
کمالوندی
Nasihat Imam Husein as: Belajar dari Nasib Orang Lain
Belajar dari Nasib Orang Lain
Imam Husein as berkata:
"Wahai anak Adam! Berpikirlah dan katakan kepada dirimu sendiri, kemana perginya para raja dan pengumpul harta dunia? Mereka telah memakmurkan dunia, menggali sungai, menanam pohon dan membangun kota. Pada akhirnya mereka berpisah dengan semua itu dalam kondisi yang tidak baik. Sementara sekelompok yang lain mencengkeram dan menguasai semuanya. Kita dengan segera akan bergabung dengan mereka.
Wahai anak Adam! Ingatlah akan kematianmu. Lihatlah tempatmu di kuburan. Perhatikan tempat persinggahanmu di sisi Allah Swt. Pada waktu itu anggota badanmu akan bersaksi yang merugikanmu. Hari ketika langkah manusia tergelincir, jiwa manusia telah sampai di tenggorokannya, ada wajah yang putih dan bercahaya dan ada yang kelihatan kelam. Segala yang batin dan tersembunyi menjadi tampak dan timbangan keadilan Allah telah ditegakkan.
Wahai anak Adam! Ingatlah akan kematian ayah dan anakmu. Bagaimana mereka sebelum ini dan sekarang berada di mana. Seakan-akan engkau juga akan segera berada di tempat mereka dan dengan itu, engkau menjadi pelajaran bagi orang lain." (Hassan bin Mohammad Dailami, Irsyad al-Qulub, Qom, Entesharat Sharif Razi, 1305 Hq, jilid 1, hal 29) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Pandha-ye Emam Hossein.
Dunia Lisan: Memberikan Semangat
Memberikan Semangat
Salah satu aktifitas lisan adalah memberikan semangat. Memberikan semangat sama seperti kebanyakan anasir dunia lisan, yakni perkara yang memiliki dua sisi; baik dan buruk.
Memberikan semangat yang bersifat baik ada manfaatnya dan berpengaruh bahkan bisa memberikan jalan keluar. Akan tetapi memberikan semangat yang bersifat buruk selain membayakan juga merusak dan dilarang.
Dalam sebuah riwayat, memberikan semangat yang bersifat buruk disebut dengan "Qaul Zuur".
Muhaddis Nouri menukil sebuah riwayat dengan topik "Shahihah Himad". Hadis itu berbunyi demikian:
Dia berkata, "Saya bertanya kepada Abu Abdillah tentang apa itu Qaul Zuur?" Beliau menjawab, ‘Satu di antaranya adalah memberikan selamat dan semangat kepada penyanyi."
Dari sini jelas bahwa memberikan semangat harus dilihat dan diteliti terlebih dahulu akhir akibat dan dampaknya. (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
Sumber: Donya-ye Zaban; 190 Gonah Zaban, Kareem Feizi, Qom, Tahzib, 1386, cetakan ke-4.
Nasihat Imam Husein as: Hakikat Kematian
Hakikat Kematian
Imam Husein as berkata:
"Kematian tidak lebih dari sebuah jembatan yang mengantarkan kita dari segala kesulitan menuju surga dan nikmat yang abadi. Siapa dari kalian yang tidak ingin dipindahkan dari penjara ke gedung yang indah? Sementara kematian bagi musuh-musuhmu sama seperti orang yang dipindahkan dari gedung ke penjara dan tempat penyiksaan. Karena ayahku meriwayatkan dari Rasulullah Saw, beliau bersabda, ‘Dunia merupakan penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.' Dan kematian merupakan jembatan yang membawa orang mukmin ke surga dan orang kafir ke neraka." (Shaduq, Ma'ani al-Akhbar, Tehran, Dar al-Kitab al-Islamiyah, 1361, cet 2, hal 288)
Setiap manusia akan merasakan kematian dan meninggal dunia yang fana ini menuju tempat tinggal abadi. Kematian merupakan sebuah tahapan dari pengaturan ilahi dan gerak perpindahan manusia ke dunia akhirat. Dunia yang ditinggali saat ini bukan tempat asli dan abadi manusia, tapi hanya tempat ujian besar yang segera berakhir. Setelah berakhirnya ujian itu, manusia akan menuju akhirat dan mendapatkan tempatnya di sana sesuai dengan yang telah dilakukannya selama di dunia.
