کمالوندی

کمالوندی

Selasa, 18 Oktober 2016 23:43

Mengenal Imam Ali al Hadi As

Biografi Singkat Imam Ali Al-Hadi a.s.

Imam Ali An-Naqi a.s. yang juga dijuluki dengan Al-Hadi adalah putra Imam Jawad a.s. Ia dilahirkan di Madinah pada tanggal 15 Dzul Hijjah 212 H. Ibunya bernama Samanah yang lebih dikenal dengan sebutan Sayyidah.

Setelah ayahnya syahid, Imam Hadi a.s. hidup dalam suasana yang penuh kekangan yang diwujudkan oleh Mutawakil Al-Abasi. Dengan mengadakan penyerangan dan penghancuran terhadap kuburan Imam Husein a.s., para pengikut Syi'ah hidup lebih terkekang dan merasa ketakutan dari pada masa-masa sebelumnya. Ia dengan tujuan ingin mengasingkan Imam Hadi a.s. dari mereka dan dapat mengontrolnya dengan seksama., memerintahkan untuk memindahkan Imam a.s. ke Samirra`.

Mutawakil pernah memerintahkan Yahya bin Hurtsumah, salah seorang komandan pasukannya untuk menggeledah rumah Imam Hadi a.s. barangkali dapat ditemukan bukti-bukti atas usahanya mengadakan perlawanan terhadap pemerintah yang dapat dijadikan tuduhan untuk menjatuhkan hukum terhadapnya.

"Telah kugeledah rumah Imam Hadi dan aku tidak menemukan di dalamnya kecuali Al Quran, kitab-kitab doa dan ilmu pengetahuan", cerita Yahya bin Hurtsumah.

Dengan situasi yang sangat mengekang tersebut, Imam Hadi a.s. masih sempat untuk memperkuat benteng pertahanan di dalam diri masyarakat sehingga mereka dapat menghadapi situasi dengan tegar dan pantang menyerah. Khumus, zakat dan pajak-pajak yang diserahkan oleh para pengikutnya masih tetap sampai ke tangan Imam a.s., baik secara diam-diam maupun terang-terangan guna disalurkan demi kepentingan pergerakan melawan pemerintah sehingga perlawanan tersebut tetap hidup bernyawa.

Ia syahid pada tahun 254 H. di usianya yang ke-42 tahun. Ia diracun oleh mu'tazz, salah seorang khalifah dinasti Abasiyah yang dilakukan langsung oleh Mu'tamid Al-Abasi.

Pemberontakan-pemberontakan yang dipelopori oleh keturunan Ali a.s.

Salah satu kekhawatiran yang menghantui para penguasa dinasti Bani Abasiyah yang lalim saat itu adalah pemberontakan-pemberontakan yang dipelopori oleh keluarga Ali a.s. Mereka menghadapi pemberontakan-pemberontakan tersebut dengan serius dan tegas sehingga ia tidak sempat berkembang dengan pesat. Ketika berhasil menangkap para pemberontak, mereka langsung disiksa dengan siksaan yang sangat amoral dan tidak perikemanusiaan. Hal ini mereka lakukan karena mereka merasa mulai melemah akibat permainan politik yang telah mereka lakukan selama ini. Demi mencegah meluasnya pemberontakan-pemberontakan yang muncul, mereka terpaksa harus menggunakan cara-cara di atas.

Sikap Imam Hadi a.s. dalam Menghadapi Kaum Ghulat

Dalam menghadapi kaum Ghulat yang menjadikan para imam a.s. sebagai Tuhan, mereka memiliki satu sikap yang jelas dan tegas. Imam Hadi a.s. pernah berkata: "Kekufuran berdiri di atas empat tonggak penyangga: kefasikan, ghuluw (sikap berlebih-lebihan dalam mencintai Ahlul Bayt a.s.--pen.), keraguan dan selalu menyimpan syubhah (baca : menciptakan kritik-kritik tak logis dengan tujuan untuk mempertanyakan keabsahan agama--pen.)". Mereka selalu berusaha memahamkan kepada umat bahwa diri mereka tidak memiliki hubungan apa pun dengan para pemimpin Ghulat. Mereka adalah pembohong besar. Mereka berani membuat hadis-hadis palsu dan mengatasnamakan para imam a.s.

Membuat hadis-hadis palsu dengan mengatasnamakan para imam a.s. --dari satu sisi-- dapat merekrut pengikut bagi mereka dan --dari sisi lain-- dapat membantu mereka dalam merusak syari'at. Demi mementahkan propaganda mereka ini, para imam a.s. selalu menjelaskan sikap mereka yang tegas berkenaan dengan mereka dan mengenalkan hadis-hadis yang telah mereka rekayasa kepada masyarakat umum.

Sikap Imam Shadiq a.s. yang tegas ini telah berhasil memadamkan pergerakan kaum Ghulat. Akan tetapi, pada masa Imam Hadi a.s. --karena melihat kesempatan yang baik-- mereka mulai muncul kembali untuk mempropagandakan keyakinan-keyakinan mereka.

Di antara pemimpin-pemimpin kaum Ghulat yang pernah dilaknat oleh Imam Hadi a.s. adalah Hasan bin Muhammad yang juga dikenal dengan sebutan Ibnu Baba dan Muhammad bin Nushair bin Hatim Al-Qazwini. Muhammad bin Nushair mempercayai tanaasukh (keyakinan bahwa ruh para imam a.s. --setelah mereka meninggal dunia-- akan berpindah kepada manusia yang masih hidup--pen.) para imam a.s. dan menganggap dirinya sebagai utusan Imam Hadi a.s. Di samping itu, ia juga berani menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh syari'at.

Pada kesempatan ini kami haturkan kepada para pembaca budiman hadis-hadis pilihan yang pernah diucapkan oleh Imam Hadi a.s. selama ia berada di kehidupan dunia ini.

1. Tempat-tempat terkabulnya doa

"Sesungguhnya Allah memiliki tempat-tempat yang Ia sangat suka jika hamba-hamba-Nya berdoa di situ, kemudian Ia akan mengabulkannya. Di antaranya kuburan Imam Husein a.s.".

2. Takut kepada Allah

"Orang yang takut kepada Allah akan disegani (oleh orang lain), orang yang menaati Allah, ia akan ditaati, orang yang menaati Sang Pencipta, ia tidak akan peduli dengan murka makhluk dan orang yang memurkakan Sang Pencipta, ia akan dimurkai oleh makhluk".

3. Taatilah orang yang memikirkan kebaikanmu!

"Taatilah orang yang (rela) memfokuskan kecintaan dan pendapatnya (untuk kepentinganmu)".

4. Yang memiliki peran absolut adalah Allah, bukan masa

"Jangan melampaui batas dan jangan menganggap masa memiliki peran dalam hukum Allah".

5. Akibat tidak memperdulikan makar Allah

"Barang siapa yang merasa aman dari makar Allah dan kepedihan siksaan-Nya, ia akan sombong sehingga maut datang menjemputnya, dan barang siapa yang tegar dalam menyembah Allah, maka seluruh musibah dunia akan ringan dalam pandangannya meskipun ia dipotong-potong dan digergaji".

6. Taqiyah

"Jika engkau berpendapat bahwa orang yang meninggalkan taqiyah seperti orang yang meninggalkan shalat, maka pendapatmu adalah benar".

7. Akibat bersyukur

"Orang yang bersyukur lebih berbahagia disebabkan oleh rasa syukurnya dari pada nikmat yang menyebabkannya bersyukur, karena nikmat itu adalah harta dunia dan rasa bersyukur adalah nikmat dunia dan akhirat".

8. Dunia adalah tempat ujian

"Sesungguhnya Allah menjadikan dunia sebagai tempat ujian dan akhirat tempat kembali. Ia menjadikan ujian dunia sebagai sebab untuk mendapatkan pahala di akhirat dan pahala akhirat sebagai harga bagi ujian di dunia".

9. Orang lalim yang penyabar

"Sesungguhnya orang lalim yang penyabar sangat mungkin untuk dimaafkan karena kesabarannya, dan orang yang benar, akan tetapi tolol, sangat mungkin cahaya kebenarannya terpadamkan karena ketololannya".

10. Orang yang tidak memiliki harga diri

"Orang yang menganggap dirinya hina, janganlah engkau merasa aman dari kejahatannya".

11. Dunia adalah tempat keberuntungan dan kerugian

"Dunia adalah pasar, sebagian orang mendapatkan untung dan sebagian yang lain mengalami kerugian".

12. Dengki dan egoisme

"Rasa dengki adalah pembasmi kebajikan, bohong adalah penimbul permusuhan, kesombongan adalah pencegah (seseorang) untuk mencari ilmu, penyebab kehinaan dan kebodohan, kikir adalah akhlak yang paling tercela dan rakus adalah karakter yang buruk".

13. Menjauhi sifat penjilat

Imam Hadi a.s. berkata kepada seseorang yang telah memujinya dengan berlebihan: "Hentikanlah pekerjaan ini, karena sifat penjilat akan mendatangkan buruk sangka. Jika engkau sudah tidak percaya lagi kepada orang lain, janganlah terlalu memujinya dan tunjukkanlah niat baikmu".

14. Tempat berbaik dan berburuk sangka

"Jika keadilan pada suatu masa lebih dominan dari pada kezaliman, maka diharamkan untuk berburuk sangka terhadap seseorang kecuali jika kita tahu tentang kezalimannya. Dan jika kezaliman pada suatu masa lebih dominan dari pada keadilan, maka tidak berhak bagi kita untuk berbaik sangka terhadap seseorang selama kita tidak mengetahui kebaikan darinya".

15. Lebih baik dari kebajikan dan lebih indah dari keindahan

"Lebih baik dari kebajikan, orang yang mengerjakannya, lebih indah dari keindahan, orang yang mengucapkannya, lebih utama dari ilmu, orang yang memilikinya, lebih buruk dari keburukan, orang yang melakukannya dan lebih menakutkan dari hal-hal yang menakutkan, orang mewujudkannya".

16. Mengharap tidak pada tempatnya

"Jangan mengharapkan keakraban dari orang yang engkau marah terhadapnya, kesetiaan dari orang yang kau khianati, dan nasihat dari orang yang engkau berburuk sangka kepadanya. Sesungguhnya (harapan) hati orang lain (terhadapmu) seperti (harapan) hatimu (terhadapnya)".

17. Mempergunakan nikmat sebaik-baiknya

"Tampakkanlah nikmat (kepada orang lain) dengan mempergunakannya sebaik-baiknya dan mintalah tambahan nikmat dengan cara mensyukurinya. Ketahuilah bahwa jiwa manusia akan lunak di hadapan anugerah yang kau berikan kepadanya dan penasaran jika engkau mencegahnya dari sesuatu yang ingin diketahuinya".

18. Murka terhadap bawahan

"Kemurkaan terhadap bawahan adalah sebuah kehinaan".

19. Pendurhaka terhadap orang tua

"Durhaka terhadap orang tua adalah musibah bagi orang yang belum pernah melihat musibah".

20. Pengaruh silaturahmi

"Kadang-kadang umur seseorang sudah tinggal tiga puluh tahun lagi kemudian ia melakukan silaturahmi. Maka Allah akan menambahnya sehingga menjadi tiga puluh tiga tahun. Dan kadang-kadang umurnya tinggal tiga puluh tiga tahun kemudian ia memutus tali silaturahminya. Maka Ia akan menguranginya menjadi tiga tahun".

21. Akibat durhaka terhadap orang tua

"Durhaka terhadap orang tua akan mempersedikit rezeki dan menjerumuskan seseorang ke dalam jurang kehinaan".

22. Tidak sanggup menanggung musibah

"Musibah bagi orang yang sabar adalah satu dan bagi orang tidak sabar adalah dua".

1. Yang selalu bersama manusia di dunia dan akhirat

"Manusia di dunia akan bersama dengan hartanya dan di akhirat akan bersama amalnya".

2. Bergurau yang melampaui batas

"Bergurau adalah hiburan orang-orang tolol dan pekerjaan orang-orang bodoh".

3. Waktu menghembuskan nafas terakhir

"Ingatkanlah kepada keluargamu ketika engkau hendak menghembuskan nafas terakhir yang tidak ada satu dokter pun mampu menghalangi (kepergianmu) dan tidak satu pun kekasih yang dapat menolongmu".

4. Hasil berdebat

"Berdebat dapat menguraikan tali persahabatan yang sudah kuat. Minimalnya, di dalam berdebat terdapat rasa ingin menang, dan rasa ingin menang adalah faktor utama perpisahan".

5. Kalbu yang rusak

"Hikmah tidak akan dapat berpengaruh terhadap kalbu-kalbu yang rusak".

6. Merasakan lebih nikmat

"Bangun malam akan menambah kenyenyakan tidur dan rasa lapar akan menambah kelezatan aroma makanan".

7. Para tawanan lidahnya

"Orang yang menaiki kuda liar (syahwat), ia akan menjadi tawanan hawa nafsunya dan orang yang bodoh akan menjadi tawanan lidahnya".

8. Mengambil keputusan

"Gantilah penyesalanmu karena teledor dalam mengerjakan sebuah pekerjaan (tepat pada waktunya) dengan cara mengambil keputusan yang pasti".

9. Mencela dan kedengkian

"Mencela adalah kunci segala musibah yang berat, dan (bagaimana pun) mencela masih lebih baik dari pada sifat iri dengki".

10. Takdir Ilahi

"Takdir Ilahi akan menampakkan kepadamu segala yang tidak pernah kau pikirkan".

11. Rela dengan keadaan

"Orang yang selalu menjunjung dirinya, akan banyak orang yang membencinya".

