Tempat paling baik untuk berdakwah adalah di saat musim haji. Nabi Muhammad Saw di musim haji mendatangi para calon haji dan menyampaikan dakwah Islam kepada mereka.
Dalam hadis disebutkan bahwa Imam Shadiq as di padang Arafah di tengah-tengah banyak manusia yang melaksanakan ibadah haji berteriak dengan suara lantang ke empat penjuru angin. Di tiga arah beliau berkata:
ایّها النّاس رسول اللّه صلى الله علیه و آله كان الامام ثمّ على بن ابیطالب ثم الحسن و الحسین ثم على بن الحسین ثم محمد بن على علیهم السلام ثم هَه
Yaa Ayyuhannaas. Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Aalihi Kaana Al-Imaama Tsumma Aliyabnu Abi Thalib Tsumma Al-Hasana Wal Huseina Tsumma Aliyabnal Husein Tsumma Muhammadabni Ali ‘Alaihissalaam Tsumma Hah
Wahai manusia! Rasulullah Saw adalah Imam. Setelah itu adalah Ali bin Abi Thalid lalu Hasan, Husein, Ali bin Husein dan Muhammad bin Ali. Dan saat ini adalah aku! (Furu' al-Kafi, 4/466)
Kata Hah dalam hadis ini berarti "Anaa Fasaluunii" yang berarti saya dan tanyalah kepadaku.
Imam Muhammad Baqir as selama 10 tahun di Mina melakukan Azadari (ratapan duka) untuk Imam Shadiq as dan berbicara mengenai kejahatan yang telah dilakukan penguasa yang zalim terhadap Imam dan Ahlul Bait.
Imam Husein as sebelum berangkat ke arah Karbala tinggal untuk beberapa bulan di Mekah sampai para calon jamaah haji datang dan beliau dapat menjelaskan sikap politiknya terkait Yazid kepada mereka. Dengan demikian setiap dari mereka menjadi pembawa pesan beliau ke daerahnya masing-masing. Setelah itu beliau bergerak ke Karbala.
Setelah menjelaskan sedikit pendahuluan tentang kekhususan haji, tiba saatnya untuk membahas beberapa fatwa dalam masalah haji:
Soal:Bila seseorang dari sisi keuangan dikategorikan tidak mampu lalu melakukan nazar bahwa bila ia mendapat uang, maka akan dipakai untuk berziarah ke makam Imam Husein as dan di hari Arafah berada di Karbala. Sekarang, bila ia memiliki uang untuk melakukan haji, maka mana yang harus didahulukan, haji atau berziarah ke makam Imam Husein as?
Jawab:
Ayatullah al-Udzma Sayid Mohammad Hosseini Shahroudi: Ia harus mendahulukan ibadah haji.
Soal:Seorang pemuda yang belum menikah baru-baru ini terhitung mampu untuk menunaikan ibadah haji, tapi pada saat yang sama ia berpikiran untuk menikah. Bila ia pergi haji, maka pernikahannya bakal tertunda. Dalam kondisi yang demikian mana yang harus dilakukannya?
Jawab:
Ayatullah al-Udzma Sistani: Ia harus pergi haji dan menunda pernikahannya. Kecuali bila dengan penundaan itu, menikah menjadi sulit baginya, maka dalam kondisi ini ia harus mendahulukan untuk menikah.
Soal:Seorang pelayan kelompok terbang haji setelah melakukan umrah, ia pergi ke Arafah dan Mina untuk melihat tempat tinggal kloter dimana ia ditugaskan, setelah itu ia kembali ke Mekah. Apakah ia boleh melakukan hal ini?
Jawab:
Ayatullah al-Udzma Sistani: Tidak masalah dalam kasus yang seperti ini, dimana ia yakin dapat kembali lagi ke Mekah dengan mudah.
Soal:Dengan mencermati bahwa perempuan dapat melempar Jumrah pada malam hari kesepuluh, apakah harus di malam Ied ataukah di malam kesebelas juga boleh. Bila diasumsikan boleh melakukannya, bila perempuan itu melaksanakan haji sebagai wakil dari orang lain, maka bagaimana ia harus melakukannya?
Jawab:
Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei: Bila mampu melempar Jumrah Aqabah di malam Ied, maka itu harus dilakukannya, khususnya bila hajinya adalah mewakilkan orang lain. Hajinya tidak sah bila ia menundanya hingga malam hari kesebelas. Tapi tidak masalah bila di siang hari kesepuluh, yakni hari Ied ia melakukan lempar Jumrah. (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)