Dengan melihat dunia sebagai tempat ujian dan persinggahan sementara, ketakutan akan kematian berasal dari dua hal; tidak mengenal dengan benar hakikat kematian dan kebergantungan manusia dengan dunia. Dua sebab ini membuat manusia kesulitan untuk memisahkan dirinya dari dunia.
Tapi tidak demikian dengan orang-orang yang menjalani jalur kebenaran dan hakikat di dunia yang terbatas ini, dan tidak pernah lupa mengingat Allah dan menaatinya, maka mereka tidak pernah merasakan takut menghadapi kematian. Bahkan dalam banyak kasus mereka menyongsong kematian, sehingga ruh dan jiwa mereka yang terpenjara di dunia ini bebas terbang ke alam Malakut dan berada di surga yang abadi.
Bersegera Mencari Kebahagiaan
Imam Husein as berkata:
"Hiduplah dengan nilai-nilai akhlak dan bersegera meraih modal bagi kebahagiaan. Jangan menghitung-hitung perbuatan yang tidak dilakukan dengan segera." (A'lam ad-Din, hal 298, Bihar al-Anwar, jilid 75, hal 121) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Pandha-ye Emam Hossein.
110 Keutamaan Imam Ali as: Puasa Ghadir
Puasa Ghadir
Imam Shadiq as berkata, "Berpuasa di hari Ied Ghadir Khum dapat menjadi penghapus dosa 60 tahun." (Misbah al-Mutahajjid, hal 736)
Hari Gembira
Imam Shadiq as berkata, "Hari Ghadir merupakan hari besar yang harus diperingati dan dihormati oleh orang-orang mukmin. Hari itu adalah hari gembira dan berpuasa syukur untuk Allah Swt." (al-Ghadir, jilid 1, hal 286)
Hari Raya Tuhan
Imam Shadiq as berkata, "Berpuasa di hari Ghadir Khum sama dengan berpuasa sepanjang usia dunia." Setelah itu beliau berkata, "Ied Ghadir Khum merupakan hari besar ilahi ... Melaksanakan setiap shalat di hari Ied Ghadir Khum sama dengan 100 ribu shalat. Sementara berinfak satu dirham di hari itu di jalan Allah sama dengan berinfak satu juta dirham." Imam kemudian dengan nada bertanya mengatakan, "Mungkin kalian beranggapan bahwa Allah Swt telah menciptakan hari yang dari sisi kebesaran dan kehormatan lebih dari hari Ied Ghadir Khum?" Imam Shadiq as sendiri menjawab, "Demi Allah! Tidak demikian." (Wasail as-Syiah, Alu al-Bait, jilid 8, hal 89)
Ali as Yadullah dan Ainullah
Allamah Amini dalam sebuah perjalanan, di sebuah pertemuan yang dilakukan bersama ulama Ahli Sunnah, beliau berdialog dan membahas masalah dengan mereka. Seorang dari ulama Ahli Sunnah mengatakan, "Kalian orang Syiah telah berlebih-lebihan tentang Ali as dan bersikap ghuluw terkaitnya. Sebagai contoh kalian menyebutnya sebagai "Yadullah".
Allamah Amini menjawab, "Kebetulan kami memiliki bukti dari dokumen dan buku-buku kalian bahwa pribadi yang kalian yakini seperti Umar bin Khatthab yang menyebut Imam Ali as dengan "Yadullah" dan "Ainullah".
Ulama Sunni itu berkata, "Di mana?"
Allamah Amini dengan segera mengatakan, "Tolong bawakan buku ini kepadaku."
Mereka membawakan buku yang disebutkannya. Allamah kemudian mengambilnya lalu membukanya. Beliau membuka sebuah halaman dan menunjukkannya kepada orang yang bertanya tadi dengan ucapannya, "Ini dan bacalah!"
Pada halaman itu diriwayatkan:
"Suatu hari Imam Ali as sedang melakukan thawaf di Ka'bah. Pada waktu itu beliau melihat seseorang yang juga tengah melakukan thawaf tapi tengah memandang seorang perempuan non muhrim. Setelah thawaf, Imam Ali as memanggil orang itu dan dengan niat menegurnya, beliau menampar wajahnya.
Orang itu langsung memegang wajahnya sambil berteriak kesakitan. Ia lalu pergi menemui Umar bin Khatthab untuk mengadukan perbuatan Imam ali as. Ia berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin! Ali as menampar wajahku dan aku harus mengqishasnya. Mengapa ia memukulku?'
