Ramadhan, Musim Semi Munajat (Bagian 9)

Rate this item
(0 votes)

Bulan Ramadhan menghadirkan kesempatan yang lebih besar kepada kaum Muslim untuk merenungkan tentang hak-hak besar Tuhan dan juga hak-hak orang lain yang berada di pundak kita. Salah satu dari keindahan Islam adalah karena dibangun atas prinsip bersyukur dan berterimakasih. Jika seseorang sudah mengabdi kepada kita, maka kita tidak boleh melupakan itu dan kita harus membalas kebaikannya suatu hari nanti. Manusia kadang tidak mampu membalas kebaikan orang lain atau karena ia hanya memiliki kemampuan terbatas atau karena kebaikan yang ia peroleh sangat banyak sehingga ia tidak mampu membalasnya. Dalam kondisi seperti ini, langkah minimal yang bisa ia lakukan adalah mengucapkan rasa syukur dengan lisan, jika tidak demikian ia telah mengingkari nikmat dan ia pantas kehilangan nikmat-nikmat tersebut.

 

Bersyukur merupakan manifestasi pertama akal. Dengan kata lain, akal sehat menetapkan bahwa manusia harus bersyukur terhadap nikmat dan pemberi nikmat. Jadi, untuk mengukur apakah manusia bergerak di jalan fitrah dan akal sehat atau tidak, akan tampak dalam rasa syukur atau sifat kufur. Manusia yang melangkah di jalan hidayah adalah manusia yang bersyukur, sementara kufur nikmat merupakan argumen terbaik terhadap kesesatan kepribadian seseorang dan kematian akal sehat dan fitrahnya.

 

Ada banyak orang yang telah berbuat baik kepada kita; orang tua, guru, tetangga, dan lain-lain, kita berhutang banyak budi. Ada banyak faktor yang saling melengkapi sehingga kita bisa menikmati ketenangan dan menimba ilmu pengetahuan, akan tetapi kita tidak bisa membalas itu semua. Rasa syukur adalah pekerjaan minimal yang bisa kita lakukan. Jika kita menganggap penting bersyukur kepada mereka yang sudah berbuat baik kepada kita, lalu bagaimana kita akan mensyukuri nikmat-nikmat Tuhan yang meliputi seluruh wujud kita dari sejak lahir hingga sesudah kematian. Dalam surat Ibrahim ayat 7, Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."

 

Meskipun Tuhan telah melimpahkan semua nikmatnya kepada kita, namun Dia hanya meminta dari kita untuk bersyukur, itu pun sebuah rasa syukur di mana pahalanya juga akan kembali kepada kita. Syukur nikmat meliputi rasa syukur dengan lisan dan penggunaan yang tepat dari nikmat-nikmat tersebut untuk meraih kesempurnaan dan keridhaan Tuhan. Salah satu nikmat terbesar yang diberikan Allah Swt kepada para hambanya dan patut disyukuri adalah undangan untuk menghadiri perjamuan Ilahi di bulan suci Ramadhan. Kita memohon kepada Allah Swt agar diberi kemampuan untuk memahami keagungan bulan ini dan menjadi hamba yang bersyukur dengan melakukan amal kebajikan.

 

Manusia yang berubah perilaku dan akhlaknya karena tekanan dan masalah, mereka tentu saja bukan pribadi-pribadi yang baik. Mereka telah melalaikan nikmat Tuhan bahwa manusia akan matang melalui ujian dan kesulitan. Kebanyakan masyarakat menjadi kuat setelah mengalami tekanan, mengambil pelajaran dari semua rasa pahit, dan belajar untuk menang dari semua kegagalan di masa lalu. Rasul Saw dan Ahlul Baitnya selalu berada dalam kesulitan sampai-sampai beliau bersabda, "Tidak ada nabi yang lebih tersakiti dan tersiksa dari aku." Meski demikian, kepribadian Muhammad Saw sama sekali tidak berubah, tapi beliau justru meningkatkan kedekatan dan interaksinya dengan Tuhan. Akhlak Rasul Saw menyatu dengan ajaran al-Quran dan beliau hidup bersama prinsip-prinsip Qurani.

 

Alkisah, Nabi Isa as dalam sebuah munajatnya kepada Tuhan berkata, "Ya Tuhan! Tunjukkanlah kepadaku seorang sahabat dari para sahabat-Mu." Tuhan berfirman, "Pergilah ke tempat itu karena kami memiliki seorang sahabat di sana." Nabi Isa as kemudian pergi ke tempat tersebut dan di sana ia menemukan seorang perempuan buta yang duduk di atas tanah tanpa tangan dan kaki, tapi lisannya sibuk dengan kata-kata pujian, "Ya Tuhan, aku bersyukur atas nikmat-Mu yang tampak dan tersembunyi." Nabi Isa as terkejut melihat perempuan itu, lalu ia mendekatinya dan mengucapkan salam. Perempuan itu menjawab, "Salam atasmu wahai Ruh Qudus." Isa kemudian berkata, "Bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku adalah Isa sementara engkau belum pernah melihatku?" Perempuan itu menjawab, "Sahabat yang mengutusmu ke tempat ini telah mengabarkanku bahwa engkau adalah Ruh Qudus."

