
کمالوندی
Hujan di Taman Penyair
"Dan Ayatullah Khomeini pun menulis puisi" Begitulah, sebaris kalimat yang tertulis di sebuah buku travelling terkemuka tentang Iran.
Puisi memang telah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari tradisi masyarakat Persia. Bila bangsa Italia besar dengan opera, maka bangsa Iran tumbuh bersama syair. Hampir setiap rumah di Iran, menyimpan satu buku puisi. Ibu-ibu rumah tangga sederhana saja sudah terbiasa melafalkan baris-baris syair. Apalagi para dai dan presenter, tidak pernah ketinggalan menyisipkan larik-larik puisi.
Sebuah keburuntungan bagi penyair-penyair Iran yang selalu mendapat sanjungan. Nama-nama mereka diabadikan menjadi jalan-jalan utama, layaknya pahlawan nasional. Bahkan setelah kematiannya, makam mereka dipayungi kubah serta dipagari taman-taman indah, seperti yang kujumpai hari itu di kompleks pemakaman Hafiz.
Hafiziyeh, tanah yang membentang sekitar dua hektar di sebelah utara kota Shiraz. Saat kumasuki gerbang utama, pohon-pohon cemara kecil tampak rapi berjajar, seakan menyambut hangat para tamu yang datang. Dari kejauhan terlihat tangga-tangga menuju sebuah hall terbuka. Bangunan yang terdiri dari 20 tiang-tiang itu, membelah area Hafiziyeh dari gerbang menuju ke pusara. Dari atas hall inilah, dapat kulihat tempat makam Hafiz, sekaligus lalu lalang pengunjung dari arah gerbang.
Hujan di penghujung musim dingin baru saja mengguyur kota Shiraz saat aku tiba di Hafiziyah. Namun, pelataran kompleks tetap dipenuhi pengunjung yang akan menziarahi makam penyair kesayangan mereka. Tua muda berjalan dalam balutan baju hangat. Ada pasangan sejoli, keluarga, bahkan anak-anak.
Di antara penyair lainnya, Hafiz yang bernama kecil Syamsuddin Muhammad, memang mendapat tempat istimewa di tengah masyarakat Iran. Bahkan, syair-syairnya sering digunakan sebagai ‘petunjuk' atau faalnameh. Misalnya, ketika seseorang ragu terhadap sebuah keputusan, ia akan membuka buku Divan Hafiz secara acak. Di buku tersebut, terdapat penjelasan berupa anjuran atau larangan. Aku sendiri pernah mencobanya beberapa kali, kebanyakan hasilnya lebih bersifat motivasi dan nasihat positif. Melalui syair-syairnya, Hafiz seolah ingin memberikan semangat pada setiap pembaca. Itulah sebabnya, aku sangat mendamba bisa bertandang ke tempat peristirahatanya.
Dan kini bahagia rasanya. Setelah bertahun-tahun menanti, akhirnya aku bisa langsung melihat dari dekat pusara Hafiz dalam sebuah taman yang megah. Kompleks taman itu dilengkapi dengan perpustakaan, pusat riset, kedai teh, dan ruangan-ruangan lainnya yang biasa digunakan untuk diskusi puisi atau kelas sastra. Setiap tahunnya, para penyair dari berbagai belahan dunia berkumpul di taman ini untuk mengenang hari kepergiannya. Mereka membacakan kembali syair-syair sang pujangga.
Tiba-tiba hati kecilku usil berceloteh "Sedang apa gerangan sang penyair? Apakah ia sekarang bahagia?" Jika menilik perjalanan hidupnya, Hafiz bukan termasuk orang yang begitu buruntung. Tidak seperti pendahulunya, Sa'adi yang banyak mengembara ke berbagai negara di Asia dan Eropa, Hafiz sepanjang hidupnya berada di kota kelahirannya. Dia juga tidak pernah menerbitkan antologi puisi, Naskah-naskahnya baru diterbitkan setelah kematiannya. Bahkan, semasa kecil, Hafiz yang yatim, harus meninggalkan bangku sekolah serta bekerja di tukang kain dan roti untuk menafkahi keluarga.
Namun, lihatlah hari ini! Tempat pemakaman Hafiz tak pernah sepi dari pengunjung, bahkan di musim dingin, di tengah guyuran hujan. Hawa yang menusuk inipun tak mampu mencegahku untuk segera bertemu sang penyair. Dalam balutan mantel cokelat tebal, kunaiki tangga-tangga menuju pavilion kecil terbuka, tempat pusara Hafiz berada.
Makam Hafiz dibangun satu meter lebih tinggi dari permukaan tanah, dinaungi kubah berbentuk topi darwis. Bagian dalam kubah dihiasi ubin keramik bercorak irfani. Biru turquois melambangkan langit, merah keunguan melambangkan anggur atau kemanisan abadi, sedangkan hitam putih, melambangkan malam dan siang, serta warna coklat melambangkan tanah. Sungguh perpaduan yang syahdu.
Dua perempuan muda berdiri di tepi makam sambil melantunkan syair-syair Hafiz. Mendengarkan puisi di area makam sang pujangga dan di tengah rintik hujan, memang terasa berbeda. Seakan jiwaku ikut terbang bersama laik-larik puisi.
"Apakah anda sekarang bahagia atau tidak, hanya Allah yang tahu. Tapi, apa yang membuat anda begitu dicinta dan puisi anda sangat dipuja?" Bisikku sesaat setelah menyentuhkan tangan ke pusara, mengikuti tradisi masyarakat Iran.
Sambil menerka-nerka jawaban, pandangannku beredar menyapu area di sekitar makam. Tanah yang basah, daun-daun yang menjuntai tertimpa air, langit yang mendung, serta puluhan pengunjung yang datang dan pergi. Dua pemuda bule terlihat sibuk mengambil gambar makam Hafiz dari berbagai sudut, seakan tidak ingin melewatkan moment yang begitu penting. Hafiz memang tidak hanya dicintai di Timur, namun namanya juga amat dikenal di belahan Barat sana.
Sejak pertengahan abad ke 18, Goethe, penyair legendaris Jerman amat menggandrungi puisi-puisi Hafiz. Karena begitu tergeraknya oleh sang pujangga, ia menempatkan Hafiz jauh lebih tinggi dari siapapun di dunia sastra. Bukunya yang berjudul West-Eastern Divan, sangat kental dengan nuansa Divan Hafiz, bahkan beberapa judulnya pun menggunakan bahasa Persia, seperti: Hafis Nameh (surat untuk Hafiz) dan Uschk Nameh (surat cinta).
Syair-syair Hafiz merembas dalam diri Goethe dan sedikit banyak mempengaruhi cara pandangnya terhadap dunia Timur dan Islam. Goethe pernah menulis puisi berjudul Hegire (Hijrah) dan prosa tentang Nabi Muhammad, juga sebuah sajak Mahomet's Gesang (Nyanyian Muhammad): Di bawah jejaknya, kembang-kembang dimunculkan dan nafasnya memberikan hayat atas padang-padang.