Umar bin Khatthab kemudian memerintahkan untuk menghadirkan Ali as dan kepadanya Umar berkata, ‘Mengapa engkau menampar orang ini?'
Imam Ali as berkata, ‘Saya menyaksikan orang ini memandang perempuan non muhrim.'
Umar kemudian berkata kepada orang itu, ‘Ainullah telah melihat dan Yadullah telah memukul.' Dengan ucapan ini Umar memastikan yang salah adalah orang itu.
Dengan demikian, Umar bin Khatthab sendirilah yang memakai istilah ini. (Qatreh-i az Darya, jilid 1, hal 20-21)
Wudhu dengan Air Kautsar
Dalam sebuah riwayat disebutkan, dalam sebuah perang yang diikuti oleh Imam Ali as, tiba waktu shalat. Beliau kemudian ingin berwudhu, tapi tidak menemukan air. Pada waktu itu malaikat Jibril membawa air dan beliau berwudhu dengannya. (al-Fushul al-‘Aliyyah, hal 80)
Habibullah
Rasulullah Saw bersabda, "Keika naik ke langit, saya melihat di surga tertulis ‘Laa Ilaaha Illallaah, Muhammad Rasulullah, Ali Habibullah'." (Imam Ali as dar Ahadis Qodsi, hal 115)
Perumpamaan Indah
Abu Ali Sina tentang Imam Ali as berkata, "Ia di antara makhluk seperti Ma'qul di antara Mahsus." (Tarjomeh va Tafsir Nahjul Balaghah, jilid 1, hal 181)
Tanda Kebohongan
Rasulullah Saw bersabda, "Hari Ied Ghadir Khum merupakan hari terbesar umatku. Pada hari itu Allah Swt memerintahkan aku untuk mengangkat saudaraku Ali bin Abi Thalib sebagai Imam bagi umatku dan pembawa bendera hidayah, sehingga agama ini mendapat bimbingan lewat dia..." Setelah itu beliau berkata, "Wahai manusia! Orang yang mencintai Ali, ia pasti mencintaiku dan setiap yang memusuhinya, pasti memusuhiku. Bohong orang yang menganggap dirinya mencintaiku, sementara ia memusuhi Ali." (Amali, hal 184)
Menghormati Ghadir
Imam Shadiq as berkata, "Allah Swt tidak mengutus seorang nabi, kecuali nabiitu merayakan hari ini (Ghadir) dan menghormati hari Ghadir." (Asrar al-Ghadir, hal 208-209)
Sumber: Hossein Deilami, Ghadir Khourshide Velayat, 1388, Qom, Moasseseh Entesharat Haram.
Nasihat Imam Husein as: Lima Prinsip Penting Kehidupan
Lima Prinsip Penting Kehidupan
Imam Husein as berkata:
"Barangsiapa tidak memiliki lima nikmat besar ini, berarti ia tidak dapat memanfaatkan banyak hal dari kehidupan; akal, agama, adab, rasa malu dan akhlak mulia." (Baqir Syarif Qurasyi, Hayah al-Imam al-Husein as, Qom, Dar al-Kutub al-‘alamiyah, 1398 Hq, cet 1, jilid 1, hal 181)
Semua manusia dengan berpikir dan bekerja berusaha untuk memanfaatkan lebih banyak dari kehidupannya, sehingga meraih kehidupan yang bahagia. Dengan demikian, sudah selayaknya kita melihat ucapan Ahli Bait as tentang faktor-faktor apa saja yang menyebabkan manusia dapat memanfaatkan lebih banyak dari kehidupan. Imam Husein as dalam ucapan penuh makna beliau menjelaskan lima nikmat yang harus dimanfaatkan untuk kehidupan yang bahagia:
Pertama adalah akal. Manusia yang hidup dengan memanfaatkan akalnya dapat memilih dan memilah antara kebaikan dan keburukan, serta mengidentifikasi jalur hidayah dari jalur kesesatan. Dengan memanfaatkan akalnya, manusia lebih memikirkan masa depannya dan untuk itu sejak di dunia ia menyusun program yang baik. Semua ini setidak-tidaknya telah membimbingnya kepada kebahagiaan.
