کمالوندی

کمالوندی

 

Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatullah Khamenei mengatakan meskipun tersenyum dan berbicara benar, Amerika Serikat adalah serigala pemangsa yang telah melampaui semua batas rasa malu.

Dalam pertemuan dengan presiden baru Iran dan kabinetnya, Rahbar mengatakan, “Pemerintahan AS saat ini tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Permintaannya sama dengan permintaan Trump dan tidak berubah sama sekali.”

Presiden Joe Biden telah berulang kali mengklaim bahwa bergabung kembali dengan kesepakatan nuklir 2015 sebagai salah satu prioritas kebijakan luar negeri utamanya, tetapi dia telah menunjukkan dorongan yang tidak biasa untuk mempertahankan elemen kunci dari sanksi yang dijatuhkan oleh pendahulunya sebagai pengaruh untuk menekan Republik Islam.

Pemerintahan AS saat ini tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya karena apa yang dituntut dari Iran mengenai nuklir adalah sama dengan yang dituntut oleh Trump (Donald Trump), tetapi dengan bahasa lain. Dan pada hari itu, pejabat-pejabat pemerintah, dengan menekankan irasionalitas, tidak menganggap mungkin untuk menerimanya," ungkap Rahbar.

Sementara itu, Presiden Iran Raisi telah berjanji untuk mendukung pembicaraan yang “menjamin kepentingan nasional Iran”. Menurutnya, “Saya tidak akan mengizinkan negosiasi demi negosiasi.”

 

Kepala Pos Lintas Batas Negara Iran-Afghanistan di Dogharoon mengatakan, sejak tahun 2020 sampai sekarang 619.199 ton produk Iran, yang diangkut oleh 22.364 kontainer dari pintu perbatasan Dogharoon di Distrik Taibad, Provinsi Khorasan Razavi, ke Afghanistan, mengalami peningkatan 260 persen dibandingkan periode sebelumnya.

Sayid Ahmad Nezam, Senin (30/8/2021) kepada IRNA mengatakan, pada periode sebelumnya 237.729 ton beragam produk Iran, diekspor ke Afghanistan menggunakan 9.616 kontainer dari pintu perbatasan Dogharoon.

Ia menambahkan, sementara pada periode saat ini lebih dari 243.099 produk Iran, diekspor ke Afghanistan dengan menggunakan 11.081 kontainer.

Menurut Ahmad Nezam pada periode April-Agustus 2021, 2.174 ton produk Iran, yang diangkut 88 unit kontainer, memasuki Afghanistan dari pintu perbatasan Dogharoon, dibandingkan periode sebelumnya secara bobot mengalami peningkatan 70 ton, dan mengalami peningkatan sekitar 69 persen dari sisi lalu lintas kendaraan.

"Pintu perbatasan Dogharoon merupakan lokasi strategis bagi perdagangan, dan transit barang, serta merupakan salah satu pintu perlintasan darat Iran yang paling padat dilihat dari jumlah barang dan orang yang keluar masuk," pungkasnya. 

Minggu, 29 Agustus 2021 15:44

Mulla Sadra

 

Sadr al-Din Muhammad ibn Ibrahim Shirazi, filosof besar, mistikus dan komentator Syiah pada abad kesepuluh dan kesebelas dan pendiri aliran filsafat "Al-Hikmah Al-Muta’aliyah" sebagai aliran filsafat terpenting ketiga di dunia Islam.

Sadr al-Din Muhammad lahir pada tahun 979 H di kota Shiraz. Shiraz telah menjadi tempat kelahiran banyak tokoh besar ilmu pengetahuan dan budaya Iran. Ayahnya adalah orang terkenal di negeri itu yang tidak memiliki banyak anak meskipun kaya. Dia berdoa kepada Tuhan agar jika dia memiliki anak, dia akan mencurahkan sebagian dari kekayaannya untuk menyebarkan pengetahuan dan merawat orang miskin. Doanya terkabul dan dia menamai putra tunggalnya dengan nama Nabi Khatam (SAW), Muhammad. Muhammad menghabiskan pendidikan dasarnya di rumah ayahnya di bawah bimbingan guru privat, dan sejak awal pembelajarannya, kecerdasan dan kejeniusannya yang kaya diungkapkan kepada para guru.


Sadr al-Din Mohammad pergi ke Qazvin bersama keluarganya setelah pendidikan dasar. Qazvin pada waktu itu adalah ibu kota Safawi dan pusat ilmu pengetahuan, dan ulama besar seperti Syekh Baha'i dan Mirdamad mengajar di sana. Sadr al-Din Muhammad melanjutkan pendidikannya dengan para profesor tersebut dan mencapai tingkat ijtihad. Karena kondisi politik dan sosial, setelah beberapa saat Syekh Baha'i dan Mirdamad dan ulama besar lainnya bermigrasi dari Qazvin ke Isfahan.

Mulla Sadra yang awalnya masih muda, menemani mereka menikmati kehadiran orang-orang hebat tersebut. Dengan hadirnya para ulama tersebut, Isfahan menjadi pusat ilmiah terpenting Iran, yang menjadi tempat berkumpul dan belajar serta berdiskusi para ulama besar dari seluruh dunia Islam. Ketertarikan Shah Abbas Safawi pada sains dan pengetahuan dan rasa hormat yang dimilikinya terhadap ulama telah menyebabkan ulama Syiah, tidak seperti negara-negara Islam lainnya, memiliki keamanan dan perdamaian yang dapat diterima di Iran dan menyediakan landasan bagi pertumbuhan ilmiah Syiah.

Mulla Sadra duduk sebagai profesor penuh dan unik di sekolah-sekolah teologi Isfahan. Setelah beberapa saat, ia ditolak dan diejek oleh ulama lain karena pandangannya yang berbeda tentang masalah yurisprudensi dan filosofis, dan dituduh bid'ah dalam agama. Mulla Sadra, melihat bahwa dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin mengungkapkan fakta ilmiah, maka ia pergi ke Qom. Kota Qom selalu dianggap oleh para ulama Syi'ah karena menjadi tempat pemujaan putri Imam Musa bin Ja'far (as), Sayidah Fatimah Maksumah (as).

Hadis-hadis otentik telah diriwayatkan tentang kehormatan dan posisi Sayidah  Maksumah (a)s yang menurutnya putri tercinta dari Imam ketujuh (as) ini memiliki posisi tertinggi dalam ilmu pengetahuan dan kesalehan setelah Imam Ridha as dan akan menjadi pendoa syafaat kaum Syi'ah di dunia di Hari Kiamat. Meskipun Mullah Sadra ditinggalkan di antara para ulama Qom, dia tidak meninggalkan komplek suci Sayidah Maksumah as dan di sebuah desa di kota ini, dia berlindung di sudut untuk membangun dirinya dan berperilaku dalam bayang-bayang berkah dari saudara perempuan tercinta Imam kedelapan (as).

Mulla Sadra tinggal di desa Kahak selama 7 tahun dan menurut riwayat lain selama 15 tahun. Cendekiawan hebat ini, yang telah menjauhkan diri dari sekolah dan seminari, mengajar dan menulis, juga mengubah penolakan dan kesepian menjadi kesempatan yang tak tergantikan untuk perbaikan diri dan selama tahap kesempurnaan. Selama periode ini, Mulla Sadra terlibat dalam ibadah dan perjuangan duniawi. Pemurnian jiwa dan melalui otoritas mistik, filsuf jenius Shirazi menjadi mistikus yang lengkap. Dia sekarang melihat dengan mata jiwanya apa yang telah dia pelajari dari kebenaran alam semesta dengan kekuatan kecerdasannya.

Mulla Sadra berutang pencapaian posisi tinggi dalam sains dan mistisisme atas munajat dan permohonan yang tulus kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan terkait hal ini ia menulis, ...Akhirnya, karena panjangnya perjuangan dan banyaknya latihan, cahaya ilahi bersinar di dalam jiwaku dan hatiku tersulut oleh nyala api intuisi. Cahaya Malakooti diberikan kepadanya dan rahasia Jabrut diungkapkan kepadanya, dan setelah itu saya menemukan rahasia yang tidak saya ketahui di masa lalu, dan rahasia ditemukan untuk saya yang belum saya temukan melalui bukti, dan semua misteri Allah dan kebenaran riba dengan bantuan akal.Dan saya memahami argumen, saya menemukannya lebih jelas dengan intuisi dan visibilitas. Di sinilah pikiran saya menjadi tenang dan angin kebenaran bertiup di atasnya, pagi dan sore dan malam dan siang, dan itu datang begitu dekat dengan kebenaran sehingga selalu duduk bersamanya dalam doa."

Setelah masa isolasi, periode ketiga kehidupan Mulla Sadra dimulai. Orang bijak yang bijaksana ini, setelah lama memperbaiki diri, mulai menulis buku Asfar sebagai karyanya yang paling penting. Dengan menulis buku ini, Mulla Sadra memperkenalkan sistem filosofis baru yang kemudian dikenal sebagai "kebijaksanaan transenden" dan telah menjadi sistem filosofis terkuat dan terpopuler di dunia Islam sejak saat itu. Dua karakteristik kebijaksanaan transenden adalah pendekatan mistiknya dan kesesuaian akal dan wahyu dalam sistem filosofis ini. Sebelum Mulla Sadra, para filosof besar lainnya seperti Ibnu Sina, Suhrawardi dan Mirdamad telah mencoba menghadirkan sistem filsafat yang sesuai dengan sistem agama Islam. Karena didasarkan pada keyakinan bahwa agama tidak bertentangan dengan akal, dan oleh karena itu temuan akal sehat harus sesuai dengan apa yang telah sampai kepada manusia melalui wahyu. Masing-masing orang bijak ini mencapai kesuksesan dan mengambil langkah menuju tujuan ini, tetapi tujuan penting ini dicapai oleh Mulla Sadra, dan sistem filosofis yang dia bangun tetap tak tertandingi selama tiga ratus tahun terakhir.