 

Mendengar jawaban itu, Nabi Isa as berujar, "Tapi engkau tidak punya penglihatan, tangan, dan kaki, tubuhmu juga sudah rapuh." Perempuan tersebut menjawab, "Aku bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan hati yang selalu berzikir, lisan yang selalu bersyukur, dan tubuh yang selalu bersabar. Aku menyebut Tuhan dengan keesaannya di mana semua sarana maksiat telah dicabut dariku. Jika mata, tangan, dan kakiku pergi mencari kelezatan-kelezatan yang haram, bagaimana nasibku waktu itu? Oleh karena itu, dalam kondisi seperti ini aku juga tetap bersyukur kepada Tuhan."

 

Dikisahkan bahwa suatu hari Tuhan berfirman kepada Nabi Musa as, "Wahai Musa! Bersyukurlah kepadaku dengan syukur yang pantas untuk-Ku." Musa lalu bertanya, "Wahai Tuhan! Bagaimana aku bisa mensyukuri-Mu dengan syukur yang pantas untuk-Mu, padahal aku tahu bahwa setiap rasa syukur yang aku panjatkan, aku masih harus kembali bersyukur atas taufik yang Engkau berikan karena nikmat bersyukur juga datang dari-Mu dan Engkau telah memberikan nikmat itu kepadaku."

 

Tuhan berfirman, "Engkau sekarang mengetahui nikmat bersyukur itu bahkan berasal dari-Ku. Tunaikanlah hak bersyukur kepada-Ku sebagaimana yang pantas untuk-Ku."

 

Kali ini, kami akan mengutip penggalan doa dari Munajat Para Pensyukur Nikmat. Imam Ali ZainalAbidin as-Sajjad as mengawali bait pertama doa tersebut dengan mengucapkan pujian dan rasa syukur kepada Tuhan. Beliau berkata, "Ya Tuhanku, pengampunan-Mu yang terus-menerus telah melalaikanku dalam menunaikan kewajiban bersyukur dan limpahan karunia-Mu yang tak pernah berhenti, membuatku tak berdaya memujimu. Nikmat-Mu yang berlimpah telah membuatku tak mampu menyebut sifat-sifat terpuji-Mu, dan aliran nikmat-Mu yang tidak pernah terputus membuatku lemah dari menjelaskan kebaikan-kebaikan-Mu. Dan ini adalah kedudukan dan posisi orang yang mengakui nikmat-Mu yang tak terhitung."

 

Salah satu faktor utama yang menghalangi kita untuk memperhatikan nikmat-nikmat Tuhan dan pada akhirnya juga melalaikan kita untuk bersyukur adalah kenikmatan Tuhan yang tak terhitung dan karunia yang mengalir deras kepada manusia. Dalam surat Ibrahim ayat 34, Allah Swt berfirman, "Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya." Oleh karena itu, setiap upaya kita untuk mengenal nikmat-nikmat Tuhan, kita hanya mampu mengenal sebagian kecil darinya. Pengenalan kita tentangnya juga sangat terbatas dan kita tidak mampu mengenal semua nikmat Tuhan yang berhubungan dengan diri kita.

 

Imam Sajjad as dengan pengakuannya tentang kelalaian dalam mensyukuri limpahan rahmat Tuhan, ingin mengajarkan kepada kita mengenai cara kita mengakui kelemahan-kelemahan kita dalam mensyukuri nikmat-nikmat Tuhan. Karena pengakuan itu sendiri merupakan salah satu bentuk mensyukuri nikmat.

 

Dalam sebuah munajat dari Rasulullah Saw disebutkan, "Ya Tuhan, Engkau anugerahkan nikmat-Mu yang sangat luas kepadaku dan aku bersyukur kepada-Mu karena nikmat-nikmat tersebut. Namun bagaimana aku akan mensyukuri nikmat bersyukur itu sendiri?" Sebuah seruan berkata, "Makrifat bersyukur yang engkau dapatkan mencakup semua makrifat. Saat engkau tahu bahwa rasa syukur itu juga sebuah nikmat dari sisi-Ku, itu sudah cukup untukmu."

 

Imam Sajjad as di bait lain dari Munajat Para Pensyukur Nikmat berkata, "Nikmat Engkau sangat banyak hingga lisanku tak mampu menghitungnya dan anugerah-Mu sangat besar hingga pemahamanku tak mampu memahaminya, apalagi untuk mengkaji semua anugerah tersebut. Bagaimana aku bisa mensyukuri nikmat-Mu padahal rasa syukur yang aku panjatkan membutuhkan rasa syukur yang lain. Oleh karena itu, setiap kali aku mengatakan kalimat segala puji bagi-Mu, maka wajib bagiku untuk kembali mengulangi kalimat pujian untuk-Mu karenanya."

Read 2435 times