Sedang dalam puisi Hijrah, Goethe mengajak Barat untuk belajar spiritualitas dan kearifan Timur agar terlepas dari jeratan material. Sayangnya, yang terjadi hari ini justru sebaliknya. Banyak para pemuda Timur yang tercengang dan silau dengan budaya Barat, seolah dari sanalah segala sumber kemakmuran. Sehingga Timur hanya pantas menjiplak ilmu dan teknologi Barat. Lebih parah lagi, kondisi ini sudah mengakar dalam keseharian mereka dari cara bepakaian, gaya hidup sampai pola makan. Padahal Goethe yang besar dalam rahim Barat sangat ingin meniru Hafiz: "Aku ingin mencintai seperti Anda, minum seperti Anda. Ini akan menjadi kebanggaan hidupku"
"Ah…Siapa sangka, penyair yang sekarang terbaring itu, ternyata memiliki pengaruh luar biasa dan mendunia" Begitu gumanku saat akan meninggalkan sang pujangga.
Barangkali, karena kata-kata Hafiz juga terinspirasi dari Qur'an yang merupakan petunjuk setiap umat. Sejak kecil, Hafiz sudah mencintai kitab Qur'an. Bahkan, julukan ‘Hafiz' pun disandangnya, lantaran ia tidak hanya menghafal, tapi juga memahami ayat-ayat al-Qur'an. Dalam salah satu baitnya, Hafiz menulis:
Ah…jangan berduka! Tuhan telah mendengar
Jika derita datang dan dalam malam kau karam
Hafiz, ambil Quran dan bacalah
Lagu maha abadi, jangan berduka!
Hujan mulai mereda. Namun, di atas sana mendung masih bergelayut, siap menumpahkan kembali airnya. Air yang akan menggenangi kolam-kolam mungil di taman, menyirami cemara-cemara, pohon jeruk, dan terus merembas ke dalam tanah, menyegarkan kembali nafas kehidupan makhluk-makhluk di bawah sana. Seperti anugrah hujan yang tak pernah putus, langit pun selalu menebarkan berkahnya melalui lisan-lisan bijaksana. Sehingga pesan-pesanNya akan terus menggema di alam raya.
Dan, bisa jadi syair-syair Hafiz menjadi abadi karena bersandar pada firman-firman-Nya. Seperti pesan Ahmadinejad dalam pembukaan kongres penyair Iran dan Dunia tahun 2010: "Dengan menautkan bahasa kepada Tuhan, kata-kata jadi abadi."(IRIB Indonesia/majalah Ithrah, edisi Juni 2012/PH)
Menggali Pelajaran dari Madrasah Imam Sajjad as
Imam Sajjad, putra Imam Husein as lahir di kota Madinah pada tahun 36 Hq. Masa-masa penting perjalanan hidup beliau dimulai semenjak masa keimamahannya pasca gugur syahidnya Imam Husein as di padang Karbala. Saat peristiwa pembantaian keluarga Nabi saw di padang Karbala terjadi, Imam Sajjad tidak diperkenankan maju ke medan laga lantaran menderita sakit berat. Namun hal itu justru menyimpan hikmah besar sehingga beliau dapat bertahan hidup dan memimpin umat di masa-masa krisis pasca kesyahidan Imam Husein as.
Masa kepemimpinan Imam Sajjad berlangsung selama 34 tahun. Salah satu tugas besar yang diemban beliau adalah menyebarkan misi agung kebangkitan Asyura. Di samping itu, dakwah Islam yang dilakukannya juga meliputi banyak hal. Selain menyebarkan akidah Islam yang benar, Imam Sajjad juga mendidik para juru dakwah yang saleh dan bijak.
Tidak hanya itu saja, Imam Sajjad juga berjuang di ranah politik dalam menentang kezaliman dan membongkar kemunafikan pemerintahan Bani Umayyah. Untuk membentuk masyarakat islami, Imam Ali Zainal Abidin begitu giat mengupayakan diterapkannya gaya hidup yang bersandarkan pada moralitas al-Quran. Sebab sebagian besar persoalan yang terjadi di zamannya kala itu berakar dari kebobrokan moral para penguasa dan elemen penting masyarakat.
Salah satu strategi Imam Sajjad as adalah mentransfer pengetahuan agama lewat budaya doa dan munajat. Beliau as telah memaparkan sebagian besar maksud dan kehendaknya lewat bait-bait doa dan munajat yang menggugah hati. Kumpulan doa-doa beliau disatukan dalam kitab "Shahifah Sajjadiyah" yang merupakan harta karun pengetahuan dan hakikat agama. Kitab tersebut adalah kumpulan samudera pengetahuan Islam di bidang tauhid, akhlak, dan pendidikan yang telah mengundang perhatian banyak ulama.
Doa adalah media penghubung antara makhluk dengan penciptanya dan agama Islam sangat menganjurkan umatnya berdoa. Selain memiliki pengaruh spiritual luar biasa bagi manusia, doa juga dapat memberi pengaruh kepada seluruh dimensi keberadaan manusia mulai dari perilaku personal hingga sosial dan politik. Kontak dengan Allah Swt akan menjaga manusia dari gangguan dan kerusakan jiwa.
Imam Sajjad dikenal sebagai sosok yang sangat pengasih dan dermawan. Rumahnya selalu menjadi rujukan dan tempat pengaduan para fakir miskin untuk meminta bantuan. Suatu ketika, beliau melihat sekelompok orang penderita lepra yang dikucilkan oleh orang-orang di sekitarnya. Imam Sajjad pun lantas membawa mereka ke rumahnya dan menyambutnya dengan penuh kasih sayang.
Imam Sajjad as juga terkenal dengan sikapnya yang sangat tawadhu dan rendah hati. Meski ia adalah tokoh keluarga Nabi Saw yang terpandang, namun ia tak segan-segan hidup seperti layaknya pembantu. Suatu hari ia pernah menyamar menjadi orang biasa supaya bisa menjadi pembantu bagi rombongan jamaah haji. Rombongan haji tersebut datang dari daerah terpelosok sehingga tak mengenal siapa sebenarnya Imam Sajjad as.
Selama perjalanan menuju Mekah, Imam as bekerja melayani dan membantu para jamaah haji. Hingga kemudian rombongan itu berjumpa dengan musafir lain di tengah jalan. Musafir itu lantas bertanya, "Apakah kalian tidak mengenal siapa lelaki itu? Mengapa kalian pekerjakan sosok mulia seperti beliau sebagai pelayan?" Mereka menjawab, "Kami tidak mengenal siapa dia. Kami hanya tahu bahwa ia adalah pemuda yang sangat baik dan berwibawa". Musafir tadi lantas memperkenalkan bahwa pemuda mulia itu adalah Imam Sajjad, salah seorang cicit Rasulullah Saw.
Mendengar keterangan itu, seluruh rombongan haji pun menjadi menyesal dan meminta maaf kepada Imam as. Beliau pun lantas menjelaskan bahwa dirinya sengaja bergabung dengan rombongan haji yang tak dikenalnya itu untuk memperoleh kesempatan melayani para jamaah haji tanpa harus diketahui siapa sebenarnya beliau.
