Ayat ke 26
Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak segan-segan membuat perumpamaan nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah dan dengan perumpamaan itu pula banyak orang yang diberinya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.
Orang-orang yang menentang Islam tidak mampu membuatkitab tandingan al-Quran. Mereka tidak memiliki kekuatan logika seperti logika al-Quran. ُSeluruh perumpamaan al-Quran bagi mereka dipandang sangat rendah dan berkata, Ya Allah perumpamaan yang kau bikin seperti perbuatan manusia bukan perbuatan Tuhan. Sebagai Tuhan sungguh sangat jelek membikin perumpamaan seperti laba-laba atau lalat. Perumpamaan seperti ini sungguh tidak sesuai dengan kedudukan sebagai Tuhan. Para penentang Islam yang pada dasarnya tidak mengakui keberadaan Tuhan, ucapan tersebut tidak memiliki tujuan selain berupaya meragukan dan menggoncang umat Islam akan kebenaran al-Quran dan Nabi serta Iman mereka.
Pada dasarnya tidak semua perumpamaan al-Quran demikian, sebab pada ayat sebelumnya Allah telah mengibaratkan orang-orang munafik dengan seorang musafir dalam sebuah jalan yang penuh dengan berbagai bahaya, baik bumi maupun langit. Sementara untuk melanjutkan perjalanannya ia tidak memiliki penerang sama sekali.
Ayat ke27
Artinya:
Yaitu orang-orang yang melanggar janji Allah setelah ia ditetapkan, dan memutus apa yang diperintahkan oleh Allah untuk menyambungnya, dan membuat kerusakan di muka bumi, mereka itulah orang-orang yang merugi.
Setelah ayat sebelumnya berbicara tentang kesesatan orang-orang fasik, maka ayat ini menjelaskan tiga ciri-ciri mereka itu.
Pertama, mereka adalah orang-orang yang suka menginjak-injak perjanjian dengan Allah dan hanya mengikuti keinginan-keinginan hawa nafsu mereka. Yang dimaksud dengan perjanjian Allah di dalam ayat ini ialah suatu bentuk perjanjian takwini (penciptaan) bukan tasyri'i (pensyariatan). Yaitu, Allah Swt telah menciptakan fitrah di dalam diri setiap manusia, dimana melalui hidayah fitrah tersebut, manusia dapat mengenali kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kebatilan. Dengan fitrah itu pula setiap orang memiliki kesiapan untuk menerima seruan para Rasul yang diutus oleh Allah kepada mereka.
Kedua, Ketika Allah Swt memerintahkan agar mereka menjalin hubungan yang baik, termasuk hubungan keagamaan dengan para pemimpin ilahi, juga hubungan sosial dengan orang-orang mukmin, serta hubungan kekeluargaan dengan kaum kerabat dan sanak keluarga; orang-orang fasik justru memutus dan merusak hubungan-hubungan tersebut.
Ketiga, mereka menyebarkan kerusakan dan kekejian di muka bumi ini dengan kefasikan dan perbuatan-perbuatan dosa mereka. Mungkin mereka mengira bahwa perbuatan dosa adalah perkara pribadi dan dampak-dampaknya berkaitan dengan dirinya sendiri. Padahal segala bentuk pengaruh sosial dari perbuatan dosa tidak lebih kecil dari pada pengaruh-pengaruh pribadi karena perbuatan-perbuatan dosa tersebut secara perlahan dan bertahap akan menyeret masyarakat kepada kerusakan.
Jelas sekali bahwa seseorang yang tidak mempedulikan perjanjian-perjanjian ilahi dan hubungan-hubungan sosial akan berbuat sekehendak hatinya. Oorang ini pasti akan menimpakan kerugian bagi dirinya sendiri. Dengan melepaskan seluruh modal materi dan maknawinya, maka tak ada hal lain yang ia dapatkan kecuali kesengsaraan, kerugian dan kebinasaan.
Dari dua ayat tadi terdapat enam poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Pelanggaran perjanjian tidak sejalan dengan ketaatan beragama. Seorang mukmin tidak akan pernah melanggar perjanjiannya walaupun dengan orang-orang kafir. Lalu bagaimana ia menginjak-injak perjanjian dengan Allah.
2. Menentang seruan fitrah, membuka jalan bagi perbuatan dosa dan pada akhirnya menciptakan kerusakan di muka bumi.
3. Kerugian yang sesungguhnya ialah musnahnya modal usia dan pikiran, akibat pelanggaran-pelanggaran terhadap panggilan fitrah dan syariat.
4. Sesuai dengan ayat 124 Surah al-Baqarah disebutkan, ".... maka kepemimpinan ilahi merupakan janji Allah dan menurut ayat ini pula, pelanggaran terhadap janji Allah tersebut merupakan ciri-ciri munafik."
5. Islam menganjurkan manusia menjalin hubungan dengan sesama, bukan pemutusan hubungan. Oleh sebab itu, silaturrahmi dan saling kunjung antar keluarga dan kerabat, terutama kedua orang tua, selalu mendapat perhatian dan penekanan di dalam Islam.