12. Kefakiran

"Kefakiran adalah faktor ketamakan jiwa dan penyebab keputusasaan".

13. Jalan menjadi hamba Allah

"Jika orang-orang berjalan di jalan-jalan yang beraneka ragam, aku akan berjalan di sebuah jalan yang dilalui oleh orang yang menyembah Allah dengan penuh ikhlas".

14. Pengaruh makan daging

"Barang siapa yang tidak pernah memakan daging selama empat puluh hari, maka akhlaknya akan menjadi jelek, dan barang siapa yang memakan daging selama empat puluh hari, maka akhlaknya juga akan menjadi jelek".

15. Keesaan Allah

"Allah akan selalu Esa tidak ada sesuatu pun yang akan bersamanya. Kemudian Ia menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya dan memilih nama-nama terbaik bagi diri-Nya".

16. Rendah hati

"Rendah hati adalah hendaknya engkau memberikan kepada orang lain sesuatu yang engkau suka untuk menerimanya".

 

Selasa, 18 Oktober 2016 23:40

Siapakah Ahlulbait dalam Al-Quran?

Ahlulbait merupakan sebuah terminologi Qurani, hadis dan teologis yang bermakna keluarga Nabi Saw. Terminologi ini dalam makna ini hanya sekali disebutkan dalam al-Quran pada ayat Tathir yaitu ayat 33 surah al-Ahzab. “Innamâ yuridullâh liyudzhiba ‘ankum al-rijsa Ahlalbait wa Yutahhirakum Tathira.” Sesungguhnya Allah Swt hendak mensucikan kalian wahai Ahlulbait dari segala kekotoran dan nista sesuci-sucinya.”

Akar bahasa “Ahl” bermakna kekerabatan dan kedekatan[1] dan “bait” di samping bermakna tempat hunian dan juga bermakna tempat menginap.[2] Akar Ahlulbait secara leksikal bermakna kerabat  seseorang yang memiliki tali kekeluargaan dan kekerabatan dengannya.[3]

Akan tetapi secara mutlak dalam makna yang lebih luas Ahlulbait termasuk seluruh orang-orang yang memiliki hubungan nasab, agama, rumah, kota dan hubungan kewargaan.[4]

Para terminolog, dari kalangan teolog, ahli hadis, penafsir al-Quran menyatakan bahwa terminologi Ahlulbait yang disebutkan dalam al-Quran digunakan dengan sebuah pahaman khusus; karena mereka meyakini bahwa dalam hal ini terdapat banyak riwayat yang bersumber dari Nabi Saw dan para Imam Syiah, karena itu redaksi teknis al-Quran ini memiliki penafsiran khusus.
Terkait dengan penafsiran khusus ini bahwa siapa saja yang termasuk Ahlulbait terdapat perbedaan pendapat di kalangan penafsir (mufassir), ahli hadis (muhaddits) dan teolog (mutakallim):
Sebagian penafsir Ahlusunnah meyakini bahwa terdapat indikasi setelah dan sebelum ayat yang melibatkan para istri Nabi Saw. Para istri Nabi Saw termasuk yang disebut sebagai Ahlulbait dalam ayat ini. Mereka dalam menyokong pandangannya bersandar pada sebuah riwayat dinukil oleh Ikrimah, Maqatil, Ibnu Jabir dan Ibnu Saib dari Ibnu Abbas. Para penafsir Ahlusunnah menulis: Ikrimah berteriak di pasar bahwa Ahlulbait Nabi Saw hanyalah para istri beliau dan aku siap ber-mubahala (memohon kutukan dari Allah Swt) dengan siapa saja yang mengingkari hal ini.[5]
Sebagian penafsir Ahlusunnah dan seluruh penafsir Syiah mengkritisi pandangan ini dan berkata: Apabila yang dimaksud dengan Ahlulbait dalam ayat tersebut maka pantas kiranya seperti redaksi-redaksi sebelum dan sesudah ayat yang dialamatkan kepada mereka dinyatakan dalam bentukmuannats (feminim). Dalam ayat ini Allah Swt berfirman: “Innama yuridullah liyudzhiba ‘ankum al-rijsa Ahlalbait wa Yutahhirakum Tathira.” Sesungguhnya Allah Swt hendak mensucikan kalian wahai Ahlulbait dari segala kekotoran dan nista sesuci-sucinya.” Sementara kenyataannya tidak demikian. Penyampaian dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk plural maskulin (jam’e mudzakkar, ankum wa yutahhirakum) dan hal ini menandaskan bahwa ucapan para penafsir ini tidak benar adanya.
Akan tetapi penyandaran mereka terhadap riwayat juga diragukan. Di antara yang meragukan riwayat ini adalah Abu Hayyan Garnati – salah seorang ulama Ahlusunnah –  menulis bahwa penyandaran riwayat ini kepada Ibnu Abbas adalah tidak benar. Ibnu Katsir berkata bahwa apabila yang dimaksud dalam riwayat ini, adalah sebab-sebab pewahyuan (asbâb al-nuzul) ayat tathir, adalah para istri nabi maka ucapan ini benar adanya. Akan tetapi apabila yang dimaksud adalah bahwa yang dimaksud dan obyek ayat tathir adalah para istri nabi dan bukan yang lain maka ucapan ini tidak benar. Karena banyak riwayat yang menolak anggapan ini.[6]
Akan tetapi sebagaimana yang telah disinggung bahwa ucapan Ibnu Katsir “sebab-sebab diturunkannya ayat ini adalah berkenaan dengan para istri nabi” juga tidak benar karena pertama berseberangan dengan konteks ayat dan kedua berlawanan dengan riwayat-riwayat yang diakuinya sendiri.
Kelompok lain dari kalangan mufassir Ahlusunnah yang meyakini bahwa yang dimaksud dengan Ahlulbait dalam ayat ini adalah para istri Nabi Saw dan juga Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.[7]Perlu diketahui bahwa orang-orang yang menyokong pandangan ini tidak memiliki satu pun riwayat yang mereka jadikan sandaran.
Sebagian mufassir berkata: ayat ini bersifat umum dan termasuk seluruh keluarga Nabi Saw. Baik itu para istri, anak-anak ,kerabat dan bahkan para budak Nabi Saw. Tsa’labi berkata: Seluruh Bani Hasyim atau orang-orang beriman dari Bani Hasyim juga termasuk di dalamnya.[8]Pandangan ini juga tidak bersandar pada satu pun riwayat.
Sekelompok mufassir menengarai bahwa boleh jadi Ahlulbait adalah orang-orang yang haram menerima sedekah. Pandangan ini bersandar pada sebuah hadis yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam ketika salah seorang bertanya kepadanya: Siapakah Ahlulbait Nabi Saw? Apakah para istri Nabi Saw juga termasuk sebagai Ahlulbait? Zaid berkata: “Para istri nabi termasuk Ahlulbait. Akan tetapi Ahlulbait Nabi Saw adalah yang haram menerima sedekah; artinya Ali  ‘Ali (keluarga Ali), Ali Ja’far (keluarga Ja’far) dan Ali ‘Abbas (keluarga Abbas).[9] Menurut Abu al-Futuh al-Razi bahwa pandangan ini adalah ucapan yang jarang (syadz) dan tidak memiliki dasar. [10]
Seluruh mufassir Syiah dan mayoritas mufassir Ahlusunnah – dengan bersandar pada bukti-bukti dan indikasi-indikasi, riwayat yang banyak yang dinukil dari Nabi Saw, Hadhrat Ali, Imam Hasan, Imam Husain, Imam Sajjad dan imam-imam yang lainnya dan juga dari Ummu Salamah, Aisyah, Abu Sa’id Khudri, Ibnu Abbas dan sahabat lainnya – meyakini dengan sungguh-sunguh bahwa ayat tathir adalah diturunkan untukAshab Kisa – Nabi Muhammad Saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan yang dimaksud dengan Ahlulbait adalah kelima orang ini. Satu-satunya pertanyaan yang tersisa dalam benak adalah bagaimana mungkin di sela-sela pembahasan tugas-tugas para istri Nabi namun Ahlulbait tidak termasuk para istri nabi.
Dalam menjawab pertanyaan ini terdapat beberapa jawaban: Di antaranya yang dikatakan oleh Thabarsi: Hal ini bukan hanya satu-satunya persoalan. Dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang berada di samping ayat-ayat yang berbicara tentang beragam subyek; hal ini dapat kita saksikan pada kebanyakn ayat-ayat al-Quran. Demikian juga dalam ucapan fasih Arab dan sastra mereka terdapat banyak contoh dari perkara ini. [11]

Allamah Thathabai Ra menambahkan jawaban yang diberikan oleh Thabarsi. Ia menulis: Tiada satu pun dalil yang menunjukkan bahwa ayat Innama yuridullah liyudzhiba ‘ankum al-rijsa Ahlalbait wa Yutahhirakum Tathira.” Sesungguhnya Allah Swt hendak mensucikan kalian wahai Ahlulbait dari segala kekotoran dan nista sesuci-sucinya.” Diturunkan beserta ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Bahkan dari sebagian riwayat dapat disimpulkan bahwa ayat tathir ini diturunkan secara terpisah, dan sesuai dengan perintah Nabi Saw atau tatkala pengumpulan ayat-ayat al-Quran pasca wafatnya Nabi Saw ayat-ayat sebelum dan sesudahnya diletakan di samping ayat tathir. [12]

Dalam Tafsir Nemune disebutkan bahwa jawaban ketiga yang dapat dilihat dari pertanyaan adalah bahwa al-Quran ingin berkata kepada para istri Nabi Saw: Kalian berada di tengah sebuah keluarga yang sebagian darinya adalah maksum. Barang siapa yang berada di bawah bayangan dan pohon ishmah dan berada pada kelompok orang-orang maksum, maka sudah selayaknya mereka lebih berhati-hati melebihi yang lain. Dan tidak melupakan bahwa penyandaran mereka terhadap sebuah keluarga  yang di dalamnya terdapat lima orang maksum mereka memiliki tanggung jawab besar, dan Allah Swt dan para hamba menuntut lebih banyak darinya. [13]

Adapun riwayat yang dinukil berkenaan dengan sebab-sebab pewahyuan (diturunkannya) ayat tathir sangat banyak dan dibagi menjadi beberapa bagian:
Riwayat-riwayat yang dengan tegas yang menyebutkan sebab-sebab pewahyuan ayat dan maksud ayat tathir dan terminologi Ahlulbait untuk lima orang Alu Aba.[14]
Riwayat-riwayat yang menyokong hadis Kisa: Riwayat yang disampaikan oleh Abu Said al-Khudri, Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Abul Hamrah, Abu  Burzah yang setelah peristiwa Kisah dan turunnya ayat tathir, Nabi Saw selama sebulan, atau 40 hari, 6 sampai 9 bulan, secara berketerusan tatkala shalat Subuh, atau pada shalat-shalat lima waktu pergi ke kediaman Ali dan Fatimah dan berkata: “Assalamu ‘Alaikum Ahlalbait wa Rahmatullahi wa Barakatuh, al-shalat yarhamukumuLlah.” Kemudian setelah itu beliau membacakan ayat tathir.[15]
Dalam Syarh Ihqâq al-Haq,[16] lebih dari 70 sumber Ahlussunnah yang terkenal dikumpulkan banyak riwayat terkait dengan masalah ini, dan sumber-sumber Syiah dalam masalah ini sangat banyak.[17]

Karena itu, persoalan ini dari sisi periwayatannya adalah bersifat definitif bahwa yang dimaksud dengan Ahlulbait pada ayat tathir adalah Nabi Saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain (Salam Allah ke atas mereka semuanya). Lafaz Ahlulbait ini juga termasuk sebagian para imam; artinya juga disebutkan semenjak Imam Ali bin al-Husain hingga Imam Zaman Ajf.

Abu Said Khudri meriwayatkan dari Rasulullah Saw yang bersabda: “Inni târikun fikum al-tsaqalaîn Kitabâllahi wa ‘Itrati Ahlabaitî. Mâa in tamassaktum bihimâ lan tadhillu ba’di Abadan. Fainnamâ lan yaftariqâ hatta yarida ‘alayya al-haudh.“[18] Sesungguhnya Aku tinggalkan bagi kalian al-Tsaqalain(dua pusaka berharga), al-Qur’an dan Itrahku Ahlulbait. Kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya. Lantaran keduanya tiada akan pernah berpisah hingga berjumpa denganku kelak di telaga Kautsar.”

Abu Dzar al-Ghiffari meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Innamâ matsalu Ahlubaitî fîkum Kasifinati Nuh. Man Rakibahâ najâ wa Man Takhallafa ‘anha Ghariqa.”[19]Sesungguhnya perumpamaan Ahlulbaitku bagi kalian adalah laksana bahtera Nuh. Barangsiapa yang menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang menentangnya akan karam.”

