Perjalanan Spiritual Salman Al Farisi dari Jay hingga Madinah

Rate this item
(0 votes)
Perjalanan Spiritual Salman Al Farisi dari Jay hingga Madinah

 

Salman sebuah teladan bagi para pencari kebenaran dan kesempurnaan. Mereka yang merelakan kemerdekaan dirinya untuk mencapai kemerdekaan sejati, dan meletakkan belenggu budak di lehernya supaya Rasulullah meletakkan mahkota kehormatan di kepalanya serta Rasul yang bersabda terkait Salman, "Salman dari kami Ahlulbait as."

Saat ini jarang di masyarakat Islam yang tidak mendengar nama Salman al-Farisi dan ini menunjukna posisi dan kebesaran khusus di antara umat Muslim. Namun seorang non Arab (ajam) yang mencapai posisi tinggi ini, di mana Rasulullah terkait dirinya bersabda, "Salam dari kami Ahlulbait as", mengindikasikan fakta bahwa mengenal sosok besar ini dapat membimbing setiap manusia monoteisme dan pencari kebenaran mencapai tujuan.

Rouzbeh atau Salman tumbuh besar di komunitas penyembah api. Ayahnya tokoh daerah dan pemuka agama di kota Jey (salah satu daerah kuno di Isfahan saat ini). Ia berusaha menjadikan anaknya sebagai pengganti dirinya. Namun hati dan jiwa Rouzbeh jijik atas posisi agama ayahnya. Salman yang hidup nyaman di kebun kurma dan rindang keluarganya merasa tidak bahagia.

kesenjangan sosial di tengah masyarakat membuatnya menderita. Ketika menyaksikan ibadah masyarakat, ia berkata kepada dirinya, "Bagaimana api disembah padahal ia dinyalakan oleh tangan-tangan mereka sendiri ? Apakah air bukannya memadamkan api suci mereka dan segenggam tanah membuatnya kusam serta mematikannya dan angin membawa debunya ke sana dan kemari." Tak diragukan lagi, hasil dari pemikiran logis ini membuatnya tidak berminat terhadap api dan mendorongnya mencari ajaran ilahi.

Pemikiran bijak Rouzbeh membawanya pada fakta bahwa dunia ini memiliki pencipta. Pencipta yang menciptakan api untuk digunakan manusia. Dia tidak bisa menerima bahwa Tuhannya senang dengan keunggulan orang kaya atas orang miskin. Tuhan yang mengizinkan hamba-hamba-Nya untuk meninggikan dan menyembah api yang telah Dia ciptakan untuk mereka gunakan demi kemaslahatan dan menghilangkan bahaya.

Rouzbeh dengan teliti merenungkan di pemikirannya dan kemudian dengan sangat marah berteriak, "Ibadah ini; ibadah batil, dan perkumpulan ini adalah perkumpulan fasid." Saat kemarahannya mereka, dengan menderita ia berkata kepada dirinya, "Ke mana aku pergi menemukan seseorang yang akan membimbingku kepada Tuhan Yang Maha Besar, pencipta alam semesta dan pencipta segala sesuatu."

Ayah Roozbeh ingin putranya menjadi penggantinya di Pusat Keagamaan Jay. "Cinta ayah saya untuk saya membuat saya terkunci di rumah seperti seorang gadis sampai saya menjadi petugas kuil api," katanya tentang ayahnya. Meskipun Roozbeh dipenjarakan di rumah, karena kebaikan sang ayah, dan seolah-olah merupakan tanda kepedulian seorang ayah terhadap keselamatan anaknya, itu sebenarnya merupakan tanda kepeduliannya terhadap semangat pencarian Roozbeh. Tidak diragukan lagi, ayahnya tahu betul bahwa semangat mencari kebenaran akan membuat Roozbeh tidak dapat duduk diam.

Namun meski ada perawatan dan pengawasan ketat, ayahnya di hari-hari sibuk meminta Roozbeh menggantikan dirinya pergi ke desa untuk memeriksa propertinya, dan kemudian memberi banyak wejangan dan menekankan untuk kembali tepat waktu. Hari untuk melaksanakan misi ayahnya tiba. Di tengah jalan Roozbeh melihat Gereja, ia berhenti dan berdiri di depan tempat ibadah tersebut. Setelah mendegarkan lantunan doa dari gereja tersebut, Roozbeh masuk. Di dalamnya ia menyaksikan sekelompok orang tengah beribadah dan beroda. Kondisi khusyu para jemaah membuatnya takjub. Ia mulai berbicara dengan uskup dengan suara perlahan. Dialog dirinya dengan uskup ternyata memakan waktu yang lama. Akhirnya uskup menjelaskan tentang makan malam, tempat kelahiran al-Masih.

Ketika Roozbeh kembali ke rumah, ia menyaksikan ayahnya yang gemetaran. Ayahnya dengan nada marah berteriak kepada anaknya, "Dari mana saja kamu ? Roozbeh dengan tenang menjawab, aku menyaksikan sekelompok pengikut al-Masih yang tengah berdoa di gerejanya. Apa yang mereka lakukan membuatku takjub dan aku menyadari agama mereka lebih baik dari agama kita. Ayah Roozbeh yang senantiasa mendidikinya sebagai penggantinya dan memberi tangung jawab kepadanya untuk menangani ritual keagamaan di kuil api, menyaksikan anaknya berkata, "Tak diragukan lagi agama Kristen lebih baik dari agama kita."