Mulla Sadra dalam Hikmah Mutaaliyah menjelaskan dan membenarkan masalah filsafat dengan menggunakan metode akal, narasi (ilmu-ilmu pewahyuan) dan penemuan mistik dan intuisi. Kebijaksanaan transenden mengacu pada pengetahuan dan pengetahuan yang mengandung rahasia dan kebenaran yang diambil dari khazanah kebijaksanaan ilahi, yang pemahamannya di luar akal. Orang bijak ini, selain filsafat-filsafat sebelumnya, telah memberikan perhatian khusus kepada Al-Qur'an, hadits, teologi dan tasawuf sebagai sumber kebijaksanaan transenden, dan metodenya adalah kombinasi dari pengetahuan Al-Qur'an, mistik dan rasional. Sadr al-Mutallahin dalam karya tulis filosofisnya yang paling penting disebut; "Kebijaksanaan transenden dalam empat perjalanan intelektual" telah menjelaskan dengan baik prinsip dan dasar sistem filosofis ini.

Sekitar tahun 1040 H, Mulla Sadra kembali ke Shiraz. Tampaknya penguasa Persia telah mengundangnya ke Shiraz untuk menjalankan sekolah besar. Mulla Sadra juga mengajar filsafat, tafsir dan hadits di Shiraz dan membesarkan murid-muridnya. Kali ini, seperti periode pertama tinggalnya di Shiraz, ia berada di bawah tekanan fitnah dan fitnah sesama ilmuwan, tetapi saat ini, Sadr al-Muta'allehin adalah seorang bijak yang lengkap dan terkenal dan memutuskan untuk menahan tekanan mereka. dan memperkenalkan serta mendirikan sekolahnya.

Dia bukan lagi seorang ilmuwan muda tetapi seorang mistikus lengkap dan mistikus yang tidak dapat dengan mudah dihilangkan dari bidang studi dan perdebatan oleh para simpatisan. Dengan cara ini, Mullah Sadra mampu memperkuat fondasi kebijaksanaan transenden dan melatih siswa, yang masing-masing membantu memperdalam dan memajukan sekolah ini. Mullah Mohsen Fayz Kashani dan Fayyaz Lahiji adalah murid terbesarnya.


Mulla Sadra telah meninggalkan lebih dari lima puluh karya tertulis dalam ingatannya.Karyanya yang paling penting dan terkenal disebut Asfar, yang telah kami sebutkan sebelumnya. Selain banyak karya filosofis, ulama besar ini juga telah menulis buku-buku tentang tafsir Al-Qur'an dan penjelasan prinsip-prinsip yang memadai. Selain menulis buku, ia telah berjasa besar bagi kemajuan ilmu dan pengetahuan di dunia Syi'ah dengan mendidik para ulama terkenal. Mulla Sadra meninggalkan enam anak, yang masing-masing telah mendapatkan cukup banyak manfaat dari ilmu-ilmu keislaman dan dianggap sebagai salah satu pemikir terkemuka pada masanya.

Hakim Mulla Sadra menunaikan haji tujuh kali selama 71 tahun hidupnya. Perjalanan haji dianggap sebagai perjalanan yang sulit bahkan hari ini, meskipun fasilitas transportasi dan komunikasi canggih. Tentu saja, 300 tahun yang lalu, ketika para peziarah melakukan perjalanan ke padang pasir dalam bentuk karavan dengan kuda dan unta, perjalanan ini memiliki kesulitan tersendiri. Namun Mulla Sadra, menurut nasehat dan tradisi para pemuka agama, telah melakukan perjalanan seperti itu sebanyak tujuh kali dengan berjalan kaki. Perjalanan ketujuhnya ke Ka'bah terjadi pada usia tujuh puluh satu tahun, dan selama perjalanan inilah masa hidupnya yang diberkati berakhir dan dia meninggalkan dunia material. Jenazah filosof dan mistikus besar Syi'ah ini dipindahkan ke kota Najaf dan dimakamkan di "serambi para ulama", yaitu di sisi kiri halaman tempat suci Imam Ali (as), Imam Syi'ah pertama.

Minggu, 29 Agustus 2021 15:42

Mir Damad (2)

 

Mir Damad (Mir Mohammad Bagher Astarabadi) adalah seorang ulama Syiah Abad-11 Hijriah Qamariyah, masa yang penuh gejolak pemikiran itu. Ia seorang filsuf, teolog, fakih, dan penyair Syiah unggul di masa Dinasti Safawiah di Iran. Ia juga dikenal sebagai Guru Ketiga.

Pada abad ke-11, filsafat Islam mengambil lompatan yang signifikan, dan beberapa pemikir besar Syiah memfokuskan aktivitas mereka pada kebijaksanaan dan filsafat. Ada beberapa alasan mengapa para cendekiawan Muslim masuk ke Lembah Filsafat. Salah satu alasan ini tergantung pada sifat ilmu filsafat. Filsafat berarti berpikir tentang masalah paling umum dan mendasar yang kita hadapi dalam hidup dan di dunia.

Filsafat muncul ketika kita mengajukan pertanyaan mendasar tentang diri kita sendiri dan dunia. Pertanyaan seperti: Di ​​mana kita sebelum lahir dan apa yang terjadi pada kita setelah kematian? Apa itu kecantikan? Apakah hidup kita dijalankan oleh orang atau kekuatan lain? Apakah dunia membutuhkan pencipta? Apa itu Tuhan? Apakah tujuan hidup? Apa itu kebahagiaan sejati? Dan puluhan pertanyaan seperti ini. Para filsuf mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan mengandalkan akal. Tetapi dengan sedikit perhatian kita melihat bahwa inilah pertanyaan-pertanyaan dasar yang juga coba dijawab oleh agama-agama ilahi.

Di antara berbagai agama, agama Islam, khususnya mazhab Syi'ah, lebih sejalan dengan ilmu filsafat karena pandangannya yang besar mengenai akal. Sifat pemikiran Islam, khususnya pemikiran Syi'ah, sesuai dengan rasionalitas, dan teks-teks agama penting Islam, termasuk Al-Qur'an dan hadits para maksumin, menekankan penggunaan akal yang benar dan ketaatan pada aturan rasional.

Dalam ajaran Islam, akal beserta wahyu merupakan otoritas dan petunjuk yang diberikan Allah kepada manusia untuk menemukan jalan petunjuk. Nahj al-Balaghah penuh dengan khutbah mistik dan filosofis Amirulmukminin Ali as dan riwayat para Imam lainnya, terutama Imam Baqir as, Imam Sadiq as dan perdebatan Imam Ridha as juga sarat dengan argumentasi rasional dan filosofis. Dengan demikian, hakikat pemikiran Syi'ah tidak pernah sepi dari pemikiran filosofis.

Dari sisi lain, saat itu ulama Syah juga menghadapi fenomena baru yang lain, menghadapi budaya Barat. Di era Safawi, bangsa Eropa banyak tinggal di Iran dengan berbagai alasan mulai dari pialang, wisatawan, pedagang dan bahkan dokter untuk menyebarkan agama Kristen. Sejarah mencatat bahwa pemerintah Eropa mengirim misionaris ke Iran untuk mengubah agama rakyat negara ini. Mereka berupaya mengubah keyakinan masyarakat dan mencitrakan bahwa Islam tidak benar dengan menyebarkan keraguan dan syubhat melalui buku-buku dan acara tabligh.

Di kondisi seperti ini, tugas ulama adalah membela agama secara rasional. Pembelaan dan penjelasan akan keyakinan agama sebelumnya diemban oleh para ulama dalam bentuk Ilmu Teologi. Ilmu Teologi menggunakan dua sumber, akal dan nakli (al-Quran dan hadis), dan memiliki metode khusus. Namun seperti yang disadari para filosof Syiah, metode falsafi lebih baik dari teologi untuk menjawab syubhat ini dan membela agama. Dengan demikian mereka semakin cenderung untuk menggali ilmu ini.

Di kalangan filosof Muslim, ulama seperti Farabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Khajeh Nasir al-Din Tusi, Shahab al-Din Suhrawardi, Mir Damad, dan Mullah Sadra memiliki gaya dan sistem filsafatnya sendiri. Sementara itu, ada banyak kesamaan antara sistem filsafat Ibnu Sina, Mir Damad dan Mulla Sadra. Tampaknya Mir Damad melanjutkan gerakan yang dimulai oleh Ibnu Sina dan diakhiri oleh Sadr al-Muta'allehin. Masing-masing orang bijak besar ini telah menciptakan titik balik dalam proses pemikiran Muslim.

Ibnu Sina adalah pengikut kuat Aristoteles dan filsafatnya, "filsafat Mashaa". Aristoteles, filsuf terbesar dari sekolah Yunani, percaya bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar ini, manusia cukup menggunakan kecerdasannya dengan benar. Dengan mencoba merumuskan hukum-hukum berpikir yang benar (logika), ia berusaha mencegah manusia dari membuat kesalahan dalam berpikir, sehingga cahaya akal dapat memperjelas kebenaran.