Imam Ali As bersabda bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Aku tinggalkan bagi kalian al-Tsaqalain (dua pusaka berharga), al-Qur’an dan Itrahku Ahlulbait. Keduanya tidak akan berpisah satu sama lain hingga kiamat (laksana dua anak jari). Jabir bertanya, ‘Siapakah gerangan Itrah dan Ahlulbait itu?’ Rasulullah Saw menjawab, ‘Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan para imam dari keturunan Husain hingga kiamat.’”[20]

Imam Ali As berkata, “Saya berada di rumah Ummu Salamah sedang di hadapan Rasulullah Saw hingga ayat “Innama yuridullah liyudzhiba ‘ankum al-rijsa Ahlalbait wa Yutahhirakum Tathira” turun. Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah Saw setelahmu berapa orangkah yang akan menjadi imam?’ Rasulullah Saw menjawab, ‘Setelah engkau, Hasan As dan setelah Hasan As adalah Husain As dan setelah Husain, putranya Ali As dan setelah Ali As adalah putranya Muhammad As, setelah Muhammad adalah putranya Ja’far As dan setelah Ja’far As adalah putranya Musa As, dan setelah Musa adalah putranya Ali , dan setelah Ali As adalah putranya Muhammad As, dan setelah Muhammad adalah putranya Ali, dan setelah Ali adalah putranya Hasan dan setelah Hasan adalah putranya Hujjah Ajf akan menjadi imam. Nama-nama mereka secara berurutan tertulis di singgasana arsy Ilahi. Saya bertanya kepada Allah Swt, ‘Siapakah gerangan mereka ini?’ Allah Swt berfirman, ‘Mereka adalah para imam setelahmu. Mereka ini adalah orang-orang suci dan maksum. Musuh-musuh mereka adalah orang-orang terlaknat.’”[21]
Banyak riwayat lainnya yang menyebutkan bahwa Ahlulbait itu terdiri dari dua belas imam Syiah. Dalam hadis-hadis ini, Imam Shadiq As dan para imam lainnya menyebut diri mereka sebagai Ahlulbait dan menegaskan bahwa kami adalah Ahlulbait.[22]

Mengapa ada penegasan dan stressing al-Quran terkait deklarasi kedudukan menjulang Ahlulbait adalah supaya masyarakat mengikuti mereka dalam lintasan gerakan kesempurnaan dan melintasi jalan hidayah; karena tujuan pokok al-Quran adalah membimbing dan memberikan petunjuk kepada manusia. “Alif lam mim. Dzalika al-kitab laa raiba fiihi hudan lil muttaqin.” (Qs. Al-Baqarah [2]:1-2)

Dan mereka yang sedikit akurat mengkaji al-Quran dengan jelas ia dapat membenarkan validitas inferensi ini. Lantaran para Imam Syiah adalah pemimpin dan pemandu umat, atas dasar ini titel Ahlulbait dapat dicocokkkan bagi mereka. Dengan demikian, Rasulullah Saw sejatinya merupakan penafsir dan penjelas al-Quran. Tatkala ingin menerangkan kedudukan imamah dan kepemimpinan agama pasca kepergiannya, beliau menggunakan redaksi Ahlulbait ini. [sumber: IQ]
 

[1]. Qayyumi, Misbâh al-Munîr, hal. 28.
[2]. Ibid, hal. 68.
[3]. Ibid.
[4]. Mufrâdât Râghib Isfahânî, hal. 29.
[5]. Thabari, Jâmi’ al-Bayân, jil. 22, hal. 7; Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, jil. 6, hal. 365.
[6].  Tafsir ibnu Katsir, jil. 5, hal. 452-453
[7]. Fakhruddin, Tafsir Kabir, jil. 25, hal. 209; Baidhawi, Anwâr al-Tanzil, jil. 4, hal. 163; Abu Hayyan,al-Bahr al-Muhith, jil. 7, hal. 232.
[8]. Qurtubi, al-Jâmi’ li Ahkam al-Qur’ân, jil. 3, hal. 14 & 18; Alusi, Ruh al-Ma’âni, jil. 14, hal. 22..
[9]. Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhith, jil. 7, hal. 231-232.
[10]. Abu al-Futuh al-Razi, Raudhâ al-Jinân wa Ruh al-Jinân, jil. 15, hal. 421..
[11]. Majmâ’ al-Bayân, jil. 7, hal. 560.
[12]. Al-Mizân, jil. 16, hal. 312.
[13]. Tafsir Nemune, jil. 17, hal. 295.
[14]. Thabari, jil. 22, hal. 6-7; Qurthubi, jil. 14, hal. 183; Hakim, jil. 2, hal. 416; Bukhari,al-Târikh, jil. 1, hal. 69-70; Tirmidzi, al-Sunan, jil. 5, hal. 633.
[15]. Thabari, jil. 22, hal. 5-6; Bukhari, al-Kani, hal. 25-26; Ahmad bin Hanbal, Musnad, jil. 3, hal. 259; Huskani, Syawâhid al-Tanzil, jil. 2, hal. 11-15; Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, jil. 6, hal. 606-607.
[16]. Mar’asyi, jil. 2, hal. 502-547, jil. 9, hal. 91-92.
[17]. Utamanya yang ditulis dalam tulisan ini kebanyakan diadopsi dari kitab Syenâkht Nâme Ahlulbaitkarya Ali Rafi’ Alamardusyti, hal. 301-308. Untuk keterangan lebih jauh silahkan Anda merujuk ke kitab yang dimaksud.
[18]. Shahih Tirmidzi, jil. 2, hal. 380; Ahmad bin Hanbal, Musnad, jil. 3, hal. 17.
[19]. Hakim, Mustadrak al-Shahihaîn, jil. 2, hal. 432; Firuz Abadi, Fadhâil al-Khamsah, jil. 2, hal. 65.
[20]. Bihâr al-Anwâr, jil. 23, hal. 147.
[21]. Ibid, jil. 36, hal. 336, hadis 199.
[22].  Al-Kâfi, jil. 1, hal. 349, hadis 6.
 

Aimmah Maksumin As adalah hujjah Allah di muka bumi dan masing-masing mereka adalah orang-orang terbaik di zamannya. Sesuai dengan amanah dari Allah Swt mereka ditugaskan memimpin dan membina umat, menyebarkan perdamaian dan menjaga eksistensi Islam. Berkat peran dan kerja keras mereka, kemurnian Islam tetap terjaga pasca wafatnya Rasulullah Saw sampai saat ini, dan akan tetap eksis dimasa depan.

Imam kelima Islam Syiah Itsna ‘Asyari adalah Imam Muhammad Baqir As. Ia adalah cucu Rasulullah Saw yang dijuluki oleh lisan Rasulullah Saw sendiri Baqir al Ulum (yang mengungkap dan menyebarkan ilmu).

Ia lahir pada hari pertama bulan Rajab tahun 57 H. Sebagian sejarahwan lainnya menyebut ia lahir pada hari ketiga bulan Shafar tahun 57 H. Pada tahun 114 H hari ketujuh bulan Dzulhijjah lewat perintah dari Hisyam bin Abdul Mulk al Umawi ia diracun di Madinah dan dimakamkan di pemakaman Baqi.

Untuk mengenang kesyahidan Imam Baqir As, tulisan singkat ini memperkenalkan sedikit riwayat hidup dan peran besar beliau untuk dunia Islam.

Masa Kelahiran

Imam Muhammad Baqir As diriwayatkan lahir pada 1 Rajab tahun 57 H. Sebagian ahli tarikh lainnya menyebutkan ia lahir pada hari ketiga bulan Shafar 57 H.

Ayahnya adalah Imam Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib As yang populer dengan sebutan Imam Sajjad As. Ibunya bernama Fatimah yang akrab dengan panggilan Ummu Abdillah (putri Imam Hasan al Mujtaba As). Imam Jafar Shadiq berkata tentang Ummu Abdullah, “Fatimah, adalah keturunan terbaik dari Imam Hasan bin Ali As.” Jadi Imam Baqir As memiliki nasab yang mulia, karena dari keturunan Imam Husain As sekaligus nasabnya berasal dari Imam Hasan As.

Imam Muhammad Baqir As mendapat julukan Baqir al ‘Ulum (yang mengungkap dan menyebarkan ilmu) dari lisan kakeknya sendiri, Nabi Muhammad Saw.

Saksi Mata Tragedi Karbala

Imam Baqir disaat masih kanak-kanak diusia belum mencapai lima tahun telah merasakan beratnya kepedihan dengan menyaksikan langsung kakeknya yang mulia Imam Husain as terbantai dan syahid di Karbala. Ya'qubi meriwayatkan Imam Baqir as pernah berkata, "Ketika kakek saya Imam Husain bin Ali mencapai syahadahnya, saya berusia 4 tahun, dan meskipun telah lama berlalu, saya tidak akan pernah lupa detik demi detik kejadian tersebut."

Menjadi Imam dan Pemimpin Ummat

Imam Baqir as sebagai putra dari Imam Ali Zainal Abidin As, pasca kesyahidan ayahnya, segera memegang amanah sebagai imam ummat. Tampuk keimamahan berada dipundaknya, melanjutkan peran dan tugas sebagai pembimbing dan pemberi petunjuk pada ummat sebagaimana yang pernah diemban oleh ayah, kakek dan buyutnya.

Jabir bin Abdullah al Anshari, salah seorang sahabat mulia Nabi Muhamamd Saw pernah berkata, "Rasulullah Saw pernah bersabda yang ditujukan kepada saya dengan berkata, "Kamu kelak akan mencapai umur yang panjang, sampai kamu akan bertemu dengan salah seorang keturunanku dari Husain. Namanya Muhammad, dan dia memahami ilmu dengan sempurna, jika kamu bertemu dengannnya, sampaikan salamku kepadanya."

Para ulama yang hidup sezaman dengan Imam Baqir As memberikan kesaksian dan pengakuan atas keluasan dan kedalaman ilmu beliau. Hal tersebut tertulis dan terekam dalam kitab-kitab hadits dan kitab Tarikh Islam.

Kehidupan Sosial dan Politik Umat Syiah di Masa Imam Baqir As

Dengan makin dekatnya masa-masa akhir abad pertama hijriah, kezaliman dan kesewenang-wenangan pemerintah Dinasti Umayah makin memuncak. Di sisi lain, aksi perlawanan para penentang dinasti Umayah juga semakin meningkat. Konflik politik di masa itu, membuat kehidupan ekonomi masyarakat makin memburuk. Sehingga kegiatan ilmiah dan studi agama di tengah masyarakat pun makin terpinggirkan. Sampai-sampai banyak di antara umat Islam yang tak lagi mengenal cara-cara ibadah dan hukum agama, seperti shalat dan ritus haji.

Di masa itu, pemerintah dinasti Umayah makin lemah karena terus mendapat tekanan dan perlawanan lawan-lawan politiknya. Meski Rasulullah di masa hidupnya telah menetapkan bahwa Ahli Bait as merupakan kalangan yang paling pantas memegang tampuk kepemimpinan umat, namun masyarakat Muslim di zaman itu terpecah dalam berbagai kelompok mengenai isu kepemimpinan umat. Sebagian kelompok mengklaim bahwa Bani Umayah yang paling berhak memimpin, dan sebagian lagi menganggap Ahli Bait as sebagai pihak yang paling layak memimpin. Namun ada juga yang terlalu ekstrim dalam melihat posisi Ahli Bait As.

Dalam suasana yang sangat kelam semacam itu, Imam Baqir bangkit laksana mentari menyibak tirai-tirai kebodohan dan kegelapan. Pada masa itu, Imam Baqir As menerapkan strategi kultural, lewat penyebaran dan pengembangan ilmu pengetahuan Islam. Umat di zaman itu memerlukan transformasi pemikiran. Dengan seluruh daya upayanya, Imam Baqir berusaha menyelamatkan umat dari kesesatan dan kegelapan. Beliau juga menjelaskan bagaimana posisi Imamah dan Ahli Bait yang sebenarnya dalam masalah kepemimpinan umat. Imam Baqir mengingatkan bahwa tolak ukur kebenaran adalah al-Quran dan Sunnah Nabi.

Ia juga menegaskan bahwa pasca masa kenabian, Ahli Bait As merupakan otoritas yang paling layak dan terbaik untuk kebahagiaan dan keselamatan umat. Ia menilai, Ahli Bait Nabi as merupakan satu-satunya otoritas agama yang paling meyakinkan rujukan dalam masalah keyakinan dan pemikiran Islam. Imam Baqir As berkata, "Putra-putra keturunan Rasulullah Saw adalah pintu-pintu ilmu ilahi untuk menuju keridhaan Allah Swt. Mereka adalah pengajak ke surga".

Guna mengembangkan ilmu pengetahuan dan mendidik para ulama dan cendikiawan muslim, Imam Baqir membangun pondasi madrasah keilmuan dan budaya. Kelak, pondasi itu terus dilanjutkan pembangunannya oleh putra beliau, Imam Jakfar Shadiq As. Perjuangan ilmiah dan reformasi kebudayaan yang dijalankan Imam Baqir As di masa-masa akhir abad pertama hijriah, sejatinya merupakan pengantar untuk merevitalisasi pemikiran dan nilai-nilai Islam serta meningkatkan kecerdasan umat.

Jabir bin Yazid Ju'fi adalah salah seorang murid Imam Baqir as dan penukil 70 ribu hadis dari beliau. Jabir menuturkan, "17 tahun aku berada di sisi Imam Baqir. Ketika aku ingin berpisah dengan beliau, aku berkata padanya,‘Wahai Putra Rasulullah saw, penuhi aku dengan ilmu pengetahuan.' Imam Baqir As berkata, ‘Wahai Jabir, setelah 17 tahun engkau belum juga puas dengan ilmu?' Aku berkata, ‘Engkau adalah mata air yang tak terbatas dengan air segarnya yang tak pernah habis."

Bagi para ilmuwan Muslim dan non-Muslim sekalipun, keberadaan Imam Baqir As bagaikan air mata yang begitu jernih dan bening yang menyegarkan dahaga setiap pencari makrifat. Begitu agungnya khazanah keilmuan yang beliau miliki, membuat siapapun yang haus akan pengetahuan datang kepadanya. Keagungan dan kedalaman ilmu pengetahuan Imam Baqir menjadi buah bibir dan pujian para sejarawan dan ulama Islam. Ibnu Hajar Haitsami, sejarawan Ahlusunnah menyatakan, "Imam Baqir adalah penyibak ilmu pengetahuan dan penghimpunnya. Perilakunya menunjukkan kepribadian beliau. Ia memiliki hati yang suci dan akhlak yang mulia. Masa-masa hidupnya ia baktikan untuk mengabdi kepada Allah. Ia memiliki derajat yang begitu tinggi yang tak bisa dijelaskan oleh siapapun".

