سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (21)
Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (57: 21)
Pada program sebelumnya telah dibahas tentang dunia dan ciri-cirinya, di mana pada masa kanak-kanak dan remaja manusia mencari permainan dan hiburan, dan pada masa mudanya mencari perhiasan dan keindahan, setelah itu, dia terjebak dalam mencari kebanggaan, kekayaan dan status. Ayat ini mengatakan, Namun orang beriman menggunakan nikmat Allah di dunia ini untuk mencapai surga abadi di akhirat.
Sama seperti masyarakat umum bersaing satu sama lain dalam mencapai kekayaan dan posisi duniawi, orang beriman berusaha untuk mengungguli satu sama lain dalam melakukan perbuatan baik dan dengan mengikuti perintah Allah dan melakukan perbuatan yang layak, demi menarik rahmat dan belas kasihan Allah kepada dirinya. Mereka mendapat pahala dan diampuni dosanya, karena menurut ayat-ayat Al-Qur'an, perbuatan baik mengarah pada pengampunan dosa, dan semakin banyak perbuatan baik yang kita lakukan, semakin banyak dosa kita akan diampuni.
Panjang dan lebar surga yang yang dijanjikan Allah kepada kita tidak kita ketahui, dan luasnya di luar pemahaman kita. Oleh karena itu, Allah menyamakan luas surga seperti bentangan bumi dan langit. Langit, yang awal, akhir, dan dimensinya tidak diketahui umat manusia saat ini.
Kelanjutan ayat tersebut menunjuk pada suatu hal yang penting, yaitu bahwa nilai amal kebaikan yang kita lakukan di dunia sangatlah kecil dibandingkan dengan nikmat surga yang tiada habisnya. Oleh karena itu, Allah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada mereka yang telah masuk surga. Sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an, Allah akan membalas perbuatan baik Anda beberapa kali, dan dalam ungkapan lain hingga tujuh ratus kali lipat, karena kehidupan dunia ini terbatas dan perbuatan baik Anda juga terbatas.
Dari satu ayat ini kita dapat memetik tiga pelajaran berharga sebagai berikut:
1. Dunia yang sama yang menjadi sumber kesombongan dan tipu muslihat bagi orang-orang duniawi, merupakan sumber penerimaan rahmat dan ampunan Allah bagi orang-orang beriman karena beramal saleh.
2. Berbeda dengan orang-orang duniawi yang saling bersaing untuk meraih kekayaan dan kekuasaan dunia, orang-orang beriman saling mengungguli dalam melakukan kebaikan dan keutamaan.
3. Surga terletak di antara dua hal; Pengampunan ilahi, yang merupakan alasan pengampunan dosa sehingga seseorang dapat masuk surga, dan yang lainnya adalah rahmat ilahi, di mana Allah membalas perbuatan baik orang-orang di surga ribuan kali.
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْ لَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (23)
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (57: 22)
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (57:23)
Musibah dan malapetaka yang menimpa manusia ada dua macam. Musibah yang terjadi di mana manusia tidak berperang di dalamnya, seperti banjir, gempa bumi, kekeringan, dan kelaparan, atau wabah dan penyakit yang meluas yang dimaksud ayat ini dan mengatakan, Peristiwa yang terjadi di bumi atau membahayakan tubuh dan jiwa Anda dan menyebabkan penderitaan dan penyakit, semua ini dicatat dalam Kitab Ilmu Ilahi.
Namun kelompok bencana lain adalah akibat perbuatan manusia, seperti orang yang menderita sesak napas dan berbagai penyakit akibat merokok atau penggunaan narkoba, atau orang yang mengemudi dengan kecepatan yang tidak semestinya dan menyalip lalu menyebabkan kecelakaan, cedera atau kematian itu sendiri. Ayat 30 Surah Syura mengacu pada kategori kedua ini dan mengatakan bahwa setiap musibah yang menimpa Anda adalah karena apa yang telah Anda lakukan sendiri.
Jelas bahwa kita manusia tidak berperan dalam musibah dan bencana kategori pertama. Oleh karena itu kita tidak bertanggung jawab, tetapi kami bertanggung jawab atas kategori kedua yang merupakan akibat dari tindakan sukarela kita sendiri.
Ketika manusia mengetahui bahwa semua urusan duniawi dilakukan menurut ilmu dan kebijaksanaan Ilahi, pandangan ini akan membuatnya tidak merasa putus asa. Karena peristiwa yang terjadi dalam hidupnya itu dirinya tidak berperan di dalamnya. Jika anaknya meninggal karena sakit, dia tidak boleh kafir, dan jika rumahnya hancur karena banjir, dia tidak boleh berputus asa. Sebaliknya, jika keadaan berkembang sedemikian rupa sehingga ia menikmati hidup sejahtera dan nyaman, ia tidak bangga dan lalai serta tidak menyombongkan diri kepada orang lain.
Dari dua ayat ini kita dapat memetik tiga pelajaran berharga sebagai berikut:
1. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di bumi atau dalam kehidupan manusia didasarkan pada sistem yang telah ditentukan sebelumnya dalam Kitab Ilmu Ilahi dan bukan merupakan hal-hal yang acak dan kebetulan yang berada di luar jangkauan ilmu dan kekuasaan Allah.
2. Seseorang yang jauh dari Allah menjadi kecewa dalam kesulitan dan menjadi sombong dalam kenyamanan. Sebaliknya, seorang mukmin bersabar dalam kesulitan dan bersyukur dalam kemudahan.
3. Kesedihan dan kebahagiaan alami, dengan sendirinya, tidaklah buruk, tetapi berduka atas masa lalu atau dimabukkan oleh masa kini adalah tercela.
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ (24)
(yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (57: 24)
Di akhir ayat sebelumnya disebutkan bahwa Allah tidak menyukai orang yang ketika hidup di puncak kemakmuran dan kenyamanan, terjebak dalam kesombongan dan merasa bangga. Ayat ini menunjukkan karakteristik lain dari orang-orang ini dan mengatakan, Meskipun Allah telah memberi mereka harta dan kekayaan, mereka tidak mau membelanjakan sebagian darinya untuk orang yang membutuhkan atau meminjamkannya kepada mereka. Mereka egois dan merasa benar sendiri dan menginginkan semua properti dan aset untuk diri mereka sendiri.
Orang yang pelit mengira bahwa apa yang ada di tangannya adalah sumber kehormatan dan kebesarannya, sehingga ia tidak mau kehilangan faktor keunggulannya atas orang lain. Sungguh aneh bahwa kelompok orang yang terikat pada dunia ini berpikir bahwa ini adalah cara hidup yang benar dan menasihati orang lain untuk menahan diri dari menghabiskan harta dan aset mereka buat orang yang membutuhkan dan menjadi pelit.
Dari satu ayat ini kita dapat memetik dua pelajaran berharga sebagai berikut:
1. Lebih buruk dari pelit adalah menasihati orang lain untuk pelit. Oleh karena itu, para pemuka agama telah menekankan agar Anda tidak bergaul dengan orang-orang pelit dan jangan menjadikan mereka sebagai pihak dalam musyawarah Anda.
2. Sekaitan dengan memanfaatkan harta dan kekayaan, yang penting adalah tingkat kedermawanannya. Betapa banyak orang kaya yang pelit dan orang tak berpunya yang murah hati.