Ibnu Sina sepenuhnya berkomitmen pada prinsip-prinsip filsafat Aristoteles, tetapi dia percaya bahwa akal dan agama tidak bertentangan satu sama lain, dan apa pun yang dihukumi akal, agama akan menerimanya. Dan di sisi lain, semua aturan agama, jika dipahami dengan benar, pasti disetujui oleh akal. Oleh karena itu, ia mencoba menerapkan filosofi Aristoteles pada prinsip dan keyakinan agama. Namun terlepas dari upaya Ibnu Sina untuk menyelaraskan filsafat dan agama, ia tidak terlalu berhasil di mata para kritikus.

Gagasan dan pemikiran Ibnu Sina sangat suci bagi para filosof setelahnya, dan untuk waktu yang lama tidak ada orang bijak yang berani mengkritik atau menolak gagasannya. Shahab al-Din Suhrawardi, yang dikenal sebagai Syekh Ishraq, salah satu orang bijak abad keenam Hijriah, adalah orang bijak Muslim pertama yang secara serius mengkritik teori-teori Ibnu Sina. Meskipun Syeikh Ishraq telah menerima banyak prinsip filsafat rasionalis Mashaa, dia percaya bahwa akal saja tidak cukup untuk menemukan seluruh kebenaran. Dia percaya bahwa manusia memiliki cara lain untuk mengetahui dan itu adalah pengalaman mistik. Dengan cara ini, ia mendirikan sistem filsafat Islam lain yang disebut "Filsafat Pencerahan" di mana mistisisme memiliki tempat khusus dalam menjawab masalah utama filsafat.

Mir Damad percaya bahwa Ibn Sina dan Suhrawardi, meskipun telah melakukan upaya yang terpuji, tidak berhasil menyesuaikan sistem filosofi mereka dengan Islam dan Syi'ah. Alasan untuk ini adalah kurangnya penguasaan yang memadai atas sumber-sumber agama dan metode mereka sesuai dengan akal dan syariah. Sebaliknya, Mir Damad telah menggunakan kehadiran para ahli hadits dan narasi terbesar selama bertahun-tahun, dan hidupnya dipenuhi dengan angin inspirasi dari kata-kata Maksum.

Orang bijak yang bijaksana ini, ketika masih remaja, diizinkan untuk meriwayatkan dari banyak ulama pada waktu itu dan mendominasi dan mengelilingi banyak sumber penting dari narasi Syi'ah. Ia juga sangat ahli dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an. Keunggulan ini membuat Mirdamad cukup berhasil dalam penerapan agama dan filsafat di atas para pendahulunya.

Mir Damad sebenarnya adalah pendiri filsafat mazhab Isfahan. Para pemikir besar yang telah terdidik dalam bidang pemikiran ini, selain sangat menyukai Al-Qur'an dan tafsirnya, juga sangat mengenal riwayat-riwayat para Imam (as). Mir Damad memainkan peran yang sangat penting dalam membangun filsafat Syi'ah berdasarkan hadits dan ajaran Islam. Dia menyelaraskan kosmologi Ibnu Sinai dengan Imamologi Syi'ah dan mendasarkan dasar ontologisnya pada keberadaan suci empat belas maksum.

Mir Damad mengkritik keras suasana intelektual seminari Isfahan dan mempersiapkan para pemikir untuk menerima sistem filosofis baru dan, lebih lengkapnya, sebuah revolusi filosofis. Dengan keyakinan yang tak tertandingi, ia menyebut ide-ide filosofis di hadapannya sebagai "kebodohan filosofis" dan menganggap kebijaksanaan dan filosofinya sebagai langkah besar dalam mereformasi dan mempromosikan filsafat Islam.

Tentu saja, orang bijak yang bijaksana ini, terlepas dari sikapnya terhadap masa lalu, tidak memasuki lembah ekstremisme fanatik, dan setelah mengkritik sekolah-sekolah sebelum dia, baik Islam maupun Yunani, dia menggunakan beberapa elemen dan metode yang berguna. Karena itu, ia sama sekali tidak menolak filsafat Yunani dan bahkan menganggap beberapa unsurnya berasal dari kebijaksanaan para nabi. Terlepas dari kritiknya terhadap jalan pemikiran filosofis sebelumnya, Mir Damad telah berperilaku sedemikian rupa sehingga orang lain mengenalinya sebagai kritikus yang adil dan brilian.

Mir Damad percaya bahwa kebijaksanaan sejati adalah kebijaksanaan yang diturunkan kepada umat manusia oleh Pencipta manusia dan melalui para nabi. Filsuf besar ini menyebut judul aliran filsafatnya "Kebijaksanaan Yamani" dan menyatakan dalam tulisannya bahwa "Kebijaksanaan Yamani" adalah kebijaksanaan dan rasionalitas yang sama yang telah terbentuk sepanjang sejarah di dunia Islam. Yuman adalah alegori dari bagian kanan atau timur lembah dari mana Nabi Musa mendengar pesan Tuhan.

Dalam pengertian ini, timur adalah sumber cahaya ilahi dan titik yang berlawanan dengan barat. Dia percaya bahwa kebijaksanaan (filsafat) ini mencakup metode dan teori benar dan salah yang perlu dikritik dan ditambah untuk mendekati kebijaksanaan Yuman yang dibawa oleh para nabi. Mir Damad menganggap dirinya sebagai kritikus dan pembaharu yang sama yang mampu membebaskan kebijaksanaan Yamani dari kesalahan dan kesalahpahaman dan membawanya ke posisi yang layak. Setelah dia, muridnya yang bijak "Hakim Mullah Sadra" mampu mengambil langkah besar dalam menegakkan filsafat Islam dengan membangun kebijaksanaan transenden, sehingga setelah tiga ratus tahun, beberapa filsuf Barat terbesar, termasuk "Henry Corben" duduk mendengarkan pelajarannya.

Mir Damad jatuh sakit parah pada 1040 H ketika dia dalam perjalanan ke Karbala dan Najaf untuk mengunjungi para Imam Maksum as, dan meninggal di dekat Najaf ketika dia berusia tujuh puluh tahun. Tubuh sucinya dengan hormat dibawa ke Najaf Ashraf dan dimakamkan di ambang pintu kompleks suci makam Imam Ali (as). Dengan demikian, buku kehidupan seorang bijak terkemuka dan besar di dunia Islam ditutup dan daun emas dan bercahaya ditambahkan ke sejarah mulia ulama. Semoga arwahnya bersama para auliya Allah.

Minggu, 29 Agustus 2021 15:26

Qazi Noorullah Shustari

 

Salah satu ulama besar dunia Syiah di abad ke-16 adalah Qazi Noorullah Shoushtari yang juga dikelola sebagai Syahid Tsalis.

Budaya dan peradaban manusia berhutang kepada pengorbanan para ulama yang menjaga cahaya kesadaran dan kesalehan masyarakat. Membaca kembali sejarah ulama Syiah menunjukkan dengan baik bagaimana iman yang tulus dan tekad baja mereka, bahkan dalam keadaan yang paling putus asa sekalipun, mampu mengusung panji kebangkitan dan menyerahkannya kepada generasi selanjutnya.

Qazi Noorullah Shoushtari lahir di Shushtar pada tahun 956 H dalam keluarga yang dikenal dengan ilmu pengetahuan dan keyakinannya. Ayahnya disebut Sayyid Syarif, seorang ulama terkenal, sedangkan kakek, dan saudara-saudaranya merupakan para sarjana dalam ilmu-ilmu intelektual dan sastra. Lima putra Qazi adalah penulis dan ulama terkemuka di masanya.

Setelah mempelajari pendidikan dasar di Shushtar, Qazi Noorullah melakukan perjalanan ke Mashhad untuk berguru kepada para ulama terkemuka seperti Mawla Abdul Wahed Shoushtari dan Mawla Abdul Rashid Shoushtari.

Kemudian Qazi Noorullah Shushtari bermigrasi ke India pada tahun 993 H dan menetap di kota Agra. Saat itu, Akbar Shah memerintah India. Akbar Shah telah menaklukkan kerajaan besar dengan menaklukkan tanah yang berdekatan. Meskipun dia tertarik pada ilmuwan, tapi dia tidak memiliki keyakinan yang kuat pada agama tertentu. Oleh karena ini ateisme meningkat di India, dan agama-agama ilahi berada dalam kelemahan dan kepunahan. Ketika Qazi Noorullah datang ke India, ia diberi perhatian khusus oleh Akbarshah karena ilmu dan kemampuannya yang luar biasa, dan pada usia 35 tahun ia diangkat sebagai hakim.

Shoushtari memberikan syarakat Akbar Shah bahwa dia akan menerima jabatan sebagai hakim hanya jika dia memilih dan bertindak sesuai dengan ijtihadnya dalam pekerjaan, dan  tidak meninggalkan lingkaran empat agama Hanafi, Hanbali, Syafi'i dan Maliki. Akbar Shah menerima persyaratan tersebut.

Penguasaan Hakim Noorullah terhadap masalah yurisprudensi Islam yang luas dan matang, sedemikian rupa sehingga fatwa dan penilaiannya diterima oleh ulama Sunni dan membangkitkan kekaguman mereka.

Qazi Noorullah sangat adil dan sangat menentang para penyuap dan penasehat dalam pekerjaannya mengadili, dan dia menghakimi hanya atas dasar keadilan.  Beberapa percaya bahwa Qazi Noorullah pertama-tama menyembunyikan keyakinan mazhab yang dianutnya karena Taqiyah. Tapi kelompok sejarawan lain percaya bahwa menurut beberapa bukti sejarah seperti perdebatan, tulisan dan komentar para ulama pada waktu itu, menunjukkan tentang keyakinannya sebagai penganut Syi'ahnya yang dikenal oleh orang-orang sezamannya. Bahkan beliau dikenal sebagai salah satu ulama yang menjelaskan dan mempromosikan Syiah dan cinta Ahl al-Bayt di India.

