
کمالوندی
Blunder Baru Trump di Suriah
Sekitar delapan tahun sejak awal perang pecah di Suriah, AS bersama sekutu Barat dan Arab menempatkan pasukannya di Suriah untuk mewujudkan ambisinya menggulingkan pemerintahan berdaulat Suriah, tapi hingga kini tidak berhasil.
Keputusan Presiden AS, Donald Trump belum lama ini untuk menarik pasukan AS dari Suriah menunjukkan arah baru kebijakan Washington dalam masalah Suriah. Tapi langkah tersebut memicu reaksi keras dari berbagai kalangan di AS sendiri. Ujungnya, Trump kembali melakukan zig-zag dengan mengulur tenggat waktu penarikan pasukan dari 30 hari menjadi 120 hari.
Pada 2 Januari 2019, Trump kembali menyampaikan statemen kunci mengenai masalah Suriah. Menurutnya, meskipun pasukan AS ditarik dari Suriah, tapi Pentagon akan tetap melindungi Kurdi Suriah.
Tampaknya, Trump sedang mencari alasan lain untuk merevisi kebijakannya yang menyulut polemik di kalangan pejabat tinggi AS, termasuk dari anggota kongres negara ini. Sebelumnya Trump menyatakan bahwa pasukan AS harus segera ditarik dari Suriah karena telah berhasil memenangkan pertempuran dengan kelompok teroris Daesh. Kini, isu tersebut dialihkan dengan dalih mendukung Kurdi Suriah.
Washington selama beberapa tahun terakhir menempatkan pasukannya di wilayah utara dan tenggara Suriah bersama milisi Kurdi dengan alasan menumpas teroris Daesh.
Koran New York Times dalam editorialnya pada 19 Desember 2018 lalu menulis, keluarnya AS dari Suriah menyebabkan pasukan Kurdi akan menjadi salah satu pecundangnya.
Masalah dukungan terhadap Kurdi Suriah juga disampaikan para pemimpin negara Eropa. Presiden Perancis, Emmanuel Macron dalam kontak telpon dengan sejawatnya dari Rusia, Vladimir Putin hari Rabu menegaskan pentingnya menjaga pasukan koalisi di Suriah, terutama pasukan Kurdi.
Istana Elysee dalam statemenya menyatakan bahwa presiden Perancis menekankan urgensi menjaga hak rakyat lokal, dan mempertahankan pasukan koalisi terutama pasukan Kurdi yang penting untuk menghadapi kelompok teroris.
Pihak oposisi Gedung Putih menilai keputusan Trump menarik pasukan AS dari Suriah sebagai keputusan keliru besar yang tidak mempertimbangkan kepentingan AS.
Derasnya gelombang kritik terhadap Trump membuat presiden AS ini melakukan zig-zag baru dengan menunda waktu penarikan pasukan AS. Di sisi lain, Trump juga mengatakan bahwa penarikan pasukan AS tersebut tidak akan melepaskan dukungan perlindungan terhadap Kurdi Suriah. Selain itu, Presiden AS ini sebelumnya juga mengungkapkan bahwa operasi militer di Suriah bisa dilakukan dari Irak. Tampaknya, masalah ini akan menjadi blunder bagi Trump yang akan diikuti dengan zig-zag barunya.
Tak Bisa Cegah Islamisasi Eropa, AfD Ancam Dexit
Partai sayap kanan paling berpengaruh di Jerman, Partai Alternatif untuk Jerman, AfD mengancam untuk mendorong apa yang mereka sebut Dexit (keluarnya Jerman dari Uni Eropa) jika UE tidak mengembalikan kedaulatan nasional anggotanya dan tidak mencegah "Islamisasi Eropa".
Russia Today (4/1/2019) melaporkan, AfD dalam manifesto partainya mengumumkan, komunitas Eropa sudah berubah menjadi struktur yang tidak demokratis dan dikuasai oleh kelas-kelas politik Eropa dan didesain oleh birokrasi yang tidak transparan dan tidak terkontrol.
Selain mengecam birokrasi Eropa, AfD juga menyoroti gelombang masuknya imigran Muslim ke Eropa dan upaya Islamisasi Eropa.
Angela Merkel
AfD menuntut penutupan perbatasan untuk imigran Muslim dan memperketat kebijakan terkait pengungsi. Program yang diusulkan AfD terkait imigran ini, memberikan semacam pelajaran teologi yang menyatakan bahwa Islam adalah musuh Eropa.
Agenda anti-migran yang diusung AfD nyatanya berhasil menaikkan popularitas partai kanan Jerman ini secara cukup signifikan, terbukti 60 persen warga Jerman setuju dengan AfD bahwa Islam bukan bagian dari Jerman.
Dari Lorong al-Quds Menuju Masjid al-Aqsa
Masjid al-Aqsa menjadi salah satu masjid suci umat Islam, selain Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah. Masjid tersebut berada di al-Quds (Jerusalem) Timur, wilayah Kota Tua.
Masjid yang memiliki kubah berwarna perak itu berdiri di kompleks al-Haram As-Sharif di area seluas 14 hektar. Di kompleks ini, terdapat The Dome of The Rock, yang diyakini sebagai tempat pijakan Nabi Muhammad Saw dalam perjalanan Isra Mikraj.
Bangunan suci tersebut menjadi sumber konflik berkepanjangan antara rezim Zionis Israel dan Palestina. Salah satu pemicu konfliknya adalah adanya pergerakan dari kaum Yahudi untuk beribadah di kompleks suci tersebut. Yahudi menyebut kompleks Al-Haram As-Sharif sebagai "Temple Mount" (Bukit Suci).
The Dome of The Rock (Qubbat al-Sakhra) adalah sebuah bangunan dengan keindahan luar biasa, soliditas, keanggunan, dan singularitas bentuknya, baik di luar maupun di dalamnya.
Bentuk bangunan yang luar biasa itu sebagian besarnya ditutupi dengan lapisan emas sehingga mata orang yang memandang akan terpesona dengan keindahannya. Qubbat al-Sakhra adalah bagian dari Masjid al-Aqsa.
