Sayidina Ali dan istrinya; Sayidah Fathimah merupakan teladan kasih sayang, sehati dan sepemikiran dalam kehidupan rumah tangga. Sepemikiran dan keakraban ini dibangun sejak hari pertama kehidupan rumah tangga mereka dan berlanjut sampai akhir. Meski begitu cepat berakhir dengan syahadahnya wanita penghulu dua alam ini.
Dua orang mulia ini bermusyawarah dan meminta pendapat Rasulullah Saw dalam membagi pekerjaan rumah. Sehingga karena berkah wujudnya Rasulullah, kehidupan sederhana keduanya menjadi kokoh. Kepada Rasulullah Sayidina Ali as berkata, “Wahai Rasulullah! Kami akan senang bila Anda memberikan pendapat tentang pembagian pekerjaan rumah kami!”
Rasulullah Saw pun menetapkan pekerjaan di luar rumah khusus sebagai tanggung jawab Sayidina Ali dan pekerjaan dalam rumah sebagai tanggung jawab putrinya. Keduanya merasa gembira menjalankan pendapat Rasulullah dalam kehidupan pribadinya. Rasulullah Saw juga merasa senang dan menerima usulan mereka untuk menyampaikan pendapatnya. Terutama Sayidah Fathimah as karena ayahnya telah membebaskannya dari menjalankan pekerjaan di luar rumah. Sayidah Fathimah sangat rela dan berkata, “Allah mengetahui, betapa senangnya aku karena ayahku telah membebaskanku dari tanggung jawab berhadapan dengan orang-orang laki.”
Dari saat itu pekerjaan seperti mengambil air dan belanja ke pasar dan semacamnya dikerjakan oleh Sayidina Ali dan pekerjaan seperti menggiling gandum, membuat roti, memasak dan membersihkan serta merapikan rumah, mengasuh anak-anak dan sebagainya dikerjakan oleh Sayidah Fathimah. Selain itu, bila Sayidina Ali memiliki waktu luang, dan memang dibutuhkan, maka beliau membantu istrinya mengerjakan sebagian pekerjaan rumah. Di sisi lain, bila Sayidina Ali tengah sibuk berperang atau bepergian, maka Sayidah Fathimah yang mengerjakan pekerjaan di luar rumah.
Suatu hari Rasulullah Saw menyaksikan keduanya sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Rasulullah Saw dengan penuh kasih sayang berkata, “Siapakah di antara kalian berdua yang lebih lelah, sehingga aku yang menggantikannya bekerja.”
Sayidina Ali as berkata, “Wahai Rasulullah! Zahra-lah yang lebih lelah.”
Rasulullah Saw meminta putrinya untuk istirahat sejenak dan beliau kemudian membantu Sayidina Ali.
Aku Akan Menyertaimu Agar Engkau Tak Sendirian
Di pertengahan jalan menuju Kufah, bertemulah dua orang musafir. Salah datu dari keduanya seorang muslim dan yang satunya seorang Yahudi. Keduanya begitu cepat akrab dan membuka pembicaraan. Ternyata tujuan safar orang muslim ini adalah kota Kufah. Di dekat kota Kufah jalan orang Yahudi harus pisah darinya. Namun keduanya memutuskan untuk bersama, selain agar tidak sendirian, juga perjalanan yang panjang akan terasa pendek.
Sesaat kemudian mereka berada di persimpangan jalan dan harus berpisah. Namun orang muslim ini berkata, “Saya tidak ingin menjadi teman separuh perjalanan, saya akan menyertaimu. Saya akan mengantarkanmu sampai pada tujuan kemudian saya akan kembali ke Kufah.
Lelaki Yahudi keheranan menyaksikan sikap lelaki muslim ini dan dia berkata, “Saya tidak rela perjalananmu menjadi jauh karena saya.”
Lelaki muslim berkata, “Engkau benar! perjalananku akan menjadi jauh. Namun Rasulullah kepada kami Saw bersabda, “Ketika dua orang bersamaan, meski hanya sekejap saja, maka masing-masing ada hak atas yang lainnya. Itulah mengapa saya ingin memenuhi hak persahabatan denganmu. Saya akan menyertaimu, agar engkau tak sendirian!”