Kemuliaan akhlak dan perilaku Imam yang demikian bijak itu membuat siapapun mengagumi beliau. Sejarawan muslim terkenal, Ibnu Syahr Asyub, menuturkan, "Suatu ketika Imam Sajjad as menghadiri acara pertemuan yang digelar Khalifah Umayah, Umar bin Abdul Aziz. Saat Imam as meninggalkan pertemuan itu, Umar bin Abdul Aziz bertanya kepada orang-orang di sekitarnya dan berkata, ‘Siapakah orang yang paling mulia di sisi kalian? Semuanya berkata, "Anda wahai khalifah!" Namun ia balik menjawab, "Bukan sama sekali! Orang yang paling mulia adalah sosok yang baru saja meninggalkan pertemuan kita. Semua kalbu dibuat terpesona kepadanya, hingga siapapun ingin menjadi seperti dia."
Jiwa manusia sebagaimana raganya juga membutuhkan makanan. Untuk mencapai jenjang spiritual yang luhur, ruh memerlukan makanan berupa ilmu, iman, dan makrifat. Salah satu kebutuhan ruh manusia adalah berdoa dan menjalin hubungan permanen dengan Sang Pencipta. Imam Sajjad as dalam sebuah doa yang indah menyebut zikir dan mengingat Allah Swt sebagai penyebab ketenangan dan kebugaran jiwa. Imam as menyeru kepada Tuhan dengan berkata, "Wahai Tuhanku, hati dan relungku hidup dengan mengingat-Mu dan api kegelisahan hanya akan padam dengan bermunajat kepada-Mu."
Tentunya, hati yang menjadi persinggahan kasih sayang Tuhan, memiliki kemurnian dan cahaya tersendiri, dan pemiliknya akan terjaga dari kerusakan jiwa dan mental. Pada bagian lain doanya, Imam Sajjad as berkata, "Wahai Tuhanku, sampaikanlah shalawat dan salam kepada junjungan-Mu Nabi Muhammad Saw dan keluarganya dan jadikanlah keselamatan hati kami dalam mengingat keagungan-Mu." Dalam seluruh munajat dan doa Imam Sajjad as, pengharapan kepada Tuhan merupakan poin dominan yang patut direnungkan dan dicermati.
Pada dasarnya, Imam as mentransfer ajaran irfan ini secara tersirat dan halus. Allah Swt tidak akan pernah meninggalkan orang-orang yang menyerahkan hatinya kepada-Nya dan hidup sesuai dengan keridhaan-Nya. Dalam penggalan doanya, Imam Sajjad as berkata, "Wahai Tuhanku, aku menyeru-Mu sebelum menyeru selain-Mu, aku tidak menemukan selain-Mu dalam mengabulkan kebutuhanku. Dalam doaku, aku tidak akan menyertakan selain-Mu. Seruanku hanya kepada-Mu."
Ketika umat di zamannya terperosok dalam kegelapan moral dan kebejatan para penguasa zalim, Imam Sajjad berusaha memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk menyadarkan jiwa-jiwa yang terlelap. Beliau senantiasa mengecam dan mengutuk para pendukung penguasa zalim. Suatu hari Imam bertemu dengan seorang ulama terkenal di masa itu, lantas kepada sang ulama, Imam berkata, "Aku menyaksikan bagaimana engkau menempatkan dirimu sebagai sumbu roda penggiling gandum para pezalim sehingga mereka bisa berlaku zalim terhadap masyarakat dengan berpangku padamu".
Dalam lantunan doa-doanya, Imam Sajjad as juga menyelipkan pesan-pesan anti-kezaliman. Beliau dalam salah satu doanya menuturkan, "Ilahi ampunilah aku yang hanya bisa menyaksikan seorang yang teraniaya di depan mataku tanpa kuasa aku menolongnya. Maafkanlah aku lantaran tak mampu menebus hak orang mukmin yang mestinya aku tunaikan".
Mari kita menyimak beberapa kata bijak dari Imam Sajjad as. Beliau berkata, "Salah satu ciri dari makrifat dan tanda kesempurnaan agama seseorang adalah menghindari ucapan yang sia-sia, sedikit berdebat, dan selalu bersikap sabar dan santun".
Beliau juga menuturkan, "Berpikir adalah cermin yang memperlihatkan kepada manusia kebaikan dan keburukan dirinya". (IRIB Indonesia)
Sirikit Syah: Optimisme Kejayaan Islam Berhembus dari Tehran (Bagian Pertama)
Ribuan aktivis perempuan Muslim yang bergerak di bidang akademis, sosial, budaya dan politik dari berbagai negara dunia berkumpul di Tehran pada 10-11 Juli lalu. Dari Indonesia dari 19 orang delegasi yang sebagian besar para dosen dari berbagai perguruan tinggi di Tanah Air. Selama dua hari mereka bertukar pikiran mengenai kebangkitan Islam dan Perempuan.
"Kami bisa bertukar pikiran tentang persoalan dan solusi, membicarakan problem solving dari persoalan yang menghadang kita di depan," kata Sirikit Syah, salah seorang peserta dari Indonesia.
Bagi Ketua ICMI Jatim itu, konferensi kebangkitan Islam dan Perempuan yang di gelar kali ini menghembuskan nafas optimisme terutama bagi perempuan tentang kebangkitan Islam.
"Para perempuan ketika pulang ke negaranya masing-masing akan menyebarluaskan gagasan tentang perlunya keyakinan Islam akan bangkit dan tidak terpuruk lagi," tutur penulis, pengamat media, dan pendiri Lembaga Konsumen Media-Media Watch itu.
"Saya kira ini satu hal yang sangat saya dukung dari kebangkitan Islam, karena Islam pernah jaya di masa lalunya. Kini sudah waktunya Islam meraih kembali kejayaan itu, dan memang bagus sekali kita harus melibatkan perempuan," tegas jebolan Westminster University ini.
Selengkapnya simak wawancara eksklusif bagian pertama antara Purkon Hidayat dari IRIB Bahasa Indonesia dengan Sirikit Syah, mengenai Konferensi Kebangkitan Islam dan Perempuan berikut ini :
Bagaimana ibu memandang konferensi kebangkitan Islam ini ?
Saya sangat terkesan. Saya merasa mendapat kehormatan, keberuntungan, keberkahan bahwa saya termasuk di dalamnya. Dan mungkin juga karena saya dikenal sebagai penulis yang diharapkan akan menulis nantinya.
Saya senang bisa berada di sini, bisa melihat Iran bersama-sama sekitar 1000 perempuan Muslim dari sekitar 80 negara. Buat saya ini luar biasa. Pengalaman yang sangat luar biasa. Kami bisa bertukar pikiran tentang persoalan dan solusi, membicarakan problem solving dari persoalan yang menghadang kita di depan.
