کمالوندی

کمالوندی

 

Setelah keberhasilan Taliban menguasai berbagai negara bagian Afghanistan dan terakhir Kabul pun jatuh ke tangan milisi ini, muncul pertanyaan di opini publik Afghanistan, kawasan dan internasional, mengapa militer negara ini tidak mampu melawan serangan tersebut.

Selain itu, kondisi di Afghanistan juga jauh dari prediksi para pengamat dan negara ini tumbang serta jatuh ke tangan Taliban. Milisiini pun berhasil menguasai seluruh negara bagian kecuali Panjshir.

Setelah invasi Amerika Serikat ke Afghanistan tahun 2001 dan tumbangnya pemerintahan Taliban, militer nasional dan baru negara ini yang pada awalnya berjumlah 70 ribu personel disahkan di sidang Bonn, Jerman. Pembentukan secara resmi militer Afghanistan terjadi tahun 2002 dengan bantuan pihak Barat, khususnya Amerika dan kemudian Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Seiring dengan eskalasi serangan milisi Taliban, di tahun 2006 direncanakan jumlah militer nasional Afghanistan bertambah menjadi 130 ribu personel. Meski selama selama beberapa tahun terakhir jumlah pasukan militer Afghanistan mencapai 350 ribu orang, namun negara ini direncanakan memiliki militer kecil dengan peralatan canggih dan modern milik Barat, sehingga mampu melawan kelompok teroris dan memberi keamanan kepada warga.

Oleh karena itu, muncul pertanyaan penting, mengapa militer dan polisi nasional seperti ini tidak mampu melawan serangan Taliban dan cepat kalah ?

Pengamat politik saat menjawab pertanyaan penting ini mengisyaratkan sikap AS dan NATO yang tidak bersedia menunaikan janjinya mempersenjatai serta memperkuat militer dan polisi nasional Afghanistan. Mereka meyakini bahwa meski ada klaim dari petinggi Barat, ada tiga alasan penting mengapa mereka tidak berusaha menciptakan sebuah militer yang kuat, khususnya angkatan udara.

Pertama, AS dan NATO mengejar kebijakan ketergantungan keamanan Afghanistan kepada pasukan asing. Menurut perspektif ini, jika Afghanistan memiliki tentara dan polisi yang kuat, maka bisikan dan tuntutan elit dalam negeri atas penarikan pasukan asing dari negara ini akan sangat cepat dan lebih serius. Oleh karena itu, Amerika dan NATO untuk menjustifikasi kehadirannya di Afghanistan, berupaya menunjukkan dirinya sebagai pembela keamanan rakyat negara ini dari ancaman terorisme, dan mempropagandakan kebijakan dan programnya dalam koridor rencana "Dukungan Tegas" terhadap militer dan pemerintah Afghanistan.

Kedua, Pakistan sebagai negara yang menganggap Afghanistan sebagai halaman belakangnya, sama sekali tidak setuju dengan rencana mempersenjatai militer negara ini dengan senjata modern Amerika dan NATO, sehingga tidak akan terbentuk militer tangguh di negara tetangganya ini. Oleh karena itu, di era kepresidenan Barack Obama, ketika dijadwalkan hingga tahun 2014 mayoritas tentara negara ini akan ditarik dari Afghanistan, Pakistan mencegah penyerahan senjata militer Amerika kepada militer nasional Afghanistan. Pakistan tetap menghendaki Afghanistan yang lemah dan pemerintahan yang bergantung kepada Islamabad sehingga tetap dapat menindaklanjuti kepentingannya di Kabul.

Ketiga, alasan Amerika tidak membantu memperkuat militer dan polisi nasional Afghanistan adalah AS dan NATO khawatir etnis Pashtun menguasai militer nasional dengan pandangan agamanya. Meski berdasarkan etnis, militar nasional Afghanistan akan terdiri dari 45 persen etnis Pashtun, 30 persen Tajik, 10 persen Hazareh, 10 persen Uzbek dan lima persen milik etnis lainnya, namun mengingat pengaruh dan hegemoni bersejarah Pashtun di tingkat politik dan militer Afghanistan, ada kekhawatiran di antara elit Barat bahwa bisa jadi dengan berkuasanya Pashtun di militer Afghanistan akan terbentuk tentara agamis dengan pola pikir radikal di negara ini.

Oleh karena itu, Amerika dan NATO bukan saja enggan bergerak memperkuat militer dan polisi nasional Afghanistan, tapi dengan klaim bahwa militer negara ini memiliki dukungan udara dan artileri Amerika serta NATO di berbagai operasi, menolak segala bentuk perubahan di peralatan militer pasukan Afghanistan, dan hingga detik-detik terakhir mereka masih membutuhkan dukungan udara militer AS dalam melawan Taliban.