6. Islam menentang sikap atau perbuatan mengucilkan diri dan menjauh dari masyarakat. Islam selalu menganjurkan kepada para pengikutnya untuk aktif hadir di tengah-tengah masyarakat, melaksanakan shalat berjamaah termasuk shalat Jumat, menjenguk orang sakit, menyantuni orang fakir dan miskin, serta memperhatikan keadaan para tetangga. Di dalam berbagai riwayat Islam, banyak terdapat anjuran-anjuran untuk silaturrahmi. Berikut ini disebutkan sebagiannya secara singkat.
"Kunjungilah sanak keluarga kalian, karena hal itu akan menjauhkan kefakiran dari kalian, memperluas rezeki dan memberkahi usia kalian."
"Peliharalah silaturrahmi meskipun dengan orang-orang yang tidak peduli terhadap kalian atau dengan orang-orang yang meskipun orang tersebut bukan orang yang baik."
"Peliharalah silaturrahmi meskipun kalian terpaksa berjalan selama setahun atau kalian hanya mempunyai peluang sekedar memberi salam atau waktu yang sedikit sekedar meneguk air."
"Silaturrahmi meringankan kematian dan perhitungan di hari kiamat dan menyebabkan seseorang memperoleh kedudukan istimewa di surga."
Ayat ke28
Artinya:
Bagaimana mungkin kalian mengingkari wujud Allah sedangkan sebelum ini kalian mati lalu Dia menghidupkan kalian kemudian kembali Dia akan mematikan kalian, lalu kalian akan dikembalikan kepada-Nya.
Sebaik-baik cara mengenal Allah ialah berpikir dan memperhatikan penciptaan manusia dan alam semesta. Merenungi dua fenomena, kehidupan dan kematian membuat manusia menyadari akan hakikat ini yaitu, jika kehidupan ini datang dari diriku sendiri, tentu aku akan hidup selamanya. Padahal sebelum ini aku tiada, lalu ada, kemudian kehidupan ini akan terenggut dariku. Sebelum ini sama seperti batu, kayu dan benda-benda mati lain, kita adalah makhluk-makhluk tak bernyawa. Angin kehidupan yang Allah tiupkan, memberi jiwa dan ruh kepada kita dan kita pun diberi kemampuan memahami dan berpikir tentang segala sesuatu. Oleh karena itu nikmat ilahi yang terbesar ialah kehidupan yang Dia berikan kepada kita ini.
Dengan itulah maka manusia dapat mencapai berbagai kemajuan ilmu pengetahuan, akan tetapi tetap saja manusia tak mampu menangkap rahasia-rahasia alam ciptaan Allah yang amat luas dan hebat ini. Bukan hanya kelahiran dan kehidupan berada di tangan Allah, tapi kematian kita pun berada di tangan-Nya. Kita tidak datang ke dunia ini dengan kehendak kita sendiri sehingga kita dapat meninggalkan dunia ini dengan kehendak kita sendiri pula. Dia-lah yang menghidupkan dan Dia-lah yang mematikan. Diantara yang demikian itu, hanya amal perbuatan kitalah yang berada di bawah kehendak kita.
Dengan demikian,bagaimana mungkin kita mengingkari wujud Allah yang awal dan akhir hidup kita berada di tangan-Nya? Bagaimana mungkin pula kita mengingkari kehidupan kembali setelah mati, dan mengatakan bahwa yang demikian itu tak mungkin terjadi karena manusia sudah musnah di telan bumi? Karena sesungguhnya pemberian kehidupan yang kedua kalinya, kalau kita pikir tentulah mudah bagi Allah dibanding pemberian kehidupan yang pertama, atau minimal sama saja. Bagaimana mungkin, Allah yang telah memberi kehidupan kepada kita yang berada di dalam ketiadaan sebelumnya tidak mampu memberikan kehidupan untuk yang kedua kalinya?
Dari ayat tadi terdapat enam poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Di antara cara-cara pemberian bimbingan dan petunjuk al-Quran ialah pengajuan pertanyaan kepada akal dan fitrah manusia sehingga dengan berpikir dan merenung, manusia akan memahami hakikat dan menerimanya bukan hanya karena taklid buta.
2. Fenomena kehidupan merupakan bukti keberadaan Allah dan fenomena kematian merupakan bukti adanya hari kebangkitan.
3. Pengenalan diri merupakan pengantar bagi pengenalan Allah. Jika seseorang mengenali hakikat dirinya, maka ia pun akan mengetahui keberadaan Allah. Karena dengan demikian ia akan memahami bahwa dirinya tidak memiliki apa-apa, dan segala sesuatu ini datangnya dari Dia yang Maha Kuasa.
4. Akhir perjalanan kesempurnaan manusia ialah pertemuan dengan Allah dan kembali kepada sumber kehidupan serta pusat segala nikmat.
5. Kematian bukanlah akhir kehidupan, bahkan ia adalah awal kehidupan yang sesungguhnya, dan gerak menuju ke arah Allah.
6. Orang-orang kafir yang tidak memiliki bukti untuk menolak adanya hari kebangkitan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan berkenaan dengan kehidupan setelah kematian dengan tujuan menciptakan keragu-raguan. Akan tetapi, dengan mengajukan pertanyaan yaitu,dari manakah awal kehidupan kalian? Al-Quran mematahkan segala argumentasi mereka itu. (IRIB Indonesia)