Nilai Spiritualitas Ibadah Haji (Bagian 2)

Rate this item
(0 votes)

Pada setiap musim haji, umat manusiadari berbagai penjuru dunia memusatkan perhatiannya ke Tanah Suci Mekah dan menampilkan kekuatan umat Islam kepada dunia. Mereka semua satu hati dan satu suara memuji keagungan dan kebesaran Allah Swt sambil mengitari Kabah. Lisan mereka tak henti-hentinya melafalkan kalimat, "Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaika la syarika laka labbaik, Inna al hamda wa an ni'mata laka wa al mulka la syarika laka." Kami memenuhi dan akan melaksanakan perintah-Mu ya Allah. Tiada sekutu bagi-Mu dan kami memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat dan begitu juga kerajaan adalah milik-Mu dan tidak ada sekutu bagi-Mu.

Haji secara umum berarti menyengaja untuk menuju Tanah Suci Mekah dalam rangka memenuhi panggilan Allah Swt. Kalimat talbiyah tersebut adalah senandung para jemaah haji. Mereka yang mendatangi Baitullah harus menyadari esensi dari perjalananitu dan tidak melaksanakan manasik haji tanpa disertai pemahaman yang benar. Sebab, pemahaman yang benar dan pengenalan yang tepat akan menuntun jemaah haji menuju kebenaran dan memberi kenikmatan spiritual kepadanya. Oleh karena itu, para jemaah perlu memurnikan niatnya dan membebaskan hatinya dari segala ketergantungan kepada selain Allah Swt.

Dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Swt, para jemaah menanggalkan segala baju dan atribut kebesaran untuk kemudian memakai baju ihram. Ribuan manusia dengan pakaian yang sama berlomba-lomba menuju Kabah dan meraih ridha Ilahi. Mereka datang untuk menjawab seruan Allah Swt dengan penuh ikhlas dan niat yang suci. Allah Swt berfirman, "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS. Ali Imran : 97)

Sebelum memakai pakaian ihram dan berniat haji atau umrah di Miqat, hendaklah melakukan mandi ihram untuk membersihkan dan menyucikan badan dari segala noda. Hikmah ihram adalah mengajak jemaah untuk selalu mengingat tata cara memasuki Baitullah dan menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan serta fokus melaksanakan perintah Allah Swt. Mereka harus melaksanakan seluruh manasik haji dengan niat tersebut. Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Jauhilah segala hal yang akan mencegahmu dari mengingat Allah dan menghalangimu untuk menghambakan diri kepada-Nya."

Para jemaah yang berada di kota Madinah dan bermaksud menuju Mekah, mereka harus melakukan ihram dari Masjid Asy-Syajarah. Masjid Syajarah artinya Masjid Pohon yang dinisbatkan kepada sebuah pohon yang letaknya berdekatan dengan Masjid Jin, kurang lebih 3 km dari Masjidil Haram. Pada dasarnya, haji dengan seluruh manasiknya, merupakan sebuah hubungan erat antara dunia dan akhirat. Ibadah ini mempersiapkan manusia untuk menerima dan memahami hari kebangkitan dan pertanggung jawaban di hari kiamat. Manusia yang meninggalkan sanak keluarganya dan menempuh perjalanan jauh sama seperti sedang menuju dunia akhirat.

Dengan berbekal pakaian serba putih dan datang berbondong-bondong, seakan mereka sedang menuju Padang Mahsyar. Imam Jakfar Shadiq as dalam sebuah pesan spiritual kepada para jemaah haji, mengatakan "Setiap perbuatan yang diwajibkan oleh Allah dan setiap pekerjaan sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah, baik itu halal ataupun haram atau manasik, semua bertujuan untuk mempersiapkan manusia menuju kematian, alam barzakh, dan hari kiamat. Dengan menetapkan manasik haji, hari kiamat telah dihadirkan sebelum para penghuni surga menuju surga dan para penghuni neraka menuju jahannam."

Manusia dengan menanggalkan kedudukan, jabatan, dan strata sosial sedang berusaha mengenal hakikat dirinya yang jauh dari segala bentuk atribut lahiriyah. Di tempat yang suci dan mulia itu, mereka ingin menyaksikan esensi dirinya dan memahami kekurangan-kekurangannya. Pakaian ihram ingin memberi pemahaman kepada para jemaah bahwa mereka harus menyingkirkan egoisme, kesombongan, dan ketamakan dari dalam dirinya. Sejak awal memakai pakaian ihram, jemaah harus senantiasa menjaga perbuatan dan sikapnya agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt. Mereka telah bertekad untuk membentengi diri dari godaan syaitan dan memasuki zona kedamaian dan ketentraman Ilahi.