Sementara sumber miilter Amerika senantiasa berbicara mengenai biaya beberapa juta dolar di militer Afghanistan.

Namun John Sopko, direktur kantor penyidik khusus AS untuk rekonstruksi Afghanistan (SIGAR), senantiasa menekankan berlanjutnya kendala militer Afghanistan dan menuding para komandan militer AS dan NATO menutupi masalah tersebut. Terakhir, ketika militer nasional Afghanistan terus mengalami kekalahan melawan serangan Taliban, pasukan Amerika dan NATO masih menolak fakta ini bahwa selama dua dekade lalu mereka tidak melakukan langkah untuk mempersenjatai militer Afghanistan dalam melawan teroris yang memiliki senjata lebih canggih dari militer Afghanistan.

Alasan lain untuk keruntuhan yang cepat dari Tentara Nasional Afghanistan adalah kurangnya kesatuan pasukannya di seluruh negeri sebagai kekuatan terorganisir. Meskipun tentara Afghanistan seharusnya memiliki 350.000 tentara, beberapa dari pasukan ini ditempatkan sebagai pasukan paramiliter di berbagai bagian Afghanistan, seperti Kunduz, Maymana, Helmand, Paktika dan Kunar, sebagian besar beroperasi bersama pasukan asing dan bahkan gajinya pun didapat dari mereka. Di kondisi seperti ini, harapan untuk memiliki sebuah pasukan kuat dan modern di bawah komando pusat di Afghanistan adalah harapan sia-sia dan sangat disayangkan para teknokrat pro Barat yang berkuasa di Kabul, juga tidak melakukan langkah-langkah serius untuk mengorganisir dan memperkuat tentara nasional Afghanistan sebagai sebuah kesatuan.

Sementara itu, elit Barat telah menggunakan klaim palsu untuk membenarkan kekalahan Tentara Nasional Afghanistan melawan Taliban, yang tidak memiliki dasar rasional, termasuk bahwa militer Afghanistan telah lelah akibat perang saudara selama dua dekade terakhir, atau bahwa tentara Afghanistan tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan senjata modern karena sebagian besar militer Afghanistan buta huruf yang tidak dapat menerima pelatihan yang diperlukan.

Namun Jend. Zahir Azimi, jubir tentara Afghanistan saat itu seraya menepis klaim ini, berulang kali berbicara mengenai kekuarangan persenjatan militer Afghanistan khususnya angkatan udara.

Sekaitan dengan ini, Nik Mohammad Kaboli, pengamat militer di Afghanistan saat mengevaluasi kondisi dan peralatan militer Tentara Nasional Afghanistan meyakini bahwa pasukan Afghanistan tidak mampu melawan serangan teroris karena mereka tidak memiliki peralatan militer yang diperlukan, dan oleh karena itu, tidak mampu melawan ancaman keamanan tanpa bantuan pihak lain, dan senantiasa membutuhkan dukungan udara AS dan NATO.

Sekitar satu dekade yang lalu, ketika isu penarikan pasukan asing dari Afghanistan dan pengalihan tanggung jawab keamanan ke Tentara Nasional Afghanistan diangkat, NATO mengubah tujuan kehadirannya di negara itu untuk melatih dan mendukung Tentara Nasional Afghanistan, tetapi dalam prakteknya dunia jelas mengerti klaim seperti itu tidak lebih dari kebohongan, dan bahkan di hari-hari terakhir jatuhnya berbagai negara bagian Afghanistan ke tangan Taliban, NATO menerbitkan laporan yang mengklaim bahwa mereka sedang melatih pasukan khusus Afghanistan di Turki. Padahal NATO dan Amerika memiliki banyak pangkalan di Afghanistan, maka isu pelatihan pasukan khusus Tentara Nasional Afghanistan di Turki patut untuk direnungkan dan diperhatikan, yang akhirnya mengungkapkan ketidakefektifan pelatihan tersebut.

Bagaimana pun juga, berbagai laporan yang diterbitkan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa potensi dan perlatan militer angkatan udara militer Afghanistan hanya sebatas beberapa helikopter hadiah dari India dan sejumlah pesawat lama serta senjata angkatan darat Tentara Nasional Afghanistan adalah senjata M1 dan Kalashnikov yang dibeli dari sekutu Uni Soviet.