The Dome of The Rock berada dalam satu kompleks Haram As-Sharif. Orang Yahudi biasa menyebutnya sebagai Temple Mount. Kubah Batu ini dibangun pada masa Dinasti Umayyah, antara tahun 691 dan 715 Masehi.
Qubbat al-Sakhra berbentuk oktagonal atau persegi delapan. Struktur bangunan mengambil tradisi arsitektur khas Bizantium pada abad ke-7. Tahapan pembangunan sekaligus menunjukkan gaya arsitektur yang berbeda untuk pembangunan masjid.
Kubah batu tersebut memiliki diameter sekitar 65 kaki atau 20 meter. Di bawah kubah, terdapat batu yang diyakini sebagai pijakan Nabi Muhammad Saw ketika perjalanan Isra Mikraj. Batu tersebut dilindungi oleh pagar dan terdapat tangga yang mengarah ke gua, yang terdapat di bawah permukaan batu. Gua tersebut dikenal dengan sebutan "The Well of Souls" atau Bir el-Arweh.
Di bagian interior dan eksterior dihiasi marmer, mosaik, dan plakat logam. Terdapat pula kaligrafi di sepanjang sisinya. Kemudian pada masa kepemimpinan Ottoman, The Dome of The Rock dipercantik. Kubahnya dilapisi emas serta langit-langit segi delapan juga ditutupi ukiran kayu Ottoman.
Bentuk kubah yang menawan menjadikan Qubbat al-Sakhra sebagai pelopor penggunaan kubah berbentuk setengah bola. Selain itu, The Dome of The Rock menjadi salah satu bangunan dengan kubah terindah di dunia.
Mayjen Salehi: Mengapa Trump Ketakutan Kunjungi Irak
Wakil Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata Republik Islam Iran mengatakan, angkatan bersenjata Iran berada di puncak kekuatan dan kesiapan untuk menghadapi segala bentuk ancaman.
Mayjen Ataollah Salehi, Selasa (1/1/2019) kepada IRNA menuturkan, sanksi terhadap Iran tidak akan pernah mempengaruhi kekuatan pertahanan negara ini dan masalah tersebut disadari betul oleh musuh.
Donald Trump di pangkalan udara Ayn Al Asad, Irak
"Jika sanksi berpengaruh pada kekuatan pertahanan Iran, maka musuh tidak mungkin mengunjungi pangkalan udaranya di Irak dengan ketakutan dan sembunyi-sembunyi," imbuhnya.
Ia menegaskan, sebagaimana diketahui, kunjungan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump ke Irak untuk meninjau pangkalan udara Ayn Al Asad dilakukan secara diam-diam dan tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Ayatullah Sistani Dukung Perang Lawan Korupsi di Irak
Wakil Ayatullah Ali Sistani mengabarkan dukungan Marji Muslim Syiah Irak itu atas upaya yang dilakukan dewan transparansi dalam perang melawan korupsi.
Fars News, Selasa (1/1/2019) melaporkan, Wakil Ayatullah Sistani di kota Karbala, Syeikh Abdul-Mahdi Al Karbalai dalam wawancara dengan anggota dewan transparansi Irak mengatakan, Ayatullah Sistani mendukung langkah-langkah yang dilakukan oleh dewan transparansi untuk memerangi korupsi.
PM Irak, Adel Abdul Mahdi
Hakim Irak yang tergabung dalam dewan transparansi, Izzat Tawfiq Jafar menuturkan, dukungan Marji Muslim Syiah Irak atas dewan transparansi menjadi motivasi khusus bagi dewan ini untuk meraih keberhasilan luar biasa dalam perang melawan korupsi dan membuat lembaga ini semakin serius melanjutkan perang melawan korupsi.
Pemberantasan korupsi merupakan salah satu tuntutan rakyat terpenting dan tantangan utama pemerintah Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi di Irak.
Mantan Direktur CIA Berharap Trump Semakin Terkucil di 2019
Mantan direktur badan intelijen pusat Amerika Serikat, CIA berharap di tahun 2019 semakin banyak anggota Partai Republik meninggalkan Presiden Amerika, Donald Trump sendirian karena korupsi dan pelanggaran hukumnya.
Situs The Hill (31/12/2018) melaporkan, mantan direktur CIA, John O. Brennan di laman Twitternya menulis, ini adalah harapan saya yang tulus, dan dengan kesadaran akan korupsi serta pelanggaran hukum yang dilakukan Trump semakin banyak anggota Partai Republik yang terdorong untuk meninggalkan Trump di tahun 2019.
Donald Trump
Ia menambahkan, kami sudah cukup mendengar teriakan dan protes di Gedung Putih, kami membutuhkan seorang presiden yang sebenarnya, masa depan negara kami dipertaruhkan.
Menurut Brennan, keputusan tergesa-gesa dan tidak terkoodinasi yang dilakukan Trump terkait penarikan pasukan Amerika dari Suriah adalah salah satu contohnya dan hal ini menunjukkan langkah provokatif Trump berbahaya bagi keeamanan nasional Amerika.
Tantangan Imigran Muslim di Eropa (5)
Radikalisme adalah sebuah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Orang-orang yang menyerukan langkah-langkah keras dan inkonstitusional di ranah politik, ekonomi, dan sosial untuk mengubah masyarakat disebut radikal.
Pada seri sebelumnya, kita telah mengkaji tentang pola perekrutan sejumlah imigran Muslim di Eropa untuk bergabung dengan kelompok-kelompok teroris. Pada bagian ini, kita akan fokus pada proses radikalisasi dan keanggotaan sejumlah imigran Muslim di organisasi-organisasi teroris.
Menurut studi sosial, dalam proses radikalisasi di Eropa, anak-anak muda yang memiliki pandangan sekuler umumnya akan memasuki fase pra-radikalisme.
Informasi yang tidak utuh, kesalahpahaman, dan interpretasi Islam sebagai agama kekerasan, telah meyakinkan para pemuda atau remaja untuk bergabung dengan organisasi teroris. Mereka akhirnya termotivasi untuk merencanakan serangan teror.