Mengomentari peran pemimpin dalam menentukan nasib umatnya, Imam Baqir berkata, "Allah Swt berfirman, setiap komunitas yang berada di bawah kekuasaan Islam yang menjadikan para pemimpin yang zalim dan kufur sebagai pemimpinnya, niscaya mereka bakal mendapat kesengsaraan, walaupun dalam tindakan personalnya mereka terbilang bertakwa. Sebaliknya, setiap komunitas yang berada di bawah kekuasaan Islam menjadikan pemimpin yang adil sebagai pemimpinnya, maka mereka akan memperoleh ampunan dosa dan rahmat ilahi, meskipun mereka memiliki kesalahan dalam tindakan pribadinya".

Dalam perkataannya yang lain mengenai kecamannya terhadap penguasa yang zalim dan para pendukungnya, Imam Baqir as menuturkan, "Para pemimpin yang zalim dan para pendukungnya, jauh dari agama ilahi".

Selama sebelas tahun Imam Baqir As hidup sezaman dengan masa kekuasaan khalifah dinasti Umayah, Hisyam bin Abdul Malik. Hisyam dikenal sebagai pemimpin yang kikir, brutal, dan zalim. Di masa itu, kehidupan masyarakat sangat sulit. Sementara Imam Baqir sebagai tokoh utama Ahli Nabi memperoleh simpati dan dukungan umat yang begitu luas. Tentu saja, Hisyam sangat khawatir dengan posisi Imam Baqir yang kian hari hari kian kuat itu. Karenanya, ia berusaha mencegah sebisa mungkin pengaruh spiritual Imam Baqir as terhadap umat Islam.

Suatu ketika dalam perjalanan hajinya, Hisyam begitu kaget dan marah melihat kecintaan masyarakat Muslim terhadap Imam Baqir as dan putranya, Imam Shadiq as. Sekembalinya ke Syam, ia pun memerintahkan supaya kedua tokoh Ahli Bait as itu dibawa secara paksa dari Madinah ke Syam. Namun upaya itu, bukannya malah menurunkan kecintaan umat kepada Ahli Bait Nabi as, tapi justu membuat masyarakat semakin mengenal siapa gerangan mereka itu, khususnya masyarakat Muslim di Syam. Karenanya, Hisyam pun terpaksa memulangkan mereka berdua ke Madinah.

Kesyahidan Imam Baqir As

Imam Baqir As selama 18 tahun keimamahannya menggunakan kesempatan tersebut untuk membimbing umat. Selama 18 tahun Imam mengerahkan upayanya untuk memperkuat sendi-sendi ideologi dan pemikiran masyarakat. Selain itu, sejarah kehidupan beliau penuh dengan teladan bagi umat. Keagungan dan kepiawian Imam Baqir As diakui oleh seluruh umat, bahkan ulama Sunni pun mengakuinya. Beliau selama hidupnya menjadi rujukan umat untuk menyelesaikan segala kesulitan mereka.

Imam Baqir As mencapai syahadahnya pada hari ketujuh  bulan Dzulhijjah tahun 114 H dalam usia 57 tahun di kota Madinah. Beliau meninggal karena diracun atas perintah Hasyim bin Abdul Malik, khalifah dari Bani Umayyah masa itu. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman Baqi di sisi makam ayahnya, Imam Ali Zainal Abidin as.

Diantara kata mutiara dari Imam Baqir as. Beliau berkata, "Sebaik-baik modal adalah percaya dan yakin kepada Allah Swt". Dalam tuturan sucinya yang lain, beliau menandaskan, "Kesempurnaan yang paling utama adalah mengenal agama, sabar dan tabah dalam menghadapi kesulitan, serta mengatur urusan hidup.

Sayidah Khadijah berasal dari kabilah Quraisy. Ayahnya Khuwailid serta ibunya Fatimah binti Zaidah, keduanya adalah dari keluarga bangsawan arab yang paling di hormati di Hijaz.

Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Killab adalah orang yang di hormati di kalangan Quraisy. Di zaman jahiliyah Khuwailid adalah tetua dalam sukunya. Pada perang fijar kedua, di hari yang di kenal dengan Syumthah, dan pada hari itu Quraisy tengah mempersiapkan perang dengan Kinanah, Ia memangku jabatan sebagai kepala suku Asad.

Di tuliskan dalam sejarah bahwa ketika Tuba’ hendak membawa batu Hajar Aswad ke Yaman, Khuwailid bangkit menentang. Penentangan ini menunjukkan kedudukan menonjol dia di zaman tersebut. Sepupu Khadijah As Waraqah bin Nufail, pendeta Arab waktu itu, sebagaimana di tuliskan dalam sejarah memiliki pengetahuan dan informasi dari kitab-kitab agama-agama sebelumnya.

Putra-putri Khadijah As

Terkait dengan jumlah anak-anak Khadijah As, para sejarawan berbeda pendapat. Pendapat masyhur mengatakan, “Hasil pernikahan Rasulullah Saw dan Khadijah As adalah enam anak. 1. Hasyim, 2. Abdullah keduanya di kenal dengan Thahir dan Tayyib, 3. Ruqayyah, 4. Zainab, 5. Ummu Kultsum, 6. Fatimah.

Ruqayyah adalah putri tertuanya dan selanjutnya adalah Zainab, Ummu Kultsum serta Fatimah. Putra-putra Khadijah As telah meninggal sebelum pengutusan(bi’tsah) Nabi Saw. namun putri-putri beliau hidup dalam periode kenabian Rasulullah Saw.

Sekelompok sejarawan meyakini bahwa Qasim dan semua putri Nabi Saw lahir setelah di utusnya Nabi dan beberapa hari sesudah Nabi hijrah ke Madinah.

Biografi Khadijah As
Sebelum kehadiran Islam Khadijah merupakan wanita Quraisy yang cukup menonjol, sedemikian hingga Ia di gelari sebagai wanita suci(Thahirah) dan pemimpin wanita Quraisy. Sebelum menjadi isteri Rasulullah Saw Ia sebelumnya pernah menjadi isteri Abu Halah Hind bin Banasy bin Zurarah dan kemudian menjadi isteri dari Atiq bin Aidz dari bani Makhzum. Beliau di karuniai dua putra dari Abu Halah dan seorang putri dari Atiq. Mereka adalah saudara-saudari se ibu dari Fatimah As.

Sesudah dua pernikahan ini, meskipun Ia adalah wanita cantik nan kaya serta banyak yang menginginkannya, Ia memutuskan untuk tidak bersuami dan memilih berniaga dengan harta yang di milikinya. Hingga suatu ketika Abu Thalib menginginkan keponakannya menjadi pekerja Khadijah sebagaimana keluarganya yang lain dan pergi berdagang ke Syam dan begitulah yang terjadi. Setelah perjalanan dagang inilah kemudian Khadijah As tertarik untuk menikah dengan Muhammad Saw dan sebagaimana kita ketahui Ia menerimanya menjadi suami.

Sebagaimana masyhur di ketahui di kalangan sejarawan serta di dukung pula oleh sunnah, Khadijah As ketika menikah dengan Muhammad Saw berumur 40 tahun. Namun mengingat jumlah anak-anak yang lahir dari pernikahan ini, dapat di katakan, para penulis sejarah memilih angkat 40 dari sisi bahwa angka ini adalah angka sempurna. Berbeda dengan pendapat masyhur ini, Ibnu Sa’ad dengan sanad dari Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa umur Khadijah ketika menikah dengan Muhammad Saw adalah 28 tahun.

Pernikahan dengan Nabi Saw

Kemuliaan dan kebaikan Muhammad bin Abdullah yang berasal dari kabilah arab paling terpandang “Bani Hasyim”, serta potensi, kelayakan, kepribadian unggul dan popularitasnya dalam menjaga amanah, menjadi buah bibir di kalangan umum dan khusus. Sedemikian hingga beliau di sebut “Muhammad Amin”. Kabar dan berita ini menyebabkan Khadijah menyukai latar belakang nasab, kepatutan, kepribadian dan karakter-karakter terpujinya. Aspek-aspek ini pula yang menyebabkan Khadijah As mengutus seorang perempuan bernama Nafisah, putri Aliyah, sebagai perantara untuk memberitahukan kesiapannya untuk menikah dengan Muhammad Saw.

Sebagian sejarawan berkeyakinan bahwa Khadijah sendiri yang mengungkapkan hal ini secara langsung kepada Muhammad Saw, dan menurut Ibnu Hisyam, sejarawan terkenal, kepada Muhammad Saw Ia mengatakan, “Wahai putra pamanku! Melalui ikatan kekeluargaan yang terdapat di antara aku dan engkau, serta keagungan dan kehormatan yang ada pada kaummu, serta sifat amanah dan kejujuran yang ada padamu, aku ingin mengatakan secara gamblang padamu bahwa aku berkeinginan untuk menjadi isterimu”.

Nabi menceritakan hal ini kepada pamannya Abu Thalib dan Abu Thalib menyatakan persetujuannya, Nafisah yang menjadi perantara pun menyampaikan kesiapan “Muhammad Amin” kepada Khadijah dan sesudah ini di gelarlah acara pernikahan yang cukup semarak di rumah Khadijah As.

Wanita Muslim Pertama

Dalam penukilan Ali bin Ibrahim – salah seorang muhaddits syiah – dalam menafsirkan ayat, “فاصدع بما تؤمر و اعرض عن المشرکین” mengatakan, “Ayat ini turun di Mekah setelah tiga tahun kenabian Rasulullah Saw dan peristiwanya seperti ini di mana maqom kenabian di turunkan kepada Nabi Saw pada hari senin dan Ali As menjadi muslim pada hari selasa dan setelah itu Khadijah putri Khuwailid isteri Nabi Saw menjadi muslimah(masuk Islam).

Dan dalam penukilan kitab “Tharaf” Sayyid Ibnu Thawus yang meriwayatkan dari kitab Washiyyah Isa bin Mustafad dari hadhrat Musa bin Ja’far dari ayahnya imam Shadiq As bahwa seperti inilah Rasulullah Saw mengajak keduanya kepada Islam dan keduanya bersama-sama beriman dan menerima Islam.

Kelahiran Fatimah As

Imam shadiq As berkata, “Ketika Khadijah memilih Nabi Saw sebagai suami, wanita-wanita Mekah lantaran permusuhan dengan beliau menjauh darinya, mereka bukan hanya tidak mengucapkan salam kepada Khadijah; bahkan mencegah wanita-wanita lainnya berinteraksi dengannya. Olehnya itu timbul ketakutan pada diri Khadijah; tentunya Ia lebih banyak takut jikalau saja mereka merugikan atau mencelakai Nabi Saw.

Sewaktu Khadijah mengandug Fatimah, Fatimah berbicara dengannya dalam perut dan Ia menghibur ibunya serta menganjurkannya untuk bersabar namun kondisi ini di sembunyikannya kepada Nabi hingga suatu hari Nabi masuk dan mendengar Khadijah berbincang dengan seseorang. Nabi melihat di sekelilingnya; namun Nabi tidak melihat siapa pun, kemudian bertanya, “Wahai Khadijah! Dengan siapa engkau berbicara?”, Khadijah dalam menjawab mengisyaratkan bayi yang ada dalam kandungannya dan mengatakan, “Anak yang ada dalam kandunganku berbicara denganku dan menghiburku”, Nabi berkata, “Saat ini pula Jibril mengabarkanku bahwa Ia adalah perempuan. Ia dan keturunannya suci, penuh berkah dan memberkati dan Tuhan akan menjadikan keturunanku darinya. Dari keturunannya akan lahir para imam agama dan Allah Swt setelah terputusnya wahyu, menjadikan mereka sebagai khalifahnya di bumi”.

Kontribusi dan Pengabdian Khadijah As

Khadijah As selama 24 tahun hidup bersama dengan Rasulullah Saw telah memberikan kontribusi dan pengabdian begitu besar kepada Nabi dan agama Islam. Dukungan harta, jiwa dan perasaan kepada Nabi Saw, membenarkan dan mendukung Nabi di saat tidak ada seorang pun yang mendukungnya serta menolong Nabi dalam menghadapi gangguan kaum musyrik merupakan salah satu sudut dari pengabdian penting Khadijah. Setelah menikah dengan Nabi Saw, Khadijah menyerahkan harta miliknya kepada beliau untuk di gunakan sesuai dengan yang di kehendaki Nabi. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada harta yang paling menguntungkan bagiku seukuran harta Khadijah”.
Khadijah As tidak hanya beriman dari kedalaman jiwa kepada risalah Nabi Saw, melainkan juga membantunya dalam menghadapi berbagai kesulitan dan pengingkaran kaum musyrik dan orang-orang jahat. Selama hidunya, Ia tidak mengizinkan gangguan dan siksaan kaum musyrik menyulitkan Nabi Saw. Ketika Nabi Saw pulang ke rumah dengan setumpuk kesedihan dan musibah, Khadijah kemudian menenangkan hatinya dan menyingkirkan kekhawatiran dari benaknya.

Harta kekayaan Khadijah sejak awal di gunakan sebagai instrumen yang tepat demi kemajuan Islam. Menariknya, bagian terakhir dari harta Khadijah di gunakan oleh Amirul mukminin Ali As dalam perjalanan hijrah ke Madinah.
Perjalanan dan safar mayoritas kaum muslimin menjadi mungkin dengan harta kekayaan Khadijah dan terakhir di gunakan oleh kafilah yang di pimpin Amirul mukminin Ali As.

