata “Jadilah kalian orang-orang yang mengesakan Allah, sungguh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] telah menyerukan kepada orang-orang agar mengesakan Allah tetapi mereka tidak menjawab seruan Beliau. Dan orang yang pertama menjawab seruan Beliau adalah Aliy bin Abi Thalib [‘alaihis salaam] dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] berkata “engkau bagiku seperti kedudukan Haruun di sisi Muusa kecuali bahwasanya tidak ada Nabi setelahku” [Al Kafiy Al Kulainiy 8/61-62 no 80]
Riwayat Al Kafiy di atas kedudukannya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan sanad lengkapnya dan keterangan para perawinya
أبو علي الأشعري، عن محمد بن عبد الجبار، عن الحسن بن علي بن فضال، عن ثعلبة بن ميمون، عن أبي أمية يوسف بن ثابت بن أبي سعيدة، عن أبي عبد الله عليه السلام
Abu ‘Aliy Al Asy’ariy dari Muhammad bin ‘Abdul Jabaar dari Hasan bin Aliy bin Fadhl dari Tsa’labah bin Maimun dari Abi ‘Umayyah Yuusuf bin Tsaabit bin Abi Sa’iidah dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam]…[Al Kafiy Al Kulainiy 8/106]
Abu ‘Aliy Al Asy’ariy adalah Ahmad bin Idris seorang yang tsiqat faqih banyak meriwayatkan hadis dan shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228]
Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 391]
Hasan bin Aliy bin Fadhl adalah seorang yang jaliil, kedudukannya agung, zuhud, wara’, tsiqat dalam hadis dan riwayat. Disebutkan bahwa ia bermazhab Fathahiy kemudian ruju’ [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 97-98]
Tsa’labah bin Maimun disebutkan Al Kasyiy dari Hamdawaih dari Muhammad bin Iisa bahwa ia seorang yang tsiqat, khair, fadhl [Rijal Al Kasyiy 2/711]
Yuusuf bin Tsaabit Abu Umayyah seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Rijal An Najasyiy hal 452 no 1222]
Al Majlisiy dalam Mir’atul ‘Uquul 25/257 no 80 menyatakan hadis tersebut muwatstsaq, sebagaimana dapat dilihat berikut
Penilaian Al Majlisiy ini mungkin disebabkan oleh Hasan bin Aliy bin Fadhl yang dikatakan bermazhab Fathahiy. Padahal disebutkan bahwa Hasan bin Aliy bin Fadhl telah ruju’ dari mazhab Fathahiy. Dalam kitab Al Wajiizah hal 189 no 503, Al Majlisiy mengatakan tentang Hasan bin Aliy bin Fadhl “tsiqat bukan bermazhab imamiyah, seperti shahih karena ruju’-nya dari mazhab Fathahiyyah. Pernyataan bahwa ia telah ruju’ dari mazhab Fathahiy cukup untuk mengangkat derajat hadisnya menjadi shahih.
Riwayat Muwatstsaq
Syaikh Shaduuq menyebutkan riwayat dari Abu Ja’far [‘alaihis salaam] mengenai kisah Khalid bin Walid dengan bani Khuzaimah dimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus Aliy bin Abi Thalib kepada bani Khuzaimah. Dalam penggalan akhir riwayat disebutkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda
فقال (صلى الله عليه و آله) أعطيتهم ليرضوا عني، رضي الله عنك يا علي، إنما أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنه لا نبي بعدي
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] berkata “engkau memberi mereka agar mereka ridha terhadapku, Allah meridhaimu wahai Aliy, sesungguhnya engkau bagiku seperti kedudukan Haruun di sisi Muusa kecuali bahwasanya tidak ada Nabi setelahku” [Ilal Asy Syaraa’i’ 2/463 no 35]
Sanad lengkap riwayat Syaikh Ash Shaduuq adalah sebagai berikut
حدثنا محمد بن الحسن بن أحمد بن الوليد رضي الله عنه قال حدثنا محمد بن الحسن الصفار عن العباس بن معروف عن علي بن مهزيار عن فضالة بن أيوب عن أبان بن عثمان عن محمد بن مسلم عن أبي جعفر الباقر عليه السلام قال
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hasan bin Ahmad bin Waliid [radiallahu ‘anhu] yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar dari ‘Abbaas bin Ma’ruuf dari ‘Aliy bin Mahziyaar dari Fadhalah bin Ayuub dari Aban bin ‘Utsman dari Muhammad bin Muslim dari Abu Ja’far Al Baaqir [‘alaihis salaam] yang berkata…[Ilal Asy Syaraa’i’ 2/473-474 no 35]
Riwayat Syaikh Shaduuq di atas berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah kedudukannya muwatstsaaq, para perawinya tsiqat hanya saja Aban bin ‘Utsman Al Ahmar dikatakan bermazhab menyimpang.
Muhammad bin Hasan bin Ahmad bin Walid adalah Syaikh Qum, faqih mereka, yang terdahulu dan terkemuka, seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 383 no 1042]
Muhammad bin Hasan Ash Shaffaar ia terkemuka di Qum, tsiqat, agung kedudukannya [Rijal An Najasyiy hal 354 no 948]
‘Abbaas bin Ma’ruf Abu Fadhl Al Qummiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 281 no 743]
Aliy bin Mahziyaar seorang yang tsiqat dalam riwayatnya, tidak ada celaan atasnya dan shahih keyakinannya [Rijal An Najasyiy hal 253 no 664]
Fadhalah bin Ayuub Al Azdiy seorang yang tsiqat dalam hadisnya dan lurus dalam agamanya [Rijal An Najasyiy hal 310-311 no 850]
Abaan bin ‘Utsman Al Ahmar, Al Hilliy menukil dari Al Kasyiy bahwa terdapat ijma’ menshahihkan apa yang shahih dari Aban bin ‘Utsman, dan Al Hilliy berkata “di sisiku riwayatnya diterima dan ia jelek mazhabnya” [Khulashah Al ‘Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 74 no 3]
Muhammad bin Muslim bin Rabah termasuk orang yang paling terpercaya [Rijal An Najasyiy hal 323-324 no 882]
Syaikh Haadiy An Najafiy dalam kitabnya Mausu’ah Ahaadiits Ahlul Bait 11/80 no 13572 menyatakan hadis riwayat Ash Shaduuq di atas sanadnya shahih, sebagaimana tampak berikut
Pernyataan Syaikh Haadiy An Najafiy ini kemungkinan karena ia berpegang pada pernyataan Al Kasyiy untuk menshahihkan apa yang shahih dari Aban bin ‘Utsman. Pernyataan ini tidak benar jika ditafsirkan secara mutlak bahwa setiap hadis yang diriwayatkan para perawi tsiqat hingga Aban bin ‘Utsman maka otomatis shahih. Karena bisa saja Aban bin ‘Utsman meriwayatkan secara mursal dan riwayat mursal jelas tidak shahih. Apalagi disebutkan kalau Aban bermazhab menyimpang maka seharusnya status hadisnya adalah muwatstsaq. Syahid Ats Tsaaniy menegaskan bahwa hadis Aban bin ‘Utsman termasuk hadis muwatstsaq, ia berkata
وكذا القولُ في المُوَثّق ؛ فإنَّ ما كانَ في طريقه ، مثلُ عليّ بن فَضَّال وأبانِ بن عثمان أقوَى مِن غَيره
Dan demikian perkataan tentang hadis Muwatstsaq, maka jika di dalam sanadnya ada orang seperti ‘Aliy bin Fadhl dan Aban bin ‘Utsman maka itu lebih kuat dari selainnya [Syarh Al Bidayah Fii Ilm Ad Dirayah, Syahid Ats Tsaaniy hal 26]
Berdasarkan pembahasan di atas maka tidak diragukan bahwa kedudukan hadis Manzilah di sisi mazhab Syi’ah adalah shahih bahkan sebagian ulama Syi’ah menyatakan bahwa hadis tersebut mutawatir. Hal yang patut diperhatikan adalah salah satu riwayat bukan menceritakan kisah perang Tabuk yaitu disebutkan saat terjadi peristiwa antara Khalid dengan bani Khuzaimah. Hal ini menunjukkan bahwa di sisi mazhab Syi’ah keutamaan hadis Manzilah tidak terikat atau khusus waktu tertentu.