Ada beberapa faktor yang membuat sejumlah pemuda atau remaja imigran di Eropa tertarik pada radikalisme. Pertama, kebijakan agresif negara-negara Barat di negara-negara Muslim seperti, Irak, Afghanistan, Suriah, Lebanon, dan Yaman.
Kedua, aksi provokasi dan hasutan seperti penghinaan terhadap sakralitas Islam oleh para pejabat, intelektual, dan jurnalis Barat, serta publikasi artikel atau kartun provokatif. Ketiga, rasa memiliki hubungan antara satu kelompok dengan kelompok-kelompok lain dengan paham tertentu.
Menurut para peneliti Barat, para ekstremis potensial pada fase pra-radikalisme dan bujukan, akan menjauhkan diri dari kehidupan sebelumnya dan mulai menampilkan dirinya sebagai fundamentalis Islam. Pada fase ini, faktor-faktor seperti kesamaan ideologi, kedekatan emosional, kesamaan lembaga pendidikan, dan perjalanan ke negara-negara seperti Arab Saudi, akan mempercepat proses radikalisasi seseorang.
Data menunjukkan para pelaku serangan teror selama 2014 dan 2015 di Eropa, setidaknya pernah melakukan perjalanan ke Arab Saudi, Pakistan, Afghanistan, dan daerah-daerah yang dikendalikan teroris Takfiri di Suriah dan Irak. Secara khusus, Abdelhamid Abaaoud, seorang teroris Belgia-Maroko dan pemimpin serangan Paris pada November 2015, pernah menerima pelatihan di daerah yang dikuasai Daesh di Suriah.
Para pengungsi dan pencari suaka di salah satu negara Eropa.
Keempat, para propagandis Wahabi dan Takfiri, serta teman dekat memainkan peran penting dalam proses membujuk anak pemuda untuk bergabung dengan kelompok teroris.
Menurut para peneliti Barat, kehadiran anasir propagandis yang mahir di masjid-masjid, kampus, dan sekolah memainkan peran besar dalam membujuk anak muda dan remaja untuk memilih ideologi radikal.
Para mubaligh Wahabi Arab Saudi memainkan peran profesional dalam menghasut sentimen mazhab anak muda dan remaja yang labil di Eropa. Mereka sangat cepat terpengaruh oleh mubaligh Wahabi karena tidak mengenal sejarah negaranya, serta tidak memiliki pemahaman yang benar tentang Islam dan al-Quran sebagai agama yang cinta damai dan anti-kekerasan.
Mubaligh Wahabi yang berafiliasi dengan Arab Saudi, Redouan al-Issar alias Abu Khaled memprovokasi Mohammed Bouyeri (teroris Belanda-Maroko) untuk membunuh sutradara film Belanda yang anti-Muslim, Theo van Gogh.
Teroris Inggris, Richard Reid yang dikenal sebagai pembom sepatu, terpengaruh oleh pemikiran Abu Qatada dan para khatib lain di Masjid Finsbury Park London. Richard Reid – yang mengidolakan Osama bin Laden – berusaha meledakkan pesawat America Airlines dengan bahan peledak yang disembunyikan di sepatunya pada November 2002, tetapi berhasil digagalkan.
Kelima, jejaring sosial juga ikut berkontribusi dalam proses radikalisasi seseorang. Psikiater forensik dan mantan agen CIA, Marc Sageman menuturkan, "Media sosial adalah kunci dinamika jaringan teror."
Para teroris domestik di Eropa mengandalkan media sosial untuk melakukan radikalisasi, rekrutmen, pelatihan, dan dukungan operasional. Kemajuan di bidang teknologi informasi menyediakan peluang yang luar biasa kepada mereka untuk mengakses beragam sumber informasi dan tidak perlu lagi melakukan perjalanan ke daerah konflik untuk bertemu dengan para petinggi Al Qaeda atau Daesh.
Kubu sayap kanan menolak kehadiran imigran Muslim di Eropa.
Penggunaan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Telegram dan YouTube telah menjadi cara paling efektif bagi kelompok teroris untuk menyebarkan paham radikal. Mereka menggunakannya untuk merusak citra Islam dan memicu gelombang Islamphobia di Barat.
Al Qaeda adalah pelopor penggunaan internet untuk menyebarkan ideologi terorisme, dan dalam beberapa tahun terakhir Daesh menggunakan sejumlah besar platform media sosial, terutama YouTube dan Telegram untuk tujuan yang sama.
Kelompok-kelompok teroris dukungan Barat di Suriah, Irak, dan Afghanistan, masing-masing memiliki tim media terpisah dan akun khusus di jejaring sosial, yang menerima pasokan konten dari komando pusat.
Padahal, penyebaran konten kekerasan dan ancaman terhadap orang lain dilarang oleh aturan media sosial seperti Twitter, YouTube, dan Facebook, tetapi beragam jenis kekerasan, seperti eksekusi massal, pemenggalan, dan adegan memakan anggota tubuh korban, tersebar bebas di akun-akun resmi milik kelompok teroris.
Media sosial yang didukung oleh lobi dan kapitalis Zionis, sedang mengejar misi penting lainnya yaitu; mencitrakan Islam sebagai agama kekerasan. Sebab, kelompok-kelompok teroris dengan menyalahgunakan bendera tauhid dan slogan takbir, telah menyajikan referensi negatif dan anti-Islam di antara para simpatisannya di media sosial.
Tim cyber kelompok teroris seperti Daesh, melakukan perekrutan terhadap pemuda dari seluruh dunia untuk bergabung dengan mereka. Tagar teroris di Twitter dan video klip Daesh di YouTube, mengirim pesan yang paling efektif kepada para imigran dan bahkan penduduk asli Eropa.
Teroris juga menggunakan game komputer yang dirancang di Barat untuk memotivasi dan merekrut anak muda. Para peneliti di Inggris menemukan bahwa permainan yang disebut Homegrown Games memainkan peran besar dalam mendorong pemuda Inggris bergabung dengan Daesh.