Qazi Noorullah Shoushtari adalah seorang penulis yang cakap, produktif dan penyair berbakat yang melakukan yang terbaik untuk menyebarkan agama Syiah. Karya terpenting ulama syahid ini adalah buku-buku terkenal "Ahqaq al-Haqq wa Azhaq al-Batil" dan "Majalis al-Mu'minin".

Ketika itu, salah seorang ulama Syafi'i dari Iran telah menulis sebuah buku berjudul "Ibtal Nahj al-Batil" yang menolak kepercayaan Syi'ah yang isinya telah menyebabkan penganiayaan terhadap Syi'ah.

Qazi Noorullah menulis kitab "Ahqaq al-Haqq wa Azhaq al-Batil" yang abadi dalam sejarah. Beberapa orang percaya bahwa penulisan buku inilah yang menyebabkan kesyahidan Qazi Noorullah.

Buku Majalis al-Mu'minin adalah karya abadi lain Qazi Noorullah Shoushtari, yang merupakan buku terkenal yang ditulis dalam bahasa Persia. Qazi Noorullah juga menulis buku ini untuk membela Syiah. Ketika itu ada pihak yang menyebut kemunculan Syi'ah bukan awal dari Islam tetapi era Safavi di Iran abad ke-14.

Dalam buku ini, penulis memperkenalkan sejarah Syiah dan para tokohnya. Buku ini, yang dianggap semacam ensiklopedia, ditulis empat ratus tahun yang lalu dalam situasi di mana tidak ada alat penelitian modern dan tidak ada kondisi politik dan sosial untuk penelitian bebas para sarjana Syiah. Namun iman yang kuat dan kemauan yang tinggi, menyebabkan Qazi Noorullah Shoushtari menyelesaikan penulisan buku ini. Meskipun dia tidak mengharapkan penghargaan, dan ketenaran, tetapi demi kecintaannya pada ajaran Islam Syiah. 

Qazi Noorullah Shoushtari selama hidupnya aktif membimbing masyarakat dan menjalankan tugasnya sebagai hakim yang berusaha adil dan mengajar di India sampai kematian Akbar Shah wafat. Kemudian, pada masa pemerintahan putra Akbar Shah, Jahangir Shah, kebencian terhadap Qazi Noorullah meningkat dan musuh-musuhnya berusaha keras untuk mengubah pandangan Jahangir Shah tentang beliau.

Setelah Qazi Noorullah menulis buku Majalis al-Mu'minin, musuh-musuhnya memutuskan untuk melenyapkannya, dan akhirnya, dengan fitnah yang ditujukan kepadanya, mereka membujuk raja untuk menjatuhkan hukuman kepada Qazi Noorullah dan mencambuknya berulang kali hingga beliau gugur.

Ketika itu Qazi Noorullah berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Dengan alasan ini, ia disebut martir ketiga. Jenazah Qazi Noorullah Shushtari yang berdarah dimakamkan di Akbarabad, India. Makam ulama alim ini kini menjadi tempat ziarah para pecinta mazhab Ahl al-Bayt. Qazi Noorullah mengakhiri hidupnya sebagaimana uacapan mulia Imam Ali bin Abi Thalib, “Allah telah menetapkan kematian bagi satu golongan dan kematian bagi golongan yang lain, dan masing-masing akan mencapai waktu yang telah ditentukan sebagaimana ketetapan-Nya. Maka berbahagialah para mujahidin karena terbunuh di jalan ketaatan kepada Allah,”.

Minggu, 29 Agustus 2021 15:25

Ahmad bin Mohammad Ardabili (3)

 

Pada dua bagian sebelumnya dibahas tentang ulama besar Abad ke-10 Ahmad bin Mohammad Ardabili yang lebih dikenal dengan Moghaddas Ardabili, dan pelayanan luar biasa yang diberikannya dalam menghidupkan Hauzah Ilmiah Najaf, dan memperkuat ajaran Syiah di Iran.

Selain itu juga sudah dibahas tentang metode fikih khusus Mujtahid Besar Syiah ini, serta jalan yang dirintisnya untuk semakin mengukuhkan fikih Syiah. Sementara pada bagian ini akan dibahas tentang karakteristik kepribadian Mohaghegh Ardabili sehingga sampai dikenal sebagai Moghaddas yang artinya “Orang Suci”. 
 
Mohaghegh Ardabili dengan mengukuhkan fikih pada sandaran riwayat dan interaksi serta penelahaan ulang seluruh pintu fikih, secara berani mengemukakan pendapat barunya, dan karena sikap adil dan rendah hatinya, ia berhasil meyakinkan para penentang.
 
Mohaghegh Ardabili dengan bersandar pada prinsip kemudahan dalam Islam, percaya bahwa sebagian aturan ketat tanpa argumen yang mempersulit seseorang tidak memiliki landasan agama. Dengan demikian menurut pandangan Ardabili, fikih adalah pengetahuan untuk kehidupan dan kebahagiaan masyarakat. Pada bagian ini akan diulas kepribadian Moghaddas Ardabili yang bisa menjadi teladan praktis bagi kita dalam akhlak dan kesucian jiwa.
 
Dikarenakan ketakwaannya yang tinggi dan memiliki segudang kemuliaan yang disaksikan masyarakat, ulama besar Syiah ini dikenal sebagai Moghaddas atau orang suci. Diceritakan bahwa selama 40 tahun Ardabili bukan hanya tidak melakukan dosa, bahkan tidak melakukan hal-hal yang makruh dan mubah. Artinya, ia hanyak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mustahab dan wajib saja.
 
Suatu hari seorang pria bersikeras bertanya kepada Moghaddas Ardabili, apakah Anda benar-benar tidak melakukan dosa ? Ardabili menjawab, “Memangnya Anda makan sesuatu yang najis atau bahkan bersedia untuk sekadar melihatnya ? Pandangan kita terhadap dosa juga seperti ini.”
 
Benar berdasarkan kesaksian para ulama dan pemuka agama, Ardabili dalam zuhud, takwa dan ibadah telah sampai pada derajat terakhir, dan tidak ada ulama lain yang menyamainya. Selama hidupnya, ia adalah ulama yang paling menjaga diri, paling taat beribadah, dan paling bertakwa, sampai masyarakat biasa pun mengumpamakan dirinya sebagai perwujudan takwa dan kesucian.
 
Moghaddas Ardabili selain merupakan penjelmaan dari kesucian, bagi masyarakat kebanyakaan bahkan bagi ulama, adalah teladan dalam akhlak yang baik dan pemberani. Banyak kisah yang menceritakan tentang sifat rendah hati, kesabaran, kedermawanan, keberanian, dan kedekatan dengan masyarakat yang dimiliki Ardabili. Mendengar kisah-kisah tersebut dapat membantu manusia mengenal tangga-tangga kemanusiaan.
 
Di antara kisah itu, ulama besar Syiah ini diceritakan selalu menerima hadiah-hadiah yang diberikan kepadanya mulai dari yang tidak terlalu berharga sampai yang sangat berharga. Terkadang ia menerima hadiah kain yang sangat bernilai setara emas, dan biasanya Syeikh Ardabili akan mengenakan kain semacam itu sebagai serban, lalu pergi keluar rumah dengannya, di perjalanan ia akan memberikan sepotong kain berharga itu kepada setiap fakir miskin yang ditemuinya sehingga ketika tiba di rumah tidak ada lagi yang tersisa selembar pun di kepalanya.
 
Kedermawanan dan keberanian Moghaddas Ardabili sedemikian tingginya sampai sebagian orang membandingkannya dengan cincin emas. Di masa paceklik, Ardabili membagikan semua yang ada di rumahnya kepada fakir miskin, dan menyisakan untuk keluarganya setara dengan jatah untuk seorang fakir. Suatu kali istri Mohaghegh Ardabili protes, dan mengkhawatirkan anak-anaknya yang kelaparan. Ardabili langsung keluar rumah tanpa menjawab protes istrinya untuk beritikaf di Masjid Kufah.
 
Dua hari berlalu, seorang pria tak dikenal membawa sejumlah banyak gandum dan tepung ke rumah Ardabili. Pria tersebut mengaku membawakan semua itu atas perintah Ardabili yang sedang beritikaf di masjid. Sekembalinya Ardabili ke rumah, istri beliau mengaku senang dengan kualitas gandum yang dikirimnya, sementara Ardabili sendiri bingung karena merasa tidak pernah menyuruh orang untuk mengirim gandum tersebut, kemudian ia sadar itu merupakan hadiah dari Ilahi dan langsung bersyukur kepada Allah Swt.
 
Ketawadhuan dan rendah hati merupakan sifat menonjol lain yang dimiliki Moghaddas Ardabili. Diceritakan suatu hari sebuah rombongan melewati kota Najaf, dan bermaksud untuk beristirahat sejenak di sana. Salah satu anggota rombongan yang tampak lelah, dan mukanya penuh debu melihat Moghaddas Ardabili tapi tidak mengenalnya. Ia pun meminta Ardabili untuk mencucikan bajunya yang kotor dan berjanji akan membayarnya.
 