Lelaki Yahudi berkata, “Pasti alasan kemajuan pesat agama Islam adalah karena akhlak yang baik dan mulia nabi Anda.”
Dan ketika ia tahu bahwa teman safar dan sahabat perjalanannya adalah seorang khalifah muslimin Ali bin Abi Thalib, ia semakin takjub. Karena terpengaruh oleh perilaku agung Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, akhirnya ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan masuk Islam. Lelaki ini kemudian menjadi orang mukmin dan sahabat dekat Imam Ali as yang penuh pengorbanan.
Tangisan Muawiyah untuk Sayidina Ali
Beberapa tahun setelah perang Shiffin dan syahadahnya Imam Ali as, ‘Adi putra Khatam Tha’i yang terkenal sangat dermawan, mendatangi Muawiyah yang saat itu berkuasa. Adi ini adalah salah seorang sahabat setia Imam Ali dan tiga orang anaknya menjadi pasukan Imam Ali yang akhirnya mencapai syahadah di perang Shiffin.
Untuk mengingatkan ‘Adi pada kematian anak-anaknya, Muawiyah menyindir seraya bertanya, “’Adi, apa yang terjadi pada anak-anakmu?!”
‘Adi berkata, “Mereka berjuang bersama Ali bin Abi Thalib di perang Shiffin dan telah mencapai Syahadah.”
Muawiyah berkata, “Menurutmu, apakah Ali termasuk adil karena dia telah menyebabkan anakmu terbunuh karena dirinya dan menjadikanmu tidak berputra?!”
‘Adi menjawab, “Justru akulah yang tidak berbuat adil padanya.”
Dengan takjub Muawiyah berkata, “Kenapa?”
‘Adi berkata, “Karena Dia telah terbunuh dan saya masih hidup. Seharusnya aku mengorbankan jiwaku untuknya saat masa hidupnya.”
Muawiyah merasa bahwa rencananya gagal dan kepada ‘Adi berkata, “Ceritakan padaku tentang Ali!”
‘Adi berkata, “Biarkan aku untuk tidak melakukan hal ini!”
Namun Muawiyah memaksa dan ‘Adi terpaksa berkata, “Demi Allah! Ali benar-benar berpikiran jauh ke depan dan kuat. Dia bicara tentang keadilan dan dengan tegas melaksanakannya. Ilmu dan hikmahnya senantiasa memancar. Dia sangat benci pada gemerlapan dunia. Dia akrab dengan malam dan kesendirian. Dia banyak menangis dan banyak berpikir. Dia memakai pakaian yang sederhana dan hidup bak orang miskin. Dia seperti kami dan bila kami meminta sesuatu padanya, pasti menyetujuinya. Bila kami menemuinya, dia tidak menjauhi kami dan tidak bersikap sombong. Dengan semua [ciri khas] ini, Dia begitu agung, sehingga kami merasa segan dan malu memandang wajahnya secara langsung. Dia adalah sahabat orang-orang miskin dan papah. Orang kuat tidak khawatir dizalimi, orang lemahpun tidak putus asa dari keadilannya.
Demi Allah! Suatu malam aku melihat dengan mata kepalaku sendiri; Dia sedang ibadah berdiri di mihrab dan air matanya menetes di wajahnya seraya berkata, “Wahai dunia! Kepadaku engkau menunjukkan keindahan? Pergilah! Pergilah! Goda saja orang lain selain diriku! Aku telah menceraikanmu..!”
Ketika ucapan ‘Adi sampai di sini, dengan sendirinya Muawiyah menangis. Dia menghapus air matanya dan berkata, “Semoga Allah merahmati Abulhasan [Imam Ali]! Demikianlah dia sebagaimana yang kau katakan. Sekarang bagaimana keadaanmu; jauh darinya?!”
Dengan penuh kesedihan ‘Adi berkata, “Bagaikan seorang ibu yang kepala anaknya di potong di pangkuannya.”
Muawiyah berkata, “Apakah engkau pernah melupakannya?!”
‘Adi berkata, “Memangnya bisa melupakannya? Dia senantiasa tetap hidup dan menjadi ingatan dalam hati-hati.” (Emi Nur Hayati)
Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Ali as