Perdana Menteri Inggris, David Cameron sebelum sidang para pemimpin Uni Eropa di Brussels menyatakan dirinya tidak akan menerima kesepakatan yang tidak menguntungkan Inggris.
Ia menekankan, pekerjaan yang benar lebih penting dari kecepatannya, oleh karena itu ketika kesepakatan Uni Eropa tidak menguntungkan Inggris, maka ia akan menolak untuk menandatanganinya.
Pertemuan dua hari para pemimpin 28 negara anggota Uni Eropa digelar sejak Kamis (18/2) sore dan rencananya selama sidang, selain dibahas berbagai isu, reformasi yang diinginkan Inggris juga akan dibahas. Sementara itu, Ketua Komisi Eropa, Jean-Claude Juncker hari Kamis menandaskan, dirinya yakin akan kemampuan Uni Eropa mencapai kesepakatan dengan Inggris dan mencegah keluarnya London dari organisasi ini. Namun menurutnya sejumlah isu lain juga harus diselesaikan.
Jean-Claude Juncker kembali menyuarakan penentangan keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Sementara Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Federica Mogherini di Brussels mengungkapkan rasa optimisnya dan menilai Inggris dan Uni Eropa mampu meraih kesepakatan.
Sidang para pemimpin negara anggota Uni Eropa di Brussels dimulai ketika berbagai isu marak bergulir dan dalam hal ini nasib Inggris di organisasi ini tercatat sebagai isu terpenting. Mungkin atas dasar ini pula, David Cameron sejak setibanya di Brussels langsung menyinggung Uni Eropa dan menekankan tidak akan menerima kesepakatan yang tidak menguntungkan London.
Cameron mengajukan prakarsa reformasinya kepada Uni Eropa terkait empat hal. Perubahan sejumlah undang-undang Uni Eropa termasuk undang-undang migrasi serta sistem pembayaran pekerja migran Eropa, dihentikannya proses merjer politik negara-negara Eropa, pemberitan wewenang lebih kepada parlemen negara anggota Uni Eropa untuk menolak keputusan atau undang-undang yang ditetapkan lembaga Eropa serta diakuinya mata uang Poundsterling di samping Euro.
Sejatinnya Cameron tidak begitu tertarik jika Inggris keluar dari Uni Eropa. Ia menyadari sepenuhnya kerugian bagi Inggris jika hal ini terjadi, khususnya hangusnya jutaan lapangan pekerjaan. Ia menjelaskan bahwa keamanan ekonomi dan keamanan nasional Inggris akan lebih terjamin dengan tetap menjadi anggota Uni Eropa yang telah direformasi.
Namun kini Cameron berada di bawah represi opini publik Inggris dan partainya sendiri. Ia dituding memiliki tuntutan yang sedikit kepada Uni Eropa, padahal menurut pandangan seluruh negara anggota, khususnya negara Eropa Timur, tuntutan Inggris sangat rakus dan diskriminatif.
Namun demikian Cameron berulang kali mengumumkan ingin mencapai kesepakatan dengan Uni Eropa selama sidang dua hari Brussels sebelum referendum di Inggris terakit masa depan keanggotaan negara ini di Uni Eropa. Sebagaimana hal ini terbukti dengan berbagai lawatan Cameron ke ibukota negara Eropa termasuk Berlin dan Paris untuk meyakinkan pemimpin kedua negara penting Eropa guna menerima syarat bagi kelangsungan keanggotaan London di Uni Eropa.
Di sisi lain, statemen dan sikap terbaru para pemimpin Eropa menunjukkan bahwa di sidang dua hari 18-19 Februari 2016 di Brussels, Cameron harus mempersiapkan dirinya menerima kritikan keras dan sebuah perundingan yang alot. Perdana menteri Inggris untuk pertama kalinya di tahun 2013 menyatakan akan mendukung keanggotaan Inggris di Uni Eropa jiak syarat keanggotaan London diubah.
Apa pun hasil perundingan Inggris di Brussels dengan seluruh pemimpin Eropa, referendum terkait penentuan dan masa depan Inggris di organisasi ini tetap digelar pada tahun 2016.