
کمالوندی
Tadarus Ramadhan 6 : Puasa Bicara
Seorang wanita hamil diusir dari kampung halamannya, karena dituduh mengandung anak dari hasil perzinahan. Dengan susah payah ia keluar dari kampungnya menuju suatu kebun kurma.
Sambil bersandar pada sebatang pohon kurma, ia merenungi nasibnya yang tragis. Ia mengeluh sedih, “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan.”
Mendadak turunlah malaikat dan menyeru kepadanya, “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan kalu engkau lapar, maka goyanglah pohon kurma itu, maka pohon kurma itu akan menggugurkan buahnya yang masak kepadamu.”
Malaikat itu melanjutkan kata-katanya, “Dengan adanya sungai dan pohon kurma ini, maka makan dan minumlah serta bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya Aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka Aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini".
Mendengar kalimat malaikat itu, senanglah hati wanita tersebut, dan dia mengandung anaknya dengan sukacita hingga melahirkan seorang bayi laki2 yg menawan hati…
Setelah melahirkan ia membawa anak tersebut kembali ke kampung halamanya, dan kaumnya pun berkumpul menyaksikannya sambil mengejeknya. Karena ia puasa bicara, maka ia pun menunjuk pada anaknya.
Mendadak dan mengejutkan semua orang, anak bayi yg masih dalam buaian itupun berbicara : “Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati dimana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku salat dan zakat selama aku hidup. Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yg sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimphakan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (Lihat Q.S. Maryam : 23-33)
Kisah diatas mungkin sudah kita kenal dan sering didengar. Tetapi kita melupakan bahwa kisah ini menginformasikan kepada kita salah satu jenis puasa yang pernah dilakukan oleh manusia suci yaitu PUASA BICARA.
Hari ini, kita mengerjakan puasa utk menahan diri dari yang membatalkan puasa seperti makan, minum, dan bersenang-senang. Tetapi ternyata ada puasa yg berbeda. Dalam puasa tersebut, diperbolehkan makan dan minum, tetapi tidak melakukan pembicaraan. Inilah yang dikenal dengan PUASA BICARA alias DIAM SAJA. Siapa yg melakukan puasa ini…???
Dalam al-Quran disebutkan, pelakunya adalah wanita suci yang mulia yaitu Maryam binti Imran, Ibunda Nabi Isa as. Maryam dipersilahkan untuk makan dan minum, tetapi dia menahan diri dari berkata-kata. Al-Quran mengisahkan :
“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya Aku Telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka Aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". (Q.S. Maryam : 26)
Coba anda bayangkan…hari ini kita berpuasa utk tidak makan dan minum…tetapi apakah kita tahan utk tidak berbicara….??? Pasti kita merasa kesulitan. Bahkan terkadang kita kalau lagi “ngegosip”, menunda makan dan minum, walapun sudah masuk waktunya….(maaf ya kalu ada yg merasa tersinggung).
Apa sebenarnya hasil puasa tersebut…?? Allah swt mengabarkan kepada Rasulullah saaw di malam mi’raj tentang hasil berpuasa. Allah swt berfirman :
“Hasil dari berpuasa adalah sedikit berbicara dan sedikit makan. Hasil diam adalah kebijaksanaa, hasil kebijaksaan adalah pencerahan, hasil pencerahan adalah keyakinan yang mulia; dan keyakinan yg mulia menjadikan seseorang tidak pernah merasa cemas untuk memulai harinya apakah dengan kemudahan atau kesulitan, tragedi atau kesenangan. Inilah kedudukan manusia yg telah mencapai tingkatan puas yang ditandai dengan tiga ciri utama,
1. Berterima kasih (syukur) yang tidak dikotori dengan kebodohan
2. Zikir yg tidk bercampur dengan kelalaian
3. Cinta sejati ilahi yg tidak bercampur dengan cinta pd lainnya.
Sudahkah puasa kita menghasilkan ketiga hal itu…??? Jika belum, sebaiknya kita belajar utk puasa bicara, dimana selain menahan makan dan minum, juga menahan diri dari berkata yang sia-sia. wallahu a'lam.
Tadarus Ramadhan 5: Akal Menurut Pandangan Wahyu
“segala sesuatu memiliki alat dan perkakas; sedangkan alat dan perkakas orang mukmin adalah akal. Segala sesuatu memiliki kendaraan, dan kendaraan seseorang adalah akal. Segala sesuatu memiliki tiang, dan tiang agama adalah akal. Setiap kaum memiliki tujuan, dan tujuan para hamba adalah akal. Setiap kaum memiliki pemimpin, dan pemimpin para ahli ibadah adalah akal. Setiap pedagang memiliki barang dagangan, dan barang dagangan para mujtahid adalah akal. Setiap penghuni rumah memiliki penjaga, dan penjaga orang2 yang benar adalah akal. Setiap kerusakan memiliki pembangunan, dan pembangunan akhirat adalah akal. Setiap orang memiliki keutamaan yg disematkan kepadanya, dan keutamaan orang2 yang benar yang disematkan kepadanya adalah akal. Setiap perjalanan memiliki tenda, dan tenda orang2 mukmin adalah akal. (Muhammad saaw)
Telah banyak defenisi diberikan oleh para ahli, baik secara etimologis atau terminologis tentang akal. Beragam defenisi yang dibuat menunjukkan akal merupakan suatu yang kudus (suci) yang berfungsi menangkap berbagai realitas dan mengambil sisi terbaik dari realitas itu, serta mencegah manusia dari tindakan penyelewengan.