Ihram mengandung makna melepaskan dan membebaskan diri dari simbol-simbol material dan atribut-atribut sosial. Dengan berpakaian ihram, para jemaah mampu menyaksikan manusia sebagai manusia dan melepas embel-embel yang sering menjadi simbol kepalsuan dan kebohongan. Ihram juga bermakna mengosongkan diri dari mentalitas duniawi dan membersihkan diri dari nafsu serakah, kesombongan serta kesewenang-wenangan.

Pakaian ihram menyimbolkan kesetaraan di hadapan Allah Swt dan manusia tidak dipandang dari pangkat dan jabatannya, melainkan kadar takwa mereka. Manusia dituntut untuk senantiasa bersikap wajar dan tidak berlebihan dalam hidup ini. Manasik haji mengajarkan manusia untuk tidak terjebak dalam egoisme kehidupan. Oleh sebab itu, mereka yang kembali dari Tanah Suci sudah seharusnya menanggalkan segala bentuk keangkuhan dan menjauhkan diri dari segala egoisme.

Imam Ali as-Sajjad as berkata, "Ketika engkau membersihkan diri di Miqat, maka maksudnya adalah bahwa engkau menyucikan diri dari kemunafikan dan riya, bukan hanya membersihkan dan menyucikan badan, sebab itu merupakan tanda dan simbol kesucian hati. Di saat engkau melakukan ihram, maka maknanya adalah bahwa apapun yang Allah haramkan bagimu, maka engkau harus mengharamkannya kepada dirimu sendiri dan engkau (juga harus) berjanji untuk tidak pernah melanggar batasan haram (tersebut)."

Sementara arti ucapan labbaik dalam keadaan ihram adalah penyucian lisan dari semua bentuk dosa. Lidah adalah sesuatu yang kecil, namun kejahatan yang ditimbulkannya adalah besar. Banyak dosa yang muncul melalui perantaraan lisan. Kejahatan lisan ini dapat berbentuk gunjingan, fitnah, kebohongan, kepalsuan, dan penghinaan. Imam Ali as-Sajjad as berkata, "Rahasia dibalik ucapan labbaik adalah, "Wahai Tuhanku, aku berjanji…apapun yang merupakan bentuk ketaatan kepada-Mu, maka aku akan mengucapkannya dengan lisanku, dan apapun yang merupakan maksiat kepada-Mu, maka lisanku tidak akan mengucapkannya."

Adapun orang yang melaksanakan thawaf wajib, hendaknya berusaha mencium Hajar Aswad. Mereka yang melakukan haji dan thawaf wajib hendaknya juga menyibukkan diri dengan thawaf mustahab. Ketika mencium Hajar Aswad, hendaknya ia tidak menggangu orang-orang yang tengah melaksanakan thawaf wajib. Imam Ali as-Sajad as berkata, "Makna menyentuh Hajar Aswad adalah, Ya Allah! Aku berjanji untuk tidak menyentuh perbuatan dosa lagi; aku tidak akan merestui kebatilan lagi. Aku tidak akan mengambil dan memberikan riba lagi; aku tidak akan memberi dan mengambil suap; aku tidak akan memukul orang lain tanpa alasan yang benar…"

Dalam al-Quran disebutkan bahwa setelah melakukan thawaf, hendaknya kita mendatangi Makam Ibrahim dan memilih tempat untuk melakukan shalat. Allah Swt berfirman, "Dan jadikanlah sebahgian maqam Ibrahim tempat shalat (QS: al-Baqarah: 125) Imam Ali as-Sajjad as berkata, "Perbuatan ini mempunyai sebuah rahasia, yaitu, "Tuhanku! Aku telah berdiri di atas tempat di mana Nabi Ibrahim pernah berdiri di atasnya. Ya, aku akan tetapkan kakiku di atas ketaatan dan menjauhkan diriku dari segala perbuatan maksiat." Sebagaimana yang pernah diucapkan Nabi Ibrahim as, "Dan aku hadapkan wajahku kepada Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi." Aku juga akan berbuat seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim, yang akan melakukan setiap bentuk ketaatan dan menjauhkan diri dari setiap perbuatan maksiat."

Read 2215 times