Hal ini berbeda sekali dengan sebagian pengikut salafiy yang mengkhususkan hadis Manzilah hanya pada saat perang Tabuk dimana makna hadis tersebut menurut mereka adalah Aliy bin Abi Thalib hanya ditugaskan sebagai pemimpin wanita dan anak-anak di Madinah ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan para sahabat pergi ke Tabuk. Syubhat mereka ini sudah pernah kami bahas secara detail dalam sebagian tulisan di blog ini [silakan lihat di daftar artikel]. Memang pada hakikatnya mereka lebih suka mendistorsi hadis shahih demi bertentangan dengan Syi’ah daripada menyatakan kebenaran hadis yang ternyata bersesuaian dengan Syi’ah.
Takhrij Hadis Ruwaibidhah : Kedudukannya Dhaif
Hadis Ruwaibidhah termasuk hadis yang masyhur di telinga para da’i dan sebagian orang awam. Memang benar bahwa hadis ini telah dikuatkan oleh sebagian ulama hadis kontemporer seperti Syaikh Al-Albani, Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Syaikh Mustafa Al-Adawiy. Hanya saja setelah kami pelajari dengan seksama kami lebih merajihkan bahwa kedudukan hadis ini sebenarnya dhaif. Tidak ada satupun jalan sanad yang selamat dari cacat dan semuanya tidak bisa dianggap saling menguatkan.
Hadis Ruwaibidhah secara marfu’ diriwayatkan dengan tiga jalur sahabat yaitu
Hadis Abu Hurairah
Hadis Anas bin Malik
Hadis Auf bin Malik
Berikut pembahasan semua jalur hadis tersebut secara rinci beserta illat (cacat) masing-masing jalurnya.
Hadis Abu Hurairah
Hadis Abu Hurairah memiliki dua jalan sanad dimana keduanya dhaif dan tidak bisa saling menguatkan. Kedua jalan tersebut adalah
Jalan Sa’iid bin Ubaid dari Abu Hurairah
Jalan Sa’iid Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah
.
Jalan Sa’iid bin Ubaid
حَدَّثَنَا يُونُسُ وَسُرَيْجٌ قَالَا حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ السَّبَّاقِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قال رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ السَّاعَةِ سِنُونَ خَدَّاعَةٌ يُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِين وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ سُرَيْجٌ وَيَنْظُرُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَة
Telah menceritakan kepada kami Yuunus dan Suraih, keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Fulaih dari Sa’iid bin ‘Ubaid bin As-Sabbaaq dari Abu Hurairah yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “Sebelum hari kiamat akan ada tahun-tahun yang penuh tipu daya, ketika itu orang-orang yang jujur didustakan dan para pendusta dibenarkan, orang-orang yang dapat dipercaya dikhianati, orang-orang yang berkhianat dipercaya, dan berbicaralah pada saat itu Ar-Ruwaibidhah. Suraih berkata (dengan lafaz) “dan melihatlah pada saat itu Ar-Ruwaibidhah” [Musnad Ahmad bin Hanbal 2/338 no 8459 (versi tahqiq Syaikh Syu’aib Al-Arnauth) atau no 8440 (versi tahqiq Syaikh Ahmad Syakir)]
Sanad ini mengandung dua kelemahan yaitu Fulaih bin Sulaiman dia diperbincangkan dari sisi dhabitnya dan berdasarkan pendapat yang rajih kedudukannya adalah perawi yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Kemudian Sa’iid bin Ubaid tidak mendengar dari Abu Hurairah.
Fulaih bin Sulaiman dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dimana terkadang ia berkata “dhaif” dan terkadang berkata “tidak kuat dan tidak bisa dijadikan hujjah hadisnya”. Abu Hatim berkata “tidak kuat”. An-Nasa’iy terkadang berkata “dhaif” dan terkadang berkata “tidak kuat”. Ibnu Adiy mengatakan bahwa hadis-hadis Fulaih shalih (baik), ia meriwayatkan dari syuyukh penduduk Madinah hadis-hadis lurus dan gharib, dia dijadikan pegangan oleh Al-Bukhariy dalam kitab Shahihnya dan disisi Ibnu Adiy Fulaih tidak ada masalah dengannya. Abu Ahmad Al-Hakim berkata “tidak kuat di sisi mereka (para ulama)”. Daruquthni berkata “mereka berselisih tentangnya dan tidak ada masalah padanya”. Ali bin Madini menyatakan dhaif. As-Saji mengatakan ia tergolong orang yang jujur dan terkadang keliru. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats-Tsiqat. Abu Daud berkata “tidak ada apa-apanya”. [Tahdzib At-Tahdzib Ibnu Hajar 5/280-281 no 6418]. Abu Zur’ah mengatakan bahwa Fulaih dhaif al-hadits [Adh-Dhu’afa Abu Zur’ah hal 366]
Ibnu Hajar dalam Taqrib At-Tahdzib menyimpulkan bahwa Fulaih “perawi yang shaduq banyak melakukan kesalahan”. Menurut penulis Tahrir Taqrib At-Tahdzib (Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Syaikh Basyar Awwad Ma’ruf) kedudukan Fulaih bin Sulaiman adalah dhaif dapat dijadikan i’tibar. [Tahrir Taqrib At-Tahdzib 3/165 no 5443].
Kesimpulannya Fulaih bin Sulaiman pada dasarnya seorang yang shaduq hanya saja ia memiliki kelemahan pada sisi dhabitnya (hafalannya) sehingga ia melakukan banyak kesalahan dalam riwayat. Maka sudah tepat pendapat yang menyatakan bahwa ia dhaif jika tafarrud (menyendiri) dalam riwayatnya tetapi hadisnya bisa dijadikan i’tibar dan menjadi hasan dengan adanya penguat.
Fulaih bin Sulaiman dalam riwayatnya dari Sa’iid bin Ubaid memiliki mutaba’ah yaitu Yaziid bin ‘Iyaadh sebagaimana disebutkan Nu’aim bin Hammad dalam kitab Al-Fitan dengan sanad lengkap berikut
حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ عِيَاضٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ السَّبَّاقِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dari Yaziid bin ‘Iyaadh dari Sa’iid bin ‘Ubaid bin As-Sabbaaq yang berkata aku mendengar Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang mengatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda …[Al-Fitan Nu’aim bin Hammad no 1470]
Hanya saja mutaba’ah ini tidak kuat karena dua alasan. Alasan pertama, kitab Al-Fitan Nu’aim bin Hammad sendiri tidak bisa dijadikan hujjah. Kitab Al-Fitan ini diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Haatim Al-Muradhiy dari Nu’aim bin Hammad.
Abdurrahman bin Haatim dikatakan Ibnu Yunus bahwa Ia diperbincangkan oleh para ulama [Tarikh Ibnu Yunus no 810]. Ibnu Jauzi berkata “matruk al-hadits” [Adh-Dhu’afa Ibnu Jauzi no 1859]. Adz-Dzahabi menanggapi perkataan Ibnu Jauzi dengan berkata “dia termasuk guru Ath-Thabraniy dan aku tidak mengetahui ada masalah padanya”[Mizan Al-I’tidal no 4844] tetapi anehnya dalam tempat yang lain Adz-Dzahabi dengan jelas menyatakan Abdurrahman bin Haatim dhaif [Diwan Adh-Dhu’afa no 2430].
Nu’aim bin Hammad sendiri diperbincangkan kedudukannya dan pendapat yang rajih ia perawi yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar. Kami sudah pernah membahas tentangnya dalam tulisan disini.
Alasan kedua, Yaziid bin ‘Iyaadh adalah perawi yang dhaif jiddan. Imam Malik medustakannya. Ibnu Ma’in berkata “tidak ada apa-apanya”. Abu Hatim berkata “dhaif al-hadits mungkar al-hadits”. Abu Zur’ah berkata “dhaif al-hadits”. Imam Bukhari dan Muslim berkata “mungkar al-hadits”. Nasa’iy terkadang berkata “matruk al-hadits” dan terkadang berkata “dusta”. Al-Ijliy, Ali bin Madini dan Daruquthniy berkata “dhaif”. Al-Falaas berkata “dhaif al-hadits jiddan” [Tahdzib At-Tahdzib 7/176 no 9069].