Sementara Amerika dan NATO mengklaim bahwa Tentara Nasional Afghanistan siap dan telah dipersenjatai untuk melawan teroris. namun petinggi Afghanistan termasuk Hamid Karzai, mantan presiden negara ini berulang kali menytakanb ahwa senjata yang dimiliki teroris lebih maju dari senjata Tentara dan Polisi Nasional Afghanistan.

 

Larinya Presiden Afghanistan, Mohammad Ashraf Ghani dan penaklukan mayoritas wilayah negara ini oleh Taliban tanpa pertumpahan darah, membuat kebijakan AS di kawasan ini semakin dipertanyakan.

Mengingat lobi petinggi Gedung Putih dengan para pemimpin dan petinggi negara-negara di Asia Tengah, sepertinya Amerika menempatkan untuk sementara pasukannya di salah satu negara Asia Tengah dengan tujuan kembali lagi ke Afghanistan.

Tapi sepertinya tujuan utama Amerika adalah merelokasi sejumlah ekstrimis dan teroris Takfiri khususnya anggota kelompok teroris Daesh (ISIS) di Suriah ke negara-negara Asia Tengah.

Namun kewaspadaan para pemimpin Asia Tengah mencegah terlaksananya rencana busuk dan konspirasi elit politik Barat di tingkat kawasan ini.

Faktanya, para pemimpin Asia Tengah secara tidak sengaja menunjukkan kecerdasan mereka kepada para pemimpin hegemonik dengan menanggapi secara negatif tuntutan AS yang berulang. Dengan kata lain, ini adalah kecerdasan para pemimpin Asia Tengah di hadapan konspirasi sistematis Amerika khususnya terkait relokasi ekstrimis dan teroris Takfiri yang diawasi oleh negara ini dan sejumlah rezim reaksioner Arab Teluk Persia dari Afghanistan ke negara-negara Asia Tengah.

Para pemimpin Asia Tengah pertama-tama menyadari fakta bahwa janji-janji pejabat AS tidak kredibel. Para pemimpin Gedung Putih bahkan mengkhianati sekutu terdekat mereka, Mohammad Ashraf Ghani, yang selama kepresidenannya di Afghanistan selalu menjadi dalang plot AS di kawasan itu dan menolak untuk menerimanya di Amerika Serikat. Para pemimpin Asia Tengah telah menyadari fakta bahwa mereka tidak bisa mempercayai janji di balik layar para pemimpin negara ini.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintahan "Ashraf Ghani" yang digulingkan sementara mempercayai Amerika Serikat dan melaksanakan instruksi para pejabat dan lembaga keamanan dan spionase negara ini, melakukan upaya besar untuk melaksanakan tuntutan Amerika di negara ini juga melawan pemerintahan independen di tetangga Afghanistan dengan melakukan tekanan berat terhadap rakyat tertindas Afghanistan.

Langkah Amerika ini menunjukkan bahwa negara-negara kawasan tidak dapat mempercayai Amerika. Banyak pengamat dan pakar mengkritik kebijakan Amerika di Afghanistan dan para pemimpin negara-negara kawasan merekomendasikan untuk menjahui negara hegemonik ini.

Misalnya Doğu Perinçek, ketua Partai Watan Turki dan salah satu pakar terkenal Turki seraya mengkritik kebijakan keliru imperialis AS di Afghanistan menekankan, "Sikap Amerika di Afghanistan kembali membuktikan Washington tidak dapat dipercaya."

Amerika Serikat dan sekutunya dengan dalih memerangi terorisme dan menjamin stabilitas dan keamanan di Afghanistan, pada tahun 2001 menduduki negara ini. Selama tahun-tahun pendudukan Afghanistan oleh Amerika dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), para penjajah selama dua dekade pendudukannya di Afghanistan selain mampu mengobarkan perang saudara dan konfrontasi antar-partai dan kelompok politik serta milisi etnis, telah menghancurkan seluruh infrastruktur ekonomi Afghanistan.

Faktanya, pemerintah Amerika tidak mampu menunaikan janjinya selama menduduki Afghanistan, tapi malah berhasil mengobarkan instabilitas, terorisme dan meningkatkan produksi narkotika di negara ini. Bagaimana pun juga Amerika setelah 20 tahun menduduki Afghanistan mengumumkan bahwa pasukannya akan keluar dari Afghanistan hingga 11 September 2021.

Sebagai kelanjutan permintaan pemerintah gagal AS di Afghanistan, pemerintah Washington meminta Tajikistan, Uzbekistan dan Kazakhstan menerima sementara sembilan ribu pengungsi Afghanistan yang telah bekerja sama dengan militer Amerika selama pendudukan.