Wafat Khadijah As

Tiga tahun sebelum hijrah Khadijah As jatuh sakit. Lantaran sakitnya yang semakin parah, Ia berkata, “Wahai Rasulullah! Ada beberapa wasiat dariku, maafkan aku! Aku telah lalai dalam hakmu”.

Nabi Saw berkata, “Aku tak pernah melihat kesalahan darimu, engkau telah berusaha semaksimal mungkin. Engkau teramat lelah di rumahku dan engkau telah menggunakan hartamu di jalan Allah Swt”.

Ia berkata, “Wahai Rasulullah! Wasiat keduaku adalah jagalah putri ini; dan Ia mengisyaratkan Fatimah Az Zahra As, karena setelah kepergianku dia akan menjadi piatu dan terasing. Jangan sampai di antara wanita-wanita Quraisy ada yang mengganggunya. Jangan sampai seseorang menempeleng mukanya. Jangan sampai seseorang meneriakinya. Jangan sampai seseorang beperilaku tidak patut dan keji kepadanya. Adapun wasiat ketiga, aku malu mengatakannya padamu, akan kukatakan kepada Fatimah sehingga Ia nantinya menyampaikannya kepadamu”. Kemudian Ia memanggil Fatimah dan berkata, “Cahaya mataku! Katakan kepada ayahmu Rasulullah; ibuku mengatakan, “Aku takut dengan kubur; aku mohon agar engkau mengafani aku dengan pakaian yang engkau pakai ketika wahyu turun kepadamu”. Fatimah As kemudian keluar dari kamar dan menyampaikannya kepada Nabi Saw. Nabi lalu memberikan pakaian tersebut kepada Khadinjah dan Ia begitu gembira. Ketika Khadijah meninggal, Nabi Saw memandikan dan mengafaninya sendiri. Tiba-tiba malaikat Jibril datang dengan kafan yang di bawanya dari surga dan berkata, “Wahai Rasulullah! Allah Swt mengucapkan salam kepadamu dan berfirman; dia telah menggunakan hartanya di jalan kami dan kami lebih layak untuk menanggung kafannya”.

Khadijah As meninggal dunia di usia 65 tahun pada bulan ramadhan tahun 10 kenabian di luar lembah Abu Thalib. Nabi Saw sendiri yang memandikan dan memberikan hanuth serta mengafaninya dengan kain yang di bawa malaikat Jibril dari Allah Swt. Rasulullah Saw sendiri yang masuk kedalam liang kubur dan meletakkan tubuh Khadijah dan kemudian memasang batu lahad di tempatnya. Beliau meneteskan air mata untuk khadijah, mendoakan dan memohonkan ampunan untuknya. Makam Khadijah As terletak di pekuburan Hajun kota Mekah.
Keutamaan-keutamaan Khadijah As

Di antara fadhilah dan keutamaan Khadijah As adalah suatu maqam di dalam surga yang di janjikan Allah Swt kepadanya. Nabi Saw telah berkali-kali memberitahukan Khadijah tentang masalah ini dan mengatakan, “Di surga engkau mempunyai rumah yang di dalamnya tidak akan engkau lihat kesulitan dan kesengsaraan”. Imam Shadiq As juga berkata, “Ketika Khadijah telah meninggal, Fatimah kecil terlihat tidak sabar dan terus mengelilingi ayahnya serta mencari ibunya. Nabi Saw semakin sedih melihat kondisi putri kecilnya dan berusaha mencari jalan untuk menenangkannya. Fatimah terus-menurus memperlihatkan ketidaksabaran hingga malaikat Jibril turun kepada Nabi dan berkata, “Sampaikan salam kepada Fatimah dan katakan; ibumu di surga hidup dalam suatu rumah yang berdekatan dengan Asia isteri firaun serta Maryam putri Imran”. Ketika Fatimah mendengar ucapan ini, Ia kemudian menjadi tenang dan tidak lagi menampakkan kegusaran.

Khadijah As Dalam Pandangan Ulama-ulama Ahlusunnah 
Ibnu Hajar Asqalani, “Di antara keunggulan-keunggulan Khadijah adalah memuliakan Nabi Saw serta membenarkanucapannya baik sebelum maupun sesudah menjadi utusan Allah Swt.” 

Ibnu Ishaq berkata, “Khadijah adalah seorang yang pertama kali menyatakan iman kepada Allah dan rasul-Nya serta membenarkan segala apa yang di ucapkan Nabi Saw. Allah Swt menghilangkan kesedihan Nabi melalui Khadijah dan memudahkan jalan baginya untuk melanjutkan risalahnya”. Ia menambahkan, “Khadijah bagi Islam adalah menteri kejujuran. Wanita ini berpikiran kedepan, mulia dan cerdas dan Allah Swt memberikan maqam “Bakiru ummati” kepadanya”.

Hisyam bin Muhammad berkata, “Rasulullah Saw bermusyawarah dengan Khadijah dalam berbagai pekerjaan. Ia adalah teman yang jujur dan benar bagi Nabi Saw dan Muhammad Saw menghormatinya”.

Izzuddin Ibnu Atsir, “Khadijah adalah wanita cerdas dan mulia. Semua orang-orang di kaumnya berlomba-lomba meminang untuk menikah dengannya, namun Ia tidak menerimanya dan melalui seseorang menyampaikan kesiapannya untuk menikah dengan Rasulullah Saw”.

Muhammad bin Ahmad Zahabi, “Dia adalah ibu kaum mukminin dan pemimpin wanita seluruh alam di zamannya serta berperan dalam memperkuat misi risalah suaminya serta memberikan harapan kepadanya. Khadijah adalah seorang yang religius, suci, pemurah, mulia dan ahli surga. Nabi Saw memuji isterinya ini dan lebih mengutamakannya dari wanita-wanita mukmin yang lain”.

Abdurrahman bin Jauzi, “lantaran perintah nubuwwah telah jelas, Khadijah lebih dahulu dari yang lain untuk cenderung kepada Nabi. Seluruh putra-putri Nabi Saw di lahirkan oleh Khadijah kecuali Ibrahim”.

Selasa, 18 Oktober 2016 23:36

Biografi Imam Musa al Kadzhim As

Imam Musa bin Ja’far As (Bahasa Arab:موسی بن جعفر عليه السلام ), yang lebih populer dengan sebutan Imam al-Kazhim adalah Imam Ketujuh umat Muslim Syiah. Ia lahir pada tahun 128 H di Qariyah [Abwa’] suatu daerah yang terletak antara Mekah dan Madinah. Sepeninggal ayahnya, Imam Ja’far Shadiq As, dari tahun 148 H sampai 183 H yaitu sekitar 35 tahun mengemban kepemimpinan umat sebagai imam mazhab Syiah. Ia meninggal dunia pada tanggal 25Rajab tahun 183 H di kota Baghdad, dalam keadaan terpenjara. Penyebab kesyahidannya adalah racun yang dibubuhkan oleh Sanadi bin Syahak. [1]

Ibnu Hajar Haitami [w. 974 H] salah seorang ulama besar Ahlusunnah, menuliskan alasan digelarinya Imam Musa bin Ja’far As sebagai al-Kazhim, “Disebabkan karena kesabaran dan keteguhannya yang begitu besar, sehingga ia digelari al-Kazhim, dan di kalangan penduduk Irak, ia disebut sebagai, [2] [باب قضاء الحوائج عندالله] . Ia juga dikenal sebagai ahli ibadah, paling berilmu, memiliki akhlak yang paling luhur dan paling dermawan di masanya." [3]

Disebutkan Imam Kazhim As memiliki 37 anak. Yang paling terkenal dari putranya adalah Imam Ridha As, Ahmad bin Musa, Hamzah bin Musa, dan Muhammad bin Musa. Sementara yang paling terkenal dari kalangan putrinya bernamaSayidah Maksumah.

Sepeninggal Imam Musa al-Kazhim, Syiah terbagi menjadi beberapa kelompok, di antaranya Ismailiyah, Fathiyah,Waqifiyah, Nawusiah dan Imamiyah.

Nasab, Julukan dan Lakab-lakabnya

Nasab Imam Kazhim As adalah sebagai berikut: Ibnu Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib As. Nama ibunya adalah Hamidah Barbariah [4] dan kunyahnya adalah Abu Ibrahim, Abu al Hasan pertama, Abu al Hasan al Madzi dan Abu Ali. Dikarenakan kezuhudannya dan ibadahnya beliau juga dikenal dengan sebutan Abdu Shāleh. Gelaran atau lakabnya yang paling masyhur adalah al-Kazhim disebabkan kesabaran beliau yang tinggi dan kemampuannya dalam mengendalikan amarah dalam menghadapi orang-orang yang berperilaku buruk padanya. Selain itu ia juga memiliki lakab yang lain, yaitu Bāb al Hawāij. [5]

Kelahiran dan Periode Kehidupannya

Imam Musa al-Kazhim As terlahir pada hari Ahad tanggal 7 Shafar tahun 128 H atau 129 H di Abwa’, sebuah daerah yang terletak antara kota Mekah dan Madinah. Pendapat lain menyebutkan, ia lahir di kota Madinah.[6] Imam Musa As mencapai kesyahidannya pada 25 Rajab tahun 183 H di kota Baghdad.[7] Ia berperawakan sedang, wajahnya tampan dan bercahaya, berkulit putih, berjenggot hitam dan lebat. [8] Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Syaikh Shaduq, rajahan pada cincinnya, «حسبی اللّه» [9] atau pada riwayat lain disebutkan «الملک للّه وحده»[10] Syaikh Mufid berkata, “Ia seorang ahli ibadah yang paling tekun, paling fakih dalam bidang agama, paling dermawan, dan seorang yang paling berjiwa besar, di kalangan masyarakat.” [11]

Istri dan Anak-anak

Tidak ada informasi yang valid mengenai jumlah istri Imam al-Kazhim namun diriwayatkan bahwa kebanyakan istri beliau dari kalangan budak, yang sengaja ia beli untuk kemudian dimerdekakan dan dinikahi. Yang pertama dari mereka adalah Najmah, ibu dari Imam al-Ridha As. [12]Sementara mengenai putera-puterinya, juga terdapat catatan sejarah yang berbeda-beda mengenai jumlah mereka. Menurut catatan Syaikh Mufid, Imam al-Kazhim As memiliki 37 orang anak, 18 di antaranya laki-laki, dan 19 orang lainnya perempuan. [13]

Nama Anak Laki-laki yang Masyhur:

Ali bin Musa ar-Ridha As, adalah putera terbaik Imam Musa bin Ja’far al-Kazhim As, ia wafat dan dimakamkan di kota Masyhad, Iran.
Ibrahim
Hamzah bin Musa As, dimakamkan di kota Rei.
Ishak bin Musa As, juga dimakamkan di Saweh.
Ahmad bin Musa As, yang dikenal dengan sebutan Shah Cerāgh. Ia dimakamkan di kota Shiraz.
Husain bin Musa As, dimakamkan di Shiraz.
Muhammad bin Musa As, juga dimakamkan di Shiraz.
Sulaiman bin Musa As, juga dimamkan di kota Awah.
Harun bin Musa As, dimakamkan di Sāweh
Abdullah bin Musa As, dimakamkan di Aujān.
Qasim bin Musa As, dimakamkan di Hillah.
Ismail
Abbas
Ubaidillah
Anak laki-laki yang lain:

Zaid
Hasan
Fadhl bin Musa As, dimakamkan di kota Awah.
Sulaiman
Ja’far
Anak Perempuan yang Masyhur

Fatimah Maksumah Sa, dimakamkan di Qum.
Fatimah Kubra
Hakimah
Ruqayyah Sughra
Ummu Ja’far
Khadijah
Aisyah
Maimunah
Fatimah Sughra
Ummu Abiha
Aliyah
Hasnah
Ummu Salmah
Anak Perempuan yang lain:

Ummu Kultsum
Ruqayyah
Kultsum
Aminah
Zainab
Barihah
Dan yang paling masyhur dari anak perempuannya adalah Fatimah Ma'shumah Sa yang dimakamkan di kota Qom. Saat ini, sangat banyak dari keturunan Musa bin Ja’far As diseluruh dunia khususnya di Iran yang mereka dikenal dengan sebutan keluarga Musawi.

Imamah

Dengan wafatnya sang ayah pada tahun 148 H, keimamahan Syiah beralih ke pundaknya dan mengembannya selama 35 tahun. Imam Shadiq dalam menghadapi konspirasi Khalifah Abbasi yang berusaha melakukan pembunuhan atas imam, memperkenalkan 5 washi yang disebutnya akan menggantikannya kelak sepeninggalnya. Namun bagi umat Syiah yang sejati, mengetahui bahwa Imam Musa al-Kazhimlah yang sejatinya sebagai imam pengganti ayahnya. [14]

Dalil Imamah

Sebagian dari fukaha dan sahabat-sahabat kepercayaan Imam Shadiq As menukilkan ucapan-ucapannya yang menetapkan keimamahan Imam Kazhim As. Di antaranya, Mufaddhalal bin Umar Ju’fi, Muadz bin Katsir, Abdurrahman bin Hajjāj. Faidh bin Mukhtar, Ya’qub Sirāj, Sulaiman bin Khalid dan Shafwan Jamal.