Pada awalnya sang ayah dengan berbagai metode berusaha meyakinkan anaknya, tapi Roozbeh menolak satu demi satu argumen ayahnya. Pada akhirnya ia berkata kepada ayahnya, ayahku ! Kamu mengikuti ayah dan leluhurmu menyembah api. Tapi katakan kepadaku apa kedudukan api yang kita nyalakan dengan tangan kita dan api kering ini ? Sebenarnya nyala dan padamnya api berada di tangan kita, lantas bagaimana ia dapat menjadi tuhan kita ?

Kemarahan sang ayah memuncak dan kemudian memejarakan Roozbeh di rumah. Roozbeh beberapa terpenjara di rumah hingga suatu hari salah satu pelayannya yang sesekali ia utus kepada uskup mendatanginya dan berkata, "Uskup memberitahuku bahwa besok sore akan ada karavan yang bertolak ke Sham."  Ada kegembiraan di wajah Roozbeh. Di pagi harinya, Roozbeh melarikan diri dari rumah dan bergabung dengan kafilah tersebut yang bergerak ke Damaskus.

Roozbeh setibanya di Damaskus langsung mendatangi ulama Kristen yang paling pandai. Warga membawanya kepada Magharim al-Dam yang tinggal di gunung Qasiyun. Roozbeh dengan semangat tinggi pergi ke rumah ulama Nasrani ini. Setibanya di sana, uskup bertanya kepadanya, "Siapa kamu dan apa yang kamu inginkan ? Roozbeh berkata, Saya seorang dari kota Jey, Isfahan, ingin menimba ilmu, terimalah aku supaya aku dapat melayanimu dan berdiskusi denganmu, berilah aku bimbingan tentang segala sesuatu yang Tuhan ajarkan kepadamu !  Ucapan indah dan sopan ini membuat uskup takjub. Ia memandang wajah pemuda di hadapannya. Ia menyaksikan di matanya tanda kecerdasan. Setelah mengucapkan kata sambutan, pendeta tersebut mengajak Roozbeh ke rumah ibadahnya.

Tak terasa Roozbeh tinggal di sana selama beberapa bulan. Selama waktu tersebut, Roozbeh setia menemani sang pendeta dan belajar serta meneliti, ia juga memanfaatkan waktunya untuk beribahah dan menggunakan sebagian lainnya untuk mendengarkan penjelasan ayat-ayat Injil yang tak jelas. Kematian sang pendeta, memisahkan Roozbeh dengan ulama ini. Roozbeh kembali mencari kebenaran dan melewati gunung serta padang sahara. Ia menghabiskan mayoritas umurnya di perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, dari satu tempat ibadah ke tempat lainnya. Ketika menemukan orang pintar, ia belajar darinya dan mencicipi kelezatan iman.

Roozbeh tanpa kenal lelah dan malas, terus mencari sosok yang dapat memenuhi dahaganya. Sosok yang ia temukan di dalam dirinya kecintaan, kebebasan, persaudaraan dan persamaan. Hingga suatu hari, Roozbeh tiba di kota Madinah. Di sinilah ia bertemu dengan Rasulullah Saw. Ia menemukan apa yang dicari selama ini di dalam diri Rasulullah. Saat itulah, Roozbeh yang datang jauh-jauh dari Isfahan akhirnya memeluk Islam dan mengganti namanya dengan Salman.

Suatu hari di Madinah terdengar desas desus bahwa Abu Sufyan bin Sakhr bin Harb, musuh terbesar Rasulullah mengirim delegasi ke kabilah Arab dan meminta mereka berpartisipasi di perang melawan Muhammad Saw. Sebagian kabilah Arab menyambut seruan Abu Sufyan dan mematuhi perintahnya, sehingga terkumpul sepuluh ribu tentara.

Berita ini membuat umat Muslim takut. Rasulullah kemudian mengumpulkan pengikutnya dan menggelar musyawarah untuk menghadapi sepuluh ribu pasukan musuh. Ketika berbagai usulan dilontarkan, kemudian dibahas, Salman berkata, "Wahai Rasulullah ! Ijinkan kami menggali parit di sekitar Madinah sehingga musuh tidak mampu masuk ke kota."

Rasul menyambut usulan Salman dan langsung menginstruksikan pembuatan parit. Saat pembuatan parit, seluru pemimpin kaum Muhajirin dan Ansor dengan kata-kata lembut menunjukkan kasih sayang mereka kepada Salman. Kaum Muhajirin berkata, Salman dari kita. Tak ketinggalan kaum Ansor berkata, Salman dari kami dan kami lebih layak untuk dia. Rasulullah gembira dengan ungkapan kedua kelompok ini dan kemudian meletakkan tangannya di pundak Salman dan dan bersabda, "Salman dari Kami Ahlul Bait as."

Makam Salman al-Farisi di kota Madain
Ya! Ini adalah karunia besar yang tidak dimiliki oleh para sahabat Rasulullah. Para sahabat Nabi mengelilinginya dan berkata kepadanya: "Terberkatilah kamu, Salman Farsi, bahwa Rasulullah menganugerahkan kepadamu kehormatan besar." Sementara itu, Nabi dengan tatapan penuh cinta berkata kepada mereka: "Jangan katakan Salman Farsi, tetapi katakan; Salman Mohammadi."

Makam Salman al-Farisi atau yang dikenal dengan Salman Mohammadi terletak di 30 km tenggara kota Baghdad di kota Madain.

Read 785 times