کمالوندی

کمالوندی

Rabu, 14 November 2012 20:11

Harapan Afghanistan Kepada Jerman

Thomas de Maiziere, menteri pertahanan Jerman secara mendadak berkunjung ke Afghanistan. Menurut laporan Kantor Berita AFP, Senin (12/11) setelah tiba di kota Mazar-i-Sharif dan bertemu dengan serdadu Jerman, Thomas de Maiziere langsung bertolak ke Kabul guna berdialog dengan petinggi keamanan Afghanistan.

Saat bertemu dengan sejawatnya dari Afghanistan, Bismillah Mohammadi, Maiziere menandaskan, pemerintah Jerman selama beberapa hari mendatang akan mengambil keputusan terkait langkah-langkah penarikan pasukannya dari Afghanistan. Ini merupakan lawatan kedua de Maiziere ke Afghanistan selama menjabat menteri pertahanan Jerman.

Jerman saat ini menempatkan sekitar 4800 pasukannya di Afghanistan dan menempati urutan ketiga setelah Amerika Serikat dan Inggris yang paling banyak mengirim pasukan ke Kabul. Meski Jerman terhitung sekutu ketiga AS di Afghanistan, namun di operasi militer anti Taliban di Kabul, Berlin tidak memainkan peran mencolok. Tentara Jerman ditempatkan di wilayah yang relatif aman di kawasan utara Afghanistan. Sementara bentrokan selama ini yang terjadi antara pasukan asing dan Taliban terjadi di wilayah selatan.

Proses transisi tanggung jawab keamanan dari pasukan asing ke militer Afghanistan menjadi isu utama perundingan antara para petinggi Barat dan Afghanistan. Berdasarkan kesepakatan pemimpin NATO di sidang Lisbon, bertepatan dengan penarikan bertahap pasukan asing dari Afghanistan di akhir tahun 2014, seluruh pasukan AS dan NATO akan meninggalkan Kabul. Proses transisi tanggung jawab keamanan dimulai sejak tahun 2011 dan diharapkan proses ini berakhir di pertengahan tahun 2013 mendatang.

Menurut keterangan Sekjen NATO, Anders Fogh Rasmussen mulai tahun 2014 dan seiring dengan berakhirnya misi militer organisasi ini di Afghanistan, maka kami memiliki misi baru di Kabul yaitu melatih serta menjadi penasehat tentara Afghanistan. Sejak satu tahun lalu ketika tiga tahap penyerahan tanggung jawab keamanan dari pasukan asing kepada militer Afghanistan, indek keamanan di negara ini mengalami peningkatan signifikan.

Pengamat meyakini bahwa penarikan pasukan asing dari Afghanistan akan membuka peluang kerjasama antara rakyat dan pemerintah guna menjamin keamanan nasional. Rakyat Afghanistan dalam beberapa tahun terakhir tidak bersedia bekerjasama dengan pemerintah di bidang keamanan mengingat kinerja buruk pasukan asing di negara mereka. Namun setelah proses transisi tanggung jawab keamanan dimulai, mereka menyambut upaya pemerintah untuk memulihkan kemanan dan stabilitas nasional.

Oleh karena itu, Presiden Afghanistan beberapa waktu lalu menilai penarikan pasukan asing dari negaranya menjadi faktor stabilitas di Afghanistan. Pemerintah Kabul optimis bahwa setelah tahun 2014, negara-negara Barat khususnya Jerman yang telah menandatangani kerjasama strategis dengan Afghanistan tetap komitmen terkait pelatihan dan perlengkapan kemampuan pertahanan pasukan Afghanistan serta bantuan di bidang pembangunan negara ini. (IRIB Indonesia/MF)

Perdana Menteri Hamas di Jalur Gaza, Ismail Haniyeh mengatakan jika rezim Zionis Israel berkomitmen pada kesepakatan gencatan senjata, maka faksi-faksi Palestina juga akan mematuhinya.

