Meski tercatat sebagai anggota Uni Eropa, Inggris sejak bergabung dengan organisasi ini telah mengambil banyak kebijakan yang bertentangan dengan strategi anggota lain organisasi khususnya Jerman dan Perancis. Hal ini kian tampak dengan keputusan terbaru Perdana Menteri Inggris, David Cameron untuk menggelar referendum di negaranya terkait masa depan hubungan London dan Uni Eropa.
Sementara itu, baru-baru ini Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague seraya menekankan kesepakatan di zona euro tidak boleh mempengaruhi pengambilan keputusan di Uni Eropa menilai filsafat Eropa Inggris sepenuhnya berbeda dengan Jerman.
Saat menyampaikan pidatonya di Berlin, Hague menyodorkan sejumalh kebijakan yang bertentangan dengan Jerman. Ia pun memperingatkan sentralisasi di Uni Eropa dan menekankan bahwa Eropa lebih utama dari zona euro. Hague juga menolak rencana perubahan kontrak Eropa dan rekonstruksi lembaga-lembaga Eropa yang dicanangkan Angela Merkel, kanselir Jerman. Tak lupa ia kembali memperingatkan sentralisasi di tubuh organisasi ini.
Dalam perspektif Hague sejatinya ia telah menjelaskan kebijakan pemerintah Inggris dalam masalah ini. Inggris menilai pengokohan pasar dan kelayakan perusahaan dalam kompetisi ekonomi Eropa lebih diprioritaskan ketimbang krisis yang mengancam zona euro. Oleh karena itu, menurut Hague, ketika Eropa lebih mengutamakan zoan euro maka hal ini jangan sampai mempengaruhi keputusan seluruh anggota Uni Eropa serta kesepakatan regional.
Ia juga menekankan urgensitas pemerintah nasional dan parlemen nasional di Eropa. Menurutnya, kebijakan Eropa harus dapat mentolerir beragam ide dan pandangan terkait isu-isu regional.
Statemen Hague ini sejatinya menunjukkan kebijakan utama Inggris terkait Uni Eropa. Namun harus dipahami bahwa di dalam negeri sendiri dan di antara dua partai koalisi yang berkuasa juga terlibat friksi terkait besarnya partisipasi Inggris di Uni Eropa. Cameron yang memegang jabatan Perdana Menteri dan ketua Partai Konservatif memiliki kecenderungan ke Barat khususnya kerjasama dengan Amerika Serikat. Sedangkan Nick Clage, ketia Partai Liberal Demokrat dan sekutu Cameron menghendaki penstabilan hubungan antara London-Washington serta independensi Inggris.
Nick Clegg juga memiliki kecenderungan besar ke Eropa, namun kubu Konservatif tidak begitu antusias dengan Uni Eropa. Hal ini terbukti dengan penolakan Cameron atas pakta baru Eropa dan kubu Konservatif menggelontorkan ide referendum untuk menentukan mekanisme hubungan London dan Uni Eropa.
Sepertinya Inggris tengah mengalami kecenderungan untuk lari dari pusat terkait hubungan dengan Uni Eropa, seperti halnya penolakan Inggris terhadap mata uang bersama Euro. Bahkan Inggris menolak banyak keputusan ekonomi terbaru Uni Eropa untuk menyelesakan krisis finansial yanga da.
Meski Inggris menjadi anggota Uni Eropa, namun secara transparan sejumlah pemimpin negara iin khususnya David Cameron lebih memprioritaskan kepentingan nasionalnya. Oleh karena itu, Cameron tidak pernah bersedia menyetujui keputusan yang jelas-jelas menguntungkan seluruh anggota Uni Eropa ketika membahayakn kepentingan nasional Inggris.
Sementara itu, negara Eropa seperti Jerman menuntut lebih besar lagi persatuan negara-negara anggota Uni Eropa yang akan mengantar organisasi ini menjadi sebuah kekuatan politik federal dan memiliki kesatuan ekonomi, militer dan kebijakan luar negeri. (IRIB Indonesia/MF)