Surat al-Zumar ayat 1-4

Rate this item
(0 votes)
Surat al-Zumar ayat 1-4

 

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ (1) إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ (2)

Kitab (Al Quran ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (39: 1)

Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (al-Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. (39: 2)

Ayat pembuka surat Az-Zumar menjelaskan tentang kedudukan al-Quran dalam ajaran agama Islam. Allah swt berfirman bahwa al-Quran bukan perkataan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana kitab suci yang diturunkan sebelumnya kepada para Nabi seperti Nabi Musa dan Nabi Isa bukan perkataan mereka, tapi kalam ilahi.

Tujuan diturunkannya Al-Quran sebagaimana kitab suci sebelumnya sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengenali kebenaran jalan ilahi serta membimbingnya menuju tauhid dan menjauhi kesesatan.

Manusia secara fitrawi mengetahui bahwa dunia ini ada penciptanya, bukan hadir dengan sendirinya.Tapi sebagian dari manusia keliru dalam mengenali pencipta alam semesta ini. Sebagian kalangan, meyakini keterlibatan manusia atau makhluk lain dalam pekerjaan Tuhan menciptakan alam ini. Ada juga yang meyakini keterlibatan manusia dalam perbuatan Tuhan mengurusi alam. Oleh karena itu, al-Quran diturunkan untuk menjelaskan tentang ketauhidan, mengenai Tuhan Yang Maha Esa yang tidak membutuhkan sekutu.

Jelas kiranya, kitab suci yang diturunkan langsung dari Allah swt tentu saja dijamin kebenarannya dan jauh dari segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan. Sebab, Allah Maha Agung, dan tidak ada yang diturunkan maupun diciptakan oleh Tuhan kecuali ada ilmu dan hikmah di dalamnya.

Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:

1. Meskipun Allah swt tidak bisa dilihat dengan mata kepala sendiri, tapi dengan menelaah al-Quran, kita mendengarkan firman-Nya dan merenungkan apa yang disampaikan dalam kitab suci tersebut dan meyakini kebenaran-Nya.

2. Kehormatan sejati terletak pada ilmu dan hikmah, yang keduanya saling berhubungan.

3. Ibadah harus dilakukan dengan ikhlas dan benar, yang tidak boleh dicampuri oleh syirik dan kekufuran.

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ (3)

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (39: 3)

Melanjutkan ayat sebelumnya mengenai ketauhidan, ayat ini menekankan bahwa agama yang benar hanya datang dari Allah swt. Ayat ini menegaskan masalah ikhlas, dengan menjadikan Allah sebagai tujuan dalam ibadah. Berdasarkan ayat ini, hanya Allah semata yang bisa mengenalkan jalan kebenaran sejati kepada manusia dan menunjukkan ibadah yang benar kepada-Nya.

Ibadah yang diterima oleh Allah swt adalah ibadah yang ikhlas dan tidak bercampur dengan syirik maupun riya. Masalah ini ditegaskan oleh Rasulullah saw yang menjawab pernyataan seseorang yang mengatakan bagaimana kalau kami bersedekah dan berbuat baik kepada orang lain supaya mereka menyebut kami sebagai orang-orang baik. Rasulullah menjawab, "Allah swt hanya menerima amal ibadah yang dilakukan dengan ikhlas,".

Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:

1. Pemikiran manusia setinggi apapun, jika tidak bersumber dari Allah swt, maka tetap saja masuk dalam kategori pemikiran yang bercampur dengan penyimpangan.

2. Orang-orang yang menyimpang acapkali menjustifikasi pandangannya supaya orang lain mengikuti mereka, sebagaimana yang dilakukan para penyembah berhala dengan menyebut berhala sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan.

3. Penyembahan kepada Tuhan tumbuh dalam diri manusia, tapi tanpa bimbingan agama yang benar, tidak akan sampai kepada ketauhidan.

لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا لَاصْطَفَى مِمَّا يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ سُبْحَانَهُ هُوَ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ (4)

Kalau sekiranya Allah hendak mengambil anak, tentu Dia akan memilih apa yang dikehendaki-Nya di antara ciptaan-ciptaan yang telah diciptakan-Nya. Maha Suci Allah. Dialah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (39: 4)

Ayat ini melanjutkan ayat sebelumnya mengenai ketauhidan dengan menunjukkan salah satu contoh syirik. Ayat keempat surat Az-Zumar menjelaskan bahwa sebagian orang musyrik menjadikan malaikat sebagai puteri Tuhan dan mereka juga disembah sebagai sekutu Tuhan. Keyakinan ini seperti Kristian yang mengira Nabi Isa sebagai putera Tuhan.

Padahal Allah tidak memiliki anak maupun sekutu seorangpun. Jika Tuhan menghendaki salah seorang makhluknya sebagai anak, maka pasti akan mengumumkannya sehingga semua beribadah kepadanya. Tapi Tuhan tidak dilakukannya.

Selain itu, Allah Maha Esa dan suci dari segala bentuk penyekutuan. Tuhan tidak bisa disamakan dengan makhluk yang memiliki anak atau sekutu. Sebab Allah Maha Kuasa dan tidak membutuhkan yang lain.

Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:

1. Tuhan tidak memiliki anak dan tidak mengangkat anak. Sebab kehadiran anak sebagai salah satu bentuk kebutuhan. Padahal Tuhan tidak membutuhkan apapun, karena maha segalanya.

2. Tuhan Yang Maha Esa tidak bisa disandingkan dengan yang lain. Sebab segala pemikiran maupun keyakinan yang menyetarakan Tuhan dengan makhluk bertentangan dengan keesaan-Nya.

Read 1664 times