Israel dan Palestina siap melakukan gencatan senjata yang dapat mencegah perang baru di Gaza setelah terjadi bentrok senjata selama lima hari. Kesepakatan yang diprakarsai Mesir itu, berisi peringatan yang disampaikan kedua belah pihak bahwa mereka siap melakukan perang lagi jika mereka diserang.

Haniyeh saat melakukan kunjungan rahasia ke sebuah rumah sakit untuk melihat warga Palestina yang luka-luka, mengatakan pejuang Palestina menunjukkan rasa tanggung jawab yang besar dan akan menghormati kesepakatan gencatan senjata jika Israel juga mematuhinya. Dia juga menegaskan hak kelompok pejuang Palestina untuk membalas serangan brutal Israel ke Gaza.

Pada kesempatan itu, Haniyeh menginformasikan beberapa upaya regional untuk mengakhiri serangan Israel, namun ia tidak merinci upaya itu. Seraya mengutuk serangan Zionis ke Gaza, Haniyeh menandaskan serangan pasukan penjajah tidak akan memadamkan tekad bangsa Palestina dan juga tidak akan mematahkan perjuangan dan perlawanan untuk mencegah serangan brutal Zionis.

Kelompok-kelompok pejuang di Jalur Gaza dalam sebuah pertemuan juga menilai resistensi sebagai hak legal bangsa Palestina dan mereka menuntut setiap kesepakatan gencatan senjata dengan Israel harus menghentikan secara penuh serangan Zionis ke wilayah blokade itu.

Dalam sebuah pernyataan yang dibacakan oleh Sami Abu Zuhir, juru bicara Hamas, kelompok pejuang menegaskan bahwa Tel Aviv harus bertanggung jawab atas seluruh kejahatan rutin mereka terhadap warga Palestina dan dampak-dampak akibat serangan itu. Pejuang Palestina akan terus membalas sampai Israel menghentikan agresinya. Mereka juga menyerukan kepada masyarakat internasional agar mengambil langkah-langkah serius dan segera guna menghentikan manuver-manuver Zionis.

Kelompok pejuang Palestina beberapa hari lalu telah memberi respon mematikan terhadap aksi brutal Israel. Selama ini, Israel dikenal tidak pernah komitmen terhadap kesepakatan gencatan senjata dan senantiasa menilai langkah itu sebagai strategi untuk menyusun kekuatan baru guna menyerang kembali bangsa Palestina. Oleh karena itu, Tel Aviv tidak pernah mematuhi setiap kesepakatan yang telah mereka tandatangani sendiri.

Saat ini, Israel melihat posisinya dalam bahaya setelah menerima tembakan ratusan roket dari pejuang Palestina. Beberapa pejabat Zionis bahkan bersedia membahas masalah gencatan senjata sekaligus tidak mengesampingkan serangan menyeluruh ke Gaza.

Sikap kontrakdiktif para pejabat Israel semakin memperjelas inkonsistensi mereka terhadap mekanisme untuk menciptakan perdamaian dan keamanan di kawasan. Mereka hanya memanfaatkan isu perdamaian untuk tampil sebagai rezim cinta damai.

Meski demikian, para analis menilai kesediaan kelompok pejuang Palestina untuk gencatan senjata dan itupun di tengah kesiapan mereka untuk bertempur sebagai indikasi dari itikad baik Palestina terkait upaya-upaya regional dan internasional untuk mewujudkan perdamaian. (IRIB Indonesia/RM/NA)

Ketika para tokoh aliansi oposisi Suriah optimis Uni Eropa akan mengakui eksistensi mereka, Perancis dan Inggris justru menyatakan ragu untuk mengakui oposisi Suriah yang akhirnya menimbulkan berbagai pertanyaan.

