
کمالوندی
Ayatullah Asif Mohseni
Dalam Nama Allah, Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang
Ini adalah respon terhadap pertanyaan yang dikirim ke Ayatullah oleh Seyyed Ali Ghazi Asgar selaku penanggung jawab peziarah Iran dan perwakilan tertinggi Rahbar dalam urusan Haji dan Ziarah.
Pertanyaannya menyangkut pembantaian dan kejahatan yang dilakukan oleh kekuatan arogan internasional dan agen-agen mereka yang menuduh orang lain sesat (terutama) terhadap Muslim Syiah dan Sunni. Mereka memfitnah Islam di seluruh dunia dan menabur benih perpecahan agama dan pemikiran di kalangan umat Islam tanpa dasar agama atau pemikiran yang benar. Inilah sebabnya mengapa hari ini Islam dan negara-negara Muslim berada dalam situasi sangat sulit.
Pertama, bagi siapa saja yang percaya kepada keesaan Allah, misi Nabi Muhammad Al-Mustafa, tertutupnya kenabian (setelah Nabi Muhammad SAW) dan hari kiamat adalah seorang Muslim.
Kedua, menyerang kehidupan, harta, dan kehormatan umat Islam dengan tegas dilarang.
Ketiga, semua Muslim adalah saudara, dan mereka harus menyebarkan Islam dengan mempertahankan persaudaraan Islam di antara mereka sendiri, dan menerima perbedaan kecil diantara mereka.
Keempat, menyebabkan sengketa dan perpecahan di antara para pengikut Islam, dihitung sebagai pengkhianatan terhadap Islam.
Ayatollah Asif Mohseni, Afghanistan.
Ayatullah Salehi Modarres
Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang
Pernyataan dibawah Ini adalah jawaban terhadap pertanyaan yang dikirim kepada Ayatullah oleh Seyyed Ali Ghazi Asgar sebagai penanggung jawab peziarah Iran dan perwakilan Rahbar (Pemimpin Tertinggi Revolusi Iran) dalam urusan Haji dan Umrah.
Pertanyaannya menyangkut pembantaian dan kejahatan yang dilakukan oleh kekuatan arogan internasional dan agen-agen mereka yang menuduh orang lain sesat (terutama) terhadap Muslim Syiah dan Sunni. Mereka memfitnah Islam di seluruh dunia dan menabur benih perpecahan agama dan pemikiran di kalangan umat Islam tanpa dasar agama atau pemikiran yang benar. Inilah sebabnya mengapa hari ini Islam dan negara-negara Muslim berada dalam situasi sangat sulit.
Setelah perlunya menolak kemusyrikan, masalah kedua yang perlu ditekankan bagi umat Islam adalah kesatuan umat Islam.
بني الاسلام على دعامتين کلمة التوحيد و وحدت الکلمه.
"Islam didasarkan pada dua prinsip: Tauhid dan Persatuan".
Oleh karena itu, hal-hal yang menyebabkan kerusakan pada kehidupan, harta, dan kehormatan kaum muslimin adalah salah satu dosa terbesar dan larangan dalam Islam.
Islam tidak mengizinkan menghina keyakinan agama dari setiap sekte atau golongan umat Islam yang lainnya.
Di sisi lain, serangan bunuh diri terhadap Muslim dan pembantaian mereka di berbagai negara adalah salah satu bentuk agama yang melanggar hukum. Salah satu wujud kerusakan dan termasuk dalam dosa tak termaafkan yang pada akhirnya akan membawa mereka ke dalam api neraka.
Muslim Syiah dan Muslim Sunni harus menyadari plot musuh, pemecah belah umat dan mereka yang menuduh orang lain sesat.
Ini adalah kewajiban semua Muslim untuk menunjukkan wajah Islam yang sebenarnya kepada dunia, Islam yang merupakan agama kasih sayang dan kebaikan. Mereka diminta untuk menyebarkan Islam, menjaga persaudaraan dan persatuan mereka.
Mohammad Hashem Salehi
12/2/92
Ayatollah Salehi Modarres - Afghanistan
Ayatullah Udzma Seyyed Musa Shobeiri Zanjani
Selain kaum Khawarij dan Nawasib, bagi siapa yang bersaksi atas Keesaan Allah dan Kenabian Nabi Muhammad (SAW) adalah seorang Muslim dan semua hukum Islam tentang perkawinan, warisan, penghormatan terhadap kehidupan dan properti serta yang lain-lain berlaku baginya. Mereka yang telah menciptakan perpecahan di antara umat Islam dan menuduh (amalan) umat Islam lainnya dengan bid'ah tidaklah memahami tentang realitas Islam sebernarnya, dan tak diragukan lagi bahwa mereka baik agen langsung dari para penjajah, atau bertindak sejalan dengan upaya jahat dari penjajah untuk menghancurkan dasar-dasar Islam, mencabut agama Nabi suci (SAW), dan telah menghilangkan tentang Ke-Kudus-annya dari fikiran mereka. Serangan bunuh diri dari kelompok-kelompok ini hanya justru memperlancar isu bidah dan menjadi musuh bebuyutan umat Islam:
{قل هل ننبئكم بالأخسرين أعمالا * الذين ضل سعيهم في الحياة الدنيا و هم يحسبون أنهم يحسنون صنعا}
"Katakanlah: Sudikah Anda kami beritahu tentang orang-orang yang telah kehilangan sebagian besar amal perbuatan mereka, yaitu mereka yang telah membuang segala jerih upayanya di kehidupan ini, tapi mereka mengira bahwa mereka telah memperoleh kebaikan dari amal perbuatan mereka.."
Insya Allah, semua umat Islam akan tetap waspada terhadap trik dan tipuan musuh, dan akan tetap teguh serta tabah dalam sumbangsi demi kemuliaan dan kehormatan Islam.
Seyyed Musa Shobeiri Zanjani
3 Rajab, 1434
Banyak-banyaklah Mengingat Allah
"
Barang siapa yang berpaling dari mengingat Tuhan Yang Maha Pemurah, Kami kuasakan atasnya setan (yang menyesatkan), lalu setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Qs. Az-Zukhruf: 36).
Dari ayat suci ini jelas dan terang, bahwa untuk tidak terjebak pada penguasaan syaitan maka kita tidak boleh lalai apalagi berpaling dari mengingat Allah SWT. Keutamaan mengingat Allah bukan sekedar agar terhindar dan terlepas dari godaan dan gangguan syaitan, namun lebih dari itu, mengingat Allah adalah ibadah yang lebih besar keutamaannya dibanding ibadah-ibadah yang lain. Allah SWT berfirman, “…dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (Qs. Al-Ankabut: 45). Dikatakan mengingat Allah (dzikrullah) lebih besar keutamaannya karena pada hakikatnya setiap ibadah yang dilakukan (shalat, zakat, puasa, naik haji, jihad, ‘amar ma’ruf nahi munkar dan lain-lain) adalah dalam rangka semata-mata untuk mengingat Allah. Ayatullah Husain Mazhahiri dalam kitabnya Jihad an-Nafs menafsirkan firman Allah SWT, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Qs. Thaha: 41) dengan mengartikan, “Tidak ada Tuhan yang memberikan pengaruh di alam wujud selain Aku, dan wajib atas kamu beribadah kepada-Ku dengan tujuan mengingat Aku, yang merupakan sebesar-besarnya kewajiban.”
