Sekretaris Jenderal Hizbullah Lebanon, Sayid Hassan Nasrullah dalam pidato malam Asyura menyebut serangan media sebagai strategi paling penting saat ini yang dilancarkan kubu penentang Front Perlawanan.
Sejak tahun 2000, geopolitik kekuasaan di kawasan Asia Barat telah mengalami perubahan yang mendasar, dan bobot serta posisi Front Perlawanan di kawasan ini semakin meningkat. Menyikapi fakta ini, Amerika Serikat dan rezim Zionis Israel melancarkan perang tahun 2006 dengan tujuan untuk melenyapkan Hizbullah Lebanon, tetapi perang 33 hari itu berakhir dengan kegagalan rezim Zionis dan Amerika Serikat dalam meraih tujuannya.
Kemudian, Intervensi kubu AS dan sekutunya dalam krisis Suriah pada tahun 2011 bertujuan untuk menggulingkan sistem politik Suriah yang mendukung Front Perlawanan. Selain Amerika Serikat dan rezim Zionis, beberapa negara Arab dan Turki juga terlibat dalam aksi menyulut krisis di Suriah. Tapi kehadiran kubu perlawanan dan dukungan Republik Islam Iran terhadap Suriah telah menyebabkan pemerintahan Bashar Assad berhasil mempertahankan lebih dari 90 persen teritorialnya setelah 10 tahun dihantam krisis.
Selain kemenangan militer, kelompok perlawanan, terutama Hizbullah Lebanon, juga meraih keberhasilan politik yang signifikan. Koalisi Front Perlawanan memenangkan mayoritas suara di parlemen dalam pemilu legislatif Mei 2018 dengan mengisi 68 kursi. Situasi ini terulang di Irak dan Yaman. Poros perlawanan di Irak dan Yaman memiliki keunggulan dalam dinamika politik dan militer di negaranya.
Menyikapi kondisi demikian, pihak penentang Front Perlawanan melancarkan serangan media bertubi-tubi untuk mencoreng citra baik Front Perlawanan di tengah masyarakat Asia Barat dan dunia, terutama di Lebanon. Perang media dilancarkan dengan tujuan memutarbalikkan fakta dan menyalahkan Front Perlawanan atas terjadinya berbagai masalah di negara kawasan seperti Lebanon, Irak, Suriah dan Yaman. Tujuan ini dikejar melalui penyebaran berita palsu dan mengkambing hitamkan Hizbullah di negara-negara ini, terutama di Lebanon.
Dalam pidatonya semalam, Sayid Hassan Nasrullah menyinggung fakta bahwa kebijakan penyerangan media telah dilancarkan secara masif terhadap Hizbullah, dan adanya aktor intelektual di tingkat negara dunia yang bekerja memproduksi berita palsu tersebut.
Tidak hanya serangan media yang dilancarkan poros Barat, Arab dan Ibrani terhadap Front Perlawanan, tetapi juga peran kedutaan besar negara-negara Arab dan Barat di negara-negara target, termasuk Lebanon.
Menurut Sekretaris Jenderal Hizbullah Lebanon, kedutaan besar mereka menghabiskan jutaan dolar untuk menyebarkan berita palsu demi mencoreng wajah Hizbullah supaya bisa menggiring opini publik negara ini yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam empat atau lima dekade terakhir.
Dengan pendekatan ini, mereka berupaya mengaitkan banyak masalah ekonomi, korupsi, serta aksi teror dengan kelompok perlawanan di negara-negara seperti Lebanon dan Irak. Padahal, kekuasaan di negara-negara ini berada di tangan kaum liberal yang didukung Barat selama beberapa dekade, dan institusi ekonominya masih berada di tangan kendali mereka. Faktanya, isu yang diangkat Sayid Hassan Nasrullah pada malam Asyura sejalan dengan perang kognitif yang digunakan oleh pihak oposisi, terutama dalam beberapa tahun terakhir.
Meskipun poros perlawanan di kawasan tidak memiliki kekuatan media yang setara dengan kubu Barat dan pendukungnya, namun menurut Sekjen Hizbullah, perlawanan yang lahir dari gerakan Asyura Husseini akan terus berjuang melawan penindasan dan tirani. Faktanya, hal inilah yang menjadi faktor penting kegagalan musuh melawan Front Perlawanan dalam 38 tahun terakhir, sejak berdirinya Hizbullah pada tahun 1982.