Senin (12/11) Liga Arab dan negara-negara sekitar Teluk Persia dalam sebuah sidang di Doha, Qatar, mengakui aliansi oposisi Suriah yang diketuai oleh Maadz al-Khatib. Mereka juga meminta lembaga internasional dan Barat untuk mengakui keberadaan aliansi tersebut sehingga dapat meningkatkan tekanan terhadap pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Dengan demikian, setelah lebih dari satu setengah tahun sejak krisis di Suriah, kelompok-kelompok oposisi dengan upaya tanpa henti dan penggelontoran dana besar-besaran dari Arab Saudi dan Qatar, akhirnya mereka siap untuk berkoalisi dalam satu barisan menentang Bashar al-Assad.

Paramenteri negara-negara Arab anti-Suriah mengklaim bahwa mulai sekarang, al-Khatib menjadi delegasi resmi dan perunding utama terkait Suriah. Akan tetapi, keputusan para pejabat Liga Arab, Dewan Kerjasama Teluk Persia, dan para tokoh oposisi itu tidak mendapat restu dari Barat.

Setelah sepekan mengadakan perundingan dan pembahasan secara ketat, Sekjen Dewan Kerjasama Teluk Persia, Abdul Latif al-Ziyani mengatakan, "Kami berharap masyarakat internasional mengakui kelompok oposisi ini dan mengakhiri peperangan dan pertumpahan darah di Suriah."

Al-Khatib kepada Reuters mengungkapkan permintaannya dari Uni Eropa untuk memberikan dukungan finansial dan militer kepada aliansi oposisi dalam perang melawan Damaskus.

Dalam hal ini, Selasa (13/11) digelar sidang yang dihadiri para menteri luar negeri anggota Liga Arab dan Uni Eropa di Kairo, Mesir. Sidang itu bertujuan menyelesaikan kendala yang ada menyangkut pengakuan eksistensi aliansi oposisi Suriah. Namun para pejabat Eropa menunjukkan ketidaktertarikan mereka terhadap pembentukan aliansi tersebut dan tidak memiliki pandangan positif terhadap tuntutan oposisi Suriah.

Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague, seraya menyatakan optimis atas kesepakatan Doha, akan tetapi pada saat yang sama dia menilai masih banyak "PR" yang harus diselesaikan sebelum London mengakui eksistensi mereka. Poin yang menjadi fokus Hague adalah kesepakatan kelompok oposisi untuk mengakhiri friksi dan bergabung di satu front. Dia menilai hal itu sebagai sebuah langkah besar akan tetapi London belum berniat mengakuinya.

Sikap dingin Eropa atas kesepakatan Arab dan aliansi Suriah itu juga dapat terbaca jelas dalam reaksi Perancis. Menteri pertahanan negara itu menyatakan terlalu cepat bagi Paris untuk mengakui aliansi oposisi Suriah.

Reaksi dingin Barat dalam hal ini mengakhiri kegembiraan sesaat aliansi Suriah yang sangat optimis akan mendapat dukungan Barat. Pertanyaannya adalah mengapa Barat menunjukkan sikap yang berbeda?

Masalah yang tidak diperhatikan oleh kelompok oposisi adalah perubahan kondisi regional di bawah bayang-bayang instabilitas yang semakin meningkat di kawasan perbatasan. Saat ini, ketidakamanan di perbatasan Suriah-Turki dan Suriah-Israel sudah melampaui batas yang diinginkan Barat.

Dengan kata lain, instabilitas regional sangat membahayakan kepentingan banyak pihak. Kekhawatiran Barat dalam masalah ini sangat beralasan mengingat ketidakamanan yang diciptakan kelompok pemberontak Suriah sudah sampai pada batas mengancam kepentingan mereka di kawasan. Yang sedang berlangsung saat ini di Suriah sudah tidak sesuai dengan selera Barat.(IRIB Indonesia/MZ)

Hari Kamis tanggal 17 Dzulhijjah, rombongan Imam Husein as sampai di daerah bernama Ajfur untuk meletakkan barang bawaan mereka. Dalam buku Qamus disebutkan bahwa di sini sebuah tempat antara Faid dan Khuzaimiah.(1) Di tempat ini air mengalir ke tempat tinggal orang-orang Arab.

