Amerika Serikat senantiasa mengambil sikap konfrontatif terhadap Republik Islam Iran selama empat dekade terakhir dan menggunakan berbagai cara melumpuhkan Iran.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump tidak hanya mengejar pendekatan ini, bahkan lebih jauh mengobarkan permusuhan yang jarang terjadi sebelumnya demi menggulingkan Republik Islam. Pada Mei 2018, Trump mengumumkan keluarnya Amerika Serikat pada dari JCPOA dan kembali menjatuhkan sanksi nuklir terhadap Iran dengan tujuan menyulut perang ekonomi dengan Iran.
Tujuan utama Amerika Serikat melancarkan tahap kedua sanksi nuklir terhadap Iran dengan tujuan mencegah penjualan minyak, transaksi keuangan, perbankan, dan ekonomi antara Iran dan negara lain. Pemerintah Trump, pada saat yang sama, meluncurkan perang psikologis yang meluas terhadap Iran mengisolasinya di tingkat regional dan internasional, dan mengubah perilakunya sehingga bisa menggulingkan Republik Islam Iran.
Analis internasional, Sayyid Ahmed Hosseini mengatakan, berdasarkan pandangan kapitalistik Amerika Serikat saat ini di dunia, termasuk Timur Tengah, Iran telah menjadi isu utama yang disebarkan sebagai ancaman kepentingan Washington.
Tuntutan pemerintahan Trump terhadap Iran dirangkum dalam 12 poin yang sampaikan oleh Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo pada Mei 2018. Tapi Implementasi klausul ini sebenarnya berarti penyerahan diri tanpa syarat Iran kepada Amerika Serikat, termasuk perlucutan program nuklir, penghentian program rudal dan pengaruh regional Iran, yang secara umum bertujuan untuk melucuti seluruh faktor kekuatan nasional dan regional Iran.
Washington mengklaim bersedia untuk bernegosiasi dengan Tehran jika persyaratan tersebut dijalankan oleh Iran. Namun, di saat yang sama AS justru melakukan provokasi dengan menjatuhkan sanksi baru dan mengirim kapal induk Abraham Lincoln, jet tempur pembom dan sistem anti-rudal Patriot di kawasan.
Trump dalam cuitannya di Tweeter pada 19 Mei lalu secara eksplisit mengancam Iran dengan serangan militer. Presiden AS mengancam akan mengakhiri Iran jika memilih opsi perang. Trump menulis di akun Twitternya, "Jika Iran ingin berperang, itu akan secara resmi mengakhiri Iran. Jangan mengancam Amerika Serikat,".
Pada saat yang sama, John Bolton selaku penasihat keamanan nasional AS, berada di garis depan dalam barisan pejabat yang terus-menerus mengancam Iran dengan perang. Dalam hal ini, situs Politico melaporkan perselisihan antara Mike Pompeo dan John Bolton mengenai Iran. Pemicu utama terselisihan keduanya mengenai unilateralisme Bolton dalam memberikan tekanan maksimum terhadap Iran, sampai Pompeo dan Brian Hooke, Utusan Khusus Amerika Serikat untuk Iran, telah menyatakan bahwa tujuan pemerintah AS untuk memperburuk tekanan terhadap Iran hanyalah negosiasi ulang dengan Iran.
Menurut Brian Hooke, Washington memiliki strategi yang komprehensif terhadap Tehran demi mengubah perilaku Iran secara global, jika Iran berkomitmen untuk melakukan perubahan mendasar dalam perilakunya, AS mungkin akan berbicara dengan Iran. Tapi John Bolton secara terbuka menyerukan perubahan rezim di Iran dengan megambil cara yang lebih kasar melalui ancaman perang.
Bolton adalah kepala panglima perang Grup B. Kelompok ini mencoba mendorong pemerintah Trump untuk menyulut konfrontasi militer dengan Iran. Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif dalam sebuah wawancara dengan Fox News Network mengatakan, presiden Amerika Serikat ingin tetap loyal pada kampanyenya untuk menghindari perang dan pertempuran, tetapi Grup B", yang terdiri dari Bibi (Benjamin Netanyahu), Bolton, (Bin Salman dan Bin Zayed berusaha untuk menarik Amerika dalam konfrontasi militer dengan Iran.
Meskipun Trump mengeluarkan ancaman terhadap Iran, tapi tampaknya ia tidak mencari konfrontasi militer dengan Iran. Pada hari Minggu, 19 Mei, Trump dalam sebuah wawancara dengan Fox Newsmenyinggung ketegangan baru-baru ini di kawasan Timur Tengah, "Saya bukan orang yang ingin memasuki perang. Saya tidak mencari perang dengan Iran, tetapi kami juga tidak ingin Iran memiliki senjata nuklir. Saya tidak akan membiarkan mereka melakukannya, jika saya memasuki perang dengan Iran, itu akan menjadi perang ekonomi,".
Masalah ini ditanggapi Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif yang mengatakan, "Realitas sebenarnya, Trump secara resmi dan baru-baru ini kembali menekankan bahwa dia tidak menginginkan perang. Tetapi orang-orang di sekitarnya mendorong ke arah perang dengan alasan bahwa mereka ingin membuat Amerika lebih kuat melawan Iran."
Trump juga sangat menolak segala opsi serangan militer yang disampaikan Bolton, dan menggambarkan laporan tersebut sebagai media palsu. Trump mengatakan bahwa pendapat yang berbeda diungkapkan dan saya akan membuat keputusan akhir. Tetapi saya tidak berpikir bahwa proses ini pada akhirnya akan mengarah perang.
Jika Washington benar-benar berniat untuk bernegosiasi dengan Tehran, alih-alih menekan dan mengancam dengan opsi militer, AS seharusnya menawarkan perundingan yang setara dan menghargai dengan Iran, tetapi Trump melihat negosiasi sebagai tahap akhir penyerahan diri pihak lain terhadap tekanan Washington.
Tentu saja, sikap konfrontatif Trump terhadap Iran tidak akan hilang. Dunia sangat menyadari dendam Amerika terhadap Republik Islam Iran karena Tehran melawan kebijakan arogan Washington. Pada saat yang sama, kebijakan luar negeri Trump tidak hanya melawan Iran, tetapi juga untuk negara-negara lain yang berjuang menghadapi arogansi Washington, seperti Venezuela hingga kini masih berlanjut. Koran AS, Washington Post menulis, Trump memegang paruh kedua jabatan presiden, tapi masalah utama kebijakan luar negeri AS tetap belum terselesaikan, dan kredibilitas Trump semakin menurun, dan pilihan yang tersisa untuk tetap menjabat periode selanjutnya semakin kecil.