Kedua adalah agama. Manusia yang memanfaatkan ajaran-ajaran agama baik terkait masalah pribadi, keluarga dan sosial dapat menjamin kehidupan ukhrawinya yang bahagia.
Ketiga adalah adab. Karena adab membuat setiap orang dalam kehidupan bermasyarakatnya dapat melewati semua kesulitan yang ada dan dapat menjauhkan dirinya dari rasa sombong.
Keempat adalah rasa malu. Orang yang memiliki rasa malu membuatnya menjaga batasan-batasan privasi dan melindungi manusia agar tidak terjerumus dalam perbuatan dosa.
Kelima adalah akhlak mulia. Karena manusia yang berakhlak mulia dapat menciptakan ketenangan jiwa bagi dirinya dan menebarkannya kepada keluarga dan masyarakat.
Dunia Lisan: Mencela Seseorang melalui Aib dan Dosanya
Mencela Seseorang melalui Aib dan Dosanya
Mencela seseorang dengan cara mengungkit dosa dan aibnya jelas merupakan perbuatan haram. Karena hal ini bertentangan dengan cara dan gaya hidup manusiawi Ahlul Bait Rasulullah Saw.
Dalam sebuah riwayat Imam Shadiq as berkata, "Barang siapa yang mencela seorang mukmin dengan cara mengungkit dosanya, maka Allah akan memperlakukannya seperti itu juga baik di dunia maupun di akhirat." (Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jilid 73, hal 384. Ushul Kafi, jilid 2, hal 356) (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
Sumber: Donya-ye Zaban; 190 Gonah Zaban, Kareem Feizi, Qom, Tahzib, 1386, cetakan ke-4.
Imam Hasan, Suluh Penerang Umat
Imam Hasan as adalah cucu pertama Rasulullah Saw dari Ali bin Abi Thalib as dan Sayidah Fathimah as. Beliau lahir pada pertengahan bulan Ramadhan tahun ke-3 Hijriah di kota Madinah. Ketika Rasul Saw diberi kabar tentang kelahiran cucu pertamanya itu, wajah beliau berseri-seri dan hatinya dipenuhi rasa gembira. Beliau bergegas menuju rumah Sayidah Fathimah as untuk melihat langsung cucunya itu. Sayidah Fathimah as langsung menyerahkan Imam Hasan as yang masih bayi kepada Rasulullah Saw. Setelah menggendongnya, Rasul Saw kemudian membacakan azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri Imam Hasan as. Ketika itu, malaikat Jibril as turun dan menyampaikan perintah Allah Swt kepada beliau agar menamakan cucu pertamanya dengan Hasan, yang berarti baik dan terpuji.
Imam Hasan as senantiasa mendampingi Rasulullah Saw. Terkadang ia duduk di pangkuan Nabi, terkadang pula beliau memikul cucu kesayangannya itu di pundaknya. Setiap kali wahyu turun, ia pun mendengar langsung dari bibir Rasulullah Saw dan menukilkannya untuk sang ibu, Sayidah Fathimah as. Semasa hidupnya, Nabi Saw menunjukkan kecintaan beliau yang sangat besar kepada anak-anak Fathimah. Suatu kali, Fathimah as datang ke rumah Nabi dengan membawa dua putranya Hasan dan Husein. Kepada ayahnya, Fathimah as berkata, "Ayah, ini adalah dua putramu. Berilah mereka sesuatu yang akan selalu menjadi pengingatmu." Kemudian Nabi Saw bersabda, "Hasan akan mewarisi kewibawaan dan keberanianku, sedangkan Husein akan memperoleh kedermawanan dan keberanianku."
Sejatinya, keistimewaan terbesar yang dimiliki Imam Hasan as adalah kepribadian beliau yang begitu mirip dengan Rasulullah Saw. Meski ia adalah cucu Nabi Saw, namun beliau selalu menyebut Imam Hasan as sebagai putranya. Seluruh ulama dan sejarawan Muslim juga meyakini hal itu. Imam Hasan as hanya beberapa tahun saja hidup sezaman dengan Rasulullah Saw. Ketika ia beranjak usia tujuh tahun, datuk tercintanya, Nabi Muhammad Saw pergi memenuhi panggilan Ilahi. Setelah kepergian Rasul, ia mendampingi ayahnya, Imam Ali as selama 30 tahun. Setelah syahidnya sang ayah, Imam Hasan as memegang tampuk kepemimpinan umat selama 10 tahun.