Sekaitan dengan pertemuan Imam Husein as dengan Abdullah bin Muthi' ‘Adwa, para ahli sejarah berselisih pendapat.

Dalam Lisan al-Muarrikhin disebutkan ada pertemuan di Ajfur antara Imam Husein as dan Abdullah bin Abi Muthi', tapi sebelum ini juga disebutkan bahwa pertemuan ini terjadi di pertengahan jalan antara Mekah dan Madinah atau lebih dekat ke Mekah. Thabari dan Muhaddits Qommi dalam Nafas al-Mahmum menyebut tempat pertemuan di Ajfur. Boleh jadi Abdullah bin Muthi' berbeda dengan Abdullah bin Abi Muthi'.(2)

Dengan pertemuannya dengan Imam Husein as, Abdullah akhirnya tahu perjalanan Imam as ke Irak. Untuk itu ia bersumpah agar Imam Husein as mengurungkan niatnya pergi ke Irak. Ketika Imam Husein as belum menjawab permintaannya itu, ia kembali bersumpah agar beliau mengurungkan niatnya. Setelah itu ia menjelaskan mengapa ia bersikeras agar Imam tidak pergi.

Ia mengatakan, "Bila engkau ingin menuntut apa yang sekarang berada di tangan Bani Umayah, Demi Allah, mereka akan membunuhmu. Bila hal itu terjadi, setelah engkau tidak ada lagi kehormatan yang tertinggal."

Imam Husein as tidak mengikuti permintaannya dan tetap melanjutkan perjalanannya.(3)

Dengan mencermati dialog yang terjadi antara Imam Husein as dan Abdullah bin Muthi' dapat dipahami bahwa tujuan Imam as lebih tinggi dan mulia dari apa yang disebutkan oleh Abdullah. (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)

 

Catatan:

1. Al-Imam Husein wa Ashabuh, 1/163.

2. Al-Imam Husein wa Ashabuh, 1/163.

3. Al-Irsyad, 2/72, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 5/395, Nafas al-Mahmum, hal 178.

Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB memprotes kekerasan dan diskriminasi yang dilakukan terhadap umat Islam Syiah di Indonesia, negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.

Navi Pillay, Selasa (13/11) mengaku telah bertemu dengan pemimpin minoritas umat Islam,Syiah di Indonesia. Press TV (14/11) melaporkan.

Dalam konferensi persnyadi Jakarta,Pillay mengatakan,"Saya khawatir mendengar laporan serangan dengan kekerasan, pengusiranpaksa, dan tidak bisa memperoleh kartu identitas, serta bentuk diskriminasi lain terhadap umat Islam Syiah Indonesia."

Menurut laporan sejumlah lembaga HAM internasional, kekerasan terhadap minoritas Syiah di negara dengan populasi 240 juta jiwa dan 90 persennya muslim itu, sejak tahun 2008 sampai sekarang mengalami peningkatan.

"Jika Jakarta tidak mengambil langkah serius untuk menyelesaikan kekerasan dan kebencian terhadap kelompok minoritas, maka ia terancam kehilangan tradisi menghargai perbedaan serta tenggang rasa," tegas Pillay.

Kekerasan dan diskriminasi terhadap umat Islam Syiah di Indonesia akhir-akhir ini menjadi hal yang biasa. Pada bulan Agustus 2012,setidaknya dua orangmeninggal duniaakibat kekerasan itu. Pada saat yang sama sejumlah kelompok anarkis membumihanguskan puluhan rumah warga muslim Syiah.

KombesPol Hilman Thoyib, Kabid Humas PoldaJawa Timur pada tanggal 27 Agustus 2012 mengatakan, "Dua orang yang diserang dengan celurit itu akhirnya tewas. Salah satunya tewas di tempat kejadian, dan seorang lagi meninggal lewat tengah malam tadi."