Saya kira ini satu hal yang sangat saya dukung dari kebangkitan Islam, karena Islam penah jaya di masa lalunya. Kini sudah waktunya Islam meraih kembali kejayaan itu, dan memang bagus sekali kita harus melibatkan perempuan.
Kira-kira apa harapan kedepan dari konferensi Kebangkitan Islam dan Perempuan?
Kalau saya sih berpandangan, kami para perempuan ketika pulang ke negaranya masing-masing akan menyebarluaskan gagasan tentang perlunya keyakinan Islam akan bangkit dan tidak terpuruk lagi.
Kita lihat di jaman sekarang ini bangsa-bangsa Muslim terpuruk, terbelakang, termiskinkan, terjajah dan seterusnya. Saya optimis dan berharap ke depan itu akan terlewati. Dan ini adalah suatu permulaan yang baik, yang dimulai dari perempuan, karena kaum perempuan itu pemimpin dari unit terkecil. Di dalam keluarga dia mendidik anak-anak dan memproduksi generasi berikutnya.
Dari 19 delegasi Indonesia yang datang ke konferensi ini, 90 persennya adalah dosen, pengajar. Bisa kita bayangkan, jika para dosen tersebut menyebarluaskan gagasan ini kepada para mahasiswanya, dan juga para penulis menyebarluaskan lewat tulisannya. Jadi saya sangat optimis ke depan.
Mengenai paper ibu di konferensi ini, mungkin bisa dijelaskan secara umum tentang isinya ?
Ketika kami diundang untuk ikut konferensi ini, pertama kami harus mengenali temanya yaitu kebangkitan Islam dan peran perempuan di dalamnya. Nah saya harus menyesuaikan dengan bidang yang saya tekuni. Saya orangnya fokus dan saya adalah pengamat media massa yang cukup aktif. Saya menghubungkannya dengan produk-produk media massa selama ini yang sering menyampaikan misconception tentang Iran, misperception tentang perempuan Islam, kedudukan perempuan dalam Islam, dan segala macam misunderstanding, prejudice dan prasangka. Saya menggabungkan itu semua dalam tulisan yang intinya menyoroti terjadinya declining democracy, media bias, dan Challenge of we mean
Yang saya katakan jatuhnya demokrasi adalah menilik runtuhnya negara-negara demokrasi sekarang ini seperti beberapa negara ketika demokrasi diruntuhkan, rakyatnya memilih militer seperti Thailand dan Pakistan. Tapi Mungkin Turki, Mesir dan juga Iran memilih tokoh agama. Jadi rakyat yang tidak puas dengan demokrasi, protes dengan korupnya demokrasi akhirnya memilih antara militer maupun pemimpin agama. Itu yang saya soroti di negara yang bergejolak saat ini; antara militer dan pemimpin agama.
Kemudian bagaimana media melakukan bias liputan terhadap negara-negara Islam khususnya. Nah itu yang saya soroti. Kemudian saya menyarankan kepada perempuan bagaimana kita berperan kedepan menyelesaikan persoalan itu.(IRIB Indonesia/PH)
Ketika Ibnu Abi al-Auja Kehabisan Akal Menghadapi Imam Shadiq as
Abdul Karim atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Abi al-Auja' di hari lain kembali mendatangi Imam Shadiq as untuk berdialog. Tapi ketika tiba, ia melihat ada sekelompok orang tengah mengelilingi beliau. Dengan tenang ia mendekati Imam Shadiq as dan duduk diam menyaksikan apa yang tengah terjadi.
Tiba-tiba Imam Shadiq as berkata, "Tampaknya engkau datang lagi untuk membicarakan kembali sebagian masalah yang kita bahas sebelumnya."
Ibnu Abi al-Auja' menjawab, "Benar, saya datang dengan alasan ini, wahai anak Nabi!
Imam Shadiq as berkata kepadanya, "Aku benar-benar takjub tentang engkau, bagaimana bisa engkau mengingkari Tuhan. Tapi pada saat yang sama engkau mengakui bahwa aku adalah anak Nabi dengan ucapanmu itu."
Ibnu Abi al-Auja' menjawab, "Kebiasaan. Hanya kebiasaan yang membuatku mengatakan demikian."
"Lalu mengapa engkau terdiam," tanya Imam.
Ibu Abi al-Auja' berkata, "Keagungan dan wibawamu yang membuat lisanku tidak mampu membantuku menghadapi Anda. Saya banyak melihat ilmuwan dan orator serta berbicara dengan mereka, tapi tidak ada yang pernah membuatku merasa minder. Sebaliknya, keagunganmu begitu membuatku minder."
"Bila engkau diam, maka biarlah aku yang berbicara," kata Imam.
Setelah itu Imam Shadiq bertanya kepadanya, "Apakah engkau ini diciptakan atau tidak?"
Ibnu Abi al-Auja' menjawab, "Saya tidak dibuat dan diciptakan."
Baiklah, kata Imam. Sekarang tolong katakan, "Bila Engkau dibuat atau diciptakan, maka bentukmu seperti apa?"
Untuk beberapa waktu Ibu Abi al-Auja' tertunduk dan memainkan kayu yang berada di tangannya. Kemudian ia mulai menjelaskan sifat-sifat benda yang dibuat; memiliki panjang, lebar, dalam, pendek, bergerak, tidak bergerak, dan sejumlah sifat lainnya.
Imam kembali berkata, "Bila untuk sesuatu yang dibuat atau dicipta, hanya sifat-sifat ini yang engkau ketahui, maka dengan sendirinya engkau juga sesuatu yang dibuat. Engkau harus mengakui bahwa engkau dibuat. Karena seluruh sifat-sifat yang engkau sebutkan itu juga terdapat dalam dirimu."
Ibnu Abi al-Auja' berkata, "Pertanyaan yang engkau ajukan kepadaku belum pernah ditanyakan seorangpun sebelum ini, dan di masa depan pun aku yakin tidak akan ada orang yang akan bertanya kepadaku."
Imam Shadiq as berkata, "Kita asumsikan bahwa sebelum ini belum pernah ada orang yang bertanya semacam ini kepadamu, tapi dari mana engkau tahu bahwa di masa depan ada orang yang akan menanyakan pertanyaan ini kepadamu?" Pada waktu itu engkau akan menarik kembali ucapanmu. Karena engkau berkeyakinan semua; baik masa lalu, sekarang dan akan datang setara. Dengan demikian, bagaimana engkau mendahulukan satu dan mengakhirkan yang lain, sementara dalam ucapanmu engkau membawakan tentang masa lalu dan masa depan."
Imam menambahkan, "Wahai Abdul Karim! Aku ingin lebih banyak menjelaskan kepadamu. Bila saat ini engkau punya kantung uang yang penuh dengan logam emas dan seseorang berkata kepadamu bahwa di dalam kantung ini terdapat banyak logam emas. Engkau menjawabnya bahwa dalam kantung ini tidak terdapat apa-apa. Ia akan berkata kepadamu, "Coba tolong definisikan apa itu logam emas." Bila engkau tidak mengetahui ciri-ciri logam emas, maka engkau dapat berkata tanpa mengetahui bahwa emas tidak ada di dalam kantung ini."