Hal lain yang menunjukkan keutamaan dzikrullah dibanding ibadah lain, misalnya dalam shalat, haji, zakat, puasa ataupun jihad pengamalannya memiliki syarat-syarat, batasan-batasan, situasi dan kondisi tertentu, dan waktu-waktu yang telah ditentukan, sementara zikir tidak. Allah SWT memerintahkan, “Hai orang-orang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dengan zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Qs. Al-Ahzab: 41). Jika ibadah lain yang dituntut adalah kualitasnya, zikir sedikit berbeda, yang dituntut adalah kuantitasnya. Puasa misalnya, kita hanya diwajibkan untuk melakukannya di bulan Ramadhan saja, haji hanya pada Dzulhijjah saja, shalat fardhu pada waktu-waktu dan tempat yang telah ditentukan namun zikir bisa dilakukan kapan, dimana saja dan dalam setiap keadaan. Perintah Allah untuk berzikir sebanyak-banyaknya, menunjukkan tidak ada batasan waktu untuk berzikir. Allah menyifatkan ibadah-ibadah yang lain dengan ‘amalan shâlihâ bukan ‘amalan katsîrâ. Namun khusus untuk zikir, Al-Quran memakai kata sifat dzikran katsîrâ bukan dzikran shâlihâ. Ini juga bisa diartikan, betapa pun jelek kualitas zikir kita, kita tetap dianjurkan untuk berzikir sebanyak-banyaknya. Zikir dianjurkan untuk dilakukan dalam setiap keadaan, sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, bahkan dalam keadaan sibuk mencari rezeki sekalipun. Allah SWT berfirman, “Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Qs. Al-Jumuah: 10). 7. Sungguh indah Allah SWT yang menyampaikan, “Kaum laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (Qs. An-Nur: 37-38).
Orang-orang yang senantiasa mengingat Allah disebut oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang berakal (Ulil Albab). Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Qs. Ali-Imran: 190-191). Jika Allah SWT menjadikan zikir sebanyak-banyaknya sebagai tanda dari Ulil Albab (orang-orang yang berakal) maka bagi yang zikirnya sedikit, Allah menyebutnya sebagai tanda kemunafikan. Allah SWT berfirman tentang orang-orang munafik, “…dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (Qs. An-Nisa’: 142). Sedangkan bagi yang sama sekali lalai dan berpaling dari zikrullah maka Allah menyifatkannya sebagai teman-teman syaitan, “Barang siapa yang berpaling dari mengingat Tuhan Yang Maha Pemurah, Kami kuasakan atasnya setan (yang menyesatkan), lalu setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (Qs. Az-Zukhruf: 36). Bahkan dalam ayat lain dikatakan termasuk dalam golongan syaitan, “Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi. (Qs. Al Mujaadilah: 19). Naudzubillah.
Zikrullah adalah aktivitas Anbiyah as dan para Aimmah as, mereka tidak pernah lepas dari mengingat Allah SWT. Sebagaimana yang diriwayatkan Ibn Asakir dalam Tarikh Dimasyq, II, hal. 439, Rasulullah saww sampai menyebut Imam Ali as sebagai orang yang selalu berzikir (da’im az-zikr). Dalam banyak ayat, secara khusus Allah SWT memerintahkan kepada kekasih-Nya Muhammad saww untuk senantiasa berzikir, “…Dan sebutlah nama Tuhan-mu pada (waktu) pagi dan petang. Dan di malam hari, bersujud dan bertasbihlah kepada-Nya pada sebagian besar malam.” (Qs. Al-Insan: 25-26). Zikir bisa dilakukan dengan dua cara, zikir secara lisan (lafzhi) sebagaimana dalam perintah, “Sebutlah!”dan zikir dengan hati (qalbi) sebagaimana dalam perintah, “Ingatlah!”.. Keduanya sangat berpengaruh pada jiwa. Lewat berzikir dan mengingat Allah maka pintu-pintu jalan bagi syaitan untuk memberi pengaruh akan tertutup rapat, baik syaitan dari kalangan jin maupun manusia. Zikir juga dapat menghilangkan was-was, keraguan dan menentramkan batin, Allah SWT berfirman, “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Qs. Ar Ra'd: 28).
Terakhir, untuk tulisan ini. Ada hadits qudsi yang diriwayatkan secara muttafaq ‘alaihi, yakni diriwayatkan oleh dua Imam ahli hadits Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Imam Bukhari dan Imam Muslim, sehingga sulit untuk melemahkan kedudukannya, sayangnya sering dipenggal secara sepihak oleh pihak tertentu. Dari Abu Hurairah, Allah SWT berfirman lewat lisan Nabiullah Muhammad saw, “Aku terserah kepada persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Jika ia mengingat-Ku (berzikir) dalam dirinya, Aku akan menyebutnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di dalam sebuah jama’ah, Aku akan menyebutnya di dalam jama’ah yang lebih baik dari mereka”.
Ya, ingatlah Allah sebanyak-banyaknya, dalam setiap keadaan, dalam keadaan berkesendirian, dalam keadaan berjama'ah....
Qom, 27 Maret 2010
Penyifatan Tuhan dalam Al-Quran dan Hadis
Sebagaimana yang telah kami katakan, mustahil bagi manusia untuk mengenal hakikat dzat Tuhan. Pengenalan rasionalitas atas-Nya hanya bersifat universal atau pengenalan melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Atas dasar ini, salah satu tujuan utama al-Quran yang dalam berbagai ayatnya berbincang tentang sifat-sifat Tuhan adalah melakukan rekonstruksi, memperdalam, dan memperluas pengenalan manusia terhadap Tuhan. Ratusan ayat al-Quran kadangkala secara langsung membahas tentang sifat-sifat Tuhan dan menyebutkan tentang asma Tuhan. Dari sebagian ayat bisa pula ditemukan adanya prinsip-prinsip universal dalam penyifatan Tuhan.
Meskipun demikian, perlu diingat bahwa mengenali Tuhan melalui sifat-sifat-Nya merupakan cara yang sangat rumit karena membutuhkan ketelitian dan kecermatan yang tinggi, karena sedikit saja kita salah menganalisanya bisa mengarahkan kita kepada pen-tasybih-an atau “penyerupaan” yang berujung pada kehilangan sebagian makrifat kita dari al-Quran.
Salah satu hal yang mendasar untuk dilakukan adalah berpegang pada ayat-ayat yang muhkam (ayat-ayat yang memiliki makna yang jelas) tentang sifat-sifat Ilahi untuk dijadikan pijakan dalam menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabiyah (ayat-ayat yang tidak memiliki makna yang jelas), seperti menafsirkan ayat-ayat yang secara lahiriah menyifati Tuhan dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
Di sini kita akan melakukan pengamatan sepintas terhadap perspektif al-Quran dalam penyifatan Tuhan dan metode manusia mengenali sifat-sifat-Nya, sedangkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat khusus akan dibahas pada tema-tema yang berkaitan dengannya.
Bukan tasybih dan ta’thil
Al-Quran pada satu sisi menegaskan bahwa pengenalan terhadap hakikat dzat Tuhan merupakan hal yang mustahil bagi manusia, Tuhan bersabda, “Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.”[1] (Qs. Thahaa: 110)
Dari sisi lain, dalam berbagai ayat telah dijelaskan bahwa Tuhan tidak memiliki sedikitpun kemiripan dengan maujud lain dan tidak ada sesuatupun yang bisa digambarkan setara dengan dzat suci-Nya. Ayat ini pada dasarnya merupakan ayat muhkam yang menegaskan kesalahan berpikir aliran Tasybih dan segala konsep yang memandang ada kemiripan antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Dia bersabda, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (Qs. As-Syura:11)
Pada pembahasan Tauhid dipahami bahwa ayat-ayat tersebut berkaitan dengan tauhid dzat, akan tetapi sepertinya ayat-ayat tersebut selain menafikan kemiripan maujud lain dengan dzat Tuhan, juga menafikan kemiripan antara sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat selain-Nya. Sebenarnya ayat itu menceritakan bahwa baik dari sisi dzat mutlak Tuhan maupun dari sifat-sifat-Nya tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya dan tidak ada pula sesuatu yang bisa digambarkan mempunyai kemiripan dan kesamaan dengan-Nya. Makna ayat ini bisa ditemukan pula dalam sebagian ayat seperti pada ayat terakhir surah at-Tauhid.[2]
Ayat al-Quran di atas dalam posisinya menjelaskan kesalahan maktab Tasybih, selain itu juga menafikan segala bentuk kemiripan dan kesetaraan Tuhan dengan eksistensi lain dalam dzat dan sifat. Pada ayat-ayat yang lain juga mengetengahkan tentang sifat-sifat salbi Tuhan seperti penafian kebinasaan dan keterikatan dengan ruang dan waktu dimana akan dibahas kemudian dalam tema “sifat-sifat negasi dan salbi Tuhan”.