Pada 26 Agustus 2012, sekelompok orang menyerang sejumlah mahasiswa muslim Syiah dengan senjata tajam di Sampang, akibatnya enam orang terluka dan 39 rumah dibakar massa.

Menurut keterangan Human Rights Watch, di penghujung bulan Desember 2011, setidaknya 500 muslim Syiah terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka di Nangkernang, Sampang akibat serangan kelompok garis keras. (IRIB Indonesia/HS)

Media massa Irak mengkonfirmasikan penangkapan 21 orang bersenjata menjelang bulan Muharram. Dikabarkan bahwa mereka berniat melancarkan teror terhadap para peziarah Imam Husein as di bulan Muharram.

Mehr News (14/11) melaporkan, pasukan keamanan Irak menangkap 21 oknum yang ketika diinterogasi mereka mengaku merencakanan aksi teror di bulan Muharram.

Sebagian besar mereka mengendarai mobil sewa saat ditangkap. Mereka dibekuk di wilayah al-Qadha.

Diperkirakan menjelang bulan Muharram dan peringatan perjuangan Imam Husein as dan sahabatnya di padang Karbala, para teroris takfiri akan semakin meningkatkan serangan dan aksi-aksi mereka. (IRIB Indonesia/MZ)

Ayatullah Safi Golpeygani pada pelajaran fiqih untuk tingkat mujtahid terakhir sebelum memasuki bulan Muharram menyatakan, "Muharram adalah universitas terbesar pendidikan, akhlak dan pengorbanan."

Menurut beliau, "Peringatan peristiwa Asyura dan perjuangan Imam Husein as adalah warisan budaya dan merupakan identitas tinggi Syiah yang dapat diperkenalkan kepada dunia."

Seluruh kehidupan religius Syiah diperkokoh dengan Asyura dan semakin besar peringatan tersebut digelar maka semakin besar pula kekuatan Syiah.

"Kesyahidan Imam Husein as telah menjamin kelanggengan Islam, karena tanpa kesyahidan Imam Husein as maka tidak akan ada yang tersisa dari Islam menyusul langkah-langkah anti-Islam yang dijalankan oleh Bani Umayah," tutur Ayatullah Golpeygani.

"Merujuklah Anda pada sejarah. Sejak wafatnya Rasulullah Saw sampai kesyahidan Imam Husein as, telah terjadi perubahan besar dalam agama, dan kondisi sedemikian rupa sehingga dalam waktu yang relatif singkat sejak wafat Rasulullah Saw itu, putra Nabi dibunuh secara kejam, kepala sucinya dipenggal, serta para sahabat dan putra-putranya juga dibunuh. Ini semua membuktikan bahwa tidak ada yang tersisa dari Islam," jelas beliau.

"Jika kondisi itu berlanjut hingga 200 atau 500 tahun lagi, maka tidak akan ada lagi al-Quran dan bahkan tidak terdengar nama Islam. Oleh karena itu, kesyahidan Sayidus Syuhada as bukan hanya identitas mazhab, melainkan identitas fundamental agama Islam."

Ayatullah Golpeygani lebih lanjut memaparkan, "Tidak ada manusia yang dapat mencerna hakikat kebangkitan Imam Husein as. Bagaimana harus mendefinisikan gerakan besar ini, penyerahan diri di hadapan perintah Allah Swt, serta pengorbanan heroik pada sahabat Imam Husein as ini? Para sahabat yang mengetahui bahwa mereka semua akan terbunuh dan tidak ada orang yang akan dapat sepenuhnya menjaga keselamatan Imam Husein as, mementaskan pengorbanan sedemikian besar dan pada akhirnya gugur syahid. Jika seorag manusia biasa memposisikan dalam kondisi itu, dia akan bertanya untuk apa dia harus membahayakan dirinya?"