Ibnu Faris misalnya, dalam Maqayis al-Lughah mengartikan akal sebagai sesuatu yang menahan seseorang dari perbuatan dan perkataan yang tercela. Sedangkan Ibrahim Madkour dalam al-Mu’jam al-Falsafi, mengemukakan al-Aql (akal) adalah daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia yang dengannya segala sesuatu dapat diserap. Ia merupakan anugerah Allah yang terbesar untuk manusia. Di bawah pancaran akalnya manusia dapat membedakan yang benar dan yang batil, bersih dan kotor, bermanfaat dan mudharat, serta baik dan buruk.
Jika kita menganalisis al-Quran, memang kata al-aql (dalam bentuk kata benda) tidak ditemukan dalam satu ayatpun. Yang ada adalah dalam bentuk kata kerja (fi’il), dalam arti perintah penggunaan akal, terdapat 49 kali yaitu :
1. ‘Aqaluhu sebanyak satu kali yaitu dalam Q.S. al-Baqarah: 75
2. Ta’qilun sebanyak 24 kali yakni dalam Q.S. al-Baqarah: 44, 73, 76,242; Ali Imran: 65,118; al-An’am: 32,151; al-A’raf: 169; Yunus: 16; Hud: 51; Yusuf: 2, 109; al-Anbiya: 10,57; al-Mukminun: 80, An-Nur: 61; al-Syuara: 28; al-Qashas: 60; Ya Sin: 62; al-Shaffat: 138; Ghafir: 67; al-Zukhruf: 3; al-Hadid: 17.
3. Na’qilu disebutkan satu kali yaitu Q.S. al-Mulk: 10
4. Ya’qiluha disebutkan satu kali yakni Q.S. al-Ankabut: 43
5. Ya’qilun (positif) /La ya’qilun (negatif) sebanyak 22 kali baik dalam yaitu Q.S. al-Baqarah: 164, 170, 171; al-Maidah: 58,103; al-Anfal: 22; Yunus: 42,100; al-Rad: 4; al-Nahl: 12,67; al-Hajj: 46; al-Ankabut: 35, 63; al-Rum: 24,28; Ya Sin: 68; al-Zumar: 43; al-Jasiyat: 5; al-Hujurat: 4; al-Hasyr: 14.
Selain kata-kata tersebut di dalam al-Quran terdapat kata-kata yang juga menunjukkan aktifitas akal yakni berpikir seperti nazhara, tadabbara, tafakkara, tazakkara, fahima, faqiha. Kemudian terdapat pula sebutan-sebutan yang memberi sifat berpikir bagi seorang muslim seperti ulul al-bab, ulul ilm, ulul abshar,dan ulul nuha. Dengan demikian, ayat-ayat al-Quran memberikan penghargaan tinggi kepada akal.
Al-Quran menunjukkan bahwa pengisi neraka jahanam adalah kelompok jin dan manusia yang tidak menggunakan akalnya dengan baik. “Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (Q.S. al-A’raf : 179)
Selain itu al-Quran juga menegaskan bahwa petunjuk diberikan kpeada orang yang menggunakan akalnya. “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, ..yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang- orang yang mempunyai akal. (QS. Az-Zumar : 17-18)
Bahkan al-Quran menegaskan bahwa hanya orang yang berakal yang memperhatikan al-Quran dan alam semesta dengan seksama :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Q.S. Muhammad : 24)
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj : 46)
wallahu a'lam
Upaya Tak Henti AS untuk Melumpuhkan Iran
Amerika Serikat memikul tanggung jawab penuh untuk menerapkan sanksi-sanksi ilegal terhadap Republik Islam Iran. Negara-negara lain ditekan untuk setuju dan melakukan sesuatu yang merugikan kepentingan mereka sendiri.
Negara adidaya itu seenaknya melanggar prinsip-prinsip hukum dan aturan internasional untuk memaksakan kehendaknya kepada pihak lain. International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) 1977 memungkinkan presiden AS mengklaim ancaman asing yang tidak biasa dan / atau luar biasa, menyatakan keadaan darurat nasional, dan mengatur perdagangan sesuai keadaan.
AS telah meraup keuntungan penuh secara ilegal dan tidak dibenarkan dengan memanfaatkan aturan tersebut. Pada November 1979, Washington menyita sebesar 12 miliar dolar deposito bank pemerintah Iran, sekuritas, emas, dan properti lainnya.
Selama beberapa dekade, AS dengan arogan menargetkan Iran dan rakyatnya. Hal ini terus terjadi tanpa henti. Washington agresif menjatuhkan sanksi atas Tehran dengan menggunakan dalih palsu, termasuk mengklaim Republik Islam sedang mengembangkan senjata nuklir dan mendukung terorisme internasional.
AS bahkan memaksa pihak lain untuk mengadopsi kebijakan internal mereka seperti yang dijalankan oleh Uni Eropa. Pada Juli 2012, Uni Eropa resmi mengembargo impor minyak Iran. Keputusan ini mencakup minyak mentah, produk petrokimia, kegiatan yang berhubungan dengan minyak, peralatan dan teknologi, menjual produk olahan, investasi baru, dan transaksi dengan Bank Sentral Iran.
Pada tanggal 1 Agustus 2012, AS memberlakukan sanksi baru yang menargetkan lembaga keuangan, asuransi, dan jasa pengirim yang terlibat dalam membantu menjual minyak Iran. Semua celah hendak ditutup dan embargo ilegal diperketat.