Dalam kitab Rijal disebutkan bahwa Sa’iid bin ‘Ubaid As-Sabbaaq meriwayatkan dari Abu Hurairah dan tidak ditemukan ulama mutaqaddimin yang menyatakan riwayat Sa’iid dari Abu Hurairah mursal. Dalam kondisi seperti ini, jika Sa’iid terbukti semasa dengan Abu Hurairah maka periwayatan darinya dianggap muttashil (bersambung). Masalahnya adalah dalam kitab Rijal tidak ditemukan tahun lahir dan tahun wafat Sa’iid bin ‘Ubaid sehingga tidak bisa ditetapkan apakah memang betul ia semasa dengan Abu Hurairah.
Sa’iid bin ‘Ubaid bin As-Sabbaaq disebutkan Ibnu Hajar dalam Taqrib At-Tahdzib no 2373
سعيد بن عبيد بن السُبّاق الثقفي أبو السباق المدني ثقة من الرابعة
Sa’iid bin ‘Ubaid bin As-Sabbaaq Ats-Tsaqafiy Abu As-Sabbaq Al-Madaniy, tsiqat termasuk thabaqat keempat.
Thabaqat keempat disebutkan Ibnu Hajar untuk para perawi yang kebanyakan riwayat mereka adalah dari tabiin kibar, dan contoh perawi yang termasuk thabaqat ini adalah Az-Zuhri dan Qatadah.
Az-Zuhri disebutkan wafat tahun 125 H dan dikatakan juga ia wafat setahun atau dua tahun sebelum itu [Taqrib-At Tahdzib no 6336]. Dan Abu Hurairah disebutkan wafat tahun 57 H atau 58 H atau 59 H [Taqrib At-Tahdzib no 8493]. Jadi antara wafat Az-Zuhri dan Abu Hurairah terpisah lebih dari 60 tahun. Imam Tirmidzi menegaskan bahwa Az-Zuhri tidak mendengar dari Abu Hurairah
والزهري لم يسمع من أبي هريرة
Az-Zuhri tidak mendengar dari Abu Hurairah [Sunan Tirmidzi 1/242 no 201]
Fakta ini bisa dijadikan petunjuk bahwa Sa’iid bin ‘Ubaid sebagai perawi thabaqat keempat kuat dugaan riwayatnya mursal dari Abu Hurairah karena Sa’iid hidup semasa dengan Az-Zuhri dan Az-Zuhri riwayatnya mursal dari Abu Hurairah.
Al-Hafizh As-Sakhawiy dalam kitab At-Tuhfatul Latifah Fii Tarikh Al-Madinah 2/153 no 1531 menyatakan bahwa riwayat Sa’iid dari Abu Hurairah mursal.
سعيد بن عبيد بن السباق الثقفي المدني من أهلها يروي عن أبيه ومحمد بن أسامة بن زيد وأرسل عن أبي هريرة
Sa’iid bin ‘Ubaid bin As-Sabbaaq Ats-Tsaqafiy Al-Madani termasuk penduduk Madinah, meriwayatkan dari Ayahnya dan Muhammad bin Usamah bin Zaid dan meriwayatkan secara mursal dari Abu Hurairah
Jalan Sa’iid Al-Maqburiy
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ قُدَامَةَ الْجُمَحِيُّ عَنْ إِسْحَاق بْنِ أَبِي الْفُرَاتِ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ ؟ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haarun yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Maalik bin Qudaamah Al-Jumahiy dari Ishaaq bin Abi Furaat dari Al-Maqburiy dari Abu Hurairah yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “akan datang pada manusia tahun-tahun penuh tipu daya, dimana para pendusta dibenarkan, orang-orang jujur didustakan, orang-orang yang berkhianat dipercaya, orang-orang yang dapat dipercaya dikhianati, , dan berbicaralah pada saat itu Ar-Ruwaibidhah. Dikatakan “apa itu Ar-Ruwaibidhah?”. Beliau bersabda “orang bodoh yang berbicara urusan orang banyak” [Sunan Ibnu Majah 5/162 no 4036]
Abu Bakr bin Abi Syaibah dalam periwayatannya dari Yazid bin Harun memiliki mutaba’ah dari Abu Ubaid Qaasim bin Salaam dalam Ghariib Al-Hadiits 2/623-624 no 311.
Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya no 7912 (versi tahqiq Syaikh Syu’aib Al-Arnauth) meriwayatkan dari Yaziid bin Haruun dengan sanad berikut
حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ قُدَامَةَ حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ بَكْرِ بْنِ أَبِي الْفُرَاتِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Yaziid yang berkata telah mengabarkan kepada kami ‘Abdul Malik bin Qudaamah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Bakr bin Abi Furaat dari Sa’iid bin Abi Sa’iid dari Ayahnya dari Abu Hurairah yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda…
Ahmad bin Hanbal memiliki mutaba’ah dari Sa’iid bin Mas’ud Al-Marwaziy dengan jalan sanad Yaziid dari ‘Abdul Malik dari Ishaaq dari Sa’iid Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah secara marfu’, sebagaimana disebutkan Al-Hakim dalam Mustadrak Ash-Shahihain 4/466 no 8439
Abu Bakr Asy-Syafi’i dalam Al-Ghailaaniyaat no 331 menyebutkan jalan sanad Yazid bin Harun sebagai berikut
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ سَهْلِ بْنِ كَثِيرٍ أنبا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أنبا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ قُدَامَةَ عَنِ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Muusa bin Sahl bin Katsiir yang berkata telah memberitakan kepada kami Yaziid bin Haruun yang berkata telah memberitakan kepada kami ‘Abdul Maalik bin Qudaamah dari Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
Nampak disini seolah-olah terjadi idhthirab dalam periwayatan Yaziid bin Haruun. Kalau diringkas sanad-sanad di atas adalah sebagai berikut
Ibnu Abi Syaibah dan Abu Ubaid meriwayatkan dari Yaziid bin Haruun dengan jalan sanad “Abdul Malik bin Qudaamah dari Ishaaq dari Al-Maqburiy dari Abu Hurairah”
Ahmad bin Hanbal dan Sa’iid bin Mas’ud meriwayatkan dari Yaziid bin Haruun dengan jalan sanad “Abdul Malik bin Qudaamah dari Ishaaq dari Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah”
Muusa bin Sahl bin Katsiir meriwayatkan dari Yaziid bin Haruun dengan jalan sanad “Abdul Malik bin Qudaamah dari Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah”
Iklan
Muusa bin Sahl bin Katsir adalah perawi yang dhaif. Ia dinyatakan dhaif oleh Daruquthniy dan Al-Barqaniy berkata “dhaif jiddan” [Tarikh Baghdad 15/45-46 no 6966]. Maka jalan sanad ketiga tertolak
Jalan sanad pertama dikuatkan oleh riwayat Al-Kharaithiy dalam Makaarim Al-Akhlaaq no 185
حدثنا علي بن زيد الفرائضي ثنا أبو يعقوب الحنيني ثنا عبد الملك بن قدامة الجمحي عن إسحاق بن أبي الفرات عن سعيد بن أبي سعيد المقبري عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
Telah menceritakan kepada kami Aliy bin Zaid Al-Fara’idhiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Ya’qub Al-Hunainiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Maalik bin Qudaamah Al-Jumahiy dari Ishaaq bin Abi Furaat dari Sa’iid bin Abi Sa’iid Al-Maqburiy dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda
Hanya saja riwayat ini dhaif karena ‘Aliy bin Zaid Al-Faraidhiy disebutkan Ibnu Yuunus bahwa mereka (para ulama) membicarakannya [Tarikh Baghdad 13/379 no 6268]. Abu Ya’qub Al-Hunainiy adalah Ishaaq bin Ibrahim seorang yang dhaif [Taqrib At-Tahdzib no 339].