Demikian juga, al-Quran meninggikan dzat Tuhan dari segala bentuk penyerupaan dan pen-tasybih-an. Pada banyak ayat setelah menukilkan pemikiran-pemikiran keliru dari para musyrikin tentang Tuhan, al-Quran menegaskan poin bahwa penyifatan mereka atas Tuhan adalah tidak layak untuk maqam suci ketuhanan (uluhiyat), Dia bersabda, “Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, Padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): “Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan”, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan.”[3] (Qs. al- An’am: 100).“Mereka tidak Mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha Perkasa.”[4] (Qs. al-Hajj: 84)
Ketika berhadapan dengan kelompok ayat seperti di atas, bisa jadi kita menyangka bahwa al-Quran hanya memiliki makrifat Tuhan secara terbatas dan tidak memberikan makrifat atas-Nya kepada manusia lewat penjabaran akal serta pemahaman rasional. Akan tetapi kesimpulan seperti ini merupakan sebuah kesimpulan yang tergesa-gesa dan tidak benar, dengan melakukan kontemplasi terhadap ayat-ayat yang lain akan menjadi jelas bahwa al-Quran selain menegaskan pensucian Tuhan secara mutlak dari sifat-sifat makhluk, juga menekankan tentang adanya kemungkinan untuk mengenali-Nya.
Ayat-ayat yang bisa menjadi saksi paling baik untuk klaim ini sangat banyak dimana di dalamnya menyebutkan tentang asma dan sifat-sifat Tuhan. Dengan memperhatikan bahwa al-Quran mengajak manusia untuk berfikir dan berkontemplasi tentang ayat-ayat-Nya maka tidak bisa diterima bahwa penyebutan asma Tuhan secara berulang pada ayat-ayat yang berlainan murni hanya sekedar sebuah bacaan tanpa memberikan makna.[5]
Oleh karena itu, al-Quran dalam masalah penyifatan Tuhan menolak mutlak metode tasybih maupun metodeta’thil lalu mengambil jalan tengah antara keduanya, dari satu sisi metode ini meletakkan sifat-sifat jamal dan jalal-Nya pada jangkauan pemahaman manusia, dan di sisi lain menegaskan ketakserupaan Dia dalam dzat dan sifat dengan makhluk serta mengingatkan bahwa sifat-sifat Tuhan jangan dipahami sedemikian sehingga menyebabkan pen-tasybih-an dengan selain-Nya, tapi seharusnya makna-makna dari sifat-sifat Ilahi ini dilepaskan dari warna kemakhlukan dan keterbatasan serta diletakkan sebagaimana selayaknya untuk dzat suci Tuhan.
Tentunya jumlah ayat-ayat yang secara tegas menafikan pandangan tasybih lebih banyak dari ayat-ayat yang menolak pandangan ta’thil, hal ini muncul mungkin karena para penganut teisme lebih sering terkontaminasi dengan pandangan tasybih dibandingkan dengan pandangan ta’thil.
Sifat Tuhan dalam Hadis
Dengan merujuk pada literatur-luteratur hadis, menjadi jelas bahwa pembahasan sifat Tuhan dalam hadis juga mengikuti langkah al-Quran. Dalam sebuah hadis dari Amirul Mukminin Ali as dikatakan bahwa dalam tafsir ayat 110 surah Thaha, beliau bersabda, “Semua makhluk mustahil meliputi Tuhan dengan ilmu, karena Dia meletakkan tirai di atas mata hati, tak satupun pikiran yang mampu menjangkau dzat-Nya dan tak ada satu hatipun yang bisa menggambarkan batasan-Nya, oleh karena itu, jangan kalian menyifati-Nya kecuali dengan sifat-sifat yang diperkenalkan oleh-Nya, sebagaimana Dia berfirman, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.”[6]
Imam Ali as pada awal perkataannya menjelaskan bahwa tak ada satupun makhluk yang meliputi dzat Tuhan. Secara lahiriah, maksud dari “meletakkan tirai pada mata hati” adalah keterbatasan pengenalan makhluk yang menyebabkan ketidakmampuannya meliputi dzat tak terbatas Tuhan. Imam Ali as dalam kelanjutan tema ini menegaskan bahwa dalam menyifati Tuhan kita harus mencukupkan diri dengan menggunakan sifat-sifat yang telah Dia perkenalkan kepada kita.
Tentang hal ini terdapat beberapa riwayat, sebagai contoh kita bisa melihat dalam “Khutbah Asybâh“, beliau bersabda, “Sesungguhnya berbohonglah mereka yang meletakkan sesuatu setara bagi-Mu, mereka menyerupakan-Mu dengan patung-patung sembahan dan memakaikan pakaian makhluk kepada-Mu dengan khayalannya dan menganggap-Mu sebagaimana benda jasmani yang memiliki organ dan mereka menisbahkan indera-indera makhluk kepada-Mu sesuai dengan pikirannya”[7]
Dengan demikian, metode pensucian al-Quran yang bukan tasybih dan ta’thil telah jelas dalam sebagian hadis itu. Mungkin salah satu dalil yang paling tegas untuk klaim ini adalah perkataan Imam Ali as yang bersabda, “Akal-akal tidak dapat menjangkau semua sifat-Nya dan tidak pula terhalang memahami sebagian dari sifat-Nya untuk memakrifat-Nya.”[8]
Selain itu, sebuah hadis yang dinukilkan dari Rasulullah saw dan ahluibaitnya dalam masalah makrifat Tuhan, dalam hadis itu dijelaskan mengenai makrifat berharga atas sifat-sifat Tuhan dan jelas bahwa makrifat ini bersandar pada realitas bahwa manusia pada batas tertentu mampu mengenali Tuhan melalui pengenalan sifat-sifat-Nya.
[1]. Tentunya, penyimpulan ayat bersandar pada bahwa dhamir pada “bihi” kembali kepada Tuhan, akan tetapi terdapat pula kemungkinan bahwa dhamir di atas kembali pada perbuatan orang-orang yang bersalah.
[2]. “… Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”, Qs. at-Tauhid: 5
[3]. Juga rujuk: surah Anbiya: 22, Mukminun: 91 dan Az-Zuhruf: 82.
[4]. Ayat seperti ini terdapat pula pada surah al-An’am: 91, Az-Zumar: 67.
[5]. Qs. An-Nisa: 82, Muhammad: 24, as-Shad: 29.
[6]. Al-Hawizi, Tafsir Nur ats-Tsaqalain, jilid 3, hal. 394, hadis 117. Riwayat ini melegitamasi bahwa dhamir “bihi” pada ayat “La yuhithuna bihi ‘ilman” kembali kepada Tuhan.
[7]. Nahjul Balaghah, khutbah 91.
[8] . Nahjul Balaghah, khutbah 49.
[Mohammad Adlany]
Keridhaan Allah Selalu Lebih Besar
Ridha berasal dari bahasa arab yang secara etimologi terbentuk dari kata-kata rhadiya-yardhaa, yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang biasa kita padankan dengan kata ikhlas atau puas menerima ataupun telah merestui sesuatu bagaimanapun keadaannya. Di antaraasma’ul husna (nama-nama Allah yang indah) kita mengenal, Ar-Ridhwan, yang artinya, yang Maha Meridhai. Kata ridha dalam berbagai variannya terulang setidaknya 32 kali dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an.
Dari beberapa ayat tersebut, kita bisa mengklasifikasikan kelompok orang-orang yang diridhai Allah.