Ibnu Abi al-Auja' berkata, "Tidak, bila saya tidak tahu, maka saya tidak dapat mengatakan tidak ada."
Imam kemudian berkata, "Bila engkau berpikir demikian, lalu bagaimana dengan dunia yang sedemikian luas? Dunia yang luasnya tidak dapat dibandingkan dengan apa yang ada di dalam kantung itu. Baiklah, sekarang aku akan bertanya kepadamu, "Apakah mungkin di dunia yang luas ini ada sesuatu yang dibuat dan diciptakan? Karena engkau tidak mengetahui ciri-ciri sesuatu yang diciptakan dari yang tidak diciptakan."
Ketika Imam berkata demikian, Ibnu Abi al-Auja' hanya bisa terdiam dan tidak dapat berpikir apa-apa. Sebagian dari orang-orang yang punya pemikiran sama dengannya kemudian masuk Islam dan sebagian lainnya tetap dalam kekufurannya. (IRIB Indonesia / SL)
Percakapan Dua Saudara; Hasan dan Husein
Suatu hari Imam Husein as bertamu ke rumah Imam Hasan as. Di saat mereka berdua asyik bercakap-cakap, tiba-tiba Imam Husein as tercengang dan meneteskan air mata melihat mata saudaranya Imam Hasan as. Kepadanya Imam Hasan as berkata, "Saudaraku, mengapa engkau menangis?"
Husein as berkata, "Tangisanku karena kezaliman dan kekejaman yang akan dilakukan terhadapmu."
Imam Hasan as berkata, "Kezaliman yang akan menimpaku adalah racun yang akan ditaburkan ke dalam minuman secara sembunyi-sembunyi dan diberikan kepadaku dan akan membunuhku. Namun, La Yauma Kayaumika Ya Aba Abdillah, tidak ada hari seperti harimu Ya Aba Abdillah!"
Saudaraku, kezaliman yang akan menimpamu berkali-kali lipat lebih besar dari kezaliman yang akan menimpaku. Karena tiga puluh ribu orang yang mengaku sebagai Muslim dan pecinta kakek kami akan mengelilingimu untuk menumpahkan darahmu dan menginjak-injak kehormatanmu. Mereka akan menawan anak-anak dan istrimu dan menjarah hartamu. Iya saudaraku, pada masa itu dan setelah terjadinya semua kezaliman itu, Allah akan melaknat dan mengutuk Bani Umayah. Langit menangis dengan tangisan darah dan akan menaburkan abu. Semuanya akan menangisi musibah yang menimpamu, bahkan binatang-binatang sahara dan ikan-ikan di laut."
Kau Mau Menakut-Nakuti Aku dengan Kematian?!
Hur bin Yazid Riyahi adalah komandan pasukan Yazin bin Muawiyah yang pemberani dan berpengalaman. Ia siap siaga untuk berperang bersama pasukannya menyerang Imam Husein as. Hur berhadap-hadapan dengan rombongan Imam Husein as. Sesuai dengan kebiasaan masa itu Hur melantunkan sanjungan atas kemampuan dirinya.
Dengan sombong ia berkata, "Hai Husein, jagalah jiwamu karena Allah dan kembalilah ke tempat asal kamu datang! Aku datang untuk membunuhmu!
Imam berkata, "Apakah kau akan menakut-nakuti aku dengan kematian?! Tidakkah kau tahu, dengan membunuhku kau telah membunuh dirimu sendiri?! Hai Hur, aku datang menuju kematian dengan kakiku sendiri. Karena orang mulia tidak akan pernah mati. Kau bangga dengan pasukanmu karena mereka masih mengelilingimu. Namun kebanggaan mana yang lebih tinggi dari kematian di jalan Allah?!
Seandainya Saja Kau Tidak Menulis Surat Ini
Muawiyah menyebarkan banyak mata-mata di seluruh negeri Islam yang tugasnya melaporkan semua keadaan dan kondisi yang terjadi di pelbagai kota kepadanya. Salah satu mata-mata yang berada di kota Madinah mengirimkan surat kepada Muawiyah dan melaporkan, "Husein bin Ali telah membebaskan salah satu budak perempuannya kemudian menikahinya."
Begitu surat itu sampai kepadanya, Muawiyah yang senantiasa menunggu kesempatan untuk bisa menyakiti Imam Husein as dengan segera mengirim surat kepada beliau. Isi surat itu demikian, "Selamat! Aku mendengar kau telah menikah dengan budakmu! Seharusnya kau menikah dengan orang yang sejajar dengan kedudukan dan posisimu, malah kamu menikah dengan orang yang dulunya adalah budakmu. Seandainya kamu menikah dengan wanita dari kabilahmu yang besar, kabilah Quraisy, tidak saja kamu telah menjaga harga dirimu bahkan anak yang akan lahir darimu adalah anak yang mulia. Tapi malah sebaliknya, selain kamu tidak memikirkan dirimu, kamu juga tidak memikirkan anak yang akan lahir ke dunia..."
Setelah menerima surat dari Muawiyah, Imam Husein as menjawab, "Surat kritikanmu telah aku terima. Ketahuilah! Tidak seorang pun bisa mencapai derajat Rasulullah dari sisi kemuliaan dan nasab. Aku memiliki seorang budak dan aku bebaskan karena untuk mendapatkan ridha Allah. Kemudian aku menikahinya berdasarkan sunnah Rasulullah. Dan ketahuilah! Islam datang untuk memberantas rasialisme, kefanatikan dan khurafat jahiliah yang tidak berdasar. Oleh karena itu, tidak baik mencela orang Muslim karena hukumnya dosa! Namun celaan dan makian layak untuk diberikan kepada orang-orang yang sampai saat ini masih memiliki sikap rasial dan fanatik jahiliah..."
Muawiyah marah ketika menerima surat balasan dari Imam Husein as. Menyaksikan hal itu Yazid lantas mengambil surat itu dan membacanya kemudian berkata, "Jawaban Husein benar-benar sebuah pukulan telak!"
Muawiyah berkata, "Ucapan Bani Hasyim betul-betul sebuah pukulan telak yang bisa menghancurkan batu dan membelah lautan!"
Apa yang Kau Banggakan?
Setelah beberapa lama Muawiyah membunuh Hujr bin ‘Adi dan kawan-kawannya, ia menemui Imam Husein as dan berkata, "Hai Husein! Tahukah kamu apa yang aku lakukan terhadap Hujr bin Adi, pengikutmu dan kawan-kawannya?"
Dengan tanpa berpikir Muawiyah ingin menyakiti Imam Husein dengan mengingatkan kembali peristiwa syahadahnya Hujr dan kawan-kawannya. Imam Husein as berkata, "Katakan sendiri, pengkhianatan apa yang kau lakukan terhadap mereka?"
Muawiyah berkata, "Untuk itu, dengarkan! Kami telah membunuh mereka, kemudian mengkafani dan menshalati mereka!"