Jalan sanad kedua dikuatkan oleh riwayat Al-Hakim dalam Mustadrak Ash-Shahihain 4/512 no 8564
حدثنا أبو بكر إسماعيل بن محمد بن إسماعيل الفقيه بالري ثنا أبو بكر بن الفرج الأزرق ثنا حجاج بن محمد ثنا عبد الملك بن قدامة الجمحي عن إسحاق بن أبي بكر عن سعيد بن أبي سعيد عن أبيه عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Ismaiil bin Muhammad bin Ismaiil Al-Faqih di Ray yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Al-Faraj Al-Azraq yang berkata telah menceritakan kepada kami Hajjaaj bin Muhammad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Maalik bin Qudaamah Al-Jumahiy dari Ishaaq bin Abi Bakr dari Sa’iid bin Abi Sa’iid dari Ayahnya dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]
Riwayat ini sanadnya jayyid sampai Hajjaaj bin Muhammad. Abu Bakr Ismaiil bin Muhammad Al-Faqih adalah seorang yang tsiqat [Rijal Al-Hakim Fii Al-Mustadrak no 462] dan Abu Bakr Muhammad bin Faraj Al-Azraq adalah seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir Taqrib At-Tahdzib no 6220]. Hajjaj bin Muhammad adalah seorang imam hafizh hujjah [Siyar A’lam An Nubalaa’ 9/447 no 169] dan dia menjadi mutaba’ah bagi riwayat Yaziid bin Haruun dengan jalan sanad ‘Abdul Malik dari Ishaaq dari Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah secara marfu’.
Maka dapat disimpulkan bahwa jalan sanad yang rajih adalah jalan sanad ‘Abdul Malik bin Qudaamah dari Ishaaq bin Abi Furaat dari Sa’iid Al-Maqburiy dari Ayahnya dari Abu Hurairah secara marfu’.
Kedudukan riwayat ini sanadnya dhaif karena kelemahan ‘Abdul Maalik bin Qudaamah dan Ishaaq bin Abi Furaat seorang yang majhul ‘ain.
‘Abdul Maalik bin Qudaamah Al-Jumahiy dinyatakan tsiqat oleh Yahya bin Ma’in dan Al-Ijliy. Al-Bukhariy berkata “dikenal dan diingkari”. Abu Hatim berkata “dhaif al-hadiits, tidak kuat dan ia meriwayatkan hadis-hadis mungkar dari perawi tsiqat”. Daruquthniy berkata “ditinggalkan”. Nasa’iy berkata “tidak kuat”. Al-Uqailiy mengatakan “di sisinya ia meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Diinar riwayat-riwayat mungkar”. Ibnu Hibban mengatakan ia shaduq hanya saja ia melakukan banyak kesalahan maka tidak boleh berhujjah dengannya. [Tahdzib At-Tahdzib 4/258-259 no 4921]. Abu Zur’ah Ar-Raziy berkata “mungkar al-hadiits” [Adh Dhu’afa Abu Zur’ah hal 356]. Ibnu Hajar menyimpulkan “dhaif” [Taqrib At-Tahdziib no 4232].
Ishaaq bin Abi Furaat seorang yang majhul, perawi yang meriwayatkan darinya hanya ‘Abdul Maalik bin Qudaamah. Ibnu Hajar berkata “majhul” [Taqrib At-Tahdziib no 382].
Apakah kedua jalur di atas yaitu Jalur Sa’iid bin Ubaid dan Jalur Sa’iid Al-Maqburiy dapat saling menguatkan?. Jawabannya tidak karena kedua riwayat tersebut tidak hanya mengandung kelemahan perawinya dari segi dhabit tetapi juga mengandung kelemahan lain yang memperberat kedhaifannya.
Jalur Sa’iid bin Ubaid selain Fulaih bin Sulaiman yang dhaif dari segi dhabitnya juga mengandung kelemahan lain yaitu riwayat tersebut terputus sanadnya karena riwayat Sa’iid dari Abu Hurairah mursal.
Jalur Sa’iid Al-Maqburiy selain ‘Abdul Maliik bin Qudaamah dhaif dari segi dhabitnya juga mengandung kelemahan lain yaitu Ishaaq bin Abu Furaat perawi yang majhul ‘ain. Dan telah dikenal bahwa perawi majhul ‘ain hadisnya tidak bisa dijadikan i’tibar.
Iklan
Hadis Anas bin Malik
Hadis Anas bin Malik tentang Ruwaibidhah diriwayatkan melalui dua jalan yang semuanya dhaif dan tidak bisa saling menguatkan yaitu jalur Ibnu Lahii’ah dan Jalur Ibnu Ishaaq.
حدثنا بكر قال نا عبد الله بن يوسف قال نا أبن لهيعة قال نا عبد الله بن عبد الرحمن بن معمر عن عبد الله بن ابي طلحة عن أنس بن مالك عن النبي صلى الله عليه وسلم قال بين يدي الساعة سنون خداعة يتهم فيها الأمين ويؤتمن المتهم وينطق فيها الرويبضة قالوا وما الرويبضة قال السفية ينطق في أمر العامة
Telah menceritakan kepada kami Bakr yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Ma’mar dari ‘Abdullah bin Abi Thalhah dari Anas bin Malik dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang berkata sebelum hari kiamat ada tahun-tahun penuh tipu daya dimana orang-orang terpercaya dituduh, orang-orang tertuduh dipercaya, maka berbicaralah pada saat itu Ar-Ruwaibidhah. Mereka berkata “apa itu Ar-Ruwaibidhah?”. Beliau berkata “orang bodoh yang berbicara tentang urusan orang banyak” [Mu’jam Al-Awsath Ath-Thabraniy no 3258]
Sanad riwayat ini dhaif karena Bakr bin Sahl Ad-Dimyaathiy telah didhaifkan oleh An-Nasa’iy [Lisan Al-Mizan 2/344 no 1582] dan Abdullah bin Lahii’ah perawi yang dhaif tetapi bisa dijadikan i’tibar dimana hadisnya shahih jika meriwayatkan darinya para perawi yang mendengar darinya sebelum kitabnya terbakar yaitu Abdullah bin Mubarak, Abdullah bin Wahb, Abdullah bin Yazid Al-Muqriy, Abdullah bin Maslamah Al-Qa’nabiy [Tahrir Taqrib At-Tahdziib no 3563].
.
.
حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ الْمَدَائِنِيُّ وَهُوَ مُحَمَّدُ بنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا عَبَّادُ بنُ الْعَوَّامِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بنُ إِسْحَاقَ عَنْ مُحَمَّدِ بنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَال قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَمَامَ الدَّجَّالِ سِنِينَ خَدَّاعَةً يُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيَتَكَلَّمُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ الْفُوَيْسِقُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Al-Mada’iniy dan dia Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin ‘Awwaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaaq dari Muhammad bin Al-Munkadir dari Anas bin Maalik yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “sesungguhnya sebelum datangnya Dajjal akan ada tahun-tahun penuh tipu daya, dimana orang-orang jujur didustakan dan para pendusta dibenarkan, orang-orang yang dapat dipercaya dikhianati, orang-orang yang berkhianat dipercaya, dan berbicaralah pada saat itu Ar-Ruwaibidhah. Dikatakan “apa itu Ar-Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab “orang-orang fasiq yang berbicara tentang urusan orang banyak” [Musnad Ahmad bin Hanbal no 13298 tahqiq Syaikh Syu’aib Al-Arnauth]
Hadis dengan matan yang serupa juga diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya no 13299 (tahqiq Syaikh Syu’aib Al-Arnauth), Abu Ya’la dalam Musnad-nya 6/378 no 3715, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykil Al-Atsar 1/405 no 466, Musnad Al-Bazzar 7/174 no 2740 dengan jalan sanad dari ‘Abdullah bin Idriis dari Muhammad bin Ishaaq dari ‘Abdullah bin Diinar dari Anas bin Malik secara marfu’.