Dan keenam, kelompok teroris memanfaatkan anasir lokal untuk merekrut anggota baru dan memperluas jaringannya. Seorang pakar Amerika yang meneliti fenomena Al Qaeda dan Daesh, Colin P. Clarke menulis, "Setelah pendudukan AS di Afghanistan, afiliasi pertama Al Qaeda di Arab Saudi didirikan pada 2003, kemudian cabang-cabang organisasi itu muncul di Irak pada 2004, di Aljazair pada 2006, di Yaman pada 2007, di Somalia pada 2010, dan di Suriah pada 2012. Di semua negara tersebut, Al Qaeda merekrut anasir lokal untuk petempurnya. Kelompok teroris selalu mencari anasir lokal dan pribumi untuk memperluas wilayah mereka dan memperoleh legitimasi."
Dari perspektif para peneliti Barat, tahap lain dari proses radikalisasi adalah penentuan tujuan, perencanaan, perakitan bahan peledak, pengujian, dan pada akhirnya menjalankan operasi teror.
Pada tahap ini, setiap anggota kelompok teroris menerima tanggung jawab untuk melancarkan operasi. Tahap ini berlangsung cukup cepat dan bisa memakan waktu beberapa bulan atau beberapa minggu atau bahkan hari.
Di sini, loyalitas kelompok benar-benar diperkuat dan orang-orang bersikap sangat tertutup. Pertemuan biasanya dilakukan di dalam mobil, rumah-rumah khusus, dan tempat-tempat yang sulit dideteksi oleh polisi dan agen pemerintah di negara-negara Eropa.
Dapat dikatakan bahwa radikalisasi biasanya bukanlah sebuah proses yang cepat, tetapi sebuah gerakan bertahap yang berlangsung selama beberapa waktu. Perilaku diskriminatif negara-negara Barat terhadap imigran Muslim ikut mempercepat proses ini, terutama dalam beberapa tahun terakhir.
Tantangan Imigran Muslim di Eropa (4)
Krisis identitas telah mendorong sejumlah imigran Muslim di Eropa menjadi simpatisan teroris. Beberapa survei mencatat bahwa publik Eropa memiliki pandangan negatif tentang pertumbuhan identitas Islam di antara masyarakat Muslim.
Survei yang dilakukan Pew Global Attitudes Project pada 2006 mencatat bahwa 83 persen publik Jerman melihat pertumbuhan identitas Muslim sebagai hal yang buruk. Persepsi serupa ditemukan di Inggris sebanyak 59 persen, di Spanyol 82 persen, dan di Perancis 87 persen.
Para pakar Eropa berpendapat jika kebutuhan akan identitas agama ini tidak terpenuhi dengan tepat, maka akan membuka ruang untuk radikalisasi.
Kampanye Islamphobia dan respon negatif publik Eropa terhadap pertumbuhan identitas Islam telah melahirkan anak-anak muda – dari generasi baru imigran Muslim – yang bersimpati kepada kelompok radikal. Anehnya, publik Eropa bukannya mengakhiri kampanye Islamphobia, tetapi justru menyalahkan Islam dan warga Muslim demi melepas tanggung jawabnya.
Akibat kebijakan Islamphobia, banyak imigran muda Muslim yang tinggal di negara-negara Barat berada dalam kebingungan di antara budaya Islam orang tua mereka dan budaya sekuler. Uniknya, banyak individu yang telah teradikalisasi umumnya memiliki paham sekuler.
Temuan Wiktorowicz menunjukkan bahwa banyak dari anggota organisasi teroris al-Mujahidin yang aktif di Inggris, benar-benar tidak religius dan sebelum bergabung dengan organisasi itu, mereka tidak mendapatkan pendidikan agama secara khusus. Orang-orang ini – dalam proses pencarian identitas – memilih radikalisme yang bertentangan dengan Islam.
Banyak pakar percaya bahwa pemuda Muslim Eropa – sebagai generasi kedua atau ketiga imigran – merasa asing di tengah masyarakat Eropa, karena mereka tidak diterima sepenuhnya oleh penduduk lokal. Anak-anak muda ini akhirnya terpengaruh oleh ideologi radikal selama proses pencarian identitas. Mereka juga termakan propaganda para pengkhotbah, yang berafiliasi dengan Arab Saudi dan kelompok teroris seperti Al Qaeda dan Daesh.
Pakar masalah radikalisme di Inggris, David Precht menuturkan, "Di Eropa Barat, bagi banyak orang, proses radikalisasi dimulai ketika mereka remaja yaitu ketika sedang mencari sebuah identitas yang lebih kuat dan mereka menemukan jawabannya dalam ideologi radikal. Seringkali orang agak sekuler sebelum mereka memasuki proses radikalisasi, dan secara umum radikalisasi terjadi dalam jaringan sosial yang longgar dari teman dan rekan."
Jadi, salah satu alasan ketertarikan remaja atau pemuda pada radikalisme karena keterkucilan mereka di tengah masyarakat, yang memiliki perbedaan besar dengan mereka dari aspek sosial-budaya. Bergabung dengan kelompok radikal dianggap sebagai jalan keluar bagi mereka yang merasa terkucilkan.
Saat ini, generasi kedua Muslim di Eropa masih dipandang sebagai pendatang dan warga asing, dan mereka menderita karena diskriminasi rasial dan pembatasan tertentu di Benua Biru.
Para peneliti percaya bahwa persoalan ekonomi dan kemiskinan memang berpotensi menyeret seseorang ke paham radikal, tetapi sulit untuk menjelaskan tentang alasan kehadiran orang-orang yang mapan secara ekonomi dan sosial dalam barisan Daesh.
Perilaku negara-negara Eropa – sebagai pahlawan HAM – dengan para imigran Muslim secara jelas telah melanggar hak-hak dasar mereka. Masyarakat Muslim di Eropa tidak menikmati hak-hak yang setara seperti warga asli Eropa dan dianggap warga negara kelas dua. Hak-hak mereka sebagai warga negara juga dilanggar sehingga banyak imigran dengan pendidikan tinggi, terpaksa bekerja di tempat-tempat yang tidak tepat di Eropa.