Pada saat itu Imam Husein as tersenyum dan berkata, "Hai Muawiyah! Ketahuilah bahwa di Hari Kiamat mereka tetap sebagai musuhmu. Demi Allah! Bila kami menemui sekelompok orang dari para pengikutmu, kami tidak akan melakukan perbuatan semacam ini. Aku tahu bagaimana kau memperlakukan ayahku. Kau telah melecehkan Bani Hasyim. Kau telah mengikuti konspirasi seorang laki-laki (Amr bin Ash) yang tidak pernah berbaiat kepada ayahku dan permusuhannya bukanlah hal yang baru. Amr bin Ash tidak pernah menganggapmu sebagai teman dan tidak pernah jujur kepadamu. Pikirkan apa yang aku katakan, baru kemudian bicara..!" (IRIB Indonesia / ENH)
Imam Ali as dan Penjual Kurma
Seorang budak perempuan meletakkan kurma di hadapan tuannya. Si tuan melihat kurma tersebut dan kemudian memandang budak tersebut dengan rasa marah. Budak perempuan itu menundukkan kepalannya. Tiba-tiba kedengaran suara sang tuan bergema di udara,"Ini kurma apa yang kamu beli? Segera kembalikan kurma ini dan ambil uangnya!"
Tangan budak perempuan itu bergetar dan hati kecilnya hancur. Bakul berisi kurma itu diambilnya dan dibawa berjalan. Diperjalanan dia berpikir sendirian, "Mungkinkah lelaki sipenjual kurma itu kasihan pada diriku dan mengambil kurma ini semula?" Tetapi ketika wajah garang sipenjual itu terbayang, kekecewaan melanda jiwanya. Budak perempuan itu berdoa meminta bantuan dari Tuhan semoga kurma itu bisa dikembalikan.
Dia melewati lorong-lorong dan jalan-jalan kecil sehingga tiba di pasar. Kata-kata yang ingin diungkap kepada si penjual berulang kali dihapalkan dan dia memperlahankan langkahnya ketika mendekati toko penjual kurma.Si penjual sedang bercakap dengan seorang lelaki. Budak perempuan itu melap peluh yang keluar dari dahinya dengan tangan bajunya, dia melangkah beberapa tapak menghampiri sang penjual dan memberi salam. Lelaki penjual kurma mendengar suara budak perempuan itu dan melihat kepadanya. Si budak perempuan merasa akan pandangan tajam sipenjual kurma. Si penjual kurma berkata, "Apa yang engkau mau?"
Budak perempuan itu berkata, "Saya minta maaf, tuan saya tidak menginginkan kurma ini dan meminta saya memulangkannya."
Lelaki penjual kurma yang mendengar kata-kata ini, mengerutkan wajahnya dan suaranya seperti panah yang menusuk hati budak perempuan itu. Penjual itu berkata, "Apa maksudmu tuanmu tidak menginginkan kurma ini? Aku tidak akan mengambil kurma ini. Jika dia ingin, dia sendiri harus datang ke sini untuk mendapatkan kurma yang diingininya."
Budak perempuan itu tidak dapat memberi jawaban. Bagaimanapun juga dia harus memulangkan kurma tersebut. Sekali lagi dia meminta kepada si penjual, "Tuan, aku meminta supaya engkau ambillah kurma ini dariku dan jika aku pulang ke rumah dengan kurma ini, tuanku akan menghukum aku. Sipenjual dengan suara yang lebih kuat berkata, "Masalah ini tidak ada kaitannya denganku. Jika tidak ingin, engkau tidak perlu membelinya dariku, jika sampai malampun engkau meminta dan merayu kepadaku, tidak ada faedahnya. Seperti yang telah aku katakan barang yang telah dijual tidak akan aku ambil kembali."
Budak perempuan yang mendengar ucapan si penjual merasa kecewa. Dia melangkah dua tapak kebelakang. Dia duduk di satu sudut dan kepalanya diletakkan diatas lututnya yang kurus. Ketika itu air matanya mengalir deras. Pada saat yang sama dia merasakan ada bayang seseorang diatas kepalanya. Dia mengangkatkan kepalanya dan matanya memandang seorang lelaki yang dikenali. Dia memiliki wajah yang baik. Pandangannya dipenuhi dengan kasih sayang. Dengan melihat kepada lelaki itu, cahaya harapan kembali kejiwanya. Lelaki itu berkata, "Ada apa anakku? Apa yang telah terjadi?"
Budak perempuan itu dengan tangannya menunjuk ke arah toko kurma berkata, "Orang ini, tempat aku membeli kurma, dan enggan mengambilnya semula. Tuanku tidak menginginkan kurma ini. Lelaki baik itu mengambil bakul kurma dari tangan budak perempuan tersebut dan dibawanya ke arah toko kurma. Ketika itu si lelaki itu berkata kepada penjual kurma, "Wahai lelaki! Budak perempuan ini tidak bersalah, ambil kembali kurma ini dan pulangkan uangnya."
Sipenjual yang melihat lelaki ini, menarik mukanya dan dengan suara yang kuat berkata, "Masalah ini tidak ada kaitannya denganmu. Mengapa engkau turut campur dalam urusan orang lain? Lebih baik engkau tinggalkan perkara ini dan pergilah."
Orang-orang yang lalu lalang dan sebagian pemilik toko yang ada di situ mendengar suara lelaki penjual kurma itu, segera pergi ke arah toko tersebut. Banyak orang yang mengenali lelaki baik itu dan dengan hormat melihat ke arahnya. Pada waktu itu ada seorang dari kalangan rakyat berkata kepada penjual kurma, "Diamlah! Apakah engkau tidak mengenali lelaki ini? Dia adalah Amirul Mukminin Ali."
Mendengar nama Ali, lelaki penjual kurma merasa terkejut dan bimbang. Dia tidak tahu apa yang harus diucapkan dan apa yang harus dilakukannya.
Lelaki penjual kurma dengan suara tersekat-sekat dan ucapan yang terpotong-potong meminta maaf dari Imam Ali as dan menyesali perilaku buruknya. Imam Ali as ketika melihat akan kesan penyesalan diwajah penjual kurma berkata, "Jika engkau mengubah perilakumu, aku akan memaafkanmu."
Dengan cara ini, sipenjual kurma itu memulangkan uang kepada budak perempuan tersebut dan mengambil kembali kurmanya. Kebaikan Imam Ali menyentuh perasaan budak perempuan itu dan ia mengucapkan syukur kepada Tuhan atas segala karunia-Nya.
Rasulullah Saw bersabda, "Allah menyukai orang mempermudah ketika berjual beli dan membayar serta menerima uang." (IRIB Indonesia)
Memperingati Hari Lahir Imam Hasan Bin Ali as
Tanggal 15 Ramadhan tahun ke-3 hijriah, rumah kenabian bersinar dengan kelahiran seorang bocah suci yang merupakan cucu pertama Nabi Saw. Bayi mungil keturunan Ali dan Fatimah ini diberi nama Hasan. Dialah yang kelak akan menjadi salah satu penerus misi risalah dan nubuwah. Imam Hasan yang mendapat gelar mujtaba yang berarti "terpilih" ini, merupakan salah satu dari empat orang terdekat Nabi atau Ahlul Bait yang dibawa ke arena mubahalah menghadapi tantangan kaum nasrani Najran. Mereka inilah yang telah disucikan Allah dari noda dan dosa, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tathir.