Bloomberg seraya mempublikasikan permintaan Amerika ini, di artikelnya menulis, "Pengungsi potensial Afghanistan khawatir bahwa setelah keluarnya pasukan Amerika dari negara mereka akan dibalas oleh warga dan milisi bersenjata Taliban."

Menurut laporan yang diterbitkan oleh media Amerika ini, jumlah pemohon visa khusus AS mendekati 18.000 orang. Tetapi 9.000 tentara lokal AS di Afghanistan telah mempersiapkan dan menyerahkan proses pendaftaran, tetapi hampir 9.000 lainnya telah memulai proses pendaftaran.

Sekaitan dengan ini Ned Price, jubir Kemenlu AS tidak berbicara secara pasti mengenai pengungsi Afghanistan yang bekerja sama dengan Amerika, ke negara bagian mana mereka akan dipindahkan. Diplomat Amerika ini mengatakan, "Pengungsi Afghanistan dan keluaga mereka memiliki waktu untuk meninggalkan negaranya sebelum penarikan penuh pasukan Amerika di bulan September."

Penentangan Kongres AS terhadap usulan Menteri Luar Negeri untuk meningkatkan jumlah visa khusus bagi warga Afghanistan telah memaksa pemerintah AS untuk berunding dengan Tajikistan, Uzbekistan dan Kazakhstan untuk menampung sementara 9.000 pengungsi Afghanistan.

Mengingat penarikan pasukan AS dari Afghanistan, yang tampaknya terpaksa meninggalkan negara itu karena takut akan Taliban, seperti presiden Afghanistan yang digulingkan, mereka masih tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan ribuan orang Afghanistan yang bekerja dengan pasukan AS dan keluarga mereka.

Sementara itu, para pemimpin Asia Tengah yang berpandangan negatif terhadap pemerintahan baru Afghanistan berusaha mendukung pembentukan pemerintahan rakyat dengan partisipasi semua suku dan agama di Afghanistan. Terkait hal ini, Kementerian Luar Negeri Uzbekistan mengeluarkan pernyataan yang mendukung kesiapan kekuatan internal internal Afghanistan untuk membentuk pemerintahan baru. Kementerian Luar Negeri Uzbekistan mengatakan dalam sebuah pernyataan:

"Uzbekistan optimis tercapainya perdamaian komprehensif di Afghanistan dalam koridor perundingan internal Afghanistan-Afghanistan."

Lembaga diplomatik Uzbekistan juga berharap, "Transisi kekuasaan di Afghanistan berdasarkan sebuah konsensus publik dan dengan memperhatikan norma-norma yang diterima hukum internasional dan dilakukan dengan damai."

Tetangga lain Afghanistan, yakni Tajikistan juga sangat sensitif atas berkuasanya pemerintah baru di Afghanistan. Presiden Tajikistan, Emomali Rahmon kepada pihak Eropa mengatakan, "Tajikistan sebagai negara tetangga terdekat Afghanistan tidak akan mengakui pemerintah lain yang tidak mengadopsi kehendak seluruh rakyat Afghanistan dan perwakilan luas seluruh bangsa termasuk etnis Tajik, Hazarah, Uzbek, Turkman dan seluruh etnis minoritas lainnya yang hidup di negara ini."

Faktanya presiden Tajikistan menekankan, hanya akan mengakui pemerintah baru Afghanistan ketika seluruh etnis minoritas terlibat di pemerintahan baru Afghanistan.

Para pemimpin lain di negara Asia Tengah juga menunjukkan sikap serupa terkait pemerintah baru Afghanistan. Negara-negara ini dari satu sisi khawatir atas pelanggaran komitmen Taliban dan dari sisi lain, sangat khawatir atas eskalasi arus radikalisme di Asia Tengah. Kekhawatiran pemerintah Asia Tengah terjadi ketika pemerintah baru Afghanistan pimpinan Taliban di sejumlah kasus memberi janji kepada tetangga Afghanistan bahwa mereka akan menghindari terulangnya tragedi di masa lalu.

Dalam hal ini, tidak boleh dilupakan peran Rusia di bidang penyadaran para pemimpin Asia Tengah. Petinggi Moskow selama beberapa bulan terakhir seraya menggelar lobi dengan petinggi Asia Tengah, juga berusaha menguak sebagian tujuan busuk Amerika di kawasan.

Bahkan sebagian pengamat Asia Tengah juga ikut menguak peran Amerika dalam mengobarkan krisis di berbagai pemerintahan ini.