Selama masa hidupnya, Imam Hasan as selalu dikenal sebagai pribadi yang dermawan, penenang setiap kalbu yang didera kesusahan, dan pengayom kaum fakir-miskin. Tak ada seorang miskin pun yang datang mengadu kepadanya lantas kembali dengan tangan hampa. Terkadang, jauh sebelum si miskin mengadukan kesulitan hidupnya, Imam telah terlebih dahulu membantu mengatasinya dan tak membiarkannya harus merasa hina lantaran meminta bantuan. Imam Hasan as berkata, "Memberi sebelum diminta adalah kebesaran jiwa yang teragung." Imam Hasan as adalah pribadi yang sangat agung, penyabar, sangat berwibawa dan teguh pendirian. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang sangat pemberani. Ketinggian ilmu dan hikmah beliau membuat kagum siapapun serta sangat bijak dalam memutuskan suatu perkara.
Sepanjang hidupnya, Imam Hasan as senantiasa berkiprah untuk membimbing dan mencerahkan masyarakat. Metode pendekatan beliau dengan seluruh warga – bahkan dengan musuh – sangat indah dan menyita perhatian semua orang. Dikisahkan bahwa suatu hari, Imam Hasan as berjalan di tengah keramaian masyarakat. Tiba-tiba di tengah jalan beliau bertemu dengan orang tak dikenal yang berasal dari Syam. Pendatang itu ternyata seorang yang sangat membenci Ahlul Bait Nabi as. Mulailah ia mencaci maki Imam Hasan. Beliau tertunduk diam tidak menjawab sepatah kata pun terhadap cacian itu, hingga orang tersebut menuntaskan hinaannya.
Setelah itu, Imam Hasan as membalasnya dengan senyuman, lantas mengucapkan salam kepadanya sembari berkata, "Wahai kakek, aku kira engkau seorang yang asing. Bila engkau meminta pada kami, kami akan memberimu. Bila engkau meminta petunjuk, aku akan tunjukkan. Bila engkau lapar, aku akan mengenyangkanmu. Bila engkau tidak memiliki pakaian, aku akan berikan pakaian. Bila engkau butuh kekayaan, aku akan berikan harta. Bila engkau orang yang terusir, aku akan mengembalikanmu. Dan bila engkau memiliki hajat yang lain, aku akan penuhi kebutuhanmu."
Mendengar jawaban seperti itu, kakek tersebut terperanjat dan terkejut, betapa selama ini ia keliru menilai keluarga Nabi Saw. Sejak saat itu, dia sadar bahwa Muawiyah telah menipu dirinya dan masyarakat lain. Bahkan Muawiyah telah menyebarkan isu dan fitnah tentang ihwal Ali bin Abi Thalib as dan keluarganya. Terkesima oleh jawaban Imam as, kakek itu pun menangis dan berkata, "Aku bersaksi bahwa engkau adalah khalifah Allah Swt di muka bumi ini, dan sesungguhnya Allah Maha Tahu kepada siapa risalah-Nya ini hendak diberikan. Sungguh sebelum ini engkau dan ayahmu adalah orang-orang yang paling aku benci dari sekalian makhluk Tuhan. Tapi, sekarang engkau adalah orang yang paling aku cintai dari segenap makhluk-Nya." Lelaki tua itu akhirnya diajak oleh Imam Hasan as ke rumahnya dan beliau menjamunya sebagai tamu kehormatan hingga ia pamit untuk pulang.
Sebuah kisah populer juga menyebutkan bahwa suatu hari, Imam Hasan as dan Imam Husein as berjalan menuju masjid. Tiba-tiba mereka menyaksikan seorang kakek yang sedang berwudhu. Namun, tata cara wudhunya tidak benar. Imam Hasan as berpikir sejenak, bagaimana cara menunjukkan wudhu yang benar kepada kakek tersebut tanpa harus menyinggung perasaannya. Kemudian, keduanya mendatangi kakek tersebut seolah-olah mereka sedang bertengkar tentang wudhu siapakah yang benar. Masing-masing berujar, "Wudhumu tidak benar! Kemudian keduanya berkata pada kakek tersebut, "Wahai kakek, berilah keputusan yang bijak untuk kami berdua, mana di antara kami yang wudhunya benar." Kemudian, mulailah keduanya berwudhu. Lantas kakek itu mengatakan, "Wudhu kalian semua sudah benar." Kemudian kakek itu menunjuk kepada dirinya sendiri dan berkata, "Hanya kakek yang bodoh inilah yang tidak benar wudhunya, dan kini telah belajar dari kalian berdua."