Moghaddas Ardabili menerima tawaran orang itu dan mencucikan bajunya. Orang-orang yang mengenal Moghaddas Ardabili mencaci pemilik baju sampai ia malu dan meminta maaf, tapi Moghaddas Ardabili dengan tenang berkata, “Hak seorang Mukmin dari saudaranya lebih dari sekadar mencucikan baju, lalu mengapa harus meminta maaf.”
 
Seluruh usia dan kemampuan Moghaddas Ardabili digunakan untuk berkhidmat kepada ajaran Ahlul Bait as, sehingga ia diberi kesempatan bertemu dengan Imam Mahdi af.
 
Salah seorang murid Ardabili bernama Mir Feizollah Tafreshi menceritakan, “Suatu malam selepas belajar, saya duduk di kamar saya yang berhadapan dengan Makam Imam Ali as. Saya melihat seseorang melangkah ke Makam Imam Ali as di tengah malam. Saya berpikir mungkin ia seorang pencuri, maka saya pun mengikutinya. Setelah melihatnya dari dekat saya baru menyadari bahwa orang itu adalah Moghaddas Ardabili. Ketika sampai ke dekat Pusara Suci Imam Ali as, pintu-pintu Makam tiba-tiba terbuka. Perasaan ingin tahu saya muncul dan saya terus mengikutinya. Syeikh Ardabili berdiri di depan Pusara Suci Imam Ali dan saya mendengar ia berbicara dengan seseorang. Kemudian ia keluar dan melangkah ke Masjid Kufah. Di dalam masjid dekat mihrab ia berbicara lama dengan seseorang, lalu ia pun pulang.” 
 
Tafreshi menambahkan, “Saat melangkah pulang, akhirnya Moghaddas Ardabili menyadari dirinya sedang diikuti. Saya pun berusaha menjelaskan kepadanya. Setelah meminta saya berjanji untuk tidak menceritakan apa yang terjadi selama beliau masih hidup, Syeikh berkata, ‘Saya menemukan permasalahan dalam pembahasan agama. Saya mendatangi Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib as, dan saya bertanya kepada beliau. Imam Ali as berkata, hari ini Imam Mahdi af akan datang ke Masjid Kufah, pergilah ke sana dan bertanyalah kepadanya. Lalu saya pun pergi ke Masjid Kufah dekat mihrab, dan menanyakan masalah tersebut kepada Imam Zaman af, dan saya menerima jawabannya.' Berarti orang yang saya lihat di Masjid Kufah itu adalah Imam Mahdi af.”
 
Ya, di dunia yang bagi kebanyakan orang dipenuhi oleh kegelapan ini, ada sejumlah pembesar yang karena ketakwaan dan kesucian membawa dirinya sampai ke sumber cahaya dan meraih kebahagiaan.
 
Fakih dan ulama besar Moghaddas Ardabili akhirnya meninggal dunia pada bulan Rajab 993 Hijriah Qamariyah. Cahaya fikih yang menerangi Dunia Syiah dari Kota Ardabil itu redup setelah menjalani seluruh hidupnya dengan kerja keras tak kenal lelah di jalan agama dan syariat abadi Islam.
 
Ia meninggal dunia di kota suci Najaf, Irak. Syeikh Ardabili meninggalkan banyak karya berharga layaknya cahaya yang menyinari Islam dan Syiah. Tubuh mulia beliau dikebumikan di kompleks Makam Suci Imam Ali as, dengan harapan sebagaimana di dunia ia mencintai Ahlul Bait as, di akhirat pun bisa bersama mereka.

 

Ahmad ibn Muhammad Ardabili dikenal sebagai Muqaddas Ardabili dan Muhaqiq Ardabili adalah salah satu ulama besar Syiah di abad kesepuluh Hijriah dan berasal dari kota Ardabil, Iran.

Muqaddas Ardabili hijrah ke kota Najaf untuk mendalami ilmu-ilmu agama dan ia mencapai derajat keilmuan yang tinggi sehingga didapuk menjadi marja’ dan pemimpin Syiah di Najaf setelah Syahid Tsani.

Faqih besar ini telah menulis banyak buku di bidang teologi (ilmu kalam), fikih, yurisprudensi, dan sejarah kehidupan Ahlul Bait, dan sayangnya, beberapa di antara karyanya tidak diketahui nasibnya. Karyanya yang paling penting adalah sebuah buku berjudul “Majma' al-Faidah wa al-Burhan fi Syarh al-Adzhan.”

Kitab tersebut adalah sebuah ensiklopedia fikih argumentatif yang paling terkenal dan menjadi salah satu sumber utama fikih Jakfari yang selalu mendapat perhatian dari para mujtahid. Meskipun kitab ini ditulis sebagai penjelas atas kitab al-Irsyad, karya Allamah Hilli, namun ia sangat detail dan mendalam yang menganalisa dan mempelajari kajian-kajian fikih dengan cermat dan argumentatif.

Salah satu kontribusi penting yang disumbangkan Muqaddas Ardabili di bidang fikih adalah memperkuat bangunan fikih dan ijtihad atas pondasi riwayat. Dalam bukunya, “Majma' al-Faidah wa al-Burhan fi Syarh al-Adzhan” ia menjelaskan secara lengkap tentang riwayat yang berkaitan dengan cabang-cabang agama, di sela-sela pembahasan fikih dan yurisprudensi.

Sebelum periode Muqaddas Ardabili, para fukaha (ahli fikih) tetap menaruh perhatian pada riwayat dan mengeluarkan fatwa atas dasar riwayat, tetapi metode khusus Muqaddas Ardabili yang memperkuat landasan fikih atas riwayat dan memberikan porsi besar riwayat dalam perkara ijtihad, benar-benar sebuah hal baru dan belum pernah terjadi sebelumnya.

Setelah adanya buku “Majma' al-Faidah wa al-Burhan fi Syarh al-Adzhan,”  metode fikih (Fiqih al-Riwa'i) yang diperkenalkan oleh Muqaddas Ardabili mulai dikenal luas dan para fukaha lainnya juga mengikuti dia. Inovasi ini sangat penting dan berpengaruh dalam fikih sehingga para ulama menganggap Muqaddas Ardabili sebagai peletak metode baru di bidang fikih.

Muqaddas Ardabili memandang fikih sebagai ilmu bagi kehidupan. Dalam fatwa dan penjelasan hukum fikih, ia mengadopsi sikap yang seimbang dan ‘urf (adat kebiasaan) yang sesuai dengan kebutuhan saat itu dan sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.

Ulama besar ini memberikan perhatian khusus pada prinsip mempermudah pelaksanaan perintah-perintah agama. Ia percaya bahwa dalam menjalankan hukum syar’i mulai dari ibadah, jual-beli, hingga persoalan fikih lainnya, orang tidak boleh mendapatkan masalah dan kesulitan tanpa sebab.

Dalam surat al-Baqarah ayat 185 disebutkan, “… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” Demikian juga dalam surat al-Hajj ayat 78, “…Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…”

Ada banyak ayat dan riwayat lain dengan kandungan yang sama yang menunjukkan bahwa hukum dan perintah agama itu mudah dan tidak sulit untuk dijalankan. Tentu saja, kita membutuhkan petunjuk ulama yang menguasai ayat dan riwayat untuk menafsirkan ayat-ayat tersebut dan menentukan batas-batas penyederhanaan ini (prinsip kemudahan ini).

Tidak diragukan lagi, Muqaddas Ardabili adalah salah satu ulama yang paling ahli dalam menentukan batasan-batasan ini. Dengan penguasaannya pada al-Quran dan hadis, ia menjelaskan hukum-hukum agama kepada masyarakat sesuai dengan prinsip kemudahan.

Salah satu sifat dominan Muqaddas Ardabili adalah menghormati orang-orang yang menentangnya. Dalam banyak kasus, ia menolak pendapat umum yang berlaku di antara para ulama dan memberikan pendapat dan fatwa baru yang berbeda dengan pandangan orang lain, tentunya berdasarkan penelitian dan kajian yang cermat.

Namun, Muqaddas Ardabili tidak pernah bersikap kasar dengan para ulama senior lain yang tidak sependapat dengannya. Ia mengutarakan pendapatnya dengan cara yang tidak menimbulkan kontroversi dan emosi pihak lain. Misalnya, setelah menolak pandangan umum di kalangan ulama dengan argumentasi ilmiah dan membuktikan pendapatnya, ia menulis, “Apa yang dikatakan oleh para ulama senior (pandangan yang kemudian dikenal sebagai pendapat jumhur ulama), mungkin saya tidak mengerti bahwa (pendapat) itu sesuai dengan pemahaman dan ijtihad saya.”

Atau menulis demikian, “Mungkin para jumhur ulama punya argumen atau memahami sesuatu dari argumen yang ada yang belum saya pahami.” Model pendekatan Muqaddas Ardabili ini telah memelihara iklim sejuk di kancah intelektual dan mencegah masuknya perdebatan yang tidak perlu dan sikap yang tidak rasional dalam masalah fikih.

Ia juga mengadopsi sikap yang rasional dan terpuji dalam bergaul dengan para ulama Sunni. Perbedaan akidah tidak membuatnya meninggalkan sikap adil dan ia tidak pernah membuka lisannya untuk mengucapkan kata-kata kasar. Pada masanya, segelintir orang percaya bahwa menyimpan kitab-kitab Sunni itu pun perbuatan yang salah, tetapi Muqaddas Ardabili yakin bahwa hal yang benar dan salah terdapat dalam kitab-kitab Sunni dan tidak semuanya dapat dianggap sebagai kitab yang menyesatkan.