Larangan itu juga diberlakukan terhadap perusahaan yang terlibat dalam pertambangan uranium dengan Iran, dan menjual, menyewakan atau menyediakan layanan kapal tanker minyak, atau menawarkan asuransi kepada Perusahaan Tanker Nasional Iran.
Secara keseluruhan, hukuman itu akan dijatuhkan kepada siapa pun yang terlibat dengan minyak Iran, petrokimia, atau industri gas alam.
Piagam Majelis Umum PBB 1974 tentang Hak-hak Ekonomi dan Kewajiban, menegaskan bahwa negara tidak dapat menggunakan atau mendorong penggunaan tindakan-tindakan ekonomi, politik atau lainnya untuk memaksa negara lain untuk mensubordinasikan hak berdaulat dengan cara apapun.
Resolusi Majelis Umum PBB 1989 juga melarang pemaksaan politik dan ekonomi terhadap negara berkembang. Ini secara khusus meliputi pembatasan perdagangan dan keuangan, blokade, embargo, dan sanksi ekonomi lain.
Seruan AS jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan Piagam PBB. AS mempengaruhi kemampuan negara lain untuk berfungsi secara politik, ekonomi dan sosial.
Profesor UU international di University of Illinois, Francis Boyle mendesak Iran untuk menuntut AS, Inggris dan Perancis di Mahkamah Internasional jika mereka menolak untuk bernegosiasi secara langsung dan terus membuat ancaman agresif.
Langkah AS yang menekan negara-negara lain agar turut menghukum Iran adalah sebuah kebijakan yang tak bijak dan melanggar hukum internasional. (IRIB Indonesia/RM/NA)
Iran: Barat Dibalik Kegagalan Misi Perdamaian Annan
Beberapa negara Barat dan regional berada dibalik kegagalan misi perdamaian Kofi Annan di Suriah, kata Menteri Luar Negeri Iran Ali Akbar Salehi pada Jumat (3/8), seperti dilaporkan IRNA.
Menanggapi komentar Menlu AS Hillary Clinton yang menuding Cina dan Rusia sebagai alasan dibalik kegagalan misi Annan di Suriah, Salehi mengatakan para pejabat Amerika sengaja mengangkat isu itu karena mereka sendiri selalu menghambat keberhasilan prakarsa perdamaian Annan.
"Annan selalu mengeluhkan kurangnya koordinasi antara Dewan Keamanan dan negara anggota PBB. Yang dia maksud juga bukan Rusia atau Cina. Prakarsa Annan diterima oleh pemerintah Suriah dan didukung oleh negara-negara seperti Iran, tetapi Liga Arab dan beberapa negara regional dan Barat adalah para penghambat kemajuan rencana itu," jelas Salehi.
Salehi menggarisbawahi bahwa Annan percaya tanpa kehadiran negara-negara yang efektif seperti Iran, resolusi terhadap krisis politik Suriah tidak mungkin bisa direalisasi.
Menurutnya, keberhasilan prakarsa Annan adalah bertentangan dengan keinginan Barat dan beberapa negara regional. "Prakarsa itu menekankan penyelesaian konflik Suriah melalui dialog nasional antara rakyat Suriah sendiri tanpa intervensi asing, tetapi Barat ingin memanfaatkan krisis sebagai kesempatan untuk menggulingkan Presiden Bashar al-Assad dan mentransfer kekuasaan kepada pemerintah dengan identitas yang tidak dikenal," ujar Salehi.
Dia menyimpulkan bahwa enam poin prakarsa Annan masih merupakan solusi terbaik untuk resolusi krisis Suriah.
Seraya mengapresiasi upaya-upaya Annan di Suriah, Salehi menambahkan bahwa Iran berharap siapapun yang akan menggantikan Annan, dapat bekerja secara independen, karena jika tidak demikian, ia tidak akan berhasil. (IRIB Indonesia/RM/MF)
Ban Meminta Dunia Memprioritaskan Nasib Rakyat Suriah
Sekjen PBB Ban Ki-moon mengkritik ketidakmampuan masyarakat internasional untuk mengkahiri derita rakyat Suriah. Dikatakannya, nasib bangsa Suriah lebih utama dan lebih penting dari kompetisi internasional dan regional.
Ban mengatakan, pertumbuhan radikalisasi dan ekstremisme telah diprediksi pada awal konflik di bulan Maret 2011. Demikian dilaporkan IRNA.
Ban, Jumat malam (3/8) pada pembukaan sidang Majelis Umum PBB terkait Suriah, menekankan tanggung jawab masyarakat dunia untuk melindungi warga sipil Suriah. Ditambahkannya, semua pihak harus mencari solusi diplomatik dan bukan kekerasan sehingga krisis Suriah bisa diselesaikan.
Seraya menyinggung eskalasi kekerasan di Aleppo, Ban mengatakan kota tersebut sebagai salah satu kota kuno di dunia terperangkap perang antara pemerintan dan oposisi. Sekarang ribuan warga Suriah kehilangan tempat tinggal dan menjadi pengungsi.
Menurut Ban, pengiriman senjata kepada kelompok oposisi Suriah telah memicu situasi seperti itu. Ditambahkannya, kondisi ini membahayakan stabilitas regional dan internasional.
"PBB harus menghindari terulangnya kegagalan di Srebrenica. Pasukan penjaga perdamaian PBB dituduh gagal menghentikan pembantaian 8.000 anak laki-laki dan pria Muslim di kota Bosnia pada Juli 1995," tegasnya.
