Peristiwa infiltrasi pesawat tanpa awak Hizbullah Lebanon ke dalam zona udara rezim Zionis Israel dan terbang dengan bebas di dekat instalasi nuklir Dimona Israel membuktikan kelemahan sistem pertahanan rudal Iron Dome menghadapi persenjataan Hizbullah. Kejadian ini menjadi masalah serius bagi kemampuan pertahanan strategis rezim Zionis Israel pasca Perang 33 Hari.
Peristiwa ini bermula sejak tanggal 7 Oktober ketika sumber-sumber keamanan rezim Zionis Israel mempublikasikan berita tentang masuknya sebuah pesawat tanpa awak ke zona udara Palestina pendudukan. Pesawat tanpa awak ini memasuki zona udara Israel melalui arah barat dan dari Laut Mediterania dekat Jalur Gaza. Setelah melakukan manuver selama 30 menit pesawat ini ditembak jatuh oleh sebuah jet tempur dan jatuh di gurun Negev, Selatan Palestina pendudukan di daerah yang tidak berpenghuni.
Sekaitan dengan peristiwa ini, media-media Israel langsung menunjuk Iran berada di balik pengiriman pesawat tanpa awak ini. Mereka menyebutkan, pengiriman pesawat tanpa awak canggih semacam ini membutuhkan peralatan elektronik yang sangat kuat dan Hizbullah tidak memilikinya. Sementara para pejabat rezim Zionis Israel mengambil sikap yang berbeda sesuai dengan kekalahan-kekalahan mereka yang lalu.
Miri Regev, anggota Parlemen Israel (Knesset) dan mantan anggota militer Israel kepada Radio Perancis mengatakan, "Pesawat tanpa awak ini milik Iran dan diterbangkan oleh Hizbullah."
Sementara Kementerian Peperangan Israel belum mengakui adanya hubungan antara masuknya pesawat tanpa awak ke Israel ini dengan Hizbullah
Keesokan harinya semua berubah. Para penyidik yang diturunkan untuk meneliti bangkai pesawat tanpa awak akhirnya mengumumkan, pesawat tanpa awak ini dikirim oleh Hizbullah memasuki zona udara Israel sebagai wakil dari Iran. Tujuan utama dari pengiriman pesawat tanpa awak ini adalah menguji kesiapan Israel dalam menghadapi aksi-aksi mengejutkan semacam ini."
Ehud Barak, Menteri Peperangan Israel juga ikut mereaksi infiltrasi pesawat tanpa awak Hizbullah ini dengan ucapannya, "Dalam waktu dekat Israel akan membalas masuknya pesawat tanpa awak ini ke zona udaranya."
Sekaitan dengan hal ini, koran Israel Haaretz menulis,"Aksi infiltrasi seperti pesawat tanpa awak ini, sekalipun dilakukan tanpa program dan tujuan tertentu tetap terhitung mampu menghancurkan kewibawaan Israel."
Beberapa tahun lalu rezim Zionis Israel sempat berkoar-koar bahwa zona udaranya tidak dapat ditembus. Tidak ada benda terbang apapun yang dapat memasuki zona udaranya. Karena setiap benda terbang apa saja yang mencurigakan pasti akan ditembak oleh sistem pertahanan rudal "Iron Dome". Namun peristiwa 7 Oktober lalu merupakan tamparan memalukan dari Hizbullah yang mengirimkan pesawat tanpa awak ke dalam zona udara Israel dan sempat terbang selama 30 menit. Peristiwa ini menunjukkan klaim Israel soal zona udaranya hanya bualan dan konsumsi media saja.
Pada 2006 lalu dalam Perang 33 Hari antara Hizbullah dengan rezim Zionis Israel, Hizbullah sempat menggunakan pesawat tanpa awak Ababil yang mampu membawa bahan peledak. Sekali lagi Hizbullah pada 2010 mengirim pesawat tanpa awak dan memasuki gurun Negev sebelum akhirnya ditembak jatuh oleh jet tempur Israel.
Oleh karenanya, pesawat tanpa awak yang sempat berputar selama 30 menit di udara Israel harus lebih canggih dari drone sebelumnya. Kemungkinan besar pesawat tanpa awak yang ditembak 7 Oktober lalu oleh Israel merupakan versi lebih canggih dari Ababil atau pesawat tanpa awak Mersad. Terlebih lagi ketika menurut Sayid Hasan Nasrullah, pesawat tanpa awak ini masuk dari Selatan Palestina pendudukan, sementara Lebanon berada di Utara Palestina pendudukan.
Hizbullah mengetahui bahwa militer Israel memfokuskan pertahanannya di utara Palestina pendudukan yang berbatasan dengan Lebanon. Dengan demikian, masuknya pesawat tanpa awak Hizbullah dari Selatan Palestina pendudukan dan itu berarti sejauh ratusan kilometer pesawat ini harus melalui jalur laut. Penerbangan jauh melewati laut membutuhkan kemampuan khusus bagi pesawat tanpa awak, terlebih lagi sistem kontrol darat biasanya hanya mampu mengontrol hingga jarak 200 kilometer.
Surat kabar al-Quds al-Arabiah ketika mereaksi peristiwa ini menulis, sekalipun para pejabat Iran tidak mengakui atau membantah soal pengiriman pesawat tanpa awak ini