Sebaliknya, kandungannya yang benar harus dimanfaatkan dan hadis-hadis palsu harus dibuang. Ia percaya bahwa hal yang sahih dapat dipisahkan dari yang batil dengan menunjukkan dalil-dalil.

Dengan pandangan yang terbuka ini, Muqaddas Ardabili mempelajari banyak kitab-kitab Sunni dan dalam beberapa topik, ia menelaah dan mengkritik pandangan para ulama mereka. Ulama Syiah ini juga menekankan perlunya hubungan sosial dengan Sunni, sementara riwayat yang mencela berhubungan dengan para penentang, hanya ditujukan kepada mereka yang membenci dan memusuhi Ahlul Bait, bukan semua penentang.

Semua ini menunjukkan kebijaksanaan dan keterbukaan Muqaddas Ardabili. Meskipun waktu itu sebagian berpikiran ekstrem, ia telah menunjukkan jalan yang benar kapada para siswa di hauzah ilmiah dan mendorong mereka untuk bersikap toleran dan memegang prinsip moral dalam menghadapi lawan serta menutup jalan bagi para oportunis.

Meskipun Muqaddas Ardabili menunjukkan rasa hormat dan ketertarikan yang besar kepada para ulama senior pada masanya, namun ketertarikan ini tidak membuatnya menerima pendapat mereka tanpa argumen yang kuat. Prinsipnya adalah mendalami kembali dan meninjau ulang semua persoalan fikih yang kecil dan besar, bahkan perkara yang sudah diterima dan disepakati. Sehingga ada yang berkata bahwa dia tetap mengkaji perkara yang sudah jelas dan tidak menerimanya tanpa argumentasi.

Sebelum masanya, perdebatan dalam masalah fikih tidak begitu umum. Tetapi karena pemikiran dinamis dan kritis serta pemahaman luas yang dimiliki Muqaddas Ardabili, membuatnya tidak mudah menerima persoalan ilmiah begitu saja dan tidak puas dengan pendapat orang lain. Ia akan membuka penelitian yang serius dan dengan berani mengumumkan pendapatnya kepada publik meskipun bertentangan dengan pandangan jumhur ulama.

Keberanian ulama besar ini dalam mengkritisi pandangan para pendahulunya telah membuka jalan baru dalam fikih serta melahirkan inovasi dan kemajuan di fikih Syiah. Karena itulah, Muqaddas Ardabili – sebagai fakih yang berpikiran terbuka – telah membuka jalan bagi diskusi ilmiah dan adu argumen di bidang fikih.

Minggu, 29 Agustus 2021 15:22

Mohaghegh Karaki (2)

 

Salah satu isu yang diangkat dalam pemikiran Mohaghegh Karaki mengenai masuknya dunia religius yang agung di ranah politik dan sosial.

Ia percaya bahwa penyelenggaraan negara dan urusan rakyat harus berdasarkan agama dan berada di bawah kepemimpinan ulama otoritatif dan kredibel. Pandangannya tentang masalah ini mengusung  teori Wilayah Fakih yang juga diyakini oleh banyak sarjana Syiah. 

Di masa kehidupannya, Mohagheh Karaki menjadi perhatian banyak kalangan, termasuk penguasa saat itu. Shah Tahmasb Safavi begitu terpesona oleh kepribadian dan posisi intelektualismenya, sehingga dia pernah berkata, "Anda berhak lebih dari saya untuk mengatur dan mengelola urusan negara. Sebab Anda adalah wakil Imam dan saya salah seorang pejabat Anda,". 

Shah Tahmasb memberinya posisi Sheikh al-Islam, yang dianggap sebagai posisi religius tertinggi dalam urusan negara,". Mohaghegh Karki memanfaatkan sepenuhnya kesempatan ini untuk mereformasi urusan umat Islam dan menjalankan tugas dengan kemampuan terbaiknya. 

Mohaghegh Karaki yang juga dikenal sebagao Mohaghegh Thani memulai pembahasan tentang Wilayah Fakih dengan masalah Imamah. Ia menganggap imamah sama pentingnya dengan Nubuwah dan menganggapnya sebagai salah satu prinsip agama.

Mohaghegh Thani berkata, "Dalil yang sama mengenai kebutuhan orang terhadap Nabi juga berlaku mengenai Imam. Orang selalu membutuhkan kepemimpinan dan bimbingan yang kuat di setiap zaman, karena selalu ada dorongan untuk menciptakan kejahatan."

Mengenai penolakan terhadap pemisahan politik dari agama, ia menjelaskan, “Tidak bisa dikatakan bahwa rakyat membutuhkan pemerintahan, penguasa dan pemimpin hanya dalam urusan dunia, atau pemerintahan hanyalah berhubungan dengan urusan duniawi saja. Sebab, urusan agama juga termasuk dalam sistem kehidupan dan dunia umat. Misalnya, meski pemberhentian dan pelantikan hakim adalah urusan agama, tapi juga bagian dari urusan duniawi rakyat,".

Karki menganggap tujuan kebangkitan para Nabi untuk menjadi pedoman umat di akhirat dan di dunia ini. Ia meyakini ibadah berkaitan dengan akhirat dan juga dunia. Oleh karena itu, hanya mereka yang diberi wewenang oleh Nabi Muhammad Saw untuk bertanggung jawab atas pelaksanaan aturan agama, dan siapa pun selain mereka yang memegang posisi ini adalah seorang tiran.

Selain masalah Nubuwah dan Imamah, Mohaghegh Karaki juga menjelaskan urgensi pemerintahan yang ketiga terkait dengan ketidakhadiran Imam al-Zaman. Dalam risalah shalat Jum'atnya, ia membahas tentang teori Wilayah Faqih dan mengungkapkannya dengan hadits dan argumentasi logis.

Ulama terkemuka Syiah ini mengungkapkan, "Para sahabat kami setuju bahwa ahli hukum Syiah yang adil dengan kondisi yang komprehensif (dengan syarat) dari fatwa - dan yang disebut mujtahid - pada saat tidak ada Imam, maka secara umum memiliki izin menjadi wakil para Imam. Oleh karena itu, kewajiban bagi masyarakat untuk menaati putusan yang dikeluarkan olehnya,".

Mohaghegh Karaki mengutip sebuah hadits yang dikenal di kalangan ulama sebagai "penerimaan Umar ibn Hanzalah", yang memandang ulama dengan persyaratan khusus yang ditetapkan oleh para Imam Maksum sebagai penerus Imam dengan wewenang yang sama.

Beberapa ulama percaya bahwa faqih harus diperkenalkan secara khusus dan oleh Imam Mahdi. Selama periode keghaiban kecilnya, Imam Zaman menunjuk empat orang sebagai wakil khususnya. Tetapi sebagian ulama terkemuka lainnya yang bertumpu pada riwayat yang dipandang kuat percaya selama Imam Zaman tidak ada, faqih dianggap sebagai wakil Imam, meskipun secara khusus nama orang tersebut tidak diumumkan oleh Imam.

Oleh karena itu, setiap faqih yang memiliki persyaratan khusus seperti keadilan dan ijtihad serta beberapa kemampuan manajerial dan kepribadiannya dianggap sebagai wakil Imam dan memiliki otoritas pemerintahan yang sama dengan Imam, dan umat Islam wajib mematuhinya. 

Karaki meyakini bahwa seorang ahli hukum yang memiliki kewenangan untuk mewakili Imam Zaman pada saat ghaib harus memiliki ciri dan syarat khusus. Menurutnya, iman adalah salah satu syarat seorang faqih. 

Keadilan adalah syarat lain dari Faqih. Kondisi lainnya adalah pengetahuan tentang Al-Quran dan Sunnah sampai dia bisa memahami aturan dengan mengacu pada keduanya. Berbagai syarat lain telah disebutkan dalam hal ilmu pengetahuan hingga tingkatan ijtihad.

Mohaghegh Karaki mengatakan bahwa faqih secara hukum diizinkan untuk menegakkan ketentuan ajaran Islam dan memberikan fatwa kepada umat. Menurut Karaki, dalam urusan keuangan pemerintahan Islam, zakat dan khumus serta kharaj merupakan ketentuan syariah yang harus dibayarkan kepada Faqih oleh muqalid. Ia juga menyatakan dalam Risalah Kharajiah bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kharaj (pajak) telah dipercayakan kepada faqih selama masa keghaiban Imam Zaman.

Dalam masalah khumus yang merupakan kewajiban finansial bagi umat Islam, Mohaghegh Karaki mengungkapkan bahwa di masa keghaiban Imam, faqih dapat bertanggung jawab untuk mendistribusikan khumus di antara orang-orang yang berhak sebagai wakil Imam. Menurutnya, menyelesaikan masalah agama masyarakat dan menjawab pertanyaan mereka berdasarkan sumber agama juga merupakan salah satu tugas utama faqih. 

Dalam pembahasan sholat Jum'at, Karaki juga memandang kehadiran Imam atau wakilnya sebagai syarat untuk melaksanakannya. Ia menentang argumen pihak yang menentang shalat Jumat di masa keghaiban Imam Zaman, seperti Sayyid Murtadhaa dan Ibn Idris Hali.

Para penentang berpendapat bahwa  salah satu syarat shalat Jum'at adalah kehadiran Imam atau seseorang yang secara pribadi ditunjuk oleh Imam untuk melaksanakan sholat Jum'at. Oleh karena itu, menunaikan shalat Jumat pada saat keghaiban Imam Zaman dikecualikan. Oleh karena itu, ketika salat Jumat dilaksanakan tanpa kehadiran Imam Zman, maka shalat dhuhur tetap harus ditunaikan umat Islam.