"Kita harus membantu rakyat Suriah melalui dialog dan kompromi antara pihak-pihak yang bertikai sehingga mereka bisa terbebas dari krisis tersebut," imbuh Ban. (IRIB Indonesia/RM/MF)
Irak Protes Kunjungan Menlu Turki ke Kirkuk
Pemerintah Irak melayangkan protes resmi kepada Duta Besar Turki di Baghdad pada hari Jumat (3/8) setelah menlu Turki melakukan kunjungan mendadak ke kota Kirkuk, wilayah otonom Kurdistan tanpa pemberitahuan kepada pemerintah Baghdad.
Sebagai tanggapan, Turki memanggil duta besar Irak di Ankara dan memperingatkan Baghdad untuk bersikap hati-hati dalam mengeluarkan pernyataan.
Serangkaian pertengkaran diplomatik antara kedua negara kemungkinan akan memperburuk hubungan yang sudah tegang.
Menlu Turki Ahmet Davutoglu melakukan perjalanan ke Kirkuk pada hari Kamis setelah mengunjungi presiden regional di Arbil, ibukota Kurdistan Irak. Namun, Kementerian Luar Negeri Irak menuduh Turki melanggar konstitusi dengan kunjungan tersebut, mengatakan bahwa Davutoglu tidak meminta atau memperoleh izin untuk masuk ke Kirkuk.
Seorang menteri junior di Kemenlu Irak menyerahkan surat protes kepada Turki pada hari Jumat. Nota tersebut juga termasuk permintaan pemerintah Baghdad kepada Ankara untuk segera memberi penjelasan atas kunjungan itu.
Kemudian, Kemenlu Turki memanggil diplomat tinggi Irak di Ankara. "Menlu Turki melakukan kunjungan secara transparan. Tidak ada agenda rahasia," kata seorang pejabat dari Deplu Turki.
Dia menambahkan bahwa Davutoglu telah berkonsultasi dengan para pejabat Kurdi di Arbil sebelum pergi ke Kirkuk.
Ketegangan antara kedua negara meningkat setelah para pejabat Turki menolak deportasi mantan Perdana Menteri Irak Tareq al-Hashimi yang menjadi buron. Hal ini diperburuk lagi oleh sikap PM Turki yang menuding Nouri al-Maliki menerapkan kebijakan yang berorientasi pada mazhab tertentu.
Pemerintah Baghdad belum lama ini juga memperingatkan Ankara bahwa kesepakatan ekspor minyak dengan wilayah otonom Kurdi, di Irak Utara bisa merusak hubungan dagang.
Baghdad menuduh Ankara berpartisipasi dalam penyelundupan minyak Irak dan masalah ini akan mempengaruhi hubungan kedua negara, terutama ekonomi. (IRIB Indonesia/RM/MF)
Pembagian Ghanimah Sebelum Kemenangan Kubu Anti Suriah
Di saat operasi pembersihan anasir bersenjata di Suriah oleh pasukan negara ini terus berlanjut, friksi antara kubu oposisi Damaskus semakin mamanas. Hal ini menyusul pengumuman satu di antara kelompok anti Damasku yang membentuk pemerintahan transisi di Kairo.
BBC hari Selasa (31/7) melaporkan sebuah dewan yang menyebut dirinya sebagai Dewan Presidium Suriah mengumpulkan watawan di sebuah hotel di Kairo. Mereka menyatakan bahwa setelah menggelar sidang tertutup selama tiga hari memutuskan Haitham al-Maleh diserahi tanggung jawab untuk membentuk pemerintahan transisi Suriah. Pemerintahan transisi ini akan memerintah wilayah Suriah yang jatuh ke tangan kelompok bersenjata dan selama pemerintahan Bashar al-Assad belum jatuh pemerintahan transisi ini akan melanjutkan tugasnya.
Berdasarkan laporan ini, Haitham al-Maleh, 80 tahun, dikenal sebagai kubu anti pemerintah Suriah. Sejak berkuasanya Partai Baath di negaranya, Maleh bangkit melakukan perlawanan politik serta berulang kali masuk penjara. Bersamaan dengan dimulainya reformasi terbaru di Suriah, termasuk pembebasan tahanan politik, Haitham al-Maleh juga dibebaskan berkat grasi Preseiden Bashar Assad. Namun dua hari setelah pembebasannya, Suriah mulai digoncang aksi kelompok bersenjata dan kondisi keamanannya terganggu.
Dua Oktober tahun lalu, ketika sekelompok orang yang menentang pemerintah Suriah berkumpul di Istanbul, Turki dan membentuk Dewan Nasional Suriah dengan mengambil contoh Libya guna menyatukan kubu anti Suriah dan mempersiapkan pemerintahan yang bakal menggantikan Assad, Haitham al-Maleh merupakan pilar utama dari dewan ini. Namun meski mendapat dukungan penuh dari Barat dan sejumlah negara Arab, Dewan Nasional Suriah ini seperti diakui oleh BBC tidak mampu menyatukan kelompok anti Assad.
Adapun Haitham al-Maleh pada 14 Maret bersama tiga anggota senior lainnya lalu memilih hengkang dari Dewan Nasional Suriah setelah memprotes egoisme Burhan Ghalioun. Kemudian ia membentuk Front Amal Nasional dan ia pun menggumpulkan mereka yang sehaluan dengan dirinya. Akhirnya hari Selasa (31/7) di Kairo ia dipilih oleh kelompoknya membentuk pemerintahan transisi.