Disebutkan dalam riwayat, Imam Ja’far al-Shadiq AS berkata, “Allah Swt menganugerahkan kepadaku seorang anak laki-laki yang merupakan makhluk terbaikNya.” 15. [15] Atau pada riwayat yang lain, beliau bersabda, “Besar keinginanku tidak memiliki anak lain selain dia, sehingga kecintaan yang kuberikan kepada Musa tidak ada yang menduakannya.” [16]

Para Khalifah Yang Hidup Semasa Imam Musa Kazhim

Imam Musa al-Kazhim As menjalani tugas keimamahannya dimasa kekhalifaan Abbasiyah. Selama 35 tahun mengemban tugasnya sebagai imam, Imam Musa al-Kazhim As hidup dalam periode 4 khalifah. Keempat khalifah tersebut adalah sebagai berikut:

Manshur Dawaniqi (masa berkuasa 136-157 H)
Mahdi (masa berkuasa 157-169 H)
Hādi (masa berkuasa 169-170 H)
Harun al-Rasyid (masa berkuasa 170-193 H) [17]
Terpecahnya Kaum Syiah

Sebagian dari kaum Syiah dimasa kehidupan Imam Shadiq As, meyakini akan imamah Ismail bin Ja’far meskipun justru lebih dulu wafat daripada ayahnya. Mereka tidak menerima kematian tersebut dan tetap meyakini bahwa Ismail adalah imam pengganti Imam Shadiq As. Pasca kesyahidan Imam Shadiq As, mereka mengalami dilema kekosongan imam karena Ismail bin Ja’far yang mereka harap menjadi imam tidak kunjung datang, sehingga kemudian mereka menobatkan Muhammad bin Ismail, sebagai imam mereka selanjutnya. Kelompok ini dalam perkembangan sejarah selanjutnya dikenal dengan firkah Ismailiyah.

Sebagian lagi, setelah wafatnya Imam Shadiq As meyakini keimamahan berada ditangan Abdullah bin Afthah. Mereka kemudian memperkenalkan diri sebagai Fathiyah. Firkah lain yang terbentuk adalah Nawusiah, pengikut seseorang yang bernama Nawus yang meyakini keimamahan pasca wafatnya Imam Shadiq As di tangan Muhammad bin Ja’far. Setelah meninggalnya Imam Musa al-Kazhim As, sebagian dari kelompok Syiah tidak menerima keimamahan Imam Ali bin Musa al-Ridha As, dan meyakini keimamahan berhenti hanya sampai pada Imam Musa bin Ja’far As yang mereka yakini sebagai ''al-Mahdi'' dan ''al-Qaim''. Kelompok ini dikenal dengan sebutan Waqifah. [18]

Peritiswa mahdawiyat dan kebangkitan, adalah keyakinan Syiah yang bersumber dari riwayat-riwayat Maksumin As yang menjelaskan akan hadirnya kelak seorang keturunan dari keluarga Nabi Muhammad Saw yang akan menjadi al-Mahdi dan al-Qaim, yang akan menyebarkan keadilan di muka bumi.

Kebangkitan Syiah di Masa Imam al-Kazhim As

Husain bin Ali bin Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan sebutan Syahid Fakhkh memimpin pemberontakan atas kekuasaan Abbasiyah namun upayanya gagal dan pemberontakannya berhasil dipadamkan. Meskipun Imam As tidak pernah menganjurkan secara langsung untuk melancarkan revolusi namun pengikutnya tetap terinspirasi dengan kebangkitan Imam Husain bin Ali As, dan memiliki hubungan emosional yang erat. Penjelasan-penjelasan Imam As mengenai keutamaan jihad dan mati syahid serta perhatiannya yang besar terhadap kebangkitan Syahid Fakhkh menunjukkan kesepakatan imam akan upaya kebangkitan tersebut. [19]Diantara upaya kebangkitan lainya yang dilakukan oleh keturunan Alawi adalah yang dipimpin oleh Yahya bin Abdullah dan Idris bin Abdullah. [20]

Penangkapan dan Pemenjaraan
Terdapatnya perbedaan pendapat mengenai alasan dan penyebabnya Imam Musa al-Kazhim As ditangkap dan dipenjara menunjukkan jelasnya posisi Imam As di kalangan orang-orang Syiah. Namun berdasarkan riwayat yang paling kuat yang dinukilkan oleh para ahli sejarah adalah adanya konspirasi dan fitnah dari Yahya Barmakiatau salah seorang dari saudara Imam yang menjadi kepercayaan Harun. Imam al-Kazhim As dijebloskan ke penjara sampai dua kali. Yang pertama, tidak ditemukan data yang valid mengenai lamanya pemenjaraan tersebut. Namun pemenjaraan yang kedua, berlangsung dalam kurun waktu 179-183 H sampai mengalami kesyahidan di dalam penjara. [21] Atas perintah Harun al-Rasyid, Imam al-Kazhim As ditangkap di Madinah pada tahun 179 H. Pada tanggal 7 Dzulhijjah ia kemudian dijebloskan dalam penjara di Basrah yang dikenal dengan nama penjara Isa bin Ja’far. Tidak lama ia dipindahkan ke penjara Fadhl bin Rabi’ di Baghdad. Imam As kembali dipindahkan ke penjara Fadhl bin Yahya dan selanjutnya ke penjara Sindi bin Syahik. Di penjara terakhir inilah, Imam Musa al-Kazhim As menghabiskan usianya sampai akhirnya mereguk cawan syahadah dengan tetap berada di dalam penjara. [22]

Jalannya Syahadah

Imam Musa bin Ja’far al-Kazhim As mencapai syahadahnya pada 25 Rajab tahun 183 H di kota Baghdad, tepatnya di dalam penjara Sindi bin Syahik. Setelah Imam As wafat, Sindi memerintahkan agar jenazah Imam dilemparkan dari jembatan Baghdad kemudian mengumumkan, imam mati secara alami. [23] Mengenai kisah kesyahidan Imam al-Kazhim As terdapat nukilan riwayat yang berbeda-beda. Mayoritas ahli sejarah berpendapat, Imam As dibunuh dengan cara diracun, dan menyebutkan pelakunya adalah Yahya bin Khalid dan Sindi bin Syahak. [24]Namun sebagian lain mengatakan, Imam Musa As dibunuh dengan cara dicekik,[25]dan terdapat juga pendapat yang menyebutkan, Imam As dibunuh dengan cara memasukkan timah ke dalam tenggorokannya. [26]

Haram Imam Kazhim As dan Keutamaan Menziarahinya

Kaum Syiah berduka dengan kesyahidan Imam al-Kazhim As di tangan Dinasti Abbasiyah. Mereka menguburkan dengan penuh penghormatan jasad suci beliau di kota Kazhimain di sebuah pekuburan yang terkenal dengan nama Quraisy. Imam Ridha As berkata, “Barangsiapa yang menziarahi haram (makam) ayahku, seperti ia menziarahi makam Rasulullah Saw dan Ali bin Abi Thalib As.” Dalam riwayat yang lain disebutkan, Imam Ridha As bersabda, “Pahala menziarahi makam ayahku, sama dengan besarnya pahala yang didapat ketika menziarahi makam Imam Husain As.” [27]

Kesaksian Khatib Baghdadi

Khatib Baghdadi menukil dari Hasan bin Ibrahim Abu Ali Khilal –ulama besar dari mazhab Hambali di masanya-, “Tidak ada masalah yang menimpaku kecuali saya mendatangi makam Musa bin Ja’far dan bertawassul melaluinya kecuali Allah Swt memudahkan urusan-urusanku.” [28]

Para Sahabat dan Perawi

Nama-nama sahabat dan perawi yang meriwayatkan hadis dari Imam al-Kazhim As sangat banyak, yang kesemuanya tercantum dalam kitab-kitab muktabar. Syaikh Mufid berkata, “Imam Ketujuh adalah yang paling fakih di masanya. Masyarakat Muslim banyak yang menukil riwayat dari beliau.” [29] Syaikh Thūsi mencatat terdapat 272 perawi dan sahabat Imam al-Kazhim As. [30]

Di antaranya yang terkenal:

Hamad bin Isa Ali bin Yaqthin Hisyam bin Hakam Abu Salth bin Saleh Harawi Safwan bin Mahran Muhammad bin Abi Umair Azadi Aban bin Utsman Mufaddhal bin Umar [31]

Catatan Kaki

Al-Mufid, al-Arsyād, jld. 2, hlm. 242.
Yang memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah Swt sehingga masyarakat menjadikannya sebagai pintu untuk menyampaikan hajat-hajatnya.
Al-Shawā’iq al-Muhriqah, hlm. 203.
Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 215.
Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 236 dan 227; Thabarsi, I’lām al-Wara, jld. 2, hlm. 6; Ibnu Syahr Asyub, al-Manāqib, jld. 4, hlm. 323; Syaikh Abbās Qummi, al-Anwār al-Bahiyah, hlm. 177.
Baz Pezuhi Tārikh Wiladat_e wa Syahadat Ma’suman, hlm. 401.
Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 215.
Sayyid Muhsin Amin, A’yān al-Syi’ah, jld. 2, hlm. 6.
Shaduq, ‘Uyun Akhbār al-Ridhā, jld. 1, hlm. 31
Majlisi, Bihār al-Anwār, hlm. 10 dan 11.
Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 231.
Muhammad Taqi Syausytari, Risālah fi Tawārikh al-Nabi wa al-Alal, hlm. 75.
Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 244.
Mahdi Pisywāi, Sirahe Pisywāyān, hlm. 414.
Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 48, hlm. 2.
Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 75, hlm. 209.
Mahdi Pisywāi, Sirah_e Pisywāyān, hlm. 413.
Naubakhti, Firaq al-Syiah, hlm. 77; Rasul Ja’fariyān, Hayāt Fikri wa Siyāsi Aimmah, hlm. 379-384.
Kulaini, al-Kāfi, jld. 1, hlm. 366.
Ali Akbar Tasyyid, Qiyām Sādāt Alawi; Mahdi Pisywāi, Sireh Pisywāyān, hlm. 326-329.
Rasul Ja’fariyan, Hayāt Fikri wa Siyasi Aimmah, hlm. 393.
Syaikh Abbas Qomi, al-Anwār al-Bahiyah, hlm. 192-196.
Syaikh Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 215.
Baqir Syarif Qarasyi, jld. 2, hlm. 508-510.
Abu al-Faraj Isfahani, Maqātil al-Thālibin, hlm. 336.
Hamdallah Mustaufa, Tārikh Guzideh, hlm. 204.
Kulaini, al-Kāfi, jld. 4, hlm. 583.
Al-Amini, al-Ghadir, jld. 5, hlm. 279.
Mufid, al-Irsyād, ibid.
Thūsi, Rijāl al-Thūsi, hlm. 329-347.
Baqir Syarif Qarsyi, Hayāh al-Imām Musa bin Ja’far, jld. 2, hlm. 225-321; Sayyid Muhsin Amin, A’yān al-Syiah, jld. 2, hlm. 9.
Daftar Pustaka

Al-Amin, Sayyid Muhsin, A’yān al-Syiah, Beirut, Dār al-Ta’arif, tanpa tahun.
Al-Amini, Abdul Husain, al-Ghadir fil Kitāb wa al-Sunnah wa al-Adab, Qom, Markaz al-Ghadir al-Dirāsāt al-Islamiyah, 1416 H.
Shaduq, Muhammad bin Ali, ‘Uyun Akhbār al-Ridhā, Beirut, al-‘Ilmi, 1404 H.
Majlisi, Muhammad Baqir, Bihār al-Anwār, Beirut, Dār al-Wafā, 1403 H.
Mufid, Muhammad bin Nu’mān, al-Irsyad fi Ma’rifati Hujajillah ‘ala al-‘Ibād, Beirut, Dār al-MUfid, 1414 H
Muqaddasi, Yadallah, Bazipezuhi Tarikh Weladat wa Shahadat Ma’suman, Qom, Daftar Tablighat Islami Hauzah ilmiah Qom, 1391 H.
Haitami, Ibnu Hajar, al-Shawāiq al-Muhriqah fi al-Dār ‘ala Ahl al-Bid’ah wal al-Zindiqah , Maktab al-Qahera, tanpa tahun.
Mazandarani, Ibnu Syahr Asyub, Munāqab Ali Abi Thalib, Qom, Allamah, 1379 H.
Thabarsi, Fadhl bin Hasan, I’lām al-Wara, Qom, Ali- al-Bait, 1317 H.
Qumi, Abbasi, al-Anwār a-Bahiyah, Qom, Jami’ah Mudarrisin, 1417 H.
Shaduq, Muhammad bin Ali, ‘Uyun Akhbār al-Ridha, Beirut, al-‘Ilmi, 1404 H.
Syusytari, Muhammad Taqi, Risālah fi Tawārikh al-Nabi wa al-Alāl, Qom, Jami’ah Mudarrisin, 1423 H.
Ja’fariyan, Rasul, Hayāt Fikri wa Siyāsi Aimmah, Qom, Ansariyan, 1381 H.
Kulaini, Muhammad bin Ya’qubi, al-Kāfi, Tehran, Dār al-Kutub al-Islamiyah, 1363 H.
Thusi, Muhammad bin Hasan, Rijāl Thusi, Qom, Jamiah Mudarrisin, 1415 H.
Qarasyi, Baqir, Hayāt al-Imām Musa bin Ja’far Alaihi al-Salām, Beirut, Dār al-Balāgah, 1413 H.
Isfahani, Abu al-Faraj, Maqātil al-Thālibin, Najaf, al-Maktabah al-Haidariyah, 1385 H.