Jika Imam Zaman hadir dan shalat Jum'at ditunaikan, maka shalat Dhuhur akan dilepaskan dari kewajiban umat di hari Jumat. Karaki menentang pendapat kelompok Faqih ini. Ia meyakini bahwa sejak Faqih diangkat oleh Imam Zaman pada umumnya, maka ia bisa menunaikan shalat Jumat.

Oleh karena itu, menurut Mohaghegh Karaki, faqih tidak hanya hadir untuk memberikan fatwa di kalangan masyarakat, tetapi juga melaksanakan shalat Jum'at adalah dalam kewenangannya. Sebab mereka memiliki memenang yang telah diberikan Imam Zaman sebagai wali pada umumnya.

Beliau sepenuhnya mendukung penyelenggaraan shalat Jumat di massa keghaiban Imam Mahdi dan meminta pertanggungjawaban ahli hukum untuk melaksanakannya. Masalah ini yang kurang diperhatikan oleh banyak ahli hukum sebelum dan sesudahnya, dan Karki secara eksplisit dan dengan bukti kuat mendukungnya.

Akhirnya, Mohaghegh Thani kembali ke Najaf Ashraf pada usia ke-70 tahun dengan meninggalkan pengaruh besar di dunia Syiah. Tetapi setelah beberapa hari kehadirannya di Irak, muncul berita menyakitkan tentang kesyahidannya.

Beliau gugur diracun oleh para penentangnya. Jenazah ulama terkemuka ini dimakamkan dengan rasa hormat yang khusus di kompleks makam Imam Ali di Najaf.

Minggu, 29 Agustus 2021 15:07

Ali bin Hassan Karaki

 

Ali bin Hassan Karaki yang lebih dikenal dengan Muhaqiq Tsani atau Muhaqiq Karaki, termasuk ulama Jabal Amil, Lebanon yang datang ke Iran atas undangan Shah Ismail Safavi, dan berperan besar dalam penyebaran Syiah di negara ini.

Ia mendidik sejumlah murid yang kelak menjadi ulama besar, dan banyak fakih serta cendekiawan abad ke-10 Hijriah Qamariyah yang merupakan muridnya.
 
Muhaqiq Karaki dikenal sebagai ulama besar dan fakih abad ke-10 Hq. Ia dilahirkan pada tahun 865 Hq di desa Karak, Jabal Amil, Lebanon. Ayahnya merupakan tokoh Syiah di Lebanon, dan ia memberikan nama Ali kepada anaknya untuk mengambil berkah dari Imam Ali bin Abi Thalib as.
 
Jabal Amil termasuk wilayah yang dianggap sakral, salah satunya karena di sana terdapat banyak makam para nabi, waliullah, dan tokoh agama seperti Yusha bin Nun, wasi Nabi Musa as, dan Nabi Yehezkiel, serta tempat-tempat yang pernah dilewati Nabi Isa as.
 
Penyebaran Syiah di Jabal Amil, kembali ke pertengahan awal abad pertama Hijriah Qamariyah, yaitu saat tokoh-tokoh besar Islam semacam Salman Farsi, Ammar Yasir, dan Abu Dzar Ghiffari menyebarkan Islam hakiki di wilayah itu.
 
Diperkirakan kehadiran Abu Dzar di Jabal Amil di masa pengasingannya, lebih dari sahabat Imam Ali as lainnya, menjadi faktor determinan penyebaran Syiah di wilayah tersebut.
 
Di antara pengikut Syiah asal Jabal Amil terdapat sejumlah banyak ulama saleh yang menerangi Dunia Syiah dengan cahayanya. Syeikh Hurr Amili dalam kitab “Amal Al Amil fi Ulama Jabal Amil”mencatat 100 nama cendekiawan Syiah asal Jabal Amil dan menambahkan puluhan lainnya.
 
Hauzah Ilmiah Jabal Amil termasuk di antara hauzah yang paling berpengaruh dalam menghidupkan ajaran Ahlul Bait as. Era paling aktif dalam sejarah Hauzah Ilmiah Jabal Amil adalah pada abad 8-11 Hq.
 
Di masa ini, cendekiawan dan fakih besar semacam Syahid Awal, Syahid Tasni, dan Muhaqiq Karaki lahir dari Hauzah Jabal Amil. Sejumlah ulama besar Jabal Amil datang ke Iran dan berperan aktif menyebarkan Syiah di negara ini. Muhaqiq Karaki salah satunya.
 
 Muhaqiq Tsani atau Muhaqiq Karaki, di masa kecilnya tumbuh di tengah keluarga ulama. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, ia masuk Hauzah Ilmiah Karak, dan belajar kepada ulama besar desa tersebut.
 
Karak meski sebuah desa, tapi memiliki sebuah hauzah ilmiah kaya yang didatangi para pelajar agama dari berbagai wilayah Lebanon lainnya. Muhaqiq Karaki setelah menimba ilmua di Jabal Amil, berangkat ke Damaskus, Suriah, Baitul Maqdis, Palestina, Mesir dan Irak.
 
Muhaqiq Karaki di masa remaja melakukan penelitian secara serius seputar masalah fikih dan hadis, sehingga dijuluki Muhaqiq Tsani.
 
Ia dianggap sebagai peneliti fikih Ahlul Bait as paling unggul setelah Muhaqiq Hilli. Muhaqiq Karaki menulis 71 buku, yang paling terkenal dan paling berharga adalah buku berjudul “Syarh Kitab Qawaid Allamah Hilli” yang lebih dikenal dengan “Jami Al Maqashid fi Syarh Al Qawaid”.
 
Muhaqiq Tsani juga dijuluki “Shahib Jami Al Maqashid” karena buku ini. Dari sisi tata bahasa, makna, teknik penulisan dan kandungannya, buku tersebut termasuk buku fikih Syiah paling baik.
 
Di antara ulama Syiah terdapat sebuah keyakinan jika seorang Mujtahid telah memahami tiga kitab yaitu Jami Al Maqashid, Wasail Al Syiah, dan Jawahir, maka untuk mengeluarkan dalil, menetapkan hukum dan menulis kitab fikih, ia tidak memerlukan kitab lain.
 
Ulama besar Jabal Amil ini setelah berhasil memahami dengan baik pemikiran fikih Ahlu Sunnah dengan baik di Mesir selama beberapa tahun, lalu meninggalkan negara itu.
 
Di masa itu kemasyhuran Muhaqiq Karaki tersebar di wilayah Muslim lain. Di Najaf, Muhaqiq Karaki aktif mengajar sampai seorang utusan keluarga kerajaan Iran mendatanginya dan membawa pesan Shah Ismail Safavi yang memintanya menyebarkan Syiah di Iran.
 
 Ketika penguasa Kekhalifahan Utsmaniyah mempersempit ruang gerak pengikut Syiah di Irak dan Syam, Muhaqiq Karaki menganggap kondisi ini sebagai kesempatan yang dapat membawa para pengikut Syiah ke puncak kejayaan dan mengenalkan budaya Syiah kepada masyarakat.
 
Keputusan sangat penting dan sensitif ini dinilai dapat mengubah jalan hidup Muhaqiq Karaki dan para pengikut Syiah, oleh karena itu ia menerima permintaan Shah Iran tersebut, dan pada tahun 916 Hq dalam Perang Herat, ia memenuhi undangan Shah Ismail Safavi.
 
Saat itu usianya sekitar 50 tahun, namun berjuang sekuat tenaga menyebarkan Syiah di tengah kondisi yang sangat sensitif di Dinasti Safawiyah. Safawiyah adalah dinasti kerajaan Iran yang berkuasa dari tahun 907 hingga 1135 Hq. Mereka mengumumkan Syiah sebagai mazhab resmi kerajaan Iran, dan bertahan hingga lebih dari dua abad. 
 
Mempelajari kehidupan para ulama besar Syiah di era Safawiyah menunjukkan adanya kerja sama ulama dengan kerajaan. Ulama bahkan menerima beberapa pos penting di kerajaan seperti posisi Syeikh Al Islam, dengan satu alasan yaitu menyebarkan dan memperkuat agama serta hukum Islam. 
 
Muhaqiq Karaki datang ke Iran tidak lama setelah Syiah ditetapkan sebagai mazhab resmi negara ini. Di sisi lain karena selama bertahun-tahun hidup di bawah aturan ketat yang membatasi mereka, pengikut Syiah Iran tidak terlalu memahami hukum agama, maka kelangkaan fakih Syiah dan kitab-kitab hukum praktis Islam sangat dirasakan saat itu.
 
Muhaqiq Karaki pada tahun 916 Hq dapat dikatakan telah meletakkan fondasi mazhab Syiah di Iran. Akan tetapi karena kesibukan Shah Ismail, dan ketidakpeduliannya pada masalah kebudayaan, Muhaqiq Karaki melepaskan jabatan yang diberikan kepadanya pada tahun 929 Hq. Ia meninggalkan Iran dan kembali memulai aktivitas mengajar di Hauzah Ilmiah Najaf.
 
Muhaqiq Tsani sibuk mengajar di Najaf selama enam tahun, dan mendidik para pelajar agama serta orang-orang yang dahaga akan ilmu Ahlul Bait as. Setelah meninggalnya Shah Ismail, Shah Tahmaseb Safavi kembali mengundang Muhaqiq Karaki untuk datang ke Iran.
 