Beliau menandaskan, "Akan tetapi yang terjadi di Karbala tidak demikian, di hari Asyura, para sahabat Imam Husein as tidak melarikan diri, tidak satu pun di antara mereka. Tidak seorang pun yang mengatakan bahwa aku harus pergi. Ini semua menyimpan banyak rahasia, orang seperti saya untuk menjelaskan ini semua dan membahasnya setiap hari, duduk di sini dan mengutarakannya, semakin banyak saya menjelaskannya, maka pembahasan ini tidak akan ada akhirnya."(IRIB Indonesia/MZ)

Kamis, 08 November 2012 17:46

Trik Amerika Intervensi Libya

Ketamakan Amerika Serikat di Libya mendorong Washington untuk merekrut tentara bayaran dan membentuk sebuah komando khusus di negara ini. Fathi al-Obeidi, komandan milisi di kota Benghazi baru-baru ini mengungkap agenda pejabat AS untuk membentuk pasukan khusus yang terdiri dari militer dan milisi Libya.

Al-Obeidi mengatakan, 11 hari lalu sebuah tim yang terdiri dari 10 orang Amerika mengunjungi markas milisi di kota Benghazi dan berdialog mengenai pembentukan sebuah komando dengan pasukan milisi.

Meski para pejabat Washington mengatakan bahwa tujuan pembentukan pasukan khusus ini untuk melawan ancaman kelompok-kelompok ekstrimis di Libya namun bukti menunjukkan bahwa pembentukan komando itu dalam rangka agenda Gedung Putih untuk mendukung kehadiran militernya di Libya.

Sejumlah media massa Amerika melaporkan, pada bulan lalu pemerintahan Barack Obama, Presiden AS mengajukan sebuah draf yang meminta Kongres untuk mengalokasikan dana sebesar delapan juta dolar yang diambil dari anggaran departemen pertahanan untuk membentuk sebuah komando anti-terorisme di Libya. Draf tersebut secara diam-diam telah disahkan.

Berdasarkan laporan terbaru New York Times, delapan juta dolar ini menurut rencana akan digunakan untuk membentuk sebuah unit komando yang terdiri dari 500 personil militer dan milisi Libya. Sementara pasukan operasi khusus AS bertanggung jawab untuk melatih mereka. Menurut pengakuan sejumlah pejabat Washington, agenda tersebut hanya bagian kecil dari agenda luas AS di Libya.

Tampaknya tewasnya Duta Besar AS untuk Libya Christopher Stevensdalam serangan bulan September ke konsulat AS di Benghazi menjadi dalih Washington untuk mengirim militer ke Libya. Hanya saja, langkah awalnya adalah membentuk sebuah komando yang terdiri dari militer dan milisi dengan alasan memerangi terorisme dan ektrimisme, tetapi sebenarnya untuk menyiapkan kehadiran militer AS.

Pendekatan AS di Libya pada bulan-bulan terakhir menunjukkan bahwa Washington tengah berupaya memantau gerakan-gerakan di berbagai negara Afrika Utara dengan berbagai cara termasuk mengirim militer ke Libya meski dalam jumlah yang terbatas. Hal itu disebabkan ketakutan Gedung Putih terhadap gelombang Kebangkitan Islam yang melanda negara-negara Afrika Utara akhir-akhir ini.

Aktivitas kelompok-kelompok ekstrim seperti al-Qaeda yang awalnya merupakan anak didik AS, menjadi dalih bagi pejabat Washington untuk mengirim pasukan dan para penasihat militer Amerika ke negara-negara Afrika Utara dan sejumlah negara di kawasan Timur Tengah.

AS menganggap Yaman, Pakistan dan Libya sebagai poros aktivitas al-Qaeda sehingga dengan dalih ancaman kelompok teroris ini, Washington dapat menjustifikasi intervensinya ke sejumlah negara di kawasan.