Pertama, orang-orang yang beriman, takut kepada Tuhannya dan mengerjakan kebajikan. Terdapat dalam surah Al-Bayyinah ayat 7 dan 8. Allah SWT berfirman, “Sungguh orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhan-nya.” Juga pada surah Al-Mujaadilah ayat 22 dan Al-Haaqqah ayat 21.
Kedua, Assabiquna awwalun, generasi awal Islam yang pertama-tama masuk Islam dari golongan Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka dengan baik. (baca Qs. At-Taubah: 100 dan juga Al-Fath ayat 29).
Ketiga, orang-orang yang benar. Allah SWT berfirman, “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Qs. Al-Maidah: 119).
Keempat, orang-orang yang ridha terhadap pemberian dan keputusan Allah. Allah SWT berfirman, “Jika mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan rasul-Nya kepada mereka, dan berkata, “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah”, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (Qs. At-Taubah: 59).
Kelima, orang-orang yang bersegera menuju Allah, “Dia (Musa) berkata, ‘…aku bersegera kepada-Mu ya Tuhanku, agar Engkau ridha (kepadaku).” (Qs. Taahaa: 84). Ataupun dalam surah Al-Fajr ayat 28, “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”
Keenam, orang-orang yang setia pada perjanjiannya. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Qs. Al-Fath: 18).
Ketujuh, orang-orang yang bersyukur, “…dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu” (Qs. Az-Zumar: 7).
Kedelapan, orang-orang yang diberi izin untuk memberi syafaat termasuk orang-orang berdosa yang disyafaati, “Pada hari itu tidak berguna syafa'at, kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.” (Qs. Thaahaa: 109). Juga terdapat dalam surah Al-Anbiyaa’ ayat 8 dan surah An-Najm ayat 26).
Kesembilan, orang-orang yang menyeru untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat, “Dan ia menyuruh ahlinya (umatnya) untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.” (Qs. Maryam: 55). Juga pada surah ar-Rum ayat 38-39. Termasuk orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari (Qs. Al-Kahfi: 28).
Kesepuluh, orang-orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu dan jiwanya tenang dalam ketaatan, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (Qs. Al-Fajr: 27-28).
Kesebelas, orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah (baca surah Al-Lail ayat 20, Al-Insan ayat 9, Al-Baqarah: 265 dan lain-lain).
Keduabelas, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah. Penjelasan mengenai hal ini terdapat dalam surah Al-Mumtahanah ayat pertama, Al-Hasyr ayat 8 dan Al-Ankabut ayat 69.
Ketigabelas, orang-orang yang senantiasa berkurban. (Qs. Al-Hajj: 37) Juga pada surahAl-Baqarah ayat 207, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”
Dari penjabaran di atas, setidaknya ada tiga belas kelompok yang mendapat keridhaan Allah. Sementara yang tidak diridhai Allah hanya ada tiga kelompok. Pertama, orang-orang kafir, “Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Qs. Az-Zumar: 7). Kedua, kelompok orang-orang yang berkhianat, “..dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Yusuf: 52). Ketiga, orang-orang yang fasik, “Sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik itu.” (Qs. At-Taubah: 96). Jika dibandingkan jumlah kelompok mereka yang diridhai dibanding yang tidak, menunjukkan keridhaan Allah lebih besar dalam banyak hal. Ada satu hal lagi yang mesti kita perhatikan, ayat yang berbunyi, “Rhadiallahu ‘anhum wa radhuu ‘anhu, Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya” dan yang semakna dengan itu hanya berulang setidaknya empat kali. Hal ini berarti, keridhaan Allah terhadap hamba-Nya jauh lebih besar dari keridhaan hamba kepada Tuhan-Nya.
Ridha Ilahi, Karunia Terbesar
Keridhaan Allah sesungguhnya adalah sebesar-besarnya karunia Allah yang diberikan-Nya kepada manusia. Melalui Kumayl ibn Ziyad, imam Ali as mengajarkan kepada kita sebuah rangkaian do’a yang panjang, yang dikenal dengan nama Do’a Kumayl atau Do’a Hadhrat Khaidir. Diantara penggalannya, Imam Ali as bermunajat dengan mengucap, “…wa taj’alani biqismika radhiyan qani’an, wa fi jami’il-ahwali mutawadhi’an, dan jadikan aku ridha dan qana’ah akan pemberian-Mu, dan dalam segala keadaan tunduk dan patuh kepada-Mu.” Pada penggalan do’a ini, kita melihat, Imam Ali as lebih mendahulukan memohon maqam keridhaan dan qana’ah dibanding memohon ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya.
Pada umumnya di antara kita, menilai sebesar-besarnya karunia Allah pada hamba-Nya adalah keimanan, ketundukan dan kepatuhan kepada-Nya (sehingga sering diulang-ulang di setiap khutbah). Namun, setidaknya oleh Imam Ali as, tidak. Karunia terbesar Allah adalah keridhaan-Nya. Mengapa?. Ayatullah Husain Mazhahiri ketika mensyarah penggalan do’a tersebut membantu kita menemukan jawabannya. Dalam kitab Syarh_e wa Tafsir_e Dua_ye Kumayl, beliau menulis, “Sebab, bahkan oleh Rasulullah saww sendiri dengan berbagai ibadah yang beliau lakukan, ketaatan, perjuangan dan kesetiaannya di jalan Allah, kemudian semuanya itu diletakkan pada satu sisi timbangan, sementara anugerah berupa akal, pemikiran, kekuatan, kemaksuman dan anugerah lainnya berada pada sisi timbangan lainnya, maka karunia dan pemberian Ilahi masih lebih berat dibanding semua ibadah, ketaatan dan perjuangan beliau saww.” Beliau (semoga Allah merahmatinya) melengkapkan jawabannya dengan menukilkan, kisah Nabi Musa as dan Nabi Daud as yang berkata, “Bagaimana mungkin kami mampu untuk bersyukur kepada-Mu dengan sepenuhnya. Sementara kecenderungan untuk bersyukur kepada-Mu itu sendiri adalah anugerah dan karunia dari-Mu, dan itu juga memerlukan syukur yang lain?”. Allah kemudian menurunkan wahyu kepada keduanya, “Jika demikian, maka Aku telah ridha akan syukurmu.”
Ya, demikianlah, pada hakikatnya sekuat dan segigih apapun kita beribadah dan taat kepada-Nya, dapat dikatakan itu tidak sesuai dengan keinginan-Nya sebab tidak sebanding dengan besarnya anugerah dan karunia yang telah diberikan. Karenanya untuk menerima amal-amal hamba-Nya, Allah mendasarkan pada sifatnya, Ar-Ridhwan, yang Maha Meridhai dan bukan pada sifatnya yang Maha Adil. Sebab jika sekiranya perlakukan Allah pada hamba-hamba-Nya berdasarkan pada keadilan-Nya, maka tidak ada seorangpun yang bisa meraih kenikmatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat, terlebih lagi kenikmatan dunia bagi orang-orang yang kafir dan durhaka kepada-Nya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Nabiullah saww itu beristighfar, memohon ampun kepada Allah setiap harinya sampai 70 kali. Kalau kita ingin sedikit kritis, sebenarnya, apa faedah Rasulullah saww memohon ampun kepada Allah, sementara yang beliau lakukan keseluruhannya adalah kebaikan yang dijadikan tauladan, terlebih lagi bukankah beliau telah disucikan oleh Allah?. Bagi Rasulullah, istighfar bukan hanya untuk memohon pengampunan dari kesalahan dan dosa, namun juga berkaitan dengan amal kebaikan. Yakni, permohonan ampun dari setiap kebaikan yang telah dilakukan, dimaksudkan adalah sudilah kiranya Allah mengampuni kekurangan dan cacat dari amal kebaikan yang telah dilakukan. Kita sadar, bahwa kebaikan semacam apapun pada akhirnya tetaplah kurang dan cacat jika dibanding dengan kebaikan Allah yang tercurah buat kita. Istighfar Rasulullah adalah, permohonan agar kiranya dalam memperhitunngkan setiap amal ibadah, Allah lebih mendahulukan keridhaan-Nya dan bukan keadilan-Nya. Bisa jadi inilah falsafahnya, dalam bacaan shalat mayyit, kita diminta untuk membaca do’a,“Allahummagfirh lihadzal mayyit, Ya Allah, ampunilah seluruh dosa dan kesalahan jenazah ini.” Kita tidak diminta untuk mendoakan, “Semoga Allah memberi balasan yang setimpal atas kebaikan-kebaikannya”, namun sayangnya, doa semacam ini yang sering kita hadiahkan buat si mayyit.
