Ayat ke 5-6
Artinya:
Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya. (8: 5)
Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu). (8: 6)
Dua ayat ini berhubungan dengan ketidakpuasan orang-orang Muslim dengan pembagian rampasan perang Badr. Pada tahun ke 2 Hijriah, Nabi Muhammad Saw mendapat wahyu bahwa sebuah rombongan dagang besar yang dipimpin oleh Abu Sufyan sedang menuju ke Mekah dari arah Syam. Nabi Muhammad Saw menyuruh para sahabat beliau untuk segera menuju kafilah tersebut guna memberi pukulan telak terhadap perekonomian musuh dan merebut kembali harta kaum Muhajirin yang ada di tangan orang-orang Quraisy Mekah. Akan tetapi langkah kaum Muslimin ini didengar oleh Abu Sufyan yang lantas menempuh jalur lain menuju ke Mekah.
Saat itu pasukan Mekah pimpinan Abu Jahal dengan jumlah personil 1.000 orang bergerak untuk menghadapi pasukan kaum Muslimin. Kedua pasukan bertemu di sekitar sumber air di kawasan Badr, antara Mekah dan Madinah. Nabi Muhammad Saw lantas berunding dengan para sahabatnya, apakah pasukan Muslimin sebaliknya mengejar rombongan dagang tersebut itu atau menghadapi pasukan Quraisy. Mengingat bahwa tujuan awal adalah untuk menghalang kafilah dagang dan jumlah pasukan Kafir tiga kali lipat dari jumlah pasukan Muslim, sebagian sahabat Nabi menyatakan keengganan mereka untuk berperang menghadapi pasukan Mekah.
Akan tetapi dengan adanya pernyataan siap dari kebanyakan sahabat membuat Nabi memutuskan untuk menghadapi pasukan musuh. Dalam pertempuran ini kaum Muslimin mendapat bantuan pasukan gaib dari Allah Swt, sehingga memperoleh kemenangan. Abu Jahl dan 70 orang dari pasukan musuh terbunuh, selain itu sebanyak 70 orang dari pasukan Mekah tertawan. Adapun di pihak kaum Muslimin 14 orang gugur syahid.
Dua ayat ini menceritakan tentang adanya sekelompok umat Islam yang meski telah beriman kepada Allah dan Nabi-Nya, akan tetapi sewaktu tiba saatnya mereka harus mempertaruhkan jiwa dalam membela Islam, keimanan mereka menjadi lemah dan mereka bahkan memprotes keputusan Nabi Saw.
Dari dua ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Jihad melawan musuh merupakan salah satu kewajiban agama, meski secara tabiat, manusia membenci perang dan pemusuhan.
2. Orang-orang Mukmin yang tidak memiliki nyali dan penakut, bukan saja enggan maju ke medan jihad, tetapi juga tidak segan mendebat utusan Allah ini mengenai kewajiban ini.
Ayat ke 7-8
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir. (8: 7)
Agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya. (8: 8)
Kedua ayat ini menyatakan bahwa sekalipun langkah kalian adalah untuk dapat merampas harta musuh yang disebut ghanimah dan sama sekali tidak menduga akan terlibat bentrokan dengan pasukan musuh yang bersenjata, akan tetapi Allah Swt memiliki maksud lain saat mendorong kalian untuk bergerak. Allah menghendaki agar posisi kalian kuat dalam terlibat dalam perang melawan pasukan Kafir. Dengan demikian, kebenaran akan bertambah kuat dan kebatilan akan melemah, sehingga Sunnatullah bahwa kebenaran pasti menang akan terwujud.
Memang, sampai saat ini, ketentuan ini belum terealisasi secara sempurna. Kaum Mukminin meski sering memperoleh kemenangan juga tak jarang menderita kekalahan. Berdasarkan al-Quran dan Hadis bahwa pada akhir zaman ketika Imam Mahdi af datang, Sunnatullah ini akan terealisasi, sehingga keadilan dan kebenaran tegak, sedangkan kebatilan dan kezaliman di muka bumi akan sirna.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kemenangan tidak selalu ditentukan oleh banyaknya jumlah tentara dan atau kecanggihan peralatan perang, tetapi ada juga unsur-unsur lain seperti semangat juang dan bantuan gaib dari Allah yang ikut andil dalam sebuah kemenangan.
2. Tujuan perang dalam Islam adalah untuk menegakkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan, bukan untuk tujuan ekspansi teritorial atau untuk mengumpulkan rampasan perang.
3. Jangan sampai kita melakukan sesuatu yang bisa menyenangkan hati musuh kita. Sebab, perjuangan menegakkan kebenaran pasti akan berbuntut pada ketidaksenangan kaum Kafir.
Ayat ke 9
Artinya:
(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut". (8: 9)
Ayat ini dengan terang dan jelas menceritakan tentang turunnya pertolongan Allah Swt dalam perang Badr. Bantuan Allah ini adalah melalui turunnya Malaikat. Dalam ayat ini telah disebutkan jumlah 1000 Malaikat. Sementara pada ayat 124 dan 125 surat Ali Imran disebutkan bahwa Malaikat yang turun membantu kaum muslimin berjumlah 3000 dan 5000 malaikat. Perbedaan ini menunjukkan tahapan turunnya Malaikat yang membantu kaum muslimin dalam peperangan.
Tentunya para malaikat itu tidak terlibat langsung dalam berperang melawan pasukan musuh. Akan tetapi kehadiran mereka di sisi pasukan Muslimin memberikan semangat dan keimanan kaum Muslimin. Sebaliknya, bagi pasukan musuh, hadirnya malaikat itu telah menimbulkan ketakutan yang luar biasa. Ayat ini juga menyinggung soal doa dan munajat di dalam perang. Ayat ini menyatakan bahwa doa adalah simbol kemenangan kaum Mukminin.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sekalipun tanpa doa dan munajat, Allah Swt dapat memberikan sesuatu akan tetapi doa membuat manusia lebih siap untuk menerima anugerah Allah.
2. Malaikat memiliki peranan dalam kehidupan manusia, sedang keimanan adalah unsur penarik mereka kepada manusia.
3. Bantuan dan pertolongan gaib Allah akan diturunkan kepada manusia, ketika manusia itu berusaha dan memohon dengan kerendahan kepada-Nya.