‘Abdullah bin Idriis memiliki mutaba’ah dari Yunus bin Bukair sebagaimana disebutkan Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykil Al-Atsar 1/405 no 465, Ar-Ruuyaniy dalam Musnad-nya 1/389 no 593, Ibnu Adiy dalam Al-Kamil 7/257 dan Al-Bazzar dalam Musnad-nya 7/174 no 2740 yaitu dengan jalan sanad dari Muhammad bin Ishaaq dari ‘Abdullah bin Diinar dari Anas bin Malik secara marfu’.
Jadi ada tiga perawi yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ishaq yaitu ‘Abbad bin ‘Awwaam, ‘Abdullah bin Idriis dan Yunus bin Bukair.
‘Abbad bin ‘Awwam meriwayatkan dari Ibnu Ishaaq dari Muhammad bin Munkadir dari Anas bin Malik
Abdullah bin Idriis dan Yunus bin Bukair meriwayatkan dari Ibnu Ishaaq dari Abdullah bin Diinar dari Anas bin Malik.
‘Abbad bin ‘Awwaam seorang yang tsiqat [Taqriib At-Tahdziib no 3155] dan disini ia menyelisihi ‘Abdullah bin Idriis seorang yang tsiqat faqiih ahli ibadah [Taqriib At-Tahdziib no 3224] dan Yunus bin Bukair seorang yang shaduq sering keliru [Taqriib At-Tahdziib no 7957].
Perawi yang meriwayatkan dari ‘Abbad bin ‘Awwaam adalah Muhammad bin Ja’far Abu Ja’far Al-Madainiy dia perawi yang diperselisihkan. Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud berkata “tidak ada masalah padanya”. Abu Hatim berkata “ditulis hadisnya tetapi tidak bisa dijadikan hujjah”. Ibnu Hibbaan memasukkan dalam Ats-Tsiqat. Ibnu Qaani’ berkata ‘dhaif”. Ibnu Abdil Barr berkata “tidak kuat di sisi mereka (para ulama)”. Al-Uqailiy memasukkannya dalam Adh-Dhu’afa [Tahdziib At-Tahdziib 5/520-521 no 6833]. Dapat disimpulkan bahwa Muhammad bin Ja’far seorang yang shaduq hanya saja terdapat kelemahan padanya sehingga jika ada penyelisihan atas riwayatnya maka riwayatnya tidak bisa dijadikan hujjah.
Nampaknya disini riwayat yang menyebutkan jalan Ibnu Ishaaq dari Muhammad bin Munkadir dari Anas bin Malik itu tidak tsabit, kemungkinan Abu Ja’far Al-Mada’iniy keliru dalam menyebutkan “Muhammad bin Munkadiir” dan yang benar adalah Abdullah bin Diinar. Jadi riwayat yang tsabit dari Ibnu Ishaaq adalah Ibnu Ishaaq dari Abdullah bin Diinar dari Anas bin Malik.
Sebagian ulama muta’akhirin menguatkan hadis Ruwaibidhah riwayat Anas bin Malik, diantaranya Ibnu Hajar yang berkata dalam Fath Al-Bariy 13/91 setelah menyebutkan hadis Anas
أخرجه أحمد وأبو يعلى والبزار وسنده جيد
Dikeluarkan Ahmad, Abu Ya’la dan Al-Bazzaar dan sanadnya jayyid
Pernyataan ini benar jika hanya melihat zhahir sanadnya dimana riwayat Ibnu Ishaaq tersebut diriwayatkan oleh para perawi tsiqat dan dalam riwayat Yunus bin Bukair, Ibnu Ishaaq menyebutkan lafaz penyimakan hadis maka selamat dari cacat tadlis.
Hanya saja riwayat Anas bin Malik melalui jalur Ibnu Ishaaq ini memiliki illat (cacat) yang tersembunyi. Ulama mutaqaddimin yaitu Yahya bin Ma’in dan Abu Hatim mengisyaratkan Muhammad bin Ishaaq keliru dalam hadis Ruwaibidhah ini.
حدثنا عبد الله بن أبي سفيان وابن أبي بكر قالا ثنا عباس سمعت يحيى بن معين يقول لم نسمع من عبد الله بن دينار عن أنس إلا الحديث الذي يحدث به محمد بن إسحاق يعني حديث الرويبضة
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Abi Sufyaan dan Ibnu Abi Bakr yang keduanya berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abbaas yang berkata aku mendengar Yahya bin Ma’iin mengatakan “kami tidak mendengar (hadis) Abdullah bin Diinar dari Anas kecuali dari hadis yang diriwayatkan Muhammad bin Ishaaq yakni hadis Ar-Ruwaibidhah [Al-Kamil Ibnu Adiy 7/257]
Syaikh Thaariq bin ‘Awdhullah dalam salah satu kitabnya yaitu Al-Irsyaadaat Fii Taqwiyyah hal 281 menjelaskan maksud perkataan Yahya bin Main tersebut.
فابن معين عليه رحمة الله لا يريد من قوله هذا إعلال الحديث بالانقطاع بين عبد الله بن دينار وأنس؛ وإنما مراده الاستدلال بغرابة هذا الإسناد على خطأ ابن إسحاق المتفرد به
Ibnu Ma’in [Rahmat Allah atasnya] tidak bermaksud dengan perkataannya bahwa cacat hadis tersebut adalah inqitha’ antara ‘Abdullah bin Diinar dan Anas. Sesungguhnya yang ia maksudkan adalah keghariban sanad ini karena kekeliruan Ibnu Ishaaq yang menyendiri dalam meriwayatkannya.
.
سألت أبي عن الحديث الذي رواه ابن اسحاق عن عبدالله بن دينار عن أنس عن النبي في الرويبضة قال أبي لا أعلم احدا روى عن عبدالله بن دينار هذا الحديث غير محمد بن اسحاق ووجدت في رواية بعض البصريين عن عبدالله عن المثنى الانصاري عن عبدالله بن دينار عن أبي الازهر عن انس عن النبي بنحوه قال أبي ولا ادري من أبو الازهر هذا قلت من الذي رواه عن عبدالله بن المثنى فقال حجاج الفسطاطي قال أبي لو كان حديث ابن اسحاق صحيحا لكان قد رواه الثقات عنه
Aku bertanya kepada Ayahku tentang hadis yang diriwayatkan Ibnu Ishaaq dari ‘Abdullah bin Diinar dari Anas dari Nabi tentang Ar-Ruwaibidhah. Ayahku berkata “aku tidak mengetahui seorangpun yang meriwayatkan dari Abdullah bin Diinar hadis ini selain Muhammad bin Ishaaq dan aku menemukan dalam riwayat sebagian orang Bashrah dari ‘Abdullah bin Al-Mutsanna Al-Anshariy dari ‘Abdullah bin Diinar dari Abil Azhar dari Anas dari Nabi seperti itu. Ayahku berkata aku tidak mengetahui siapa Abul Azhar ini. Aku [Ibnu Abi Hatim] berkata “siapa yang meriwayatkan dari Abdullah bin Al-Mutsanna?”. Beliau berkata “Hajjaaj Al-Fusthaathiy”. Ayahku berkata “seandainya hadis Ibnu Ishaaq shahih, para perawi tsiqat akan meriwayatkan hadis itu darinya [Abdullah bin Diinar]”. [Al-Ilal Ibnu Abi Hatim 6/596-597 no 2792]
Abu Hatim melemahkan hadis Ruwaibidhah yang diriwayatkan Ibnu Ishaaq karena tafarrud Ibnu Ishaaq dan di sisi Abu Hatim nampak kuat dugaan bahwa Ibnu Ishaaq keliru dalam hadis tersebut. Salah satu qara’in yang dipakai Abu Hatim adalah adanya riwayat lain dari Abdullah bin Diinar yang menyelisihi riwayat Ibnu Ishaaq tersebut. Hanya saja kami tidak menemukan riwayat ini dengan sanad lengkap dalam kitab-kitab hadis.
.