Untuk tidak membuat tulisan ini terlalu panjang, insya Allah nanti kita lanjutkan.
Ada banyak kesalahan dan kekurangan tentunya, namun semoga Allah ridha terhadap tulisan ini…
“Wa ridhawaanum minallahi akbaru, …. dan keridhaan Allah, (selalu) lebih besar.”
(Qs. At-Taubah: 72)
Wallahu’alam bishshawwab
Ismail Amin
Mahasiswa Universitas Internasional Al Mustafa Republik Islam Iran
Kunci Kebahagiaan dan Kesuksesan
25 Kunci Kebahagiaan dan Kesuksesan dari Imam Ja’far Shodiq as
1- طلبتُ الجنة، فوجدتها في السخاء
“Aku mencari surga, maka aku temukan pada kedermawanan”.
2- و طلبتُ العافية، فوجدتها في العزلة
“Aku mencari Afiyah (keselamatan dari bencana dan kesulitan) maka aku temukan dalam menyendiri (mengisolasi diri dari keramaian yang tak berguna)”.
3- و طلبت ثقل الميزان، فوجدته في شهادة «ان لا اله الا الله و محمد رسول الله
“Aku mencari beratnya timbangan amal, maka aku dapatkan dalam bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya”.
4- و طلبت السرعة في الدخول الي الجنة، فوجدتها في العمل لله تعالي
“Aku mencari kesegeraan dalam memasuki surga, maka aku dapatkan pada amal kebajikan semata demi Allah SWT”.
5- و طلبتُ حب الموت، فوجدته في تقديم المال لوجه الله
“Aku mencari cinta pada kematian, maka aku mendapatkan pada mengajukan (mengirim pahala sedekah) harta demi mengharap ridha Allah SWT”.
6- و طلبت حلاوة العبادة، فوجدتها في ترك المعصية
“Aku mencari manisnya ibadah, maka aku temukan dalam meninggalkan maksiat”.
7- و طلبت رقة القلب، فوجدتها في الجوع و العطش
“Aku mencari kelembutan hati, maka aku dapatkan dalam rasa lapar dan dahaga”.
8- و طلبت نور القلب، فوجدته في التفكر و البكاء
“Aku mencari cahaya hati, maka aku temukan dalam pikiran”.
9- و طلبت الجواز علي الصراط، فوجدته في الصدقة
“Aku mencari restu untuk melewati jembatan pemeriksaan (shirat), maka aku temukan dalam sedekah”.
10- و طلبت نور الوجه، فوجدته في صلاة الليل
“Aku mencari cahaya wajah, maka aku dapatkan dalam shalat malam”.
11- و طلبت فضل الجهاد، فوجدته في الكسب الحﻻل للعيال
“Aku cari keutamaan jihad maka aku dapatkan dalam mencari rizki yang halal untuk keluarga”.
12- و طلبت حب الله عزوجل، فوجدته في بغض أهل المعاصي
“Aku cari kecintaan Allah maka aku dapatkan dalam membenci pelaku maksiat“.
13- و طلبت الرئاسة، فوجدتها في النصيحة لعبادالله
“Aku cari kepemimpinan maka aku dapatkan dalam tulus menasihati hamba-hamba Allah“.
14- و طلبت فراغ القلب، فوجدته في قلة المال
“Aku cari ketenangan hati maka aku dapatkan dalam sedikitnya harta”.
15- و طلبت عزائم الامور، فوجدتها في الصبر
“Aku mencari perkara-perkara yang teguh maka aku dapatkan dalam kesabaran”.
16- و طلبت الشرف، فوجدته في العلم
“Aku mencari kemuliaan maka aku dapatkan dalam ilmu”.
17- و طلبت العبادة فوجدتها في الورع
“Aku mencari ibadah maka aku dapatkan dalam Wara’ (kehati-hatian dalam agama)”.
18- و طلبت الراحة، فوجوتها في الزهد
“Aku mencari ketentraman maka aku dapatkan dalam kezuhudan”.
19- و طلبت الرفعة، فوجدتها في التواضع
“Aku mencari ketinggian maka aku temukan dalam kerendahan hati”.
20- و طلبت العز، فوجدته في الصدق
“Aku mencari kejayaan maka aku temukan dalam kejujuran”.
21- و طلبت الذلة، فوجدتها في الصوم
“Aku mencari kerendahan/keterhinaan maka aku dapatkan dalam berpuasa”.
22- و طلبت الغني، فوجدته في القناعة
“Aku mencari kekayaan maka aku dapatkan dalam Qana’ah (kepuasaan dengan apa yang telah Allah anugerahkan_red)”.
23- و طلبت الانس، فوجدته في قراءة القرءان
“Aku mencari ketentraman maka aku dapatkan dalam membaca Al Qur’an”.
24- و طلبت صحبة الناس، فوجدتها في حسن الخلق
“Aku mencari persahabat dengan manusia maka aku dapatkan dalam keindahan budi pekerti”.
25- و طلبت رضي الله، فوجدته في برالوالدين
“Aku mencari keridhaan Allah maka aku dapatkan dalam BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA”.
Sumber: Mustadrak al Wasail; Syeikh an Nuri ath Thabarsi,15/174-174/hadis no. 13810
@tafsirhikmah
Al-Qur’an, Iman dan Akhlak
Tentang Iman
Siapa yang menyerupakan Allah dengan ciptaan-Nya, maka sungguh telah syirik. Dan barangsiapa yang menisbatkan kepada Allah, tentang perbuatannya yang terlarang, sungguh ia telah menjadi kafir.
Sesungguhnya iman itu lebih tinggi sederajat dari Islam. Sedang takwa sederajat lebih tinggi dari iman. Yakin juga sederaj at lebih mulia dari keimanan. Dan Bani Adam tidak diberi sesuatu yang lebih utama dari keyakinan.
Iman itu ada empat perkara; Tawakkal kepada Allah. Ridha (rela) dengan ketentuan-Nya. Pasrah kepada-Nya Dan menyerahkan segala urusan hanya kepada-Nya.
Iman adalah ketika melaksanakan perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya. Dan iman adalah pengenalan lewat hati serta pengakuan dengan lisan dan pelaksanaan dengan anggota badan.
Akhlak
Janganlah kalian mengabaikan perbuatan bahil atau keseriusan dalam beribadah, hanya karena mengandalkan kecintaan kepada keluarga Muhammad saww.
Hati-hatilah dari sifat rakus dan hasud, karena keduanya telah menghancurkan umat yang terdahulu. Dan hati-hatilah dari sifat kikir, karena kekikiran merupakan suatu penyakit yang tidak boleh disandang seorang yang merdeka apalagi oleh seorang mukmin. Dan sifat bahil (kikir), merupakan kebalikan dari keimanan.
Sesungguhnya diam itu merupakan salah satu pintu hikmah. Dan diam itu akan membuahkan kecintaan serta akan jadi petunjuk setiap kebaikan.
Temanilah teman dekatmu dengan merendah diri (tawadhu) dan hati-hatilah terhadap musuhmu serta gaulilah manusia secara keseluruhan dengan senyuman.
Allah membenci perdebatan yang tidak bermanfaat serta pemborosan harta dan banyaknya pertanyaan tentang hal-hal yang tidak berguna.