Statistik menunjukkan sebagian besar Muslim Eropa menghadapi banyak kendala dalam mencari pekerjaan di negara-negara seperti Denmark, Inggris, dan Belanda. Laporan Pusat Pemantauan Eropa tentang Rasisme dan Xenophobia (EUMC) mencatat bahwa sarana pendidikan untuk Muslim Eropa lebih rendah daripada rata-rata orang Eropa.
Misalnya saja, hanya 3,3 persen imigran lulusan sekolah-sekolah di Jerman, dapat melanjutkan pendidikan di universitas. Tingkat pengangguran imigran Muslim jauh lebih tinggi daripada rata-rata penduduk asli Jerman. Warga Muslim umumnya bekerja di sektor yang berpenghasilan rendah dan tidak ada jaminan status.
Menurut angka resmi Dewan Muslim Inggris, tingkat pengangguran Muslim di Inggris dan Wales tercatat tinggi dibandingkan dengan strata lainnya. Pada 2011, hanya 19,8 persen Muslim dari Inggris dan Wales memiliki pekerjaan penuh waktu.
Presentase pengangguran di kalangan Muslim di Inggris dan Wales pada 2011 sebesar 7,2 persen. Angka ini mencapai 4 persen dari total populasi Inggris dan Wales, dan jumlah ini justru mengalami peningkatan setelah 2011.
Mengenai kondisi perumahan, masyarakat Muslim Eropa juga menghadapi pembatasan dan diskriminasi, dan banyak dari mereka tinggal di pinggiran kota-kota besar Eropa.
Banyak warga Muslim harus rela tinggal di pinggiran kota Paris yang sebagian besar terdiri dari bangunan kumuh. Akibat ketidakadilan ini, warga Perancis memiliki kehadiran tertinggi di Daesh di antara negara-negara Eropa lainnya, dan penduduk pinggiran Paris lebih rentan terhadap perekrutan Daesh daripada kota-kota lain. Untuk itu, beberapa daerah di pinggiran Paris dikenal sebagai basis potensial terorisme.
Kampanye Islamphobia di Barat dilakukan semakin intens sejak peristiwa 11 September dan penghancuran enara Kembar New York, yang penuh tanda tanya.
Hari ini, perilaku diskriminatif aparat keamanan Eropa dalam memeriksa dan menginterogasi Muslim – karena agama dan model pakaian mereka – sudah sangat parah. Kebijakan diskriminatif Barat telah dipandang oleh imigran Muslim sebagai upaya kriminalisasi. Perilaku ini memotivasi sebagian imigran memilih ideologi radikal dengan tujuan balas dendam.
"Mereka yang merasa bahwa masyarakat sebagai satu kesatuan, memberikan hal yang paling sedikit kepada mereka, memiliki potensi yang sangat besar untuk bergabung dengan jaringan teroris," kata psikiater forensik dan mantan agen CIA, Marc Sageman.
Namun, dampak dari perlakuan diskriminatif tidak selalu mengarah pada perilaku kekerasan dan radikal. Meski banyak Muslim tinggal di pinggiran kota-kota besar Eropa, menganggur atau miskin secara ekonomi, tetapi faktor ini tidak serta-merta mendorong mereka ke radikalisme.
Sebagai contoh, serangan ke Bandara Glasgow Inggris pada 2007 dilakukan oleh seorang dokter dan insinyur dengan gelar PhD. Fakta ini membuktikan bahwa individu dengan karir yang sukses juga dapat terpengaruh oleh ideologi radikal.
Para pejabat Eropa percaya bahwa salah satu faktor yang menyebabkan sebagian imigran Muslim tertarik pada radikalisme dan takfirisme, karena peran para mubaligh Wahabi Arab Saudi. Mereka memprovokasi pemuda Muslim untuk menjadi “jihadis.”
Kekhawatiran tentang konten pidato yang disampaikan oleh beberapa imam di masjid-masjid mendorong pemerintah Eropa untuk mengambil serangkaian tindakan kontrol. Pasca serangan teror di Spanyol pada Maret 2004, menteri dalam negeri Spanyol mengusulkan undang-undang yang memungkinkan pemerintah mengontrol teks khutbah para imam. Aturan ini dikecam oleh ketua Komisi Islam Spanyol.
Pada 2016 dan 2017, Perancis dan Belanda mengusir beberapa mubaligh dengan alasan melakukan radikalisasi pada jamaah. Hubungan baik antara Perancis dan beberapa negara Eropa dengan Arab Saudi telah memotivasi para mubaligh untuk mengadopsi paham Wahabi Takfiri.
Dapat dikatakan bahwa krisis identitas di Eropa, frustrasi karena pembatasan dan diskriminasi rasial, paham Wahabi Arab Saudi, kebijakan agresif beberapa pemerintah Eropa, Islamphobia, dan pelecehan media-media Barat terhadap sakralitas Islam, merupakan faktor utama bergabungnya sebagian imigran Muslim di Eropa dengan kelompok radikal.
Lembaga-lembaga think tank Barat sendiri menyebut Arab Saudi sebagai "ibu dari semua terorisme," namun negara-negara Eropa khususnya Perancis mendukung kebijakan tebar konflik Arab Saudi di Timur Tengah (Asia Barat). Dukungan ini berkontribusi dalam menyebarkan paham radikal Wahabi di antara imigran Muslim di Eropa.
Tantangan Imigran Muslim di Eropa (3)
Salah satu kekhawatiran besar negara-negara Eropa mengenai generasi kedua imigran Muslim adalah bahwa mereka yang terpengaruh oleh apa yang disebut Barat sebagai fundamentalisme Islam, akan terjerumus ke arah isolasi budaya. Para imigran dengan isolasi budaya berpotensi melakukan tindakan kekerasan dan terorisme.