Pada tahun 935 Hq, Muhaqiq Tsani untuk kedua kalinya datang ke Iran, dan mendapat lebih banyak fasilitas di banding sebelumnya. Shah Tahmaseb sangat menghormati kepribadian dan keluhuran ilmu Muhaqiq Karaki. Ia mengatakan, Anda lebih layak mengurus pemerintahan daripada saya, karena Anda wakil Imam Mahdi as, sementara saya adalah salah satu dari penguasa Anda.
 
Shah Tahmaseb memberikan posisi Syeikh Al Islam, yang merupakan posisi tertinggi di bidang agama kepada Muhaqiq Tsani dan memberi kesempatan kepadanya untuk mengurus masyarakat.
 
Muhaqiq Karaki memanfaatkan kesempatan berharga ini untuk meluruskan sejumlah penyimpangan di kerajaan dan menyebarkan Syiah serta memperkokoh fondasinya di lingkungan kerajaan Dinasti Safawiyah. Pengaruh Muhaqiq Tsani terhadap Shah Tahmaseb sedemikian besar sampai Raja Iran itu bertobat dan memilih gaya hidup baru.
 
Di antara langkah yang dilakukan Muhaqiq Karaki di Iran adalah memperkuat hauzah ilmiah dan memenuhi kebutuhan materi serta maknawinya.
 
Ia juga meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang marak di bidang tasawuf. Atas fatwa Muhaqiq Karaki, pemerintah Safavi menutup tempat-tempat yang dianggap melanggar syariat Islam. Ia juga menghidupkan Shalat Jumat dan shalat jamaah di Iran.
 
Muhaqiq Karaki memerintahkan agar ruhani (ulama) dikirim ke seluruh kota dan desa Iran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan agama masyarakat.
 
Untuk menghidupkan sisi lahiriah Syiah dan ajaran Ahlul Bait as di masyarakat, ia sangat bekerja keras, termasuk mengembalikan kalimat “Asyhadu anna Aliyan Waliullah” dan “Hayya Alaa Khoiril Amal” pada azan dan iqamah shalat selama 56 tahun sampai akhirnya ditinggalkan kembali pada era Toghrul-Beg Seljuk.
 
Satu lagi poin unggul dampak kehadiran Muhaqiq Karaki di Iran adalah terjunnya ulama besar Syiah ini ke arena politik dan sosial. Ia percaya pengelolaan negara dan urusan masyarakat harus berlandaskan aturan agama dan dipimpin seorang fakih Jamiu Syara’it.
 
Pandangan ini tidak lain adalah konsep Wilayatul Fakih yang diyakini oleh banyak ulama Syiah. Pada pembahasan berikutnya akan diulas pandangan Muhaqiq Karaki tentang konsep Islam progresif. 

Minggu, 29 Agustus 2021 15:02

Muhammad bin Muhammad bin Nu'man

 

Muhammad bin Muhammad bin Nu'man (Syeikh Mufid) adalah salah seorang ulama dan pemikir Syiah yang paling berpengaruh. Di masa itu, masyarakat Syiah menikmati situasi yang lebih bersahabat dan Syeikh Mufid juga bisa leluasa melakukan kegiatan ilmiah.

Syeikh Mufid menawarkan sebuah metode komprehensif untuk ijtihad dan istinbath atau mengeluarkan hukum fiqih dari sumber-sumbernya. Metode ini masih dipakai oleh para fuqaha dan ilmuwan sampai sekarang.

Syeikh Mufid memiliki pengaruh besar di ranah ilmu kalam dan fiqih Syiah sehingga ia dianggap sebagai peletak ilmu kalam Syiah dan masternya ilmu fiqih. Ia juga bergelar pemimpin dari para pemimpin Syiah.

Salah satu perhatian utama Syeikh Mufid pada masa itu adalah menjawab syubhat (sebuah keadaan kerancuan berpikir dalam memahami sesuatu) akidah dan mazhab.

Ahlu Bait memperkenalkan para ulama hakiki sebagai penjaga dan pelindung Islam. Dapat dipastikan Syeikh Mufid adalah salah satu dari penjaga Islam ini.

Meski ia sebagai seorang ulama besar Syiah, namun tetap tampil sebagai seorang guru yang berusaha menjawab syubhat akidah dan fiqih yang disampaikan pihak lain melalui lisan dan penanya.

Syeikh Mufid lewat beberapa karyanya termasuk, Fushul al-Asyrah fi al-Ghaibah, menjawab syubhat akidah dan fiqih serta sanggahan seputar filosofi keghaiban Imam Mahdi as. Karya lain ulama besar ini, Awail al-Maqalat fi al-Madzahib wa al-Mukhtarat, juga menjelaskan mengenai pemikiran khusus Syiah Imamiyah dalam permasalahan ilmu kalam.

Selain menulis artikel dan buku untuk menjawab syubhat, Syeikh Mufid menggelar diskusi dan melakukan debat ilmiah dengan ulama dari berbagai mazhab. Dengan penguasaannya terhadap mazhab-mazhab Islam, ia mampu membela akidah Islam dengan argumentasi yang rasional dan kuat.

Salah satu karakteristik Syeikh Mufid adalah menaruh perhatian khusus pada kebutuhan intelektual masyarakat. Ia secara rutin membangun hubungan dengan mereka dan mengikuti forum-forum diskusi ilmiah.

Karena posisinya sebagai pemimpin Syiah pada masa itu, ia selalu menerima surat-surat dan pertanyaan masyarakat yang dikirim dari berbagai pelosok negara Islam kepadanya. Dengan demikian, Syeikh Mufid mengambil inisiatif untuk menjawab kebutuhan mereka dengan menulis buku dan risalah. Banyak dari karyanya ditulis untuk menjawab pertanyaan masyarakat dari sebuah daerah tertentu.

Selain masyarakat awam yang meminta bimbingan Syeikh Mufid seputar kewajiban syar'inya, para ulama besar di masa itu juga memperdalam ilmu agama dari Syeikh Mufid. Karya terpenting Syeikh Mufid di bidang kalam, fiqih, dan sejarah seperti, Awail al-Maqalat fi al-Madzahib wa al-Mukhtarat, Al-Muqni'ah, dan al-Jamal wa al-Nushrah lisayyid al-Itrah fi Harb al-Bashrah, ditulis atas permintaan para ulama besar seperti, Syeikh Murtadha, Syeikh Radhi, dan ulama lain.

Sebagian besar dari karya Syeikh Mufid berdurasi singkat dan berupa artikel. Hal ini telah menjadi ciri khas dari karya-karya beliau.

Syeikh Mufid adalah seorang peneliti profesional dan ia menghindari penggunaan kata atau kalimat yang diulang-ulang. Ia mampu menjelaskan materi rumit dalam sebuah kalimat singkat, kecuali untuk materi yang sangat rumit dan membutuhkan penjelasan yang panjang.

Imam Ali as berkata, "Janganlah berbicara dan berkata panjang sehingga membuat pendengar jenuh, dan jangan pula terlalu singkat sehingga mereka merasa terhina (karena tidak memahami isi pembicaraan)."

Oleh sebab itu, kebanyakan dari karya Syeikh Mufid berupa risalah singkat dan padat, yang ditulis untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Ciri khas lain karya Syeikh Mufid adalah penggunaan bahasa yang sederhana. Kalimat yang rumit dan istilah yang spesifik jarang ditemukan dalam karya-karyanya.

Dalam kajian kalam, fiqih, sejarah, dan bahkan persoalan ilmiah, Syeikh Mufid menjelaskannya dengan bahasa yang mudah sehingga bisa dimengerti oleh semua orang. Meskipun Syeikh Mufid seorang ulama besar dan punya kemampuan luar biasa dalam menulis kitab-kitab besar, namun ia lebih memilih menyusun risalah singkat dan efektif dengan bahasa yang mudah, dengan tujuan menjawab persoalan pemikiran kaum Muslim.


Salah satu kegiatan Syeikh Mufid adalah mengajar. Ia membentuk banyak kelas untuk mengajar ulama di bidang fiqih dan kalam, dan ia berhasil mencetak murid-murid yang sangat luar biasa.

Di antara murid Syeikh Mufid yang kemudian menjadi ulama besar setelahnya adalah Sayid Murtadha, Sayid Radhi, Syeikh Thusi, Ahmad bin Ali al-Najasyi, Sallar al-Daylami, Abul Fatah Karajuki, dan Abu Ya'la Muhammad bin Hasan Ja'fari.

Syeikh Mufid tidak melupakan masalah spiritualitas dan penyucian jiwa meskipun sangat sibuk mengabdi di bidang akademis dan sosial. Para murid dan orang-orang dekatnya bersaksi bahwa cahaya spiritualitas dan keluhuran moralnya terus memancar dari waktu ke waktu.

Syeikh Mufid melakukan banyak shalat dan puasa serta selalu memberikan sedekah. Masyarakat sangat mencintainya karena kesederhanaan dan sifat tawadhu yang dimilikinya. Dia menjalani kehidupan sederhana seperti masyarakat biasa.

Syeikh Mufid tidak tergoda dengan jabatan dan harta, dan hal ini membuatnya lebih mudah dalam proses penyucian jiwa dan perjalanan menapaki puncak kesempurnaan.

Menantunya, Sharif Abu Ali menuturkan, "Syeikh Mufid hanya tidur sebentar di malam hari dan kemudian ia bangun untuk mendirikan shalat. Kesibukannya tidak lepas dari membaca buku, atau mengajar, dan atau membaca al-Quran."

Itulah ringkasan dari kehidupan seorang ulama, yang masih dikenal dan dihormati sampai sekarang meskipun ia telah wafat seribu tahun lalu.