Misalnya Torar Karimov, pengamat politik Kazakhstan menilai gagalnya kesepakatan antara petinggi Dushanbe dan Bishkek serta berlanjutnya konflik perbatasan antara Tajikistan dan Kazakhstan akibat intervensi langsung dan tak langsung pemerintah Barat, khususnya Amerika Serikat.

Pengamat politik ini di analisanya membahas topik mengapa di perbataasn Tajikistan dan Kazakhstan terjadi konflik ? Torar Karimov, mengingat upaya AS untuk menebar pengaruhnya di media Asia Tengah, meyakini, "Barat tengah menciptakan jaringand an media yang dapat dikontrol."

Pakar ini juga mengisyaratkan pengalaman peran pengaruh Barat di media Moldova dan menjelaskan bahwa pemerintah Barat khususnya AS berusaha mempengaruhi pemerintahan di Asia Tengah dengan memanfaatkan pengalaman Moldova.

Kesimpulan umum dari upaya tak kenal henti dinas keamanan dan intelijen AS serta sekutunya adalah pemerintah di Asia Tengah di tahap awal harus menjaga wilayah perbatasannya, karena kerusuhan dan konfrontasi di willayah perbatasan Afghanistan dengan negara-negara Asia Tengah termasuk skema Amerika untuk melawan negara-negara kawasan in, di mana skema ini akan dilancarkan setelah penarikan pasukan AS dari Afghanistan.

Minggu, 29 Agustus 2021 13:33

Jet Tempur Rezim Zionis Bombardir Gaza

 

Pesawat tempur rezim Zionis kembali melancarkan serangan udara di Jalur Gaza.

Kantor berita Palestina Shahab Minggu (29/8/2021) melaporkan bahwa pesawat nirawak Israel menyerang daerah Salah al-Din di wilayah tengah Jalur Gaza.

Media Zionis mengklaim serangan di Jalur Gaza sebagai tanggapan atas demonstrasi warga Palestina dan pengiriman bola api di perbatasan dengan pemukiman Zionis.

Pemuda Palestina kembali mengirim bola api dari Gaza ke wilayah pendudukan pada Sabtu malam sebagai protes atas berlanjutnya blokade Gaza dan aksi sabotase Israel terhadap bantuan Qatar ke Gaza.

Para pemuda Palestina sebelumnya telah memperingatkan akan melanjutkan aksi perlawanan termasuk dengan mengirim bola api, jika Israel masih melanjutkan blokade Gaza.

 

Gerakan Asaib Ahl al-Haq di Irak menyambut baik posisi Republik Islam Iran pada pertemuan di Baghdad.

Menurut TV Al-Ghad, Salem al-Abadi, Kepala Kantor Politik Gerakan Asaib Ahl al-Haq Minggu (29/8/2021) pagi menyebut Iran adalah satu-satunya negara yang menegaskan penarikan pasukan AS dari Irak pada KTT Baghdad.

Kepala kantor politik gerakan Asaeb Ahl al-Haq menilai KTT Baghdad sebagai pertemuan seremonial dan tidak memiliki solusi nyata untuk Irak dan kawasan.

Al-Abadi mengatakan bahwa beberapa negara yang berpartisipasi dalam KTT Baghdad berbicara tentang upaya untuk membantu Irak mengatasi terorisme.

Kepala kantor politik gerakan Asaeb Ahl al-Haq menekankan bahwa pertemuan di Baghdad tidak menyebutkan agresi Turki di tanah Irak.

KTT Baghdad diadakan pada hari Sabtu di ibu kota Irak, Baghdad, dengan partisipasi sembilan negara yaitu: Mesir, Iran, Arab Saudi, Yordania, Qatar, UEA, Kuwait, Turki, dan Prancis.

Para peserta pertemuan memuji upaya dan pengorbanan rakyat Irak dalam memerangi terorisme dan menekankan perlunya menentang segala bentuk terorisme.

 

Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran, Hossein Amir-Abdollahian hari ini bertolak ke Suriah untuk melanjutkan lawatan regionalnya.

Menlu Iran, Hossein Amir-Abdollahian dari Baghdad melanjutkan perjalanannya menuju Damaskus hari ini, Minggu (29/8/2021) untuk bertemu dengan para pejabat tinggi Suriah.

Amir Abdullahian dalam perjalanan luar negeri pertama sebagai menteri luar negeri Iran melakukan perjalanan ke Irak pada hari Sabtu untuk menghadiri KTT Baghdad untuk mendukung negara tetangganya itu.