Orang yang kikir tidak akan pernah merasakan ketenangan. Orang yang hasud tidak akan pernah merasakan kenikmatan. Para raja tidak akan mendapati janji. sedang si pembohong tidak akan mempunyai harga diri.
Al-Qur’an
Suatu hari Imam Ridha a.s. berbicara tentang Al-Qur’an, beliau mengagungkan hujjahnya, dan bukti mukjizat pada susunannya yang luar biasa. Kemudian beliau bersabda: Aturannya adalah tali Allah yang kuat dan kokoh, jalan-Nya yang lurus yang akan menuntun ke arah surga serta menyelamatkan dari siksa api neraka. Tidak akan lapuk ditelan masa dan tidak kotor di ucapkan lisan, karena Al-Quran tidak diciptakan untuk zaman tertentu saja dan dapat dij adikan bukti kebenaran dan hujjah atas manusia. Tidak sedikit pun tercampur dengan kebatilan, dia adalah wahyu dari Dzat yang Maha Bijaksana dan maha Terpuji.
Aku bertanya kepada Imam Ridha a.s.: Apa pendapatmu tentang Al-Quran? Beliau menjawab: Ia adalah kalam ‘ Allah dan jangan kalian berpendapat lebih dari itu, jangan pula mencari petunjuk dari selainnya agar tidak tersesat.
Sumber : Fatih Guven, 560 Hadits dari 14 Manusia Suci
Kenalkah Kau dengan al Husain, Cucu Kesayangan Nabi?
Dia hanya berjarak setahun dengan abangnya, al Hasan. Sebagaimana abangnya, namanya juga adalah pemberian Allah Swt melalui malaikat Jibril As yang meminta Nabi Saw menyebutnya al Husain, yaitu Hasan kecil. Dihari ketujuh kelahirannya, sebagaimana juga abangnya, dia diaqiqah dengan sembelihan satu ekor kambing.
Para sahabat sang Kakek juga turut merasakan kebahagiaan akan kelahirannya. Dalam mazhab Syiah dan juga Maliki, aqiqah untuk anak laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya, masing-masing dengan sembelihan satu ekor kambing. Islam yang datang dengan doktrin laki-laki dan perempuan sama derajatnya, mustahil membeda-bedakan laki-laki dan perempuan justru dihari-hari awal kelahirannya. Suka cita dalam penyambutan kelahiran anak, sama, anak laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya. Islam datang justru hendak merombak tradisi yang membeda-bedakan anak laki-laki dengan perempuan.
Masa kecil al-Husain diliputi kebahagiaan dan keceriaan masa anak-anak. Dia tidak pernah terlihat berpisah dengan kakeknya. Sahabat-sahabat Nabi Saw ketika menceritakan tentang al Husain, mereka akan berkata, “Selalu saja kulihat al Husain itu duduk dipangkuan Nabi, sambil sesekali diciumi Nabi.” Bahkan ada salah seorang sahabat yang merasa risih, saking seringnya dia melihat Nabi menciumi al Husain.
“Ya Rasulullah, saya mempunyai 10 anak laki-laki dan tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium.”
“Kenapa?”
“Kami tidak mencium anak laki-laki.”
“Barang siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, kalau Allah akan mencabut rasa sayang dari hatimu.”
Tidak hanya diwaktu senggang, Nabi selalu bersama al Husain. Bahkan diwaktu sedang memimpin jamaah shalat sekalipun. Al Husain dan abangnya berkejaran diantara kedua kaki Nabi yang sedang shalat. Ketika Nabi sujud, keduanya bergantian menunggangi pundak Nabi. Akibatnya, Nabi memperlama sujudnya. Sehabis shalat, para sahabat bertanya, apa gerangan yang terjadi mengapa sampai sujud Nabi sedemikian lama. Nabi menjawab, “Kedua cucuku ini menunggangi punggungku, dan kubiarkan keduanya menyelesaikan keinginannya.”
Salah seorang sahabat pernah mendapati Nabi sedang asyik bermain dengan kedua cucunya. Al Husain dan al Hasan naik dipunggung Nabi bersamaan. Sahabat itu turut tersenyum melihat tingkah keduanya, sambil berkata, “Amat beruntung kalian berdua, memiliki tunggangan yang paling baik.” Nabi berkata, “Dan keduanya adalah penunggang terbaik.”
Pernah Nabi sedang berkhutbah. Diatas mimbar beliau melihat al Husain dan abangnya berkejar-kejaran. Karena baju yang dipakai al Husain kepanjangan, ia menginjaknya sendiri, dan terjatuh. Nabi spontan melompat dari mimbar dan menggendong cucunya itu, kemudian melanjutkan khutbahnya kembali. Nabi tidak ingin al Husain terluka sedikitpun, apalagi sampai menangis. Menenangkan hati cucunya itu, lebih utama bagi Nabi dibanding khutbah yang disampaikannya.
Berkali-kali sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kami melihat, begitu besar kecintaanmu pada al Husain.” “Iya, al Husain dari aku, dan aku dari al Husain. Mencintai aku siapa yang mencintainya, dan memusuhi aku siapa yang memusuhinya.” Mendengar sabda itu, sahabat-sahabat Nabipun berlomba-lomba menunjukkan kecintaan yang serupa kepada al Husain.
Setiap Nabi usai menyampaikan khutbah atau nasehat kepada sahabat-sahabatnya, al Husain dan al Hasan segera berlomba berlari kembali ke rumah. Keduanya adu cepat untuk menyampaikan apa yang dikatakan Nabi kepada ibunya, Fatimah az Zahra. Begitu Imam Ali datang dan hendak bercerita kepada istrinya tentang apa yang telah disampaikan Nabi tadi, Sayyidah Fatimah segera memotong, “Sudah saya tahu.”
Imam Ali hanya keheranan, “Kamu tahu dari mana?”. Sang Bunda tersenyum sambil menunjuk kedua anak laki-lakinya yang cekikan senang.
Pernah, ada seorang kakek tua sedang berwudhu, namun caranya salah. Al Husain dan al Hasan melihat kejadian itu. Al Husain segera berkata kepada abangnya, “Bang, yuk kita bertanding, siapa yang wudhunya paling benar.”
Al Hasan menyanggupi tantangan itu. “Tapi siapa yang menjadi jurinya?” Al Husain pun meminta kepada kakek yang hadir disitu.
“Kek, siap jadi juri ya..”
Sang kakek mengiyakan.
Keduanyapun melakukan wudhu dihadapan kakek itu. Dan begitu usai, kakek ditanya siapa yang wudhunya paling benar.
Sang kakek berujar, “Wudhu kalian berdua benar. Saya yang salah.”
Al Husain sukses memberitahu cara wudhu yang benar kepada si kakek, tanpa merasa digurui.
Al Husain tidak lama bersama Nabi. Diusianya baru menginjak 6 tahun, sang kakek meninggal dunia. Betapa sedihnya al Husain kecil. Terus terbayang masa kecil yang indah bersama sang kakek. Betapa kakeknya selalu hanya ingin membuatnya senang. Sedikit luka saja, sang kakek sudah sedemikian risaunya.
Tapi tahukah kau akhir hidup cucu yang begitu disayangi Nabi itu?. Tahukah kau bagaimana kisah selanjutnya dari penunggang Nabi itu? Tahukah kau apa yang terjadi dengan leher dan bibir al Husain yang sering dikecup oleh Nabi itu?
Ia mati dalam keadaan lehernya tersembelih, dan bibirnya ditusuk-tusuk pedang.
Ketika kepala al Husain yang telah terpisah dari tubuhnya dibawa kehadapan Yazid. Yazid memukul-mukul batok kepala itu dengan tongkat, dan mempermain-mainkan bibir di kepala itu.
Sahabat-sahabat Nabi yang telah tua renta histeris melihat kejadian itu.
“Hentikan wahai Yazid, aku melihat dengan mata kepala sendiri, bibir itu sering diciumi oleh Nabi.”