Sementara itu, Dewan Nasional Suriah (SNC) lansung mereaksi keputusan kubu al Maleh tersebut dan menilainya sebagai langkah yang tergesa-gesa. Tentara Bebas Suriah (FSA) juga menuding Haitham al-Maleh dan kelompoknya mengobarkan perpecahan di antara kubu anti Suriah.
Abdel Basset Sayda kepala SNC dalam reaksinya menyikapi tindakan al-Maleh kepada Reuters mengatakan, pembentukan pemerintahan transisi merupakan proses yang sulit dan membutuhkan musyawarah dengan seluruh perwakilan kubu anti Suriah.
Ia menambahkan, namun ketika setiap kelompok membentuk pemerintahan sendiri-sendiri tanpa membicarakan dengan yang lain maka hal ini berarti akan muncul pemerintahan lemah yang tidak menjadi perwakilan kelompok mana pun.
Saat diwawancarai AFP, Sayda menyebut langkah Haitham al-Maleh tergesa-gesa. "Pembentukan pemerintah dengan metode seperti ini hanya akan memperlemah posisi kubu anti Suriah," tandas Sayda.
Situs Middle East Online di pemberitaannya menyebutkan friski antar kelompok anti Suriah dan di tajuknya media ini menulis "Suriah: Perebutan Kue Kekuasaan, Sebelum Tumbangnya Assad"
Mengapa Kairo ?
Perebutan ghanimah sebelum menang sebenarnya telah dimulai oleh Dewan Nasioan Suriah (SNC) di Istanbul yang berusaha mencitrakan dirinya sebagai wakil satu-satunya kubu oposisi Damaskus. Tak hanya itu, SNC juga berusaha menampilkan dirinya sebagai pemimpin kelompok anti Assad. Kebijakan SNC selaras dengan kebijakan Turki, Arab Saudi dan Qatar, namun di sisi lain Haitham al-Maleh dan pendukungnya sepertinya dengan berkumpul di Kairo berusaha menyelaraskan strateginya dengan kebijakan Masir serta menggandeng negara ini. Dalam hal ini Mesir dikenal sebagai negara yang menolak intervensi asing di Suriah tak seperti Qatar dan Arab Saudi.
Pengamat politik meyakini bahwa kedua kelompok anti Suriah baik yang bermarkas di Istanbul atau Kairo, memiliki ide dan strategi berbeda, terkadang kontradiksi mulai dari ideologi Islam, liberal bahkan komunis. Baik saat ini tidak terlihat adanya solidaritas dan persatuan di antara mereka serta di masa mendatang juga tidak dapat diharapkan koalisi mereka akan bertahan. (IRIB Indonesia/MF)
Puasa: Antara Kesalehan Individu dan Kesalehan Sosial
Suatu ketika, Nabi Musa berjalan menuju Bukit Sina – tempat di mana Nabi Musa menerima perintah-perintah Tuhan. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seorang ‘abid (ahli ibadah) yang sedang ber-uzlah (menjauhkan diri dari keramaian). Ketika melihat Nabi Musa mendekatinya, sang ‘abid mendekat dengan penuh semangat.
“Wahai Nabi Allah, pasti engkau akan menemui Allah. Tolong tanyakan kepada Allah, di surga tingkat berapa nanti aku ditempatkan di akhirat?” kata sang ‘abid penuh yakin.
“Lho, bagaimana engkau bisa memastikan dirimu akan masuk surga?” kata Nabi Musa dengan heran. “Bagaimana tidak, wahai Nabi Allah. Aku mengasingkan diri dari keramaian sudah selama empat puluh tahun. Aku telah meninggalkan segala-galanya. Selama itu aku tidak pernah melakukan perbuatan dosa. Aku hanya berdzikir dan beribadah kepada Tuhan. Aku tidak makan kalau tidak ada daun-daun yang jatuh ke pangkuanku. Aku tidak minum kalau bukan air hujan. Tidak pastikah aku masuk surga?”
Nabi Musa kemudian melanjutkan perjalanannya. Di Bukit Sina, ia berjumpa dengan Allah. “Ya Allah, di tengah perjalananku aku bertemu dengan seorang hamba-Mu. Dia ingin tahu di surga tingkat berapakah gerangan tempatnya nanti?” Jawab Allah: “Wahai Musa, sampaikan kepadanya bahwa tempatnya di neraka.” Nabi Musa terkejut.
Ia pun kembali menemui sang ‘abid. Melihat Nabi Musa datang, sang ‘abid dengan penuh semangat menemuinya. Ia ingin cepat mengetahui di surga tingkat berapa tempatnya kelak di akhirat.
“Di surga ke berapa tempatku nanti? Katakan secepatnya, wahai Nabi Allah!” kata sang ‘abid seraya mengguncang-guncang bahu Nabi Musa. “Katakan wahai Nabi Allah, jangan biarkan aku menderita karena menunggu.” Nabi Musa lama terdiam. Ia kesulitan mengungkapkan jawaban yang santun agar tidak mengejutkan sang ‘abid. ‘Abid itu terus mengguncang bahunya.
“Sabar wahai sahabatku. Kata Tuhan, tempatmu nanti di neraka.” “Bagaimana mungkin wahai Musa. Ibadah empat puluh tahun diganjar dengan neraka? Tidak mungkin. Pasti engkau salah dengar. Tolong engkau kembali lagi kepada Tuhan, tanyakan di surga ke berapa tempatku kelak.” Nabi Musa kembali. Di tengah perjalanan ia bergumam sendirian, “Iya ya, jangan-jangan aku salah dengar.”