Terdapat riwayat lain yang membuktikan kekeliruan Ibnu Ishaaq dalam riwayatnya ini yaitu dalam kitab Al-Mushannaf ‘Abdurrazzaaq
أخبرنا عبد الرزاق عن معمر عن سعيد بن عبد الرحمن الجحشي عن عبد الله بن دينار قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بين يدي الساعة سنون خوادع يخون فيها الأمين ويؤتمن فيها الخائن وتنطق الرويبضة في أمر العامة قال قيل وما الرويبضة يا رسول الله ؟ قال سفلة الناس
Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdurrazaq dari Ma’mar dari Sa’iid bin ‘Abdurrahman Al Jahsyiy dari ‘Abdullah bin Diinar yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “sebelum hari kiamat akan ada tahun-tahun penuh tipu daya, dimana orang-orang terpercaya dikhianati dan orang-orang berkhianat dipercaya, di saat itu berbicaralah Ar-Ruwaibidhah tentang urusan orang banyak. Dikatakan “apa itu Ar-Ruwaibidhah wahai Rasulullah?”. Beliau berkata “orang yang paling rendah” [Al-Mushannaf ‘Abdurrazzaaq 11/382 no 20803]
Riwayat ini sanadnya jayyid sampai ‘Abdullah bin Diinar walaupun kedudukannya mursal. Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy tsiqat tsabit fadhl kecuali dalam riwayatnya dari Tsaabit, A’masy, ‘Ashim bin Abi Najud, Hisyam bin ‘Urwah dan hadisnya di Bashrah [Taqrib At-Tahdziib no 6857]. Sa’iid bin ‘Abdurrahman Al-Jahsyiy penduduk Hijaz, shaduq [Taqriib At-Tahdziib 2360]. Disini nampak Sa’iid bin ‘Abdurrahman Al-Jahsyiy menyelisihi Muhammad bin Ishaaq dalam riwayatnya dari ‘Abdullah bin Diinar dimana Sa’iid meriwayatkan secara mursal dan Ibnu Ishaaq meriwayatkan secara maushul. Ini merupakan salah satu petunjuk bahwa Muhammad bin Ishaaq keliru dalam hadis Ruwaibidhah.
Secara ringkas hadis Ruwaibidhah dari Jalur Anas bin Malik mengandung kelemahan berikut
Jalur Ibnu Lahii’ah dhaif karena Bakr bin Sahl guru Ath-Thabraniy dhaif dan Ibnu Lahii’ah sendiri dhaif dari sisi dhabitnya.
Jalur Muhammad bin Ishaaq dhaif karena Muhammad bin Ishaaq keliru periwayatannya dalam hadis ini.
Kedua jalur ini tidak bisa saling menguatkan karena jalan pertama kedhaifannya ada pada dua perawinya dan jalan kedua dhaif keliru dan hadis yang terbukti keliru tidak bisa dijadikan penguat.
Hadis Auf bin Malik
حدثنا الحسين بن إسحاق التستري ثنا هشام بن عمار ثنا مسلمة بن علي ثنا إبراهيم بن أبي عبلة عن أبيه عن عوف بن مالك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إن بين يدي الساعة سنين خوادع يتهم فيها الأمين ويؤتمن فيها الخائن ويكذب فيها الصادق ويصدق فيها الكاذب ويتكلم في أمر الناس الرويبضة قيل يا رسول الله وما الرويبضة قال السفيه ينطق في أمر العامة حدثنا أحمد بن عبد الوهاب بن نجدة الحوطي ثنا أبي ثنا إسماعيل بن عياش عن إبراهيم بن أبي عبلة عن عوف بن مالك عن النبي صلى الله عليه وسلم مثله
Telah menceritakan kepada kami Husain bin Ishaaq At-Tusturiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Ammaar yang berkata telah menceritakan kepada kami Maslamah bin ‘Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Ayahnya dari Auf bin Malik dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang bersabda “Sesungguhnya sebelum hari kiamat akan ada tahun-tahun yang penuh tipu daya, ketika itu orang-orang yang dapat dipercaya dituduh, orang-orang yang berkhianat dipercaya, orang-orang yang jujur didustakan dan para pendusta dibenarkan, berbicaralah tentang urusan orang-orang pada saat itu Ar-Ruwaibidhah. Dikatakan “wahai Rasulullah apa itu Ar-Ruwaibidihah?”. Beliau berkata “orang bodoh yang berbicara tentang urusan orang banyak”. Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdul Wahhab bin Najdah Al-Hauthiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Isma’iil bin ‘Ayyaasy dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Auf bin Malik dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] seperti itu. [Mu’jam Al-Kabir Ath-Thabraniy 18/67 no 123 & 124]
Riwayat Maslamah bin Aliy di atas juga diriwayatkan dalam Musnad Asy-Syamiyyin Ath-Thabrani no 47, Mu’jam As-Safar Abu Thahir As-Silafiy hal 177 no 562 dan Tarikh Ibnu Asakir 58/47 yaitu dengan jalan sanad dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Ayahnya dari Auf bin Malik secara marfu’.
Maslamah bin Aliy perawi yang sangat dhaif. Yahya bin Ma’in dan Duhaim berkata “tidak ada apa-apanya”. Bukhariy dan Abu Zur’ah berkata “mungkar al-hadits”. Ibnu Hibban berkata “dhaif“al-hadiits mungkar al hadiits”. Nasa’i, Daraquthniy, dan Al-Barqaniy berkata “matruk al-hadiits. Al-Hafizh Abu Aliy An-Naisaburiy dan Ya’qub bin Sufyan berkata “dhaif”. As-Sajiy berkata “dhaif jiddan”. Al-Hakim berkata “meriwayatkan dari Al-Auzaiy dan Az-Zubaidiy riwayat-riwayat mungkar dan palsu” [Tahdziib At-Tahdziib 6/273-274 no 7874].
Maslamah bin Aliy dalam periwayatannya ini memiliki mutaba’ah dari Muhammad bin Ishaaq dengan jalan sanad dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Ayahnya dari ‘Auf bin Maalik secara marfu’.
Hal ini disebutkan dalam Musnad Al-Bazzar 7/174 no 2740, Syarh Musykil Al-Atsar Ath-Thahawiy 1/404 no 464, Musnad Ar-Ruuyaniy 1/387 no 588, Mu’jam Al-Kabir Ath-Thabraniy 18/67-68 no 125, Musnad Asy-Syamiyyin Ath-Thabraniy 1/51 no 48 semuanya berujung pada sanad Abu Kuraib Muhammad bin Al-A’laa’ dari Ibnu Ishaaq dimana Ibnu Ishaaq meriwayatkan dengan lafaz ‘an anah (tanpa menyebutkan lafaz penyimakan). Abu Kuraib Muhammad bin Al-A’laa’ seorang yang tsiqat hafizh [Taqrib At-Tahdziib no 6244]
Abu Kuraib memiliki mutaba’ah dari Humaid bin Ar-Raabi’ yang meriwayatkan dari Ibnu Ishaaq dimana Ibnu Ishaaq menyebutkan lafaz penyimakan dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah. Riwayat Humaid bin Ar-Rabi’ ini disebutkan Al-Khatib dalam kitabnya Al-Ihtijaaj bi Asy-Syafi’iy hal 34, berikut sanad lengkapnya
قال أنبأنا القاضي أبو عمر القاسم بن جعفر بن عبد الواحد الهاشمي ثنا أبو العباس محمد ابن أحمد الأثرم ثنا حميد بن الربيع ثنا يونس بن بكير أخبرني محمد بن إسحاق حدثني إبراهيم بن أبي عبلة عن أبيه عن عوف بن مالك رحمه الله تعالى قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم
[Al-Khatib] berkata telah memberitakan kepada kami Qadhiy Abu ‘Umar Al-Qaasim bin Ja’far bin ‘Abdul Waahid Al-Haasyimiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abbaas Muhammad bin Ahmad Al-Atsram yang berkata telah menceritakan kepada kami Humaid bin Ar-Rabii’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Yunus bin Bukair yang berkata telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Ishaaq yang berkata telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Ayahnya dari ‘Auf bin Malik [rahimahullahu ta’ala] yang berkata aku mendengar Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
Hanya saja riwayat Humaid bin Ar-Raabi’ ini tidak tsabit sanadnya sampai Ibnu Ishaaq karena Humaid bin Ar-Raabi’ diperselisihkan keadaannya dan berdasarkan pendapat yang rajih kedudukannya dhaif.