Dengan asumsi ini, para pejabat Eropa menganggap budaya Islam memiliki pendekatan agresif terhadap peradaban Barat. Namun, jika mereka benar-benar berkomitmen dengan slogan kebebasan keyakinan dan agama, tidak akan pernah muncul asumsi tentang pertentangan Islam dengan norma-norma budaya dan nilai-nilai kemanusiaan peradaban lain. Dugaan ini sebenarnya muncul karena media-media Barat memperkenalkan Islam secara bias.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam sepucuk surat kepada pemuda Eropa dan Amerika pada 21 Januari 2015, mengatakan, "Kenalilah Islam dari sumber-sumber orisinil dan aslinya. Kenalilah Islam melalui al-Quran dan kehidupan Nabi Besar Muhammad Saw. Di sini, saya ingin bertanya apakah kalian sudah pernah membaca langsung al-Quran kaum Muslim? Apakah kalian sudah mempelajari ajaran Nabi Islam (Muhammad Saw), dan ajaran kemanusiaan dan akhlaknya? Selain media, apakah kalian pernah menerima pesan Islam dari sumber lain? Pernahkah kalian bertanya pada diri sendiri, bagaimana dan atas dasar nilai-nilai apa sehingga Islam ini telah mengembangkan peradaban ilmiah dan intelektual terbesar dunia selama berabad-abad serta mendidik para ilmuwan dan pemikir paling terkemuka?"
Terlepas dari urgensitas mengenal Islam dan kaum Muslim dari sumber-sumber otentik Islam, para pejabat politik, media, dan intelektual Barat memiliki pendekatan sinis terhadap Islam dan Muslim. Pendekatan sinis ini mendorong para pejabat Eropa – sadar atau tidak – mencitrakan Islam dan imigran Muslim identik dengan terorisme.
Sebagai contoh, otoritas kontra-terorisme Inggris memperingatkan ada sekitar 3.000 Muslim ekstrim tinggal di Inggris, yang berpotensi melakukan tindakan teroris. Namun, pihak berwenang di bidang kontra-terorisme Eropa tidak bisa menjelaskan bagaimana cara mengidentifikasi potensi tersebut.
Media-media Barat tidak mampu membedakan antara kelompok radikal dan imigran Muslim yang cinta damai di Eropa, dan karena alasan ini, mereka menyebarkan pandangan biasnya tentang Muslim di antara masyarakat Eropa.
Para pejabat kontra-terorisme Eropa memperkirakan bahwa 1-2 persen dari Muslim di benua itu – antara 250.000 sampai 500.000 orang – terlibat dalam beberapa jenis kegiatan ekstremis. Namun, berapa banyak dari Muslim ini yang benar-benar mendukung terorisme atau melakukan tindakan teroris, tidak jelas.
Ada beragam pandangan tentang penyebab munculnya perilaku kekerasan ini. Beberapa pejabat politik dan intelektual Eropa percaya pada konflik inheren antara Islam dan dunia Barat. Untuk itu, sebagian besar media Barat mengkampanyekan Islamphobia dan kebencian terhadap Islam.
Sebagian lain berpendapat bahwa praktek diskriminatif di ranah politik, sosial, dan ekonomi Eropa terhadap komunitas Muslim di benua itu telah membantu menumbuhkan terorisme di Eropa. Menurut mereka, pelaku aksi teror di negara-negara Eropa adalah warga keturunan Arab yang tidak puas dengan situasi politik dan sosialnya di negara-negara Eropa.
Dari 66 tahanan pertama di penjara Guantanamo, sekitar 20 dari mereka berasal dari negara-negara Eropa Barat. Banyak dari terduga teroris di Eropa adalah generasi muda kelas menengah, yang terdorong ke arah ekstremisme karena pernah mengalami perlakuan diskriminatif.
Jadi, praktik-praktik anti-agama di bawah bendera sekularisme yang mendominasi masyarakat Eropa dan frustrasi sosial, turut mempengaruhi kencendrungan sebagian pemuda Muslim di Eropa ke arah ekstremisme.
Akan tetapi, sebagian besar pemuda Muslim di Eropa adalah imigran atau pecinta damai. Sayangnya, masyarakat Eropa tidak mampu memisahkan antara mereka dan sebagian anasir ekstrem, dan dalam banyak kasus – sebagai respon atas ekstremisme – masyarakat Eropa menjadikan seluruh warga Muslim sebagai sasaran kritiknya.
Dalam beberapa tahun terakhir, media-media Barat memanfaatkan peristiwa serangan teroris Al Qaeda dan Daesh di Eropa untuk menyudutkan komunitas Muslim. Padahal dalam pandangan Islam dan Muslim, teroris secara prinsip tidak punya agama. Namun, media-media Barat selalu memperkenalkan mereka sebagai Muslim dan Barat menutup mata tentang kerjasama para teroris Al Qaeda dan Daesh dengan pemerintah dan dinas-dinas intelijen Eropa dan AS.
Pada dasarnya, Eropa menghadapi dua fenomena terorisme sekaligus yaitu anasir yang lahir akibat diskriminasi budaya di Eropa dan organisasi teroris lain yang disebut teroris domestik atau homegrown teroris (musuh dalam selimut).
Para teroris homegrown Eropa secara prinsip tidak bisa dianggap sebagai imigran. Karena, mereka – meski memiliki akar imigran – dilahirkan atau dibesarkan di negara-negara Eropa sendiri atau memang warga asli Eropa. Tetapi, para pejabat dan media-media Barat memperkenalkan mereka sebagai generasi kedua atau ketiga imigran.
Ancaman yang terkait dengan teroris domestik mulai tumbuh signifikan di Eropa sejak 2010. Tujuan mereka umumnya adalah melakukan serangan terhadap rel kereta api, bandara, pesawat sipil, bus umum, dan fasilitas publik.
Perasaan miskin relatif, ketergantungan budaya, dan termarjinalkan secara kelompok, adalah motivasi utama para teroris homegrown Eropa dalam melakukan kekerasan, dan hal ini menjadi persoalan internal negara-negara Eropa. Para ekstremis Eropa biasanya memiliki organisasi yang tidak terpusat dan fakta ini menjadi tantangan sendiri bagi negara-negara Eropa.