“Tuhan, hambamu ingin kejelasan, apa benar tempatnya kelak di neraka?” tanya Nabi Musa kepada Allah sekali lagi. “Katakan, tempatnya di surga.” “Jadi, Tuhan, tadi aku salah dengar?” “Tidak. Wahai Nabi-Ku, engkau tidak salah dengar. Aku tadinya memang akan menempatkannya di neraka. Aku menciptakan manusia bukan untuk egoistis, apapun alasannya, termasuk alasan spiritual. Aku menciptakan manusia sebagai khalifah dan untuk saling membantu sesamanya. ‘Abid tadi bukan mendekatkan dirinya kepada-Ku. Ia melarikan diri dari realitas kehidupan yang nyata.
“Lalu secepat itukah keputusan-Mu berubah?” tanya Nabi Musa.
“Pada saat engkau berjalan menuju ke sini, ‘abid itu tersungkur sujud, ia menangis sejadi-jadinya. Ia memohon kepada-Ku – kalau benar ditempatkan di neraka – agar tubuhnya diperbesar sebesar neraka Jahanam, supaya tidak ada orang lain yang masuk ke dalamnya selain hanya dirinya. Pada saat itu, ia tidak lagi egoistis. Ia kembali ke pangkuan realitas kehidupan. Saat itu ia telah memikirkan kepentingan orang lain selain dirinya.”
Dalam cerita tersebut, ada pesan Al-Qur’an yang ingin disampaikan, yaitu ibadah individu dan ibadah sosial yang dalam bahasa agama disebut habl min Allah wa habl min an-nas (hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan sesama) merupakan dua sisi ibadah yang tidak dapat dipisahkan. Kita tidak diperbolehkan hanya mementingkan ibadah sosial atau kesalehan sosial, dan melupakan ibadah ritual atau kesalehan individu, atau sebaliknya, hanya mementingkan ibadah ritual atau kesalehan individu, dan melupakan kesalehan sosial.
Akhir-akhir ini, ada kecenderungan beberapa kalangan di Indonesia yang tidak mau beragama secara formal. Mereka memeluk satu agama, tetapi mereka tidak melakukan ibadah ritual agama. Bagi mereka, yang penting adalah berbuat kebaikan kepada sesama manusia yang mendatangkan manfaat bagi orang lain.
Islam dengan tegas tidak memperkenankan kecenderungan kalangan tersebut. Kita tidak diperbolehkan hanya mementingkan ibadah sosial atau kesalehan sosial dan melupakan ibadah ritual atau kesalehan individu. Kedua ibadah tersebut merupakan kesatuan yang terpadu. Memisahkan salah satu dari keduanya bagaikan fatamorgana. Dalam Q.S. al-A’raaf ayat 96, Al Qur’an menggambarkan hubungan antara ketakwaan di satu sisi dan masyarakat di sisi lain. ”Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”
Kesalehan individu identik dengan hubungan seseorang secara pribadi kepada Allah swt. Ia melakukan ibadah yang pahalanya hanya untuk dirinya sendiri, tetapi manfaat ibadah yang dilaksanakannya tidak dirasakan secara langsung dan berkaitan dengan kepentingan orang banyak.
Sementara ibadah sosial identik dengan hubungan seseorang dengan sesama manusia, dan sekaligus hubungan manusia dengan Allah. Ibadah sosial lebih mengutamakan kepentingan orang lain, tetapi berdampak positif juga bagi dirinya sendiri. Walaupun banyak perintah untuk beribadah dalam agama ditujukan kepada individu tetapi harus berdampak dalam kehidupan sosial yang nyata.
Ibadah tidak memiliki nilai apapun apabila tidak tercermin dalam pergaulan dengan masyarakat, karena sebenarnya pergaulan itu merupakan ibadah. Hal itu karena kesempurnaan individu hanya dapat berlangsung melalui pengalaman praksisnya dalam masyarakat.
Sehingga, seolah-olah, beribadah dalam sunyi dan sendiri merupakan sekolah yang membekali individu dengan bekal teoritis, sedang ia tidak dapat menjadikannya praksis kecuali melalui aksi-aksi di dalam masyarakat serta interaksi secara intensif dengan individu-individu di dalamnya. Itulah sebabnya Nabi bersabda, yang artinya; “Orang muslim sejati adalah orang yang semua kaum muslim selamat dari lisan dan tangannya” (HR. Muslim)
Puasa merupakan bentuk ibadah yang memancarkan hikmah bukan saja bagi pembinaan kesalehan individual, melainkan juga bagi peningkatan kesalehan sosial. Ketakwaan yang menjadi sasaran utama pelaksanaan rukum Islam yang keempat ini memiliki dimensi pembinaan yang komprehensif, baik bagi pembentukan kualitas hidup individual maupun bagi upaya penciptaan iklim sosial.
Ibadah puasa adalah ibadah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita. Dan ketakwaan ini tercermin dari 2 hal penting dalam kehidupan kita. Pertama adalah Kesalehan Individual, yang kedua Kesalehan Sosial. Kesalehan Individual tercermin dari perilaku keseharian kita, yang jujur, amanah, bersikap rendah hati, tawadhu, sederhana dan hal-hal baik lainnya.
Sedangkan kesalehan sosial tercermin dari kedermawanan kita, tanggungjawab sosial kita, perhatian kita, atensi kita, empati kita, simpati kita kepada orang lain. Terutama kepada orang-orang yang berada dalam posisi sulit dalam kehidupannya. Oleh karena itu, ibadah puasa kita lakukan dengan penuh kesadaran dan penuh keyakinan karena tujuannya adalah akan meningkatkan kualitas ketakwaan kita. Semoga Allah memberikan hidayah, taufik, hidayah kepada kita semuanya. Sehingga kita mampu melaksanakan ibadah shaum dengan penuh kesadaran dan keyakinan.