Sebelum kunjungannya ke Baghdad, Menteri Luar Negeri Iran mengatakan,"Kami menyambut setiap inisiatif regional oleh pejabat Irak dengan partisipasi masyarakat di kawasan,".

 

Kapal bahan bakar minyak dari Iran untuk Lebanon memasuki Terusan Suez.

Media Lebanon, LBC hari Minggu (29/8/2021) melaporkan, tujuan kapal yang membawa bahan bakar minyak yang dikirim dari Iran ke Lebanon berlabuh di pelabuhan Suriah, Banias.

Menurut laporan ini, dari 5 hingga 10 September 2021, kapal ketiga yang membawa bahan bakar Iran akan berangkat ke Lebanon.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Hizbullah Lebanon Sayid Hassan Nasrullah dengan keras memperingatkan setiap serangan terhadap tanker bahan bakar yang bergerak dari Iran ke negara itu.

Krisis bahan bakar di Lebanon telah meningkat dalam beberapa pekan terakhir ke titik kritis hingga memicu pemadaman listrik yang memaksa beberapa rumah sakit, toko roti, perusahaan dan layanan utama lainnya untuk ditutup, karena kekurangan  bahan bakar.

 

Menteri Luar Negeri Turki, Mevlüt Çavuşoğlu menyatakan negaranya tidak akan pernah menerima keberadaan Partai Buruh Kurdistan (PKK) di Irak.

Menlu Turki, Mevlüt Çavuşoğlu dalam Konferensi Kemitraan dan Kerja Sama Baghdad hari Sabtu (29/8/2021) mengatakan bahwa Turki tidak akan pernah memberikan tempat bagi terorisme. 

"Turki termasuk negara yang berperang melawan kelompok teroris seperti Daesh, PKK, YPG dan Fethullah Gulen," ujar Cavusoglu.

"Organisasi teroris yang dibenci (PKK) ini juga mengancam keamanan kawasan dan kami mengharapkan semua negara sahabat dan tetangga untuk mendukung Turki dalam memerangi kelompok teroris ini," tegasnya

Menurut Menlu Turki, persatuan dan solidaritas kawasan mengarah pada pertumbuhan dan perkembangan bersama. 

Serangan ilegal tentara Turki terhadap posisi PKK di wilayah Irak utara telah berulang kali dikecam oleh pejabat Baghdad, yang menilainya sebagai sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan dan integritas teritorial Irak.

Turki juga dikecam oleh pemerintah Suriah karena dianggap melanggar kedaulatan wilayahnya dengan melancarkan serangan terhadap negara tetangganya itu, dan mendukung milisi yang beroperasi di Suriah.

Minggu, 29 Agustus 2021 13:31

Soal Blokade Gaza, Hamas Peringatkan Israel

 

Gerakan Muqawama Islam Palestina (Hamas) menegaskan bahwa rezim Zionis Israel bertanggung jawab atas segala bentuk konsekuensi kelanjutan blokade terhadap Jalur Gaza dan meningkatnya krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.

"Kebijakan agresif rezim Zionis terhadap Gaza mendorong situasi di wilayah ini ke arah peningkatan ketegangan dan bentrokan," kata juru bicara Hamas Fawzi Barhoum, Minggu (29/8/2021) seperti dilansir Pusat Informasi Palestina.

Dia menambahkan, dalam keadaan apa pun, rakyat Palestina tidak akan menerima kebijakan rezim pendudukan Zionis dan pelanggarannya terhadap hak-hak nasional Palestina, dan bangsa Palestina juga akan terus berjuang untuk mengembalikan hak-hak mereka yang dirampas.

Jubir Hamas meminta semua pihak untuk memenuhi tanggung jawab mereka dan menekan rezim Zionis untuk mengakhiri pengepungan brutal terhadap Gaza.

"Jika penduduk Gaza tidak mencapai kehidupan yang bebas dan terhormat, penjajah Zionis tidak akan pernah melihat warna ketenteraman," pungkasnya.

Media Israel melaporkan pada Minggu pagi bahwa pesawat tempur dan drone Israel telah menyerang Gaza. Drone Israel menyerang daerah Salah al-Din di pusat Gaza.

Rezim Zionis Israel telah memblokade Gaza dari darat, laut dan udara sejak 2006. Blokade ini telah menimbulkan beragam masalah bagi warga Palestina di Gaza.

 

Mengacu pada situasi di Afghanistan saat ini, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei, Pemimpin Besar Revolusi Islam, menekankan dukungan Iran untuk rakyat negara itu.