Menurut Kantor Berita ABNA, peringatan Asyura dalam memperingati kesyahidan Imam Husain As dengan melakukan arak-arakan dan berkumpul di tanah lapang sembari menyanyikan sajak-sajak duka telah menjadi upacara atau tradisi yang telah dilekatkan pada umat muslim Syiah. Dalam tradisi tersebut tidak sedikit disertai dengan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran agama, misalnya melakukan perbuatan melukai diri dengan senjata-senjata tajam dengan dalih agar turut menghayati perihnya luka yang dialami Imam Husain As. Ulama-ulama Maraji Syiah sejak dulu telah memfatwakan akan keharaman perbuatan tersebut. Namun tetap saja perbuatan tersebut dilestarikan oleh sejumlah orang, meskipun setiap tahunnya sudah semakin tidak populer.

Berikut fatwa-fatwa ulama besar Syiah akan keharaman perbuatan menyiksa dan melukai diri pada peringatan Asyura:

Ayatullah Al-Udzma Sayyid Muhsin Hakim: Qamezani (pisau yang dipukul pada badan) bukanlah termasuk dalam amalan agama, apalagi dihukumi mustahab. Amalan ini memberi kesan buruk kepada Islam, umatnya dan Ahlul Bait (as).

Ayatullah Al-Udzma Sayyid Abul Qasim al-Khui: Tidak ada satupun dalil Syar’i yang membolehkan Qamezani; tidak ada jalur periwayatan yang menghukumkan amalan itu sebagai mustahab (sunnah).

Ayatullah Al-Udzma Sayyid Abul Hasan Esfahani: Penggunaan pisau, gendang, rantai dan Bouq (sejenis trompet dari tanduk) adalah haram dan bukan dari Syariat Islam.

Ayatullah Al-Udzma Sayyid Muhsin Amin Jabal ‘Amili: Qamezani dan apa saja peralatan penyambutan Asyura (yang dapat menciderai) adalah haram menurut hukum akal dan syar’i. Mencederai dan melukai kepala bukan saja tidak memberi manfaat di dunia dan pahala di akhirat, bahkan ia menyakiti jiwa serta haram menurut hukum syar’i. Amalan ini juga menyebabkan Syiah dan Ahlul Bait menjadi jelek dalam pandangan orang. Mereka akan menganggap amalan ini sebagai tindakan biadab dan sadis. Tiada syak lagi bahwa amalan ini berasal dari bisikan Syaitan dan tidak mendatangkan keridhaan Allah, Rasulnya dan Ahlul Bait.

Ayatullah Al-Udzma As-Syahid Sayyid Muhammad Baqir Sadr: Amalan ini adalah pekerjaan insan yang jahil dan para ulama sentiasa menghalangi dan mengharamkannya.

Ayatullah Al-Udzma Fadhil Lankarani: Masalah Qamezani bukan saja tidak mendatangkan lebih banyak kesedihan dan kecintaan terhadap Imam Husain (as) dan matlamat suci beliau. Namun ia tidak diterima, bahkan ia memberikan hasil yang negatif secara rasional.

Ayatullah Al-Udzma Shalehi Mazandarani: Dalam sumber Fiqh, Qamezani sama sekali tidak memberikan faedah apapun dalam Azadari Imam Husain (as).

Ayatullah As-Syahid Murtadha Mutahhari: Upacara ini meniru budaya Kristian Ortodok Caucasus.

Ayatullah Muhammad Jawad Mughniah: Upacara ini tidak sesuai dan Bid’ah menurut agama dan Mazhab.

Ayatullah Misykini: Perkara ini menimbulkan masalah menurut Syariat Islam. Bahkan ia mengandungi unsur-unsur haram dan umat Islam tidak boleh sekali-kali memasukkannya sebagai ibadah dalam berdukacita atas Imam Husain (as).

- FATWA ULAMA YANG MASIH HIDUP -

Ayatullah Al-Udzma Sayyid Ali Khamenei: Qamezani adalah budaya yang dibuat-buat (tidak memiliki hujjah); dan sama sekali tidak berkaitan dengan agama. Tidak diragukan lagi, Allah tidak meridhainya.

Ketika Komunis menjajah Azerbaijan-Soviet dahulu, semua peninggalan-peninggaln dan tradisi Islam di sana telah dihapuskan seperti masjid diubah fungsinya menjadi gudang. Majelis-majelis pertemuan dan Husainiyah ditukar menjadi gedung lain dan tidak ada satupun simbol agama Islam dan Syiah yang berbekas; kecuali Qamezani sahaja yang dibenarkan…. mengapa? Ini adalah cara mereka memerangi agama Islam dan Syiah. Kadang-kadang musuh menggunakan alasan seperti ini untuk menentang agama. Setiap unsur khurafat dimasukkan kedalam Islam supaya kemurnian Islam tercemar.

Ayatullah Al-Udzma Jawadi Amuli: Tidak dibenarkan melakukan perkara yang menjadi penyebab ajaran Islam dihina dan kehormatan Islam dilecehkan; Qamezani dan amalan seperti itu hendaklah dijauhi.

Ayatullah Makarim Syirazi: Metodologi Azadari hendakkah tidak memberi kesempatan kepada musuh Islam untuk menyalahgunakannya. Hendaklah acara besar ini tidak diperkecilkankan dan menyebabkan penghinaan kepada mazhab. Memukul badan dengan pisau atau rantai tajam hendaklah dijauhi.

Ayatullah Al-Udzma Mazaheri Esfahani: Memukul badan dengan pisau dan semisalnya adalah haram.

Ayatullah Al-Udzma Sayyid Kazim Haeri: Perkara khurafat seperti Qamezani menyebabkan Islam dan Syiah mendapat pencitraan buruk.

Ayatullah Nuri Hamdani: Peserta Azadari hendaklah sentiasa menyedari keburukan Qamezani di mana pihak musuh sentiasa memikirkan cara menjajah dan melemahkan umat Islam serta merusak Islam dari dalam. Semoga Allah membantu umat Islam.

Ayatullah Al-Udzma Syaikh Muhammad Yaqubi: Tidak boleh melakukan amalan-amalan yang tidak logis, membahayakan diri, menyebabkan penghinaan terhadap agama dan Maktab Ahlul Bait (as). Oleh itu wajiblah kita menjauhi amalan-amalan seperti Qamezani atau yang mencederai tubuh dengan alat-alat tajam.

Ayatullah Muhammad Mahdi Asfahi: Amalan-amalan ini memberi kesan negatif dalam penyampaian pesanan Asyura kepada khayalak ramai dan ia menyebabkan acara Husaini diremehkan.

Kalimat yang menjadi saksi pada peristiwa Ghadir dan pada hakikatnya pesan utama Ghadir terkandung di dalamnya adalah sabda Nabi Saw bersabda: ”

مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَعَليٌّ مَولاهُ ”

“Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawla, maka ‘Ali adalah mawlanya.”

Orang-orang yang ber-istidlal (bernalar) dengan hadits ini memaknai mawla sebagai awla. Dan awlabermakna orang yang lebih layak untuk mengatur. Dengan ungkapan yang lebih sederhana adalah bahwa yang layak untuk membina dan memimpin.

Dengan demikian, makna hadits ini adalah: “Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai pemimpin dan pembinanya, ‘Ali As adalah pemimpin dan pembinanya.” Oleh karena itu, barangsiapa yang menerima Nabi Saw sebagai pemimpin dan pembinanya konsekuensinya menerima ‘Ali As sebagai pemimpin dan pembinanya.

Kini yang harus diketahui adalah apakah dalam bahasa Arab, makna ini digunakan atau tidak? Dan yang lainnya adalah apabila kita menerima bahwa mawla dalam bahasa Arab sesuai dengan makna ini, apakah dalam khutbah Ghadir kata mawla bermakna yang sama atau tidak?

Almarhum Allamah Amini menyebutkan empat puluh dua ulama besar dalam bidang tafsir dan bahasa dimana dua puluh tujuh dari mereka berkata: “Mawla bermakna awla.” Lima belas orang yang lain berkata: “Awla merupakan salah satu makna dari mawla.”

Akan tetapi tentang masalah apakah dalam hadits ini kata mawla bermakna yang sama (awla), dengan memperhatikan situasi dan kondisi tatkala hadits ini disampaikan dan menelaah khutbah yang memuat hadits ini, tidak secuil pun syak yang akan tersisa bahwa kata mawla dalam hadits ini adalah bermakna awla.

Lantaran sosok agung seperti Nabi Saw yang merupakan akal keseluruhan (aql kul), insan paripurna dan Nabi teragung dan duta langit, pada hari yang sedemikian panas dan sahara yang sedemikian membakar kaki-kaki para pengelana dan sinar matahari yang sedemikian terik yang membuat otak manusia mendidih, pada sahara yang membara dan tanpa adanya fasilitas dimana apabila daging di letakkan di atas tanah maka akan terpanggang.

Sebuah tempat yang tidak satu pun karavan yang mau berhenti di situ. Nabi Saw menahan puluhan ribu haji di tempat itu dan orang-orang yang telah pergi untuk menantikan orang-orang yang masih tinggal dan menyampaikan khutbah pada saat-saat yang paling terik dan di samping itu, Nabi Saw berulang kali bertanya kepada khalayak ketika itu untuk mencari tahu apakah mereka mendengarkan suara Nabi Saw dengan baik. Dan pada akhirnya menunjukkan ‘Ali As kepada mereka. Nabi Saw menyebutkan nama dan nasabnya lalu bersabda:

مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَعَليٌّ مَولاهُ

(Barang siapa yang menjadikan aku sebagai mawlanya maka ‘Ali adalah mawlanya)

Lalu ia menugaskan orang-orang yang hadir untuk menyampaikan warta penting ini kepada orang-orang yang tidak hadir di tempat itu. Dan setelah itu ia meminta orang-orang untuk berbaiat kepadanya dan menyampaikan ucapan selamat, dan mengenakan ammamah kepunyaannya di atas kepala ‘Ali As dan bersabda kepadanya :

“Pakaian kebesaran bangsa Arab adalah ammamah.” Dan Nabi Saw bersabda kepada para sahabatnya, “Para malaikat yang turun membantuku pada hari Badar mengenakan ammamah seperti ini.”

Sekarang apabila kita berasumsi hadits ini sampai di tangan seseorang tanpa qarinah (indikasi), tafsir dan penjelasan dan tanpa ada tujuan memperhatikan hadits ini, ia akan menjumpai – berseberangan dengan ucapan sebagian orang-orang jahil – bahwa Nabi Saw tidak pada tempatnya berkata, “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai temannya maka ‘Ali adalah temannya.” Atau “Barang siapa yang menjadikan aku sebagai penolongnya maka ‘Ali adalah penolongnya.!

Lantaran teman dan penolong tidak memerlukan adanya ucapan selamat, pengenaan ammamah dan secara umum sabda Nabi Saw ini tidaklah sedemikian penting sehingga harus disampaikan pada situasi dan kondisi seperti itu dan dengan adanya pengumuman pendahuluan.

Atas alasan-alasan ini, Sibt bin Jauzi seorang ulama Ahli Sunnah, setelah membahas tuntas masalah ini, sampai pada sebuah kesimpulan bahwa hadits ini (mawla) adalah bermakna awla.

Dan Ibn Thalha dalam kitab Mathâlib as-Su’âl menulis:

“Baginda Nabi Saw setiap makna mawla yang dinisbahkan kepadanya, ia nisbahkan juga kepada ‘Ali dan nisbah ini merupakan kedudukan tinggi yang diberikan kepada ‘Ali As.”

Hal ini merupakan konklusi yang ditunjukkan dari kandungan khutbah Rasulullah Saw dengan seluruh kalimatnya dan hal itu adalah yang dipahami dari sabda Nabi Saw oleh seratus dua puluh ribu Arab, tanpa adanya syak dan keraguan. Dan atas alasan ini, Hassan bin Tsabit bangkit dan berdiri mendeklamasikan syair untuk memuji Amirul Mukminin As dan aksinya itu mendapat sokongan dari Nabi Saw.

Setelah itu, siapa saja yang mendengar berita tentang peristiwa Ghadir memahami bahw Nabi Saw telah menetapkan pengganti dan khalifah selepasnya.

Sepanjang abad selanjutnya, seluruh pakar bahasa dan ulama Islam juga demikian memahami peristiwa Ghadir itu. Dan ratusan pujangga Arab dan non-Arab mendendangkan syair perihal Ghadir, dan dalam lirik-lirik syair mereka menjelaskan bahwa Nabi Saw memilih Amirul Mukminin ‘Ali As sebagai penggantinya dan karena itu mereka memuliakan hari Ghadir.

Amirul Mukminin As pada masa khilafah zahiri-nya (secara resmi) di Kufah acapkali berdalil dengan hadits ini dan meminta para sahabat Nabi Saw untuk bersumpah supaya memberikan kesaksian atas peristiwa Ghadir ini. Padahal kurang-lebih peristiwa Ghadir telah berlalu selama empat puluh tahun dan banyak dari kalangan sahabat Nabi Saw telah meninggal dan yang masih hidup di penjuru negeri. Dan di samping itu, kota Kufah terletak jauh dari pusat pemukiman para sahabat di Madinah.

Amirul Mukminin As tanpa prediksi dan persiapan pendahuluan meminta kesaksian dari mereka. Jumlah orang-orang yang memberikan kesaksian ini layak untuk diperhatikan. Orang-orang yang memberikan kesaksian cukup banyak dan membenarkan perkataan Imam ‘Ali As.