Sebenarnya, keamanan publik di Eropa sangat terancam oleh pertumbuhan dan penyebaran teroris domestik.
Salah seorang anggota dinas intelijen Denmark mengatakan, "Ancaman utama bagi negara-negara seperti, Denmark dan semua negara lain Eropa datang dari kelompok pemula, tidak profesional, dan kecil. Mereka adalah para pemuda yang termakan tipuan Muslim atau non-Muslim yang terilhami oleh ideologi Al Qaeda yang disebut jihadis. Orang-orang ini secara terang-terangan atau terselubung melakukan tindakan terorisme, sama sekali tidak terkontrol, tidak terencana atau dukungan dari luar. Mereka menentukan sendiri tujuan, perencanaan, dan pada akhirnya melaksanakannya."
Mengenai kelompok kecil dan teroris lone wolf, Direktur Dinas Keamanan Inggris, Eliza Manningham-Buller dalam pidatonya di Queen Mary's College, London pada 2006 mengatakan, "Semakin banyak orang bergerak dari simpati pasif menuju terorisme aktif melalui radikalisasi atau indoktrinasi oleh teman, keluarga, dalam acara pelatihan terorganisir di sini (Inggris) dan di luar negeri, dengan gambar di televisi, melalui ruang chat dan situs web di internet."
Para peneliti Barat memperkirakan bahwa ancaman terorisme domestik bagi keamanan nasional AS dan negara-negara Eropa akan lebih serius di masa depan dibandingkan ancaman dari Al Qaeda dan afiliasinya.
Banyak bukti menunjukkan bahwa Eropa menghadapi ancaman serangan teroris yang lebih serius daripada AS. Serangan ini datang dari teroris domestik yang terpengaruh oleh ideologi kelompok-kelompok sesat seperti, Daesh dan Al Qaeda.
Meski para pejabat, media, dan bahkan think tank di Barat, tidak tertarik untuk memisahkan antara fenomena terorisme dengan imigran, namun faktanya adalah mencampuradukkan isu imigran dan terorisme di Eropa justru akan memperumit masalah.
Pendekatan seperti ini akan menghalangi para pemimpin Eropa menemukan solusi yang rasional untuk mengakhiri krisis imigran dan juga masalah terorisme; sebagai dua persoalan yang terpisah, namun saling mempengaruhi di Eropa.
Tantangan Imigran Muslim di Eropa (2)
Kelompok etnis terbesar imigran Muslim di Eropa adalah orang-orang Arab, yang membentuk 45 persen Muslim di benua itu. Posisi berikutnya ditempati orang-orang Turki dan pendatang Muslim dari Asia Selatan.
Mayoritas Muslim di Perancis dan Inggris juga berasal dari Afrika dan Asia Selatan. Warga Muslim mulai berimigrasi ke Eropa dari negara-negara bekas koloni Perancis dan Inggris di Afrika dan Asia Selatan sejak pertengahan abad ke-20. Imigrasi ini melahirkan mayoritas kelompok etnis Afrika Utara di Perancis dan mayoritas kelompok etnis Asia Selatan di Inggris.
Migrasi Muslim ke Jerman terjadi bersamaan dengan gerakan apa yang disebut pekerja tamu (Guest Workers), di mana sebagian besar mereka berasal dari Turki dan selama krisis ekonomi pada era Perang Dingin. Warga Muslim mulai mendatangi Eropa untuk mencari pekerjaan selama dekade 1950-an dan 1960-an, setelah kehancuran besar-besaran akibat Perang Dunia II.
Para imigran ini telah memenuhi kebutuhan negara-negara Eropa pada tenaga kerja murah. Jadi, kehadiran populasi imigran Muslim di Eropa terjadi karena kekurangan tenaga kerja di Eropa Barat dan kebijakan imigrasi dekade 1950-an dan 1960-an.
Proses ini berlanjut hingga tiga dekade pasca Perang Dunia II, karena pemerintah-pemerintah Eropa Barat ingin menarik imigran laki-laki muda untuk membangun kembali ekonomi mereka.
Selama beberapa dekade, negara-negara seperti Jerman, Austria dan Swiss, memandang imigran Muslim sebagai kekuatan untuk pemulihan ekonomi Eropa, tetapi pada saat yang sama tidak ada upaya serius untuk memperbaiki kondisi imigran Muslim.
Resesi ekonomi tahun 1970-an di Eropa telah menyebabkan pembatasan yang lebih ketat bagi imigran Muslim. Terlepas dari peran mereka dalam rekonstruksi ekonomi Eropa, peningkatan populasi imigran Muslim memicu kekhawatiran dari beberapa kalangan politik dan media, terutama kubu sayap kanan di Eropa. Mereka berusaha memperkenalkan imigran Muslim sebagai pemicu instabilitas dan ketidakteraturan di Eropa.
Meski diambil keputusan tertentu untuk mengendalikan migrasi tenaga kerja ke Eropa pada awal abad ke-21, namun populasi imigran di Eropa tumbuh semakin banyak. Pertumbuhan ini didorong oleh banyak faktor dan salah satunya penerbitan izin tinggal untuk kunjungan keluarga.
Di masa itu, masalah migrasi belum dianggap sebagai isu keamanan dan politik oleh masyarakat Eropa. Kebebasan bergerak pekerja dari negara-negara berkembang dipandang sebagai hal yang bertujuan membangun kembali pasar domestik negara-negara Eropa.
Setelah itu, Uni Eropa untuk pertama kalinya meloloskan undang-undang yang membedakan antara hak atas kebebasan bergerak individu dari negara-negara anggota dan negara berkembang.
Pada awal abad ke-21, negara-negara Eropa umumnya memandang imigrasi dari sudut ekonomi dan sosial. Salah satu tujuan utama mereka menciptakan pasar tenaga kerja yang terintegrasi, di mana para pekerja dapat bergerak bebas di antara negara-negara Eropa.