Namun faktanya adalah sumber kekayaan Libya dan minyak negara ini selalu menjadi perhatian Amerika, bahkan kehadiran pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dalam proses revolusi Libya dengan dalih melindungi warga sipil untuk menggulingkan rezim Muammar Gaddafi tidak tanpa alasan. NATO dan AS sebenarnya mengincar sumber energi negara ini.

Meski kediktatoran Gaddafi telah berakhir namun situasi politik dan keamanan Libya belum stabil sehingga kesempatan ini digunakan oleh AS untuk menggapai ambisi-ambisinya.

Hari Senin, 5 November 2012 menjadi saksi perhelatan penting dunia Islam yang digelar di Universitas Islam terkemuka di Makassar. Seminar Internasional "Persatuan Umat Islam" diselenggarakan atas kerjasama Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dengan Kedutaan Republik Islam Iran untuk Indonesia.

Momentum yang ditunggu-tunggu umat Islam Indonesia ini menghadirkan perwakilan dari ormas Islam, dewan ulama, dan pemerintah serta akademisi dalam dan luar negeri. Seminar Internasional berlangsung di Auditorium Al-Jibra Kampus II UMI, dan dibuka langsung oleh wakil Menteri Agama RI, Prof. DR. H. Nasaruddin Umar, MA.

Dua tokoh ormas Islam terbesar di Tanah Air, NU dan Muhammadiyah bersama-sama meneguhkan komitmen Indonesia dalam menjaga persatuan umat Islam dunia dari berbagai rongrongan. Prof. Din Syamsuddin hadir berdampingan sebagai pembicara bersama KH Hasyim Muzadi. Selain itu, hadir pula sebagai panelis Ketua MUI Pusat Prof. Umar Shihab dan Prof. Muhammad Ghalib, selaku Koordinator kopertais VIII.

Keseriusan mengusung persatuan umat Islam dalam seminar ini ditampilkan dengan menghadirkan para pembicara dari luar negeri. Partisipasi aktif Duta Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia, Dr. Mahmoud Farazandeh, Grand Ayatollah Muhammad Ali Taskhiri selaku Ketua Lembaga Pendekatan antar Madzhab Islam, Republik Islam Iran, Sheikh Molawi Ishaq Madani sebagai penasehat presiden Iran untuk urusan Ahlussunnah, dan Dr. Mazaheri, Wakil rektor Universitas Terbuka Iran, menunjukkan komitmen kolektif menjaga persatuan Islam dunia. Namun, amat disayangkan Arab Saudi tidak mengirimkan wakilnya, meski sudah dijadwalkan hadir dalam seminar persatuan umat Islam dunia itu.

Wakil Menteri Agama Republik Indonesia memandang konsep keumatan dalam Islam merupakan refleksi dari konsep cinta kasih antar sesama. Mengutip Rasulullah Saw, profesor studi Islam UIN ini menilai konsep Ummah (umat) sebagai komunitas yang paling komplit dan mulia dalam Islam, karena tidak lagi mengagungkan adanya diskriminasi dan pengkotak-kotakan dalam masyarakat. Nasruddin dalam pidatonya optimis Indonesia sebagai negara muslim terbesar akan memimpin dunia Islam. Bagi Nasruddin, jazirah Hijaz telah selesai melahirkan Islam, kini giliran Indonesia yang akan memimpin dunia Islam. Tapi, semuanya itu hanya bisa terwujud ketika umat Islam Indonesia serius menggalang persatuan.

Optimisme itu bergema kembali disuarakan Ketua Umum Muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin. Cendekiawan muslim ini menjelaskan besarnya potensi kaum muslimin, terutama di Indonesia. Tokoh NU, KH. Hasyim Muzadi menegaskan pentingnya persatuan Islam dalam mewujudkan kamajuan dan kejayaan umat. Kiai berusia 68 tahun ini memandang politik adu domba yang dilancarkan dunia Barat untuk menjegal kemajuan dan kejayaan kaum muslimin.