Jumlah saksi yang disebutkan dalam riwayat beragam. Menurut sebagian riwayat terdapat lima atau enam orang, sebagian riwayat melaporkan terdapat sembilan orang , riwayat yang lain menyebutkan dua belas orang , riwayat yang lain menukil dua belas orang ahli Badar (orang-orang yang ikut perang Badar, -AK) , riwayat yang lain terdapat tiga belas orang , dan riwayat yang lain enam belas orang , dan pada riwayat yang lain terdapat delapan belas orang , dan dalam riwayat yang lain terdapat tiga puluh orang , sesuai dengan riwayat yang lain sekelompok orang , sesuai dengan salah satu riwayat terdapat lebih dari sepuluh orang , sesuai dengan salah satu riwayat menyebutkan sebagian dan riwayat yang lain sekelompok orang banyak , dan riwayat lain terdapat tujuh belas orang yang memberikan kesaksian bahwa Nabi Saw pada hari Ghadir bersabda:

“مَنْ كُنْتُ مَوْلاهُ فَعَليٌّ مَولاهُ ”

Demikian juga Ahli Bait As dan para pengikutnya dalam banyak hal berdalil dan berdebat dengan menggunakan hadits ini. Almarhum Allamah Amini Ra menukil dua puluh dua entri dari perdebatan (ihtijâjâj).

 

Sumber : Buku “Al-Ghadir dalam Perspektif Ahlu Sunnah” karya Muhammad Ridha Jabbariyan.

Menurut Kantor Berita ABNA, Muhammad Ali salah seorang mahasiswa Universitas Internasional al Mustafa Qom Republik Islam Iran yang berasal dari Myanmar dari pengakuannya pada wartawan ABNA yang mewancarainya mengatakan, “Ayah saya Sunni dan ibu saya Syiah dan saya terlahir sebagai seorang muslim bermazhab Sunni mengikuti ayah saya.”

“Disebabkan memiliki minat dan kegandrungan yang besar pada masalah-masalah agama, saya banyak membaca kitab-kitab agama begitupun kitab-kitab tafsir al Qur’an. Dengan mempelajari dan mengkaji kitab yang beraneka ragam tersebut, sayapun tiba pada kesimpulan bahwa mazhab Tasayyu adalah yang berada pada kebenaran. Dengan demikian, saya memantapkan diri untuk menganut mazhab Syiah sebagai caraku dalam berIslam. Sebagai muslim Syiah, sayapun pindah sekolah ke Madrasah Aliyah Amirul Mukminin as di Myanmar dan menyelesaikan studi di madrasah tersebut selama 3 tahun.” Lanjutnya.

Warga Myanmar yang sekarang menetap di kota Qom Iran tersebut melanjutkan kisahnya. Beliau berkata, “Saya bersyukur, lulus dengan predikat terbaik dalam ujian tes tertulis dan wawancara untuk melanjutkan studi ke Universitas Internasional al Mustafa Qom dengan meraih bea siswa penuh. Dengan alasan studi itulah, saya sekarang berada dan menetap di Iran.”

“Myanmar adalah Negara yang berpenduduk sekitar 60 juta jiwa, dan dari kalangan muslim, mayoritas adalah muslim Sunni. Muslim Syiah Myanmar sangat minoritas, hanya terdiri dari kurang lebih 8 ribu orang. Kaum muslimin di Myanmar sangat kurang dalam memberikan perhatian pada masalah-masalah agama, terlebih dalam pengkajian mazhab.” Tambahnya.

Muhammad Ali, kembali berkata, “Selain itu, tekanan dan permusuhan kelompok ekstrim dari kalangan non muslim yang mayoritas juga semakin menghambat laju dakwah Islam di negeri kami. Sehingga para muballigh dalam mendakwahkan ajaran Islam, sampai saat ini melakukannya dengan sembunyi-sembunyi dan ditempat-tempat yang tertutup.”

Ketika ditanya pendapatnya mengenai rakyat Iran. Muhammad Ali menjawab, “Rakyat Iran adalah rakyat yang secara sepenuhnya sadar dengan keyakinan dan agama mereka. Saya benar-benar kagum, betapa rakyat Iran sangat dekat dan akrab dengan Al-Qur’an. Tiap tahun penyelenggaran pameran Al-Qur’an selalu semarak dan diminati. Saya tidak pernah melihat penyelenggaraan pameran Al-Qur’an semarak sebagaimana di Iran. Hanya saja, kita memang tidak bisa memungkiri dan menutup mata, tetap saja ada warga Iran yang tidak mengamalkan ajaran agamanya dengan baik.”

Diakhir wawancara, mahasiswa Myanmar tersebut menyebutkan harapannya. Ia berkata, “Besar harapan saya adalah bertemu langsung dengan Ayatullah Sayyid Ali Khamanei, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran. Beliau adalah seorang tokoh besar dunia yang disegani dan sayapun turut mengagumi dan mencintainya. Dan saya sangat bersyukur sekali kepada Allah SWT kalau harapan saya ini terwujud.”

“Saya tidak tahu batasan kecintaan saya kepada Imam Khamanei. Yang saya tahu, kecintaan ini sangatlah besar pada pribadi dan sosok beliau yang mulia. Yang sekiranya beliau memintaku untuk mati, aku siap untuk itu.” Ungkapnya.

“Saya juga berharap bisa sekolah setinggi-tingginya di Iran ini. Harapan terdekat saya adalah mampu melanjutkan studi sampai program master, sehingga memiliki penguasaan ilmu agama yang bisa lebih bermanfaat. Sehingga suatu hari, ketika kembali ke tanah air,  saya mampu memberikan pemahaman yang lebih mendalam pada kaum muslimin di Myanmar tentang syariat Islam yang mulia ini. Besar keinginan saya melihat, rakyat Myanmar sebagaimana rakyat Iran, dari anak kecil sampai orang dewasa memiliki kecintaan dan perhatian yang besar pada Al-Qur’an dan agama ini.” Ucapnya menutup pembicaraan.

Menurut Kantor Berita ABNA, salah seorang perempuan muda asal Ukraina menyatakan keislamannya dihadapan Ayatullah Nurullah Tabarsi wakil Wali Faqih di Mazandaran Republik Islam Iran. Didampingi suami dan keluarganya, Veronica, nama perempuan tersebut mengumumkan keislamannya dan memilih Syiah sebagai mazhabnya dalam berislam.

Veronica setelah mengucapkan ikrar keislamannya, beliau mengganti namanya menjadi Maryam sesuai keinginannya sendiri. Beliau berkata, “Setelah mempelajari mazhab Syiah khususnya dari suami saya yang lebih dulu memantapkan diri untuk memeluk Islam, saya merasa bahwa pilihannya itu tidak salah. Karenanya dengan ini saya menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah benar utusan Allah SWT dan Ali as adalah washinya. Saya menerima kenabian Muhammad Saw, kebenaran hari kiamat, dan keadilan Ilahi, serta wilayah keimamahan pada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as beserta keturunannya yang terpilih. Diantara sekian mazhab Islam saya memilih Syiah untuk diri saya.”

Dalam pernyataannya selanjutnya, Veronica alias Maryam mengatakan, “Dengan memilih Syiah, saya ikrarkan bahwa keyakinan saya keimamahan ada berawal di tangan Imam Ali as dan berakhir di tangan Imam Mahdi afs, dan kesemua jumlah Imam ada dua belas orang dan saya yakini kesemuanya adalah wakil dan washi dari Nabi Muhammad Saw yang ketaatan kepada mereka adalah wajib dan apa yang mereka ajarkan dan tuntunkan saya terima sebagai kebenaran dan kemestian untuk dijalankan.”

Veronica, warga asal Ukraina tersebut adalah sarjana Arsitektur dan menyatakan masuk islam 17 Februari 2014 silam, menyusul suaminya yang telah lebih dulu memeluk agama Islam beralih dari agama sebelumnya. Keduanya memilih menyatakan keislamannya dibawah bimbingan Ayatullah di Iran dan memantapkan diri meyakini Syiah sebagai mazhab pilihannya. 

 

Malam itu ketika Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kembali ke rumah dalam kondisi lelah, beliau baru tahu kalau istrinya sedang sakit. Sayidah Fathimah dengan wajah pucat sedang istirahat di atas tikar yang sudah jelek di sudut kamarnya. Imam Ali masuk ke kamar dan meletakkan kepala Sayidah Fathimah di pangkuannya dan menangisinya.

Dengan penuh kasih sayang, Imam Ali menanyakan kondisi istrinya seraya berkata, “Fathimah sayang! Engkau mau apa? Katakanlah, dan akan aku penuhi!”

 

Sayidah Fathimah berkata, “Aku tidak meminta sesuatu. Ayahku bersabda, ‘Jangan meminta sesuatu pada suamimu yang sekiranya sulit baginya untuk memenuhinya, sehingga dia merasa malu padamu!”

 

Imam Ali as berkata, “Aku bersumpah demi engkau! Katakan apa yang engkau maukan?!”

 

Sayidah Fathimah as berkata, “Kini karena engkau telah bersumpah, akan sangat baik bila ada delima.”

 

Segera Imam Ali keluar dari rumah dan pergi mencari delima. Meski beliau tahu bahwa musim delima telah lewat dan tidak akan ditemukan delima di kota. Beliau menemui beberapa sahabat dan menceritakan masalahnya dan mencari jalan keluar. Salah seorang sahabat berkata bahwa teman-teman Syam’un Yahudi telah memberikan beberapa delima kepadanya. Imam Ali pun pergi menuju rumah orang Yahudi ini. Syam’un terperangah melihat kedatangan Imam Ali dan bertanya, “Apa yang terjadi sehingga rumahku menjadi berkah karena langkah-langkah kakimu!”

 

Imam Ali berkata, “Saya mendengar, orang-orang dekatmu telah membawakan delima untukmu. Saya datang untuk membeli satu dari delima-delima itu untuk seorang yang sedang sakit.”

 

Dengan rasa malu lelaki Yahudi itu berkata, “Diriku sebagai tebusanmu! Aku telah menjual semua delima tersebut. Seandainya saja engkau memerlukan yang lainnya.”

 

Imam Ali berkata, “Coba lihat lagi di dalam rumah. Barangkali ada yang masih tersisa.”

 

Ketika itu juga istri Syam’un yang mendengar pembicaraan mereka, datang menemui keduanya dan berkata, “Saya telah mengambil satu dari delima-delima itu untuk diriku sendiri. Tapi sekarang akan aku berikan kepada Ali.”

 

Imam Ali benar-benar gembira dan mengambil delima itu. Beliau mengucapkan terima kasih kepada istri Syam’un dan menyodorkan uang empat Dirham. Syam’un berkata, “Harga delima ini setengah Dirham.”

 

Imam Ali berkata, “Sisanya adalah milik istrimu karena telah menggembirakan aku.”

 

Kemudian beliau berjalan menuju rumahnya. Di tengah perjalanan beliau mendengar suara jeritan dan beliau menuju pada suara itu. Seorang lelaki asing sedang duduk di sebuah bekas puing-puing bangunan dan berteriak. Imam Ali menanyakan keadaan lelaki itu dan ternyata lelaki itu sedang kelaparan. Itulah mengapa Imam Ali menanyakan kondisinya dan berkata, “Hai hamba Allah! Apa yang bisa aku bantu? Katakanlah, sehingga aku lakukan!”

 

Lelaki itu berkata, “Hai lelaki yang saleh! Aku datang dari kota Madain. Aku adalah seorang miskin dan papah. Aku datang ke sini barangkali Amirul Mukminin bisa menyelesaikan masalahku dan menolongku, ternyata aku sakit di sini.”

 

Imam Ali berkata, “Engkau mau apa?”

 

Lelaki asing itu menjawab, “Aku ingin delima.”

 

Imam Ali berkata, “Di seluruh kota ini hanya ada satu delima dan aku membelinya untuk orang yang sakit. Sekarang aku memberikan padamu separuh darinya dan separuhnya lagi akan aku bawa untuk dia yang sedang sakit.”

 

Lelaki itu mengucapkan terima kasih. Dia makan separuh dari delima yang ada dan berkata, “Bila yang separuhnya lagi itu engkau berikan padaku, maka aku akan berterimah kasih.”

 

Imam Ali memberikan sisa dari delima itu kepada lelaki asing ini dan dia mendoakan Imam. Imam Ali kembali ke rumah dengan tangan kosong, dalam kondisi tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada istrinya yang sedang sakit. Itulah mengapa dalam hati beliau mengatakan, “Seandainya saja Fathimah sedang tidur.”

 

Ketika sampai di rumah, beliau mengintip kamar istrinya, untuk melihat apakah istrinya sedang tidur ataukah tidak. Beliau terkejut melihat kondisi yang sedang disaksikannya. Sayidah Fathimah sedang duduk dan bersandar di dinding sedang makan delima dan di sampingnya ada sebuah bejana penuh dengan buah delima!

 

Imam Ali gembira melihat pemandangan ini dan mendekati Sayidah Fahimah. Kemudian menanyakan kejadian yang ada. Dari wajahnya kelihatan bahwa Sayidah Fathimah as telah mendapatkan kesembuhannya dan menghadap kepada Imam Ali seraya berkata, “Wahai Ali! Sebelum engkau datang, ada yang mengetuk pintu dan Fiddhah [pengabdi Sayidah Fathimah] yang membukakan pintu. Beberapa saat kemudian dia kembali ke kamar dengan bejana ini dan berkata, “Seorang asing telah memberikan bejana yang berisi delima ini kepada saya dan berkata, “Delima-delima ini adalah kiriman Ali untuk Fathimah.” (Emi Nur Hayati)

Alquran

Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Terwujudnya cita-cita keadilan telah menjadi salah satu keinginan terpenting semua manusia reformis dan orang-orang merdeka dalam sejarah (termasuk para nabi). Revolusi Islam Iran juga dilakukan…

Nahjolbalaghe

Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Naskah pengantar pada seminar Internasional “imam ali dan hak asasi manusia Dalam Nahjul Balagah”, Citywalk 5th floor. Jakarta 30 Juni 2009, IMAM ALI DAN HAK…