Kau mungkin tidak tahu banyak mengenai itu, sebab cerita yang kau dapati tentang al Husain, dia yang sedang tertawa senang sedang menunggangi Nabi, kakeknya.
Hanya itu… seolah-olah al Husain, hanyalah cucu Nabi, yang sepanjang usianya adalah cucu yang larut dalam kegembiraan masa kanak-kanak.
Mana masa muda al Husain, yang diminta ayahnya untuk melindungi khalifah Utsman dari pembunuhan? Mana masa muda al Husain yang ikut membela ayahnya dalam perang-perang melawan kaum pemberontak? dan mana masa akhir al Husain, yang syahid di Karbala menjaga nyala agama yang disiarkan kakeknya?
Nabi bersabda tentangnya, “Al Husain adalah pemimpin pemuda di surga…”
Kau tahu dimana kepalanya yang sempat dipermainkan itu dikubur?
Secuil itukah yang kau tentangnya?
10 hari pertama Muharram, berusahalah tahu banyak tentangnya, kau akan mengenal agama ini lebih dekat...
[Ismail Amin]
Merindukan Syahadah
Seorang arif yang sebenarnya pastilah seorang yang memiliki semangat juang dan seorang mudafi’ (pembela agama), dan pejuang Ilahi pastilah seorang arif. Sebab, tiada perang membela agama tanpa makrifah. Irfan dan Asma al-Husna Allah tidak akan mewujud tanpa daya tarik dan daya tolak, tanpa tawalli (cinta) dan tabarri (benci).
Jelas, hubungan keduanya ada di dalam keagungan kalimat-kalaimat urafa Ilahi (para ahli irfan). Dalam pengertian, bahwa doa mereka mendambakan syahadah dan berjuang di medan pertempuran. Kebanyakan, doa Imam Ali, Imam Husain dan Imam Sajjad menukil tentang masalah ini. Sementara, sebagian orang malah berharap agar mereka selamat dan tetap hidup, doa Imam Ali dan para Imam adalah, “Ya Allah, berilah taufik syahadah kepada kami.” Di sini terbentuklah persatuan irfan dengan hamasah. Yakni, memohon kepada Allah untuk dapat melakukan difa’ dan membela agama-Nya.
Akhir kalimat dalam surat Imam Ali kepada Malik al-Asytar (panglima perangnya) adalah, “Aku memohon kepada Allah, agar Dia menutup usia saya dan usia Anda dengan kebahagiaan dan syahadah, dan kita akan kembali kepada-Nya.”
(Nahjul Balaghah). Saat itu, Imam Ali sebagai pemimpin tertinggi sementara Malik al-Asytar adalah panglima pasukan yang diutus ke Mesir. Dalam surat itu, Sayyidina Ali memberikan nasihat untuk Malik yang bertugas di Mesir, yang diakhiri dengan ajakan untuk meraih syahadah.
Seorang pengabdi dalam nizham’alawi (pemerintahan Ali) adalah orang yang berbahagia dan syahid. dan kebahagiaan yang diharapkan bukanlah keselamatan duniawi, sebab ini bukanlah jalan Malik, juga bukan karakter Ali. Kebahagiaan dimaksud adalah syahadah. Tiadanya kesedihan sedikit pun dalam menghidupkan agama hingga mencapai syahadah adalah kepribadian Malik Asytar dan paham Ali bin Abi Thalib. Bisa saja bibir menyebut nama Ali, tetapi hati menyebut yang lain. Ketika nama dan zikir tentang Ali ada dalam hati, maka hati akan merindukan syahadah, seraya berkata, “Ya Allah, di saat Islam dalam bahaya dan adanya keharusan membela agama, maka mati lantaran sakit adalah kehinaan, bangkai. Aku siap menjadi syahid. Pabila maslahatnya demikian, maka syahidkanlah aku. Jika tidak, maka akan aku umumkan kesiapanku.”
Imam Ali berkata kepada Malik Asytar, “Saya tidak takut akan syahadah, Anda juga tidak takut akan syahadah. Orang yang takut akan syahadah, tidaklah pantas memerintah dalam Islam. Orang yang takut akan syahadah, tidaklah tepat memimpin pasukan di Mesir. Saya memohon kepada Allah, agar akhirt hayat Anda (berada) dalam husn al-khatimah.” Inilah kalimat terakhir dalam surat Imam Ali tersebut.
Kini, kita sampai pada pembahasan mengenai putera suci Imam Ali, Husain bin Ali. Beliau telah menapaki makrifah yang terkandung dalam Doa Arafah tentang tugas di medan laga Karbala. Orang-orang yang diseru ke Karbala adalah mereka yang memiliki pemikiran tentang hamasah keirfanan dan irfan kejuangan. Imam Husain tidak mengajak zahid (yang ibadahnya karena surga) dan abid (yang ibadahnya karena takut neraka) ke Karbala. Mereka yang beraroma zuhud dan dan ibadah-tandus, bukanlah insan yang memiliki “spirit” Karbala dan bukanlah revolusioner Islami.
Ketika mengumpulkan pasukan Karbala, apa yang Imam Husain sampaikan? Pertama, mengumumkan bahaya yang datang menjelang. “Agama dalam marabahaya,” ucap beliau.
Kedua, menjelaskan syarat keikutsertaan bangkit bersama beliau. Imam Husain tidak mengatakan, “Setiap muslim harus datang, setiap zahid, setiap abid harus ikut serta.” Sebab, darah orang-orang seperti mereka tidak akan mampu menghancurkan tatanan kekuasaan Bani Umayyah.
Sebagian sahabat Nabi SAW yang masih hidup di zaman putera beliau (Imam Husain) berkata, “Dengan usia kami yang sudah uzur ini, kami tidak akan mampu membunuh, bahkan akan gampang terbunuh.” Kalau kita perhatikan peristiwa Karbala yang terjadi 50 tahun setelah Nabi SAW wafat, tentunya sahabat yang berusia 50 tahun di masa hidup Nabi SAW, maka di zaman bangkitnya Imam Husain, usianya pasti telah 100 tahun. Seorang sahabat yang masih hidup dalam kondisi seperti itu, sangatlah beruntung. Orang-orang yang hidup di masa itu tahu bahwa di sebuah daerah terdapat seorang tua yang hidup sezaman dengan Nabi SAW dan memperoleh kehormatan dengan julukan sahabat Nabi SAW. Dia adalah Anas al-Kahili. Di Karbala, ia menghadap Imam Husain dan berkata, “Izinkanlah saya mereguk syahadah.” Imam memberinya izin dan ia meminta dua potong kain (kepada beliau). Ia kemudian mengikat pinggangnya dengan kain yang satu dan kepalanya dengan kain yang lain, agar ia dapat melihat apa yang ada di hadapannya.
Pribadi yang demikian itu adalah orang yang mewarisi nilai-nilai Karbala.
Selama kurang lebih 14 abad, setiap kekuatan zalim yang muncul dan berperang melawan (orang-orang yang memiliki) hadaf (tujuan) Karbala, pasti akan hancur. Terkadang, mereka berperang atas nama Al-Husain, terkadang dengan semangat berapi-api, atas nama kebangkitan dan tujuan Al-Husain. Banyak sekali orang yang telah melakukan peperangan, mereka membunuh dan terbunuh. Tetapi nama mereka terkubur dalam buku sejarah. Peneliti sejarah harus membuka halaman demi halaman buku sejarah. Setelah banyak halaman terbaca, ia baru dapat menutupnya dan menarik kesimpulan darinya. Namun, semangat perjuangan Karbala senantiasa menjadi nominasi dalam sejarah, sebab orang-orang biasa tidak dapat menciptakannya.