Mengamini pentingnya persatuan umat bagi bangsa Indonesia dan dunia, Rektor UMI Prof. Masrurah Mokhtar, MA pada pidato sambutannya menggarisbawahi urgensi perumusan etika dalam berbeda pendapat, supaya umat Islam dapat meningkatkan tali persaudaraan, toleransi dan tidak mudah diadudomba. Sedangkan, Duta Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia, Dr. Mahmoud Faranzadeh dalam statemennya menekankan pentingnya persatuan umat Islam sebagai benteng menjaga keamanan, kesejahteraan dan kemajuan umat Islam dunia.

Sementara itu, Sheikh Molawi Ishaq Madani menyebutkan persatuan sebagai kunci kemenangan umat Islam. penasehat Presiden Iran urusan Ahlusunnah itu menegaskan, Tanpa persatuan, umat Islam mudah diadudomba. Perselisihan dan pertengkaran di antara kaum muslimin tidak akan menghasilkan kemenangan bagi madzhab yang bertikai, dan sebaliknya justru kekalahan bagi agama Islam.

Terkait peran dunia Barat dalam menyulut friksi di tubuh umat Islam, Ketua Lembaga Pendekatan Antarmazhab Islam itu. Ayatollah Muhammad Ali Taskhiri menyatakan bahwa dunia Barat dengna kendaraan Kolonialisme berupaya mengoyak-oyak persatuan umat Islam dunia hingga akhirnya menjadi negara-negara kecil, terbelakang dan memisahkan agama dari kehidupan kaum muslimin. Namun, tutur ulama senior Iran ini, pasca perang dunia ke-2, terjadi berbagai peristiwa penting yang menyebabkan Kolonialisme Barat menemui tantangan berat. Peristiwa pertama adalah pembakaran masjid Quds yang menstimulasi lahirnya konferensi solidaritas kaum muslimin. Kemudian lahirlah Revolusi Islam di Iran. Revolusi Islam Iran yang digagas oleh Imam Khomeini berhasil menumbangkan hegemoni Barat, sekaligus menjadi antitesis Kolonialisme Barat terhadap dunia Islam.

Seminar yang digelar di jantung Indonesia Timur ini diakhiri dengan pembacaan rekomendasi yang berisi tujuh poin penting persatuan umat Islam dunia.

Bentrokan terbaru terjadi antara sejumlah pemuda Palestina dan militer rezim Israel di dekat Masjid al-Aqsa kemarin Rabu (7/11) yang mengakibatkan tujuh orang Palestina terluka parah.

Radio al-Aqsa mengabarkan, "Militer Israel menyerang sekelompok warga Palestina yang sedang menyambut kedatangan Muhammad Audah, seorang tahanan Palestina yang baru bebas dari penjara Zionis di kota Silwan di selatan Masjid al-Aqsa. Serangan tersebut mengakibatkan tujuh orang luka berat dan dua orang lainnya ditangkap."

Pusat informasi Palestina, Wadi Halwa mengkonfirmasikan soal penangkapan dua warga Palestina itu, dan mengumumkan identitas salah satu di antaranya.

Muhammad Abu Tayeh bersama seorang pemuda lain ditangkap militer Israel dan dibawa ke tempat rahasia." (IRIB Indonesia/HS)

Alquran

Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Keadilan Sosial dalam Al-Qur’an dan Pemerintahan yang Berorientasi Keadilan
Terwujudnya cita-cita keadilan telah menjadi salah satu keinginan terpenting semua manusia reformis dan orang-orang merdeka dalam sejarah (termasuk para nabi). Revolusi Islam Iran juga dilakukan…

Nahjolbalaghe

Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Imam Ali dan Hak Asasi Manusia dalam Nahjul Balâghah, Tinjauan Tafsir Al-Qurân
Naskah pengantar pada seminar Internasional “imam ali dan hak asasi manusia Dalam Nahjul Balagah”, Citywalk 5th floor. Jakarta 30 Juni 2009, IMAM ALI DAN HAK…