Semasa hidupnya, Nabi Saw menunjukkan kecintaan beliau yang sangat besar kepada anak-anak Fatimah aw. Suatu kali, Fatimah aw datang ke rumah Nabi dengan membawa dua putranya Hasan dan Husein. Kepada ayahnya, Fatimah aw berkata, "Ayah, ini adalah dua putramu. Berilah mereka sesuatu yang akan selalu menjadi pengingatmu." Nabi Saw bersabda, "Hasan akan mewarisi kewibawaan dan keberanianku, sedangkan Husein akan memperoleh kedermawanan dan keberanianku."
Suatu kali, seseorang melakukan suatu kesalahan yang membuatnya malu sehingga memilih untuk menyembunyikan diri. Suatu saat dia melihat Hasan dan Husein, dua cucu kesayangan Nabi sedang bermain di sebuah lorong kota Madinah. Serta merta dia menghampiri dan mendekap keduanya. Dengan membawa dua bocah suci itu, di melangkah menemui Nabi dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku meminta suaka dan perlindungan dari Allah dan kedua anak ini." Nabi Saw tersenyum. Dengan memandang Hasan dan Husein beliau bersabda, "Aku terima syafaat kalian berdua untuk orang ini. Aku memaafkannya."
Sama seperti kakeknya, Imam Hasan as memiliki sifat-sifat yang mulia. Beliau sering makan bersama anak-anak dan kaum fakir. Tak jarang, dengan rendah hati beliau sengaja berjalan di lorong-lorong Madinah untuk memberikan kesempatan kepada siapa saja yang ingin bertemu dengannya. Wibawa dan kebesaran Imam Hasan terkadang membuat masyarakat terkadang hanya ingin bersama dan duduk di dekat beliau.
Para Imam dari Ahlul Bait selalu memperhatikan kesehatan badan dan jiwa. Karena dalam banyak riwayat disebutkan bahwa mereka selalu rapi serta memakai wangi-wangian dan pakaian yang bersih saat berada di tengah masyarakat. Pendek kata, bagi mereka kebersihan adalah sebagian dari keimanan. Ada satu hal yang harus diingat bahwa berpenampilan rapi bukan berarti mengenakan pakaian yang baru. Dengan berbaju sederhana tapi bersih orang juga bisa berpenampilan rapi. Kerapian dan kebersihan selalu diperhatikan oleh Imam Hasan ketika beliau sedang beribadah dan bermunajat. Mengenai hal ini beliau berkata, "Siapa saja yang ingin beribadah, hendaknya dia melakukannya dengan terlebih dahulu membersihkan diri."
Imam Hasan adalah contah yang sebenarnya dari akhlak mulia, keteguhan untuk kebenaran, dan pengorbanan di jalan Allah. Kebesaran inilah yang membuat kawan dan lawan memuji bahkan memujanya. Al-Dzahabi, salah seorang serajawan Islam, meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Sungguh, Hasan adalah bunga wangiku di dunia. Dia adalah orang yang besar dan pemimpin yang agung."
Salah satu periode kehidupan Imam Hasan sezaman dengan masa kekhalifahah Muawiyah. Keduanya pernah memimpin pasukan yang saling berhadapan sebelum akhirnya menandatangani kesepakatan damai. Tetapi keduanya memiliki karakter dan sifat yang sama sekali berbeda. Imam Hasan simbol cahaya dalam kegelapan, kebenaran melawan kebatilan dan keadilan melawan kezaliman. Karena itu, Muawiyah yang mengenal putra Ali dengan baik mengelak untuk berhadapan laungsung dengannya. Mengenai hal ini, Muawiyah mengatakan, "Aku tidak pernah melihat Hasan kecuali aku selalu gemetar menyaksikan kebesarannya. Aku takut dia mengeritikku."
Untuk lebih mengenal pemimpin agung ini, mari kita menyimak kata-kata mutiara yang beliau ucapkan. Beliau pernah mengatakan, "Aku heran menyaksikan orang yang memikirkan makanan jasmaninya tetapi ia melalaikan makanan jiwa dan spiritualnya."
Ayah beliau, Imam Ali as yang mendapat gelar pintu kota ilmu, sering memuji dan mencium anaknya ini sambil menyebutnya sebagai peninggalan Rasulullah Saw. Tak syak, ilmu dan akal bagaikan dua sayap yang mengantarkan manusia ke tingkat kesempurnaan tertinggi. Ilmu adalah samudera tanpa batas yang tidak akan pernah bisa memuaskan mereka yang masuk ke dalamnya. Mengenai ilmu, Imam Hasan as mengatakan, "Ajarkanlah ilmumu kepada orang lain dan belajarlah dari orang lain untuk menguatkan sendi-sendi keilmuanmu. Belajarlah apa saja yang tidak engkau ketahui." (IRIB Indonesia)
Tadarus Ramadhan 9 : Tabzir
Tabzir berasal dari kata badzr yang artinya boros, yaitu mengeluarkan sesuatu (seperti harta) tanpa tujuan atau secara salah atau sia-sia belaka. Misalnya, menyediakan makanan yang cukup untuk sepuluh orang terhadap dua orang tamu, sehingga makanan itu sia-sia.
Allah berfirman : “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.S. Al-Isra/17 : 26-27)
Imam Ja’far Shadiq ketika menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa orang yang mengeluarkan uang untuk maksiat kepada Allah, sesungguhnya ia telah melakukan tabzir.
Ayat ini juga menegaskan bahwa boros merupakan salah satu perilaku setan, karenanya, jika seseorang melakukan pemborosan, maka ia telah mengikuti jejak langkah setan, dan telah menjadi sahabat atau saudaranya setan. Ini berarti, orang yang boros bukan hanya di bawah pengaruh setan, tetapi juga telah bekerjasama dengan setan dan membantu pekerjaannya. Hal ini karena, pemborosan merupakan perbuatan merusak nikmat dan tanda tidak bersyukur akan pemberian Allah swt.
Pemborosan sering terjadi dalam masalah keuangan. Akan tetapi, boros juga dapat merujuk pada nikmat-nikmat lain seperti anggota tubuh, mata, tangan, kaki, pikiran, telinga, dan lainnya. Jika seseorang menggunakan anggota tubuhnya, untuk melakukan maksiat kepada Allah, maka ia telah melakukan pemborosan dan kufur nikmat. Begitu pula, boros dapat terjadi menyia-nyiakan umur, seperti ‘menyia-nyiakan masa muda hanya untuk hura-hura’, ‘menyia-nyiakan waktu belajar’, ‘menyia-nyiakan amanah dan tanggung jawab’, atau juga melakukan hal-hal lain yang tidak bermanfaat. Semua itu merupakan perbuatan tabzir.