Puasa merupakan bentuk ibadah yang memancarkan hikmah bukan saja bagi pembinaan kesalehan individual, melainkan juga bagi peningkatan kesalehan sosial. Ketakwaan yang menjadi sasaran utama pelaksanaan rukum Islam yang keempat ini memiliki dimensi pembinaan yang komprehensif, baik bagi pembentukan kualitas hidup individual maupun bagi upaya penciptaan iklim sosial.
Dosen Fak. Agama Islam – Dosen Univ. Muhammadiyah Jakarta (UMJ)
Tadarus Ramadhan 4 : Wahyu dan Akkal Adalah Hujjah untuk Manusia
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan pergiliran malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk ulil al-bab. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, dan senantiasa berpikir akan penciptaan langit dan bumi, (dan mereka berkesimpulan) Ya Tuhan kami, tiada kebatilan pada ciptaan ini, Maha Suci Engkau, maka jauhkanlah kami dari sikasa api neraka.” (Q.S. Ali Imran : 190-191)
Allah swt telah menetapkan dua hujjah bagi manusia, yang pertama di luar diri manusia yakni wahyu (al-Quran dan kenabian), sedangkan yang kedua di dalam diri manusia yaitu akal. Islam sebagai agama yang diyakini kesempurnaannya sudah selayaknya memberikan tempat kepada keduanya.
Wahyu merupakan sumber utama Islam. Ia menjadi inspirasi dan bahan yang tak pernah lapuk ditelan masa atau rapuh dimakan usia. Kandungan al-Quran tidak terbatas, karena pemahaman atasnya akan terus berkembang seiring perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Al-Quran adalah ayat Allah yang tersurat dan alam adalah ayat Allah yang terbentang, maka keduanya akan selalu selaras, serasi, dan sepadan. Penelitian kepada alam akan menghasilkan pemahaman baru kepada al-Quran, sedangkan pengkajian terhadap al-Quran akan memberi pijakan dan bahan dasar bagi penelitian alam semesta. Untuk itu, segala sesuatu yang dapat menghantarkan kita kepada pemahaman al-Quran yang baik haruslah kita pelajari sebagaimana pentingnya sarana dan ilmu pengetahuan untuk memahami alam semesta. Inilah keakraban wahyu dan akal dalam Islam.
Dengan semikian, wahyu dan akal akan benar-benar berfungsi sebagai hujjah bagi kekuatan Islam yang menjadi agama masa lalu, masa kini dan masa depan. Dengan keduanya kita akan mampu menjawab berbagai problematika zaman yang semakin nyata melindas manusia untuk lebih jauh dari nilai-nilai spiritual.
Bagi sebagian pemikir, agama mulai terpinggirkan bahkan nyaris menemui kematian, yang salah satu sebab utamanya adalah apa yang disebut dengan saintisme . Selain itu virus-virus modernisme, materialisme, sekularisme, dan banyak lagi lainnya yang telah menjadi corak hidup masyarakat sekarang, jelas merupakan ancaman besar yang tidak bisa kita nafikan keberadaannya. Seluruh agama merasakan bahayanya, dan merespon sesuai dengan tingkat pemahamannya. Tak terkecuali Islam, seperti dikatakan Shabbir Akhtar bahwa akhir-akhir ini muncul gerakan-gerakan menentang tatanan semi sekuler yang semakin bertambah kuat. Semua tujuan gerakan tersebut adalah kejayaan monopoli Islam; banyak dari gerakan tersebut menimbulkan antusiasme temporer sebelum berakhir di keranjang sampah sejarah.
Walaupun kritik di atas tidak lebih ingin menunjukkan suatu realitas, namun bukan berarti sikap optimis kita mesti pudar. Sebab bagaimanapun, Islam jika dipotensikan dengan baik akan mempunyai kesanggupan mendamaikan agama dan sains, wahyu dan akal. Namun, jika kita gagal, maka Islam tak lebih dari sekedar agama yang ‘dikeramatkan’. wallahu a'lam
Tadarus Ramadhan 3 : Merajut visi Kebebasan Beragama
“Tidak ada paksaan dalam beragama; Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” (Q.S. Al-Baqarah : 256)
Visi kebebasan beragama merupakan hal yang sangat jelas dalam ajaran Islam (Q.S. al-Baqarah: 256, al-Maidah: 48). Manusia bebas untuk memiliki keyakinan apapun yang dipilihnya. Tidak seorangpun berhak untuk menghina keyakinan orang lain, atau mengutuk, menuntut, dan menghukumnya. Firman Tuhan, “Tiada paksaan dalam beragama”, menunjukkan bahwa agama sangat berhubungan dengan akal dan hati. Ini berarti keyakinan dikonstruksi di atas dasar argumentasi akal dan penerimaan hati. Akal dan hati, keduanya hanya bisa ditundukkan dengan argumentasi dan sentuhan kasih, bukan tekanan yang dipaksakan.
Sesuai dengan capaian para ahli, bahwa keyakinan merupakan konsepsi akal untuk menggapai pengetahuan tentang Wujud Mutlak (Tuhan). Akal yang mendapatkan kepuasan melalui burhan ash-shiddiqin (argumentasi yang benar) akan menghantarkannya untuk taslim (tunduk) pada hakikat kebenaran. Visi kebebasan beragama, memberikan tempat yang terbuka bagi setiap orang untuk mengemukakan apa yang diyakininya sebagai kebenaran tanpa manipulasi atau tekanan situasi. Hal ini diperoleh dengan kebebasan teologis dan kekondusifan sosiologis.