Sirah Imam Husain seluruhnya adalah irfan. Dalam Doa Arafah, berkenaan dengan sifat dan kriteria para pejuang (Islam), Imam berkata, “Saya akan berangkat dan (saya) membutuhkan pertolongan. Namun, tidak (dari) setiap orang, melainkan hanya golongan khusus.” Dan, “Hendaklah orang-orang mukmin benar-benar menyenangi perjumpaan (dengan) Allah.”
Orang yang rindu akan liqa (perjumpaan dengan) Allah, bila mengangkat senjata (berperang), itu bukan lantaran takut akan neraka. Sebab, seorang penakut neraka, tangannya bisa saja gemetaran manakala melihat api menyala yang akan membakar tubuhnya (di dunia ini). Dan, seseorang yang ke medan laga Karbala, karena ambisi surga, kakinya akan gemetaran saat melihat bahwa setelah kematiannya, keluarganya akan ditawan dan rumahnya akan dirampas. Adapun, seorang yang mendambakan liqa Allah, tidak hanya hatinya tidak akan goyah, tangan dan kakinya tidak akan gemetar, bahkan ia juga akan mengajak orang lain berbalut keteguhan.
Di Mekkah, Imam Husain mengumumkan kebangkitannya kepada umat, “Sekarang, bukanlah saat (yang tepat) untuk berhaji, meskipun ini bulan haji. Saya menetap di sini mulai bulan Syawal, Dzulqaidah hingga sekarang, 8 Dzulhijjah. Pada tanggal delapan Dzulhijjah ini, di Mekkah, para jamaah haji memakai pakaian ihram dan mereka berjalan menuju Arafah. Adapun saya, sebagai Imam Nathiq (yang berbicara), mengatakan bahwa sekarang bukanlah waktunya (untuk wukuf) di Arafah dan Mina.sekarang ini, tidak seharusnya (kita) pergi ke Mina, menyembelih kurban unta dan kambing. Sekarang ini, seharusnya kita pergi ke Karbala dan memberikan darah kita.”
Singkatnya, semua orang menyaksikan bahwa Husain bin Ali (waktu itu) tidak melaksanakan haji. Dalam ceramah beliau di hadapan khalayak, beliau berseru, “Wahai umat , besok pagi saya akan berangkat ke Irak, saya merindukan kematian. Saya tegaskan kepada kalian bahwa kematian adalah hiasan pada leher dan para lelaki Ilahi.”
“Maut telah digariskan bagi anak Adam bak kalung melingkar di leher seorang dara. Saratnya kerinduan untuk bertemu dengan para pendahuluku, bagaikan kerinduan Ya’qut kepada Yusuf dan, apa yang akan kualami adalah bagian yang terbaik. Aku dapat melihat tubuhku yang tercabik-baik oleh serigala-serigala padang pasir, antara Nawawis dan Karbala.”
Imam Husain pertama sekali menggambarkan maut seraya berkata, “Jangan mengira bahwa saya tidak mengetahui apa yang akan menimpa kepala saya. Di Karbala telah tersedia makam untuk saya, dengan penuh kesadaran saya akan melangkah ke sana. Dan, di sana saya dapat melihat potongan-potongan badan saya yang dikoyak-koyak serigala-serigala gurun Karbala. Dan orang-orang yang pergi bersama saya, hadaf mereka adalah liqa Allah, (Yang ada) dalam benak mereka hanyalah liqa Allah.
Imam Husain mengutarakan itu secara resmi di Mekkah, di hadapan khalayak, yang juga dihadiri mata-mata bani Umayah, “Barangsiapa yang siap mengorbankan jiwa raganya demi kami dan ingin segera berjumpa dengan Allah, bersegeralah bergabung bersama kami. Sebab saya akan segera berangkat, insya Allah.”
Imam Ali sebagai seorang arif Islam pertama, dalam suratnya kepada Malik Asytar, pernah mengatakan, “Saya memohon kepada Allah, agar Dia menutup usia saya dan panglima pasukan saya dengan kebahagiaan dan syahadah.” Dan, Apabila puteranya, Husain bin Ali adalah pribadi hamasah universal, maka tidak hanya doa irfannya saat di Arafah yang nampak, tetapi juga khutbahnya di Mekkah dan ajakannya pada perjuangan (jihad).
Sayyidina Ali berkata, “Sesungguhnya, semulia-mulia kematian adalah terbunuh di jalan Allah.” Dan ini bertolak pada sabdanya, “Allah mewajibkan jihad untuk keagungan Islam (dan muslimin).” Kita melihat bahwa kini, Islam telah mencapai arus besar izzah. Semua ini berkat darah para syuhada, berkat pengorbanan para pejuang Islam. Bila ada orang yang menolak kenyataan ini, maka untuk menjelaskan kepadanya, Sayyidina Ali berkata, “Jihad paling awal yang (harus) kalian utamakan adalah dengan tangan kalian, kemudian dengan lisan kalian, lalu dengan hati kalian. Barangsiapa yang tidak pernah memutuskan sesuatu dan tidak (mau) mengingkari kemungkaran, ia akan dibalik keadaannya, yang di atas menjadi ke bawah dan yang di bawah ke atas.”
Alam pemikiran akan selalu ada. Hingga sekarang pun jalur pemikiran Imam Husainmasih hidup. Dan menangisi seorang syahid akan melahirkan kerinduan pada syahadah. Sebab, menangisi seorang syahid menghidupkan jiwa perjuangan dalam diri seseorang. Orang yang berjiwa Husaini tidak akan melakukan kezaliman dan anti kezaliman. Pemikiran zalim dan tindakan pro-kezaliman menunjukkan kosongnya jiwa Husaini dalam diri mereka. Karena itu, tidak mungkin seorang pecinta Rasul dan Ahli Baitnya yang khusus akan memiliki pemikiran yang zalim dan pro-kezaliman. Orang yang pro-kezaliman adalah seorang umawi (berjiwa Umayah). Orang yang berbuat zalim adalah seorang umawi. Sebab, manakala berkuasa, mereka akan berbuat zalim, dan manakala tidak, mereka akan mendukung kezaliman. Oleh karenanya, pada hari kiamat kelak, setiap manusia akan dipanggil dengan nama imam mereka : “(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya.” (QS. Al-Isra : 71)
Pribadi zalim berada pada barisan umawiyin. Apabila kita ingin memahami jalan pemikiran Husain bin Ali atau jalan pemikiran umawiyin, maka kita harus menengok ke dalam diri kita, adakah kita pro-kesewenang-wenangan atau tidak? Jika kita melihat keburukan dalam diri, maka kita harus mengubah dan memperbaharui akhlak kita.
Di malam Asyura, Sayyid al-Syuhada, setelah mengumpulkan semua sahabatnya, berpidato dan menyempurnakan hujjahnya kepada mereka, “Umawiyin hanya berurusan dengan saya, tidak dengan kalian. Kalian adalah sahabat yang paling setia. Namun, di sini, di tempat ini, tiada sesuatu yang lain kecuali kematian dan syahadah.” Sebab, seluruh tanah ini penuh dengan kaki-tangan umawi. Partisipasi orang-orang dalam pasukan umawiyin adalah lantaran (mudahnya mereka) termakan propaganda buruk.
Imam Husain berkata, “Barangsiapa yang tetap tinggal di sini, ia akan mati syahid! Termasuk, bayi saya yang (sedang) menyusu ini, ia juga akan terbunuh.” Qasim bertanya, “Wahai paman, apakah mereka akan menyerang kemah-kemah (kita)?” Imam menjawab, “Selama aku masih hidup, tidak akan!” “Wahai paman, apakah mereka akan mensyahidkan saya?” tanya Qasim. Imam balik bertanya, “Menurutmu, apa kematian itu?” Qasim menjawab, “(Sesuatu yang)lebih manis dari madu!” Semua ini adalah semangat juang keirfanan, yakni syahadah bagi Qasim adalah lebih manis dari madu. Kemudian Imam Husain berkata, “Benar, mereka akan mensyahidkanmu.”
[Diterjemahkan dari tulisan Ayatullah Jawad Amuli]