Krisis minyak 1974-1973 menyebabkan berakhirnya proses rekonstruksi dan era keemasan ekonomi Eropa, tetapi migrasi Muslim ke Benua Biru terus berlanjut, dan memasuki fase baru yang ditandai dengan kedatangan keluarga-keluarga pekerja.
Sejak akhir dekade 1970-an, negara-negara Eropa berusaha menutup pintunya terhadap arus besar pekerja semi-terampil, tetapi pada masa itu pula, jumlah pasangan dan anak-anak dari pekerja migran yang tinggal di Eropa telah meningkat. Hal ini mendorong keluarga Muslim untuk memikirkan masalah pendidikan, agama, dan sosial serta ditambah lagi ekonomi.
Dengan demikian, pandangan Eropa tentang fenomena imigrasi mulai berubah sejak pertengahan tahun 1980-an. Meningkatnya jumlah imigran Muslim generasi kedua di Eropa dan permohonan suaka dari kerabat mereka di kampung halaman, telah menjadikan masalah migrasi sebagai sebuah isu politik.
Seiring meningkatnya imigran ilegal, negara-negara Eropa merasa perlu menyusun undang-undang bersama dan mengambil kebijakan terpadu terkait pendatang.
Perjanjian Uni Eropa yang dikenal sebagai Perjanjian Maastricht 1992, memperkenalkan masalah migrasi sebagai subjek regulasi antara pemerintah di Uni Eropa.
Sejak akhir dekade 1990-an, terutama pasca 11 September, masalah migrasi secara bertahap bergeser ke isu keamanan dan beberapa pemerintah Eropa mengaitkan imigran Muslim dengan terorisme, ekstremisme, dan kejahatan internasional.
Sejak akhir dekade 1990-an, negara-negara Eropa menerapkan program integrasi yang sejalan dengan pemikiran dan gaya hidup Barat melalui transformasi budaya dan nilai-nilai Muslim serta perubahan dalam sistem normatif mereka yang sesuai dengan nilai-nilai Eropa. Namun, generasi ketiga imigran Muslim belum mampu menyatu dengan identitas Eropa.
Karena program integrasi tidak berjalan efektif pada generasi ketiga imigran Muslim, maka perpecahan dan kesenjangan sosial secara bertahap muncul di antara mereka dan penduduk lokal, dan menciptakan ruang bagi diskriminasi sosial terhadap imigran Muslim, hanya karena status mereka Muslim.
Di sisi lain, sentimen anti-asing dan Islamphobia semakin merebak di tengah masyarakat tuan rumah. Meningkatnya kekuatan partai-partai sayap kanan anti-imigran di beberapa negara Eropa, termasuk Swedia, Belanda dan Denmark, serta terbentuknya kelompok-kelompok anti-Islam dan anti-imigran seperti, PEGIDA di Jerman, adalah salah satu contoh nyata dari bangkitnya sentimen anti-Islam dan anti-Muslim di Barat.
Fenomena Islamphobia di Eropa dengan sendirinya telah membantu menggiring masalah imigrasi ke isu keamanan Eropa.
Bertambahnya jumlah warga Muslim yang eksodus ke Eropa telah mempengaruhi pendekatan studi sosial dalam meneliti fenomena migrasi di Barat dengan orientasi agama. Di Eropa, studi sosiologis imigran termasuk bagian dari studi agama dengan klaim bahwa kehadiran Muslim telah membawa dampak negatif di Eropa.
Di Amerika Serikat, pendatang utama adalah orang-orang Kristen. Namun di Eropa Barat, imigran yang paling banyak adalah Muslim.
Bagi beberapa negara Eropa, terlepas dari klaim mereka tentang demokrasi dan kebebasan, sangat sulit untuk memenuhi tuntutan atas dasar agama. Menurut beberapa pakar Barat, agama para imigran di Eropa Barat bukanlah sebuah peluang, melainkan penghalang dan tantangan bagi integrasi Eropa serta menjadi sumber konflik dengan institusi-institusi Eropa dan sebuah faktor yang bisa merusak komposisi demografi Eropa di masa depan.
Bernard Lewis, dosen dan analis studi Asia Barat di Princeton University dalam sebuah wawancara dengan majalah Jerman, Die Welt pada 2004, memperkirakan Eropa Barat akan menjadi wilayah Islam di masa depan jika jumlah imigran Muslim terus bertambah.
"Orang-orang Eropa menikah terlambat dan memiliki sedikit atau tanpa anak. Tetapi proses migrasi orang-orang Muslim ke Eropa berjalan cepat. Orang-orang Turki di Jerman, Arab di Perancis, dan Pakistan di Inggris akan bertambah. Mengingat tren saat ini, mayoritas Muslim akan tinggal di Eropa paling tidak pada akhir abad ke-21. Jika Eropa tidak bisa menangani kehadiran Islam dan Arab serta menetapkan pedoman untuk asimilasi Muslim dengan nilai-nilai Eropa, maka saat itu kendali persoalan ini akan jatuh ke tangan kaum rasis dan fasis," jelasnya.
Saat ini, pejabat dan negara-negara di Eropa Barat sedang mengkaji masalah penerapan keamanan ekstrim terhadap imigran Muslim dan melemparkan isu tentang ketidakmampuan atau keengganan imigran Muslim untuk menyatu dengan identitas Eropa.
Di sini, banyak politisi dan pemerintah Eropa – untuk lari dari persoalan internalnya – menggambarkan imigran Muslim sebagai sumber utama masalah.
Dampak dari pendekatan semacam ini adalah munculnya kelompok-kelompok rasis, anti-Islam dan anti-imigran di beberapa negara Eropa. Padahal, imigran Muslim memainkan peran utama dalam pembangunan Eropa sejak dekade 1960-an, dan berbeda dengan klaim kubu anti-Islam, mereka bukan bahaya bagi stabilitas Eropa.
Faktor yang memperkuat ekstremisme di Eropa adalah kebijakan keliru yang memandang imigran Muslim dari perspektif keamanan, dan juga dukungan sebagian negara Eropa kepada Arab Saudi yang menjadi sumber ekspor terorisme Wahabi.