Begitu pula, selama berkaitan dengan akal dan hati, keyakinan tidak dikategorikan sebagai masalah hukum, sehingga kita tidak dapat mengatakannya sebagai legal atau ilegal. Keyakinan harus berpijak pada dalil. Sepanjang terdapat dalil yang mendukungnya, keyakinan akan tetap eksis. Jika dalil yang mendukungnya berubah, maka keyakinan juga akan menghilang. Jika dalil terbukti keliru, keyakinan juga akan mati. Jadi selama keberagamaan masih berhubungan dengan keyakinan hati dan jiwa, maka tidak ada hukum positif yang dapat menghakiminya. Namun, bila diekspresikan dalam tindakan sosial maka hukum legal dapat diterapkan.
Dengan begitu, visi kebebasan beragama mestilah dipandang sebagai suatu perspektif yang memahami dan menerima keragaman agama serta menghargainya dengan penuh kesadaran sehingga tidak ada saling curiga apalagi saling serang. Dengan demikian, visi kebebasan agama tidaklah berkeinginan menyeragamkan atau menyamakan semua agama-agama, melainkan menerima kemajemukan agama dengan apa adanya. Namun, agar tidak terjadi pengaburan nilai-nilai agama, ada beberapa poin penting yang harus diperhatikan :
a. Memahami dan menerima keragaman agama, bukan berarti menerima keyakinan agama lain yang berbeda. Artinya, menerima keragaman dalam kebebasan beragama berarti kesediaan kita untuk menyatakan bahwa keyakinan engkau berbeda dengan keyakinanku, karenanya berbuatlah seperti keyakinan agamamu dan aku akan berbuat seperti keyakinan agamaku, atau dalam bahasa al-Quran “Bagimulah agamamu dan bagikulah agamaku” (Q.S. al-Kafirun: 5)
b. Menghargai keragaman agama bukan berarti membenarkan keyakinan agama yang bertentangan dengan agama yang dianut. Artinya, menyalahkan pandangan agama lain tidak dapat dikategorikan sebagai tidak menghormati agama orang lain. Karena, persoalan benar dan salah adalah persoalan ilmiah dan merupakan sifat daripada ilmu. Adapun, tidak menghargai lebih cenderung pada penghinaan dan pemaksaan agama, bukan kepada penyalahan keyakinan agama. al-Quran menyebutkan: “Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat”. (Q.S. al-Baqarah: 256).
Jadi, tidak adanya kecurigaan dan tidak saling serang antar agama bukan berarti menghilangkan nilai-nilai ilmiah dan akademis yang berpijak pada analisa rasional untuk mengungkap kebenaran dan kesalahan pemikiran keagamaan yang berkembang. Tuhan berfirman, “Apabila datang kepadamu orang yang fasik membawa berita, maka cek dan riceklah, agar kamu tidak menimpakan bencana kepada orang yang tidak berhak menerimanya.” (al-Quran)
Islam yang dipandang penganutnya sebagai agama sempurna memberikan andil dalam membentuk seluruh elemen komunitasnya. Karena, agama pada dasarnya tidak muncul secara vakum kultural, maka ia memiliki andil besar bagi pembentukan sistem kultural. Jika kita boleh mengembangkan teori hermeneutikanya Nasr Hamid Abu Zaid (1994: 25), yang mengajukan tesis bahwa al-Quran diturunkan dalam dua tahap, yaitu tahap dibentuk oleh kultur (marhalah al-tasyakkul) dan tahap membentuk kultur (marhalah al-tasykil).
Meskipun analisis Abu Zaid meninjau sisi linguistik tekstual al-Quran, tetapi dapat kita elaborasi untuk menjelaskan interaksi agama dan kultur. Artinya, kedua tahap tersebut mengindikasikan bahwa, di masa Nabi Muhammad saaw. agama hadir dan berinteraksi secara struktural dengan kultur Arab (Mekkah). Hasil interaksi tersebut menjadikan Islam, mampu mengadaptasi sekaligus menyeleksi dimensi kultural yang ada dari realitas sosial, bahasa, ataupun budaya yang dikembangkan oleh masyarakat pra maupun pasca Islam. Kemudian dengan kemampuan kreativitasnya, kaum muslimin selanjutnya melakukan transformasi kultural yang khas Islam.
Karena itu, Visi kebebasan agama, dapat dikaitkan dengan kesatuan dalam perbedaan atau upaya mencari zona singgung dari adanya aneka jalur praktek beragama. Kebebasan beragama ini dapat diwujudkan, ketika masing-masing penganut agama (atau mazhab) yang beraneka ragam di samping menegaskan identitas mazhab atau agamanya, juga siap pula menegaskan identitas mazhab atau agama lain yang berbeda dengannya.
Selain itu, visi kebebasan beragama ini selaras dengan prinsip penting lainnya seperti kebebasan manusia (ikhtiari), prinsip tanggung jawab (taklif), prinsip keadilan (al-adl), dan prinsip kebijaksanaan (al-hikmah). Dengan semua prinsip ini, manusia mendapatkan keluasan dan keleluasaan untuk mengkaji, meneliti, dan memahami, hingga akhirnya menentukan mazhab atau agama pilihan yang sesuai dengan akal dan hati nuraninya. Wallahu a’lam bi al-shawab.