Daruquthniy berbicara yang baik tentangnya. Ahmad bin Hanbal, Abu Hatim dan Abu Zur’ah tidak mengatakan tentang Humaid bin Ar-Raabi’ kecuali yang baik. Al-Barqaniy mengatakan “tidak bisa dijadikan hujjah karena kebanyakan guru-guru kami mengatakan ia dzahibul hadits”. Yahya bin Ma’in mengatakan ia pendusta. [Tarikh Baghdad 9/28 no 4222]. Al-Hadhramiy mengatakan ia pendusta. Ibnu Adiy mengatakan bahwa ia mencuri hadis, merafa’kan hadis-hadis mauquf, meriwayatkan hadis-hadis dari para imam yang tidak mahfuzh dari mereka. Kemudian Ibnu Adiy menyebutkan hadis-hadis mungkarnya dan menyimpulkan bahwa Humaid bin Ar-Raabii’ dhaif jiddan dalam semua riwayatnya [Al-Kamil Ibnu Adiy 3/89-92 no 444]. An-Nasa’iy berkata “tidak ada apa-apanya” [Adh-Dhu’afa Wal Matrukin no 144]. Ibnu Abi Hatim mengatakan tentang Humaid bin Ar-Raabii’ “aku mendengar darinya di Baghdad, orang-orang membicarakannya maka aku meninggalkan meriwayatkan hadis darinya” [Al-Jarh Wat Ta’dil 3/222 no 974].
Ada beberapa petunjuk yang menguatkan bahwa pendapat yang rajih atas Humaid bin Ar-Raabi’ adalah dhaif.
Diantara ulama yang menta’dil Humaid bin Ar-Rabii’ ternyata murid mereka malah tidak berpegang pada penta’dilan guru mereka. Misalnya Al-Barqaniy yang meriwayatkan ta’dil Daruquthniy tidak berpegang pada ta’dil Daruquthniy kemudian Ibnu Abi Hatim yang meriwayatkan ta’dil Ahmad bin Hanbal, Abu Hatim dan Abu Zur’ah, ia sendiri setelah itu memutuskan untuk meninggalkan hadisnya.
Jarh yang tertuju pada Humaid bin Ar-Rabii’ bersifat mufassar (dijelaskan sebabnya) yaitu ia mencuri hadis, merafa’kan riwayat mauquf, meriwayatkan banyak hadis yang tidak mahfuzh bahkan ada yang menuduhnya dengan dusta.
Iklan
Maka dengan petunjuk di atas dapat disimpulkan bahwa pendapat yang rajih Humaid Ar-Rabii’ kedudukannya dhaif sehingga riwayat Ibnu Ishaaq dengan lafaz penyimakan dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah itu tidak tsabit dan yang tsabit dari Ibnu Ishaaq adalah riwayatnya dengan lafaz ‘an anah.
Maslamah bin Aliy dan Muhammad bin Ishaaq dalam riwayatnya dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah diselisihi oleh Isma’iil bin ‘Ayyasy sebagaimana disebutkan dalam Mu’jam Al-Kabir Ath-Thabraniy 18/67 no 124 di atas yang meriwayatkan dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Auf bin Malik secara marfu’ (tidak menyebutkan “dari ayahnya” sebagaimana riwayat Ibnu Ishaaq). Jadi secara ringkas ada dua jalan yaitu
Jalan Muhammad bin Ishaaq dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Ayahnya dari Auf bin Malik
Jalan Isma’iil bin ‘Ayasy dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Auf bin Malik
Kedua jalan ini memiliki kelemahan yang sama yaitu riwayat keduanya disini adalah dengan ‘an anah (tanpa menyebutkan lafaz penyimakan hadis) padahal keduanya adalah mudallis. Muhammad bin Ishaaq seorang mudallis tingkatan keempat [Thabaqat Al-Mudallisin Ibnu Hajar hal 51 no 125]. Isma’iil bin ‘Ayasy ini seorang mudallis tingkatan ketiga [Thabaqat Al-Mudallisin Ibnu Hajar hal 37 no 68].
Ibrahim bin Abi ‘Ablah tidak dikenal meriwayatkan dari Auf bin Malik dan jarak wafat keduanya cukup jauh sehingga kuat dugaan bahwa Ibrahim bin Abi ‘Ablah tidak mendengar hadis langsung dari Auf bin Malik. Disebutkan bahwa Ibrahim bin Abi Ablah wafat tahun 152 H [Taqrib At-Tahdzib no 215] sedangkan Auf bin Malik wafat tahun 73 H [Taqrib At-Tahdzib no 5252]. Jadi antara wafat keduanya ada rentang waktu 79 tahun maka sangat mungkin riwayat Ibrahim bin Abi ‘Ablah dari Auf bin Malik mursal dan ada perantara antara keduanya. Oleh karena itu dengan menjamak kedua riwayat tersebut maka perawi yang menjadi perantara antara Ibrahim bin Abi ‘Ablah dan Auf bin Malik adalah Ayahnya
Ayah dari Ibrahim bin Abi ‘Ablah adalah Abu ‘Ablah Syimr bin Yaqzhaan, ia tidak dikenal kredibilitasnya. Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh Wat Ta’dil 4/ 376 no 1639 menyebutkan biografinya bahwa Abu ‘Ablah meriwayatkan dari Ubadah bin Shamit dan meriwayatkan darinya Ibrahim bin Abi ‘Ablah. Ibnu Abi Hatim tidak menyebutkan jarh dan ta’dil atasnya. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqat 4/367 menyebutkan bahwa ia meriwayatkan dari Auf bin Malik dan meriwayatkan darinya Ibrahim bin Abi ‘Ablah. Tidak ada petunjuk yang menguatkan tautsiq Ibnu Hibban dan Ibnu Hibban dikenal tasahul dalam kitabnya itu pada sisi ia memasukkan perawi majhul dalam kitabnya Ats-Tsiqat. Apalagi disebutkan dalam kitab Rijal bahwa yang meriwayatkan dari Abu ‘Ablah hanya satu orang perawi yaitu Ibrahim bin Abi ‘Ablah maka kuat indikasinya bahwa ia seorang yang majhul.
Kesimpulannya hadis Ruwaibidhah riwayat Auf bin Malik kedudukannya dhaif karena di dalam sanadnya ada perawi mudallis (riwayatnya dengan ‘an anah) dan perawi majhul.
Catatan Atas Ulama Yang Menguatkan Hadis Ruwaibidhah
Sebelumnya sudah disinggung bahwa sebagian ulama hadis telah menguatkan hadis ini. Diantaranya adalah sebagai berikut
Syaikh Al-Albaniy dalam kitabnya Silsilah Ahadiits Ash-Shahihah no 1887 dan no 2253
Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya atas Musnad Ahmad bin Hanbal no 8440
Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam tahqiqnya atas Musnad Ahmad bin Hanbal no 7912 dan no 8459
Syaikh Mustafa Al-Adawiy dalam Shahih Al-Musnad Min Ahaadits Al-Fitan hal 398
Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy dalam Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa Fii Ash-Shahihain 3/434 dan 4/468
Sebagian dari mereka menyatakan hadis tersebut shahih atau hasan dengan syawahid (Syaikh Al-Abaniy, Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Syaikh Mustafa Al-Adawiy). Adapun Syaikh Ahmad Syakir menyatakan “sanadnya shahih” pada hadis Abu Hurairah (jalur Sa’iid bin ‘Ubaid) dan Syaikh Muqbil menyatakan hasan hadis Anas bin Malik (jalur Ibnu Ishaaq).
Mengapa dalam perkara ini kami tidak berpegang pada pendapat mereka?. Hal ini karena setelah kami teliti kami menemukan kelemahan atas jalan-jalan hadis yang mereka anggap bisa dijadikan penguat atau dijadikan hujjah.
Contohnya dalam penilaian hadis Abu Hurairah jalur Sa’id bin ‘Ubaid, Syaikh Ahmad Syakir mengatakan “sanadnya shahih” dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan “sanadnya hasan” padahal faktanya salah satu perawinya dhaif dari sisi dhabit yaitu Fulaih dan sanadnya terputus antara Sa’iid dan Abu Hurairah.