Ayatullah Khamenei dalam pertemuan dengan pertemuan dengan Presiden Iran Sayid Ebrahim Raisi dan anggota kabinetnya pada hari Sabtu (28/08/2021), menyebut Afghanistan sebagai negara saudara, yang memiliki bahasa, agama dan budaya yang sama dengan Iran.

Ayatullah Khamenei juga mengungkapkan penyesalan yang mendalam atas masalah, kesulitan, dan penderitaan yang dihadapi oleh rakyat Afghanistan, seperti serangan bom di Bandara Internasional Kabul pada Kamis lalu.

Pertemuan Rahbar dengan Presiden Iran Sayid Ebrahim Raisi dan anggota kabinetnya
"Masalah dan kesulitan ini adalah (hasil) pekerjaan Amerika yang menduduki Afghanistan selama 20 tahun dan memaksakan segala bentuk penindasan terhadap rakyat negara ini," jelas Rahbar.

Pemimpin Besar Revolusi Islam juga menyebutkan efek negatif dari kehadiran AS di Afghanistan, termasuk pemboman acara pernikahan dan pemakaman, pembunuhan anak muda, pemenjaraan banyak orang yang tidak dapat dibenarkan, dan puluhan kali lipat peningkatan produksi narkoba.

"Amerika Serikat belum mengambil satu langkah pun untuk kemajuan Afghanistan, dan Afghanistan hari ini,  jika dalam hal kemajuan sipil tidak ketinggalan dari 20 tahun lalu, namun juga tidak lebih maju, ungkap Rahbar.

Mengenai sikap Republik Islam Iran, Rahbar menyatakan, "Kami mendukung rakyat Afghanistan karena pemerintah datang dan pergi seperti di masa lalu, tetapi orang-orang Afghanistan tetap."

Pernyataan Ayatullah Khamenei tentang rapor AS yang gagal di Afghanistan setelah 20 tahun pendudukan menunjukkan bahwa, seperti yang telah diprediksi oleh Republik Islam Iran dalam beberapa tahun terakhir, Amerika Serikat terpaksa meninggalkan tanah air Afghanistan dengan penuh malu setelah gagal penuh dalam perang melawan ekstremisme di negara ini.

Gedung Putih mengakhiri kehadiran militernya di Afghanistan setelah dua dekade pendudukan negara ini. Amerika Serikat tidak dapat menerapkan slogan dan janji-janjinya di negara itu.

Ayatullah Khamenei juga mengungkapkan penyesalan yang mendalam atas masalah, kesulitan, dan penderitaan yang dihadapi oleh rakyat Afghanistan, seperti serangan bom di Bandara Internasional Kabul pada Kamis lalu.
Warisan Amerika Serikat selama tahun-tahun pendudukan Afghanistan adalah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki yang terjadi pada pembunuhan orang-orang yang tidak bersalah serta penghancuran infrastruktur dasar negara ini, yang telah mengekspos wajah licik para penguasa Gedung Putih kepada dunia.

Dalam dua dekade kehadiran yang tidak bermanfaat di Afghanistan, Amerika Serikat justru menyebarkan terorisme dan narkotika di negara itu, yang telah menyebabkan bantuan keuangan internasional ke Afghanistan berada dalam siklus penyalahgunaan oleh perusahaan asing. Alokasi bantuan ini menjadi sia-sia dan untuk proyek-proyek yang tidak perlu.

Sebagaimana yang dikatakan Rahbar, tindakan AS menyebabkan Afghanistan tertinggal dalam hal kemajuan sipil dan pembangunan dari 20 tahun yang lalu.

Penarikan pasukan AS dari Afghanistan sebenarnya telah memberikan kesempatan kepada masyarakat, aktivis politik dan kelompok etnis dan agama di negara ini. Mereka dapat mengesampingkan perbedaan dan kepentingan kelompok yang terbatas, dengan bertumpu pada prinsip dialog dan konsensus pada kepentingan nasional, dan itu akan menjadi sarana yang baik untuk pembentukan pemerintahan yang inklusif di Afghanistan.

Dalam beberapa dekade terakhir, ketika Afghanistan terlibat dalam perang saudara atau pendudukan asing, garis tetap kebijakan Republik Islam Iran selalu menjadi pendukung setia rakyat Afghanistan. Kebijakan strategis ini terkadang mengambil bentuk menerima pengungsi Afghanistan di dalam Iran atau membantu membangun kembali negara itu setidaknya selama dua dekade terakhir.

Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei, Pemimpin Besar Revolusi Islam
Sekarang Taliban telah menguasai Afghanistan dan menekankan pembentukan pemerintahan inklusif di negara ini. Sementara Iran masih menganggap dukungan atas rakyat Afghanistan sebagai indikator utama kebijakannya terhadap negara ini. Iran percaya bahwa semua upaya di Afghanistan harus dalam rangka meningkatkan standar hidup masyarakat, khususnya jaminan keamanan yang bersandar pada kemauan internal.

 

Republik Islam Iran menyatakan dukungannya terhadap pemerintah dan bangsa Irak serta atas hal-hal yang berkaitan dengan keputusannya di bidang urusan dalam negeri termasuk penarikan pasukan asing dan penyelenggaraan pemilu dini.

Menteri Luar Negeri Iran, Hossein Amir Abdollahian Sabtu (28/8/2021) di sidang regional mendukung Irak, di pidatonya seraya menekankan masalah ini menjelaskan, Irak baru yang bebas dari terorisme, saat ini membutuhkan rekonstruksi dan pengokohan internal serta peluasan dan peningkatan kerja sama di kawasan, serta Republik Islam Iran seraya mendukung stabilitas, keamanan, independensi, integritas wilayah, kehormatan, kekuatan dan peningkatan posisi regional dan internasional Iran, siap memperluas kerja sama bilateral dan regional di bidang ini.

Statemen menlu Iran di pertemuan Baghdad mengisyaratkan tantangan yang dialami kawasan selama lebih dari dua dekade dan Irak juga salah satu negara yang mengalami kerusakan serius di proses ini, namun ini bukan berarti ada kebuntuan untuk keluar dari kondisi rumit negara ini.

Irak mengalami banyak kendala dan tantangan akibat intervensi asing, termasuk perang, instabilitas dan kekacauan. Di kondisi seperti ini, interaksi dan kerja sama antara negara-negara kawasan tanpa intervensi asing merupakan syarat utama untuk menerapkan keamanan permanen di kawasan.

Presiden Iran, Sayid Ebrahim Raisi di kontak telepon terbarunya dengan Perdana Menteri Irak, Mustafa al-Kadhimi menjelaskan bahwa dirinya senantiasa mendukung prakarsa dan langkah yang mendorong stabilitas kondisi di Irak dan peningkatan peran negara ini di kawasan, serta kami akan terus mendukung.

Seraya menekankan bahwa negara-negara kawasan mampu merancang dan menjalankan peta jalan untuk meraih keamanan, stabilitas dan perdamaian berkesinambungan melalui kerja sama, mengingatkan, intervensi asing di urusan kawasan bukan peluang untuk menciptakan keamanan, stabilitas dan pembangunan serta kemajuan.

Pidato menlu Iran di pertemuan Baghdad juga mengingatkan urgensitas kerja sama politik dan keamanan regional.

Para pengamat media menilai pidato menlu Iran dari sisi ini membawa pesan bagi pihak-pihak yang hadir di pertemuan Baghdad.

Menlu Iran menilai keberadaan pasukan asing sebagai faktor tantangan di kawasan dan menekankan, selama Amerika dan pihak asing tidak keluar dari wilayah ini, kawasan tidak akan tenang.

Mayoritas media Irak menekankan sebagian pidato Amir Abdollahian bahwa keamanan keamanan tidak dapat direalisasikan kecuali melalui kepercayaan timbal balik antara negara-negara kawasan dan Tehran mendukung peran Irak dalam menyebarkan metode negosiasi dan perundingan.

Mengingat peristiwa keamanan regional selama beberapa tahun terakhir, Irak mencicipi pengalaman buruk atas kehadiran pasukan Amerika di negara ini.

Adnan Siraj, pakar politik Irak meyakini bahwa Irak sangat ditekan Amerika dan masalah ini membayangi hubungan Baghdad dengan negara-negara tetangga.

Irak kini membutuhkan rekonstruksi dan perluasan hubungan regional, dan pertemuan Baghdad membenarkan upaya negara ini untuk menciptakan peluang kerja sama dan interaksi di antara negara-negara kawasan.

Hossein Amir Abdollahian saat bertemu dengan Presiden Irak, Barham Salih dan ketika menjawab kebutuhan ini menekanan dukungan Republik Islam Iran atas independensi, kedaulatan nasional dan integritas wilayah Irak. Statemen menlu Iran di pertemuan Baghdad dan di pertemuan yang digelar di sela-sela sidang ini sejatinya indikasi sikap Iran yang sangat mementingkan stabilitas dan keamanan Irak.

Republik Islam Iran senantiasa mendukung dialog regional dan berusaha mengajak negara-negara lain ke pengaturan regional seperti ini.