Ibadah puasa pada dasarnya mengajarkan kita untuk menghindari sifat mubazir ini. Kita diajarkan untuk mengendalikan nafsu jasmaniyah dan juga nafsu ruhaniah. Kita dilatih utk menjaga makanan, minuman, kesenangan, pikiran, hati, pembicaraan, dan seluruh potensi diri untuk mencapai pencerahan dan kedekatan pada ilahi. Kita tidak mau saat puasa mengajarkan kita untuk menghindari boros, malah kita terjebak dalam hidup boros...kita menahan makan dan minum disiang hari, tetapi menumpuknya di malam hari...kita menahan lidah saat puasa, tetapi tetapi mengulurkannya saat berbuka..
Tadarus Ramadhan 8 : Isyraf
Isyraf artinya melampaui batas. Dalam studi akhlak isyraf adalah melakukan sesuatu yang berlebihan dan melampaui batas-batas yang seharusnya. Orang yang berbuat isyraf disebut musyrif, musrifun atau musrifin.
Suatu hari Rasulullah saaw melewati Sa’d yang sedang berwudhu. Kemudian belaiau mengatakan kepadanya, ‘Mengapa kau berlebih-lebihan (dalam menggunakan air) wahai Sa’d? Sa’d kemudian bertanya, ‘Apakah ada sikap berlebih-lebihan dalam berwudhu?’ Nabi saaw menjawab, ‘Ya, sekalipun kau berada di dekat sungai.’
Isyraf termasuk perilaku tercela, yang mendatangkan kerugian bagi diri pribadi dan kehidupan masyarakat. Isyraf juga dapat terjadi pada perbuiatan yg dihalalkan Allah swt, sebagaiman disebutkan al-Quran : “...makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S. al-An’am : 141)
Seseorang bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq tentang membelanjakan harta di jalan yang halal, apakah bisa dihinggapi sifat berlebih-lebihan? Imam Ja’far Shadiq menjawab, ‘Ya, hal itu bisa menimbulkan berlebih-lebihan. Orang yang memberi zakat dan menyedekahkan harta bendanya secara berlebihan, dan tidak menyisakan sesuatu pun untuk dirinya sendiri, berarti telah berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta di jalan yang halal.’
Perbuatan yang berlebihan (isyraf) dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, Isyraf dapat terjadi pada kebutuhan-kebutuhan sehari-hari yang primer seperti saat makan, minum, atau berpakaian : “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S. Al-A’raf : 31)
Begitu pula, sikap berlebihan dapat terjadi dalam pelaksanaan hukum atau keputusan pengadilan, di mana keputusan mengandung kepalsuan dan kedustaan (lihat Q.S. Ghafir : 28) Kadangkala, berlebih-lebihan juga terjadi dalam konteks kepercayaan, yang membawa pada keraguan (lihat Q.S. Ghafir : 34). Dan adakalanya sikap berlebihan digunakan dalam pengertian mengunggulkan diri, arogansi, dan eksploitasi (lihat Q.S. ad-Dukhan : 31) Kemudian, isyraf juga digunakan untuk menyebut dosa dan kesalahan apapun bentuknya (Q.S. az-Zumar ayat 53).
Dengan memperhatikan ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa sikap dan tindakan berlebih-lebihan adalah sejenis kerusakan, baik kerusakan diri maupun kerusakan (kerugian) harta.
Untuk itu, sebagai umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulullah saaw, maka kita dilarang untuk bertindak secara berlebih-lebihan.
Islam adalah agama pertengahan, maka kita juga diperintahkan untuk bersikap pertengahan (moderat) atau hidup sederhana. Hidup sederhana, bukanlah hidup dengan kekurangan, tetapi hidup sesuai kebutuhan. Di antara cara hidup moderat (pertengahan) agar terhindar dari sifat isyraf adalah dengan cara mengurangi keinginan-keinginan kita terhadap benda-benda yang tidak menjadi kebutuhan penting. Kemudian, menyadari kerugian-kerugian isyraf bagi diri dan keluarga kita, serta kehidupan sosial kemasyarakatan.
Sadarilah, disaat kita makan dan berpakaian dengan berlebihan, maka di sisi lain ada orang-orang yang kurang makan, kurang gizi, dan mati kelaparan, serta tidak dapat berpakaian selayaknya. Karena itu, hiduplah dengan perencanaan untuk masa depan dan berhematlah. Artinya : “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Q.S. Al-Furqan/25 : 67).
Tadarus Ramadhan 7 : Mengikis Sifat Riya Melalui Puasa
Pada suatu hari Rasulullah bersabda kepada para sahabatnya, “hal utama yang aku takutkan terhadapmu adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu?” Rasul menjawab : “Riya! Pada hari pengadilan, ketika Allah menghitung seluruh amal makhluknya, Dia akan berkata kepada orang-orang yang memiliki sifat riya, ‘Pergilah kalian kepada orang yang kalian pameri saat kalian hidup di dunia dan minta balasan dari mereka.”
Riya berarti melakukan perbuatan baik untuk mencari perhatian, pujian atau kemashyhuran di depan manusia. Sifat ini merupakan dosa besar dan menyebabkan menurunnya kualitas bahkan matinya spiritual. Al-Quran menyatakan :
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya. Orang-orang yang berbuat riya.” (Q.S. al-Maun: 4-6)
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Ada tiga ciri yang menandakan bahwa seseorang melakukan riya, yaitu menyatakan suka cita dan kegembiraannya ketika disambut dan dihormati; menjadi sedih dan murung ketika sendiri (tidak ada orang lain); dan ingin dipuji untuk semua hal yang dikerjakannya.”
Perkataan Imam Ali di atas membantu kita untuk mendeteksi diri kita sendiri, apakah kita termasuk orang yang ikhlas atau orang yang riya? Cobalah Anda jawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini :
1. Apakah Anda malas-malasan beribadah jika anda sendirian?
2. Apakah Anda rajin jika banyak orang yang melihat Anda berbuat kebaikan?
3. Apakah Anda merasa bangga dan ingin dipuji setiap melakukan kebaikan?
Jika ketiga pertanyaan di atas kita jawab dengan “Ya”, maka kita termasuk kelompok orang-orang yang riya. Nauzhubillahi min dzalik
Ibadah puasa adalah ibadah tersembunyi. Tidak ada yg mengetahui seseorag itu berpuasa kecuali hanya Allah swt dan dirinya sendiri. Karena itu puasa merupakan salah satu ibadah minim riya. Artinya, puasa termasuk ibadah yg sulit dicemari oleh sifat riya. Kita bisa saja berpura2 puasa dihadapan manusia, tapi berbuka saat sendirian....jadi org yang mampu melaksanakan puasa hanyalah org yg jujur, jujur kepada dirinya dan jujur dihadapan Tuhannya. Itulah makanya Allah berfirman di dalam hadits qudsi, “Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendirilah yang akan membalasnya”.
Semoga puasa tahun ini dapat mengikis sifat riya dari dalam diri kita semua