Begitu pula dalam penilaian hadis Anas bin Malik (jalur Ibnu Ishaaq) dimana Syaikh Muqbil berkata
Ini hadis hasan, dan jalan Muhammad bin Ishaaq dari ‘Abdullah bin Diinar dari Anas dari Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah dikeluarkan Al-Bazzaar dalam Kasyf Al-Astaar 4/132 dan di dalamnya Muhammad bin Ishaaq menyebutkan lafaz penyimakan dari ‘Abdullah bin Diinar, segala puji bagi Allah [Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa Fii Ash-Shahihain 3/434]
Sebagaimana telah kami nukilkan penilaian Ibnu Hajar yang menganggap jayyid hadis Anas bin Malik tersebut, kami melihat bahwa penilaian ini hanya berdasarkan zhahir sanadnya dimana para perawinya tsiqat atau shaduq dan Ibnu Ishaaq walaupun mudallis disini ia menyebutkan lafaz penyimakan hadis. Kami tidak berpegang pada penilaian ini karena kami menemukan illat hadis Ibnu ishaaq tersebut dimana ulama mutaqaddimin seperti Yahya bin Ma’in dan Abu Hatim melemahkannya yaitu pada sisi gharib atau tafarrud Ibnu Ishaaq. Selain itu juga telah dibahas di atas bahwa Ibnu Ishaaq memang keliru dalam hadis Anas tersebut.
Kemudian soal penilaian yang menganggap hadis ini shahih atau hasan dengan syawahid kami menilai bahwa kelemahan itu tidak bisa saling menguatkan sehingga mengangkat derajat hadisnya. Contohnya ketika melihat pembahasan dari Syaikh Al-Albani kami menemukan
Syaikh Al-Albani memang melemahkan hadis Abu Hurairah (jalur Sa’iid bin ‘Ubaid) karena kelemahan Fulaih dari sisi dhabit tetapi ia tidak menganggap hadis itu memiliki kelemahan lain yaitu terputusnya sanad antara Sa’iid bin ‘Ubaid dan Abu Hurairah. Jadi kami melihat hadis ini lebih lemah dari apa yang disebutkan Beliau.
Contoh lain yaitu ketika Syaikh Al-Albani menyebutkan hadis Auf bin Malik jalur Isma’iil bin ‘Ayasy, Beliau hanya mengisyaratkan kelemahan dugaan keterputusan antara Ibrahim bin ‘Abi Ablah dan Auf bin Malik tanpa menyebutkan kelemahan dari sisi Isma’iil bin ‘Ayasy dimana ia mudallis dan riwayatnya disini dengan ‘an anah.
Begitu pula Beliau menjadikan hadis Anas bin Malik sebagai syawahid dan nampaknya Beliau menilai sanad hadis Anas hasan hanya dengan melihat zhahir sanadnya padahal hadis tersebut ma’lul karena kesalahan Ibnu Ishaaq dan hadis yang terbukti salah tidak bisa dijadikan penguat.
Jadi hadis-hadis yang dijadikan i’tibar kedudukannya lebih lemah dari yang disebutkan dalam pembahasan mereka oleh karena itu kami tidak berpegang pada penilaian mereka bahwa hadis itu saling menguatkan dan naik derajatnya menjadi hasan atau shahih.
Penutup
Penilaian hadis adalah perkara ijtihad dengan berpegang pada kaidah ilmu hadis yang ada. Para ulama bisa berbeda-beda dalam penilaiannya sehingga untuk menilai pendapat mana yang lebih kuat sudah selayaknya untuk melihat hujjah para ulama tersebut ketika membahas suatu hadis. Kaidah ilmu hadis adalah standar utama dalam menilai suatu hadis dan dijadikan rujukan dalam menimbang penilaian para ulama atas suatu hadis. Hadis Ruwaibidhah setelah diteliti jalan-jalannya dan dinilai dengan kaidah ilmu hadis maka dapat disimpulkan kedudukannya dhaif.
Pentingnya Ibadah Haji Bagi Pengikut Ahlulbait
Melaksanakan ibadah haji ke Baitullah merupakan salah satu ibadah yang wajib dan sangat penting untuk ditunaikan oleh setiap umat muslim, tak terkecuali para pengikut Ahlulbait a.s.
Sedemikian pentingnya ibadah tersebut, sehingga dalam tradisi Ahlulbait, dianjurkan bagi para pengikutnya untuk senantiasa menyelipkan doa agar diberikan kesempatan dan kemampuan memenuhi panggilan Allah Swt itu.
“Allahumma Ar-zuqniy hajja baytika al-haram fi ‘aami hadza wa fi kulli ‘aam.”
(Ya Allah, berikanlah kepada kami kesempatan untuk beribadah haji ke rumah-Mu yang mulia, pada tahun ini atau tahun-tahun berikutnya).
Demikian petikan doa yang dianjurkan untuk selalu dibaca, khususnya pada bulan Suci Ramadhan, baik di siang, malam, maupun selepas sahur dan setelah melaksanakan salat.
Di samping itu juga, para Ulama Syiah di dalam banyak kitab fatwa mereka menyebutkan, bagi seorang muslim yang telah memiliki kecukupan untuk melaksanakan haji, baik dari sisi kesehatan fisik dan kemampuan finansial, maka wajib baginya menunaikan ibadah tersebut. Apabila itu tidak ditunaikan, maka dia telah dihukumi berhutang, dan harus segera menunaikannya.
Adapun ketika pada akhirnya dia meninggal dunia sebelum berhaji, maka ahli waris wajib menyisihkan harta peninggalannya untuk dipergunakan sebagai pelaksanaan haji badal (pengganti) atas nama dirinya.
Hal serupa juga berlaku bagi mereka yang pada akhirnya jatuh miskin, mereka dihukumi berhutang, dan tetap harus berupaya melunasi hutang menunaikan ibadah haji tersebut.
Semua ini menggambarkan betapa ibadah haji itu, selain bersifat wajib, juga sangat penting. Oleh karena itu, selain memperbanyak doa, sangat disarankan pula bagi umat muslim untuk membuat program khusus agar bisa memiliki kemampuan menunaikannya.
Terakhir, penjelasan di atas juga sekaligus menampik berbagai tudingan tidak berdasar, yang dialamatkan kepada Madzhab Ahlulbait atau Syiah, yang dianggap tidak menempatkan ibadah haji sebagai ritual keagamaan yang penting.
Keistimewaan Bernazar
Bernazar merupakan salah satu ajaran Islam yang sangat istimewa. Berbeda dengan salat, puasa, zakat, khumus ataupun haji, nazar merupakan suatu amalan wajib yang bersumber dari setiap individu, dengan kata lain, masing-masing individulah yang membuat amalan tertentu menjadi wajib bagi dirinya.
Oleh karena itulah Allah SWT senantiasa memuji dan memuliakan orang-orang yang bernazar.
Nazar sendiri adalah sebuah janji seorang hamba kepada Allah SWT. Nazar dilakukan ketika seseorang meminta agar keinginan atau hajatnya dapat dikabulkan oleh Allah SWT, lalu ia berjanji akan melakukan suatu amalan tertentu untuk ‘membalas’ hajat yang terkabul tersebut.
Contoh ketika seorang hamba memohon diberi kesembuhan dari penyakit yang dideritanya, dan berjanji kepada Allah SWT akan memberi makan 10 anak yatim jika ia sembuh.
Memberi makan anak yatim itu menjadi amalan wajib baginya ketika ia sembuh dari penyakit yang dideritanya itu.
Nazar memiliki beberapa manfaatn antara lain;
Pertama, Allah SWT akan segera mengabulkan doa dan harapan yang dipanjatkan.
Kedua, Nazar juga akan membuat seseorang menjadi istimewa karena telah berhasil menjadi orang yang mewajibkan sesuatu (yang baik) pada dirinya, padahal sebelumnya sesuatu itu tidak wajib bagi dia.
Ketiga, di saat yang sama, jika nazar itu berhubungan dengan kemaslahatan umat, seperti berbagi harta, makanan, pakaian dan sejenisnya, maka tentu hal itu akan menjadikannya sebagai makhlus sosial yang baik.