Dalam perspektif Islam, golongan kaya memikul tanggung jawab yang berat terhadap kaum fakir dan miskin. Mereka dituntut untuk selalu berusaha memenuhi kebutuhan orang-orang tak mampu di tengah masyarakat. Para nabi dan kekasih Allah Swt tidak hanya memberikan petuah untuk bersikap dermawan, tapi mereka juga mempraktekkan dalam kehidupannya dan menjadi contoh yang patut diteladani. Imam Hasan as dikenal sebagai Karim Ahlul Bait, yang berarti pemilik sifat dermawan, mulia, dan utama. Kata Karim dalam berbagai ayat dan riwayat adalah sekumpulan keutamaan dan sifat terpuji dan menjadi pembeda seseorang dengan yang lain.
Sejarah menyebutkan bahwa Imam Hasan as pernah dua kali menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah Swt dengan membantu orang-orang yang membutuhkan. Beliau juga tiga kali mendermakan setengah dari hartanya, separuh untuk dirinya dan setengah lainnya diinfakkan di jalan Allah. Keteladanan inilah yang menyebabkan Imam Hasan dikenal sebagai Karim Ahlul Bait. Beliau dengan keluhuran akhlaknya memberikan ketentraman di hati orang yang membutuhkan dan melindungi kaum lemah. Setiap fakir yang datang ke rumahnya pasti pulang dengan membawa sesuatu dari pemberian Imam Hasan as. Bahkan sering kali sebelum seorang fakir membuka mulut untuk meminta pertolongan darinya, Imam Hasan as langsung membantunya.
Sumber-sumber sejarah menyebutkan, ketika Imam Ali gugur syahid, Imam Hasan as berpidato di Masjid Kufah dan mengingatkan kedudukan mulia Ahlul Bait Nabi as serta pengorbanan mereka demi kejayaan Islam. Setelah menyampaikan khutbahnya, akhirnya beliau dibaiat oleh umat Islam pada 21 Ramadhan 40 Hijriah sebagai Imam dan Khalifah umat Islam. Selanjutnya baiat kepada Imam Hasan as mulai menyebar dari Kufah ke kota-kota lainnya seperti, Basrah dan seluruh wilayah Irak, Hijaz dan Yaman.
Akhirnya Imam Hasan as resmi menggantikan kedudukan Imam Ali sebagai khalifah umat Islam, namun akibat krisis yang dikobarkan oleh Dinasti Umawiyah, pemerintahan Imam Hasan tidak bertahan lama. Setelah baiat terhadap Imam Hasan diambil dari seluruh wilayah Islam, Muawiyah bin Abi Sufyan bangkit menentang beliau. Imam Hasan setelah memberikan nasehat kepada Muawiyah dan sikap keras kepala anak Abu Sufyan ini maka beliau terpaksa memerangi penguasa Syam ini. Setelah kembali ke kota Madinah, Imam Hasan sekitar delapan tahun mengabdikan dirinya di bidang budaya dan sosial. Karena umat Islam sangat memerlukan revolusi budaya. Pada tahun 50 Hijriah atas skenario busuk Muawiyah, Imam Hasan as diracun dan beliau gugur syahid pada usia 48 tahun.
100 Keutamaan Rasulullah Saw
Imam Shadiq as berkata, "Saya tidak ingin seseorang meninggal dunia sementara ia belum mengetahui sebagian perilaku Rasulullah Saw."
Tanggal 28 Shafar adalah hari wafatnya Rasulullah Saw. Dalam rangka memperingati hari duka wafatnya teladan akhlak ini, akan disebutkan beberapa keutamaan akhlak beliau yang tak terhitung dan masing-masing dari keutamaan itu bisa menjadi bekal hidup kita, antara lain:
1. Ketika berjalan, beliau berjalan secara pelan-pelan dan wibawa.
2. Ketika berjalan, beliau tidak menyeret langkah kakinya.
3. Pandangan beliau selalu mengarah ke bawah.
4. Beliau senantiasa mengawali salam kepada siapa saja yang dilihatnya... tidak ada seorangpun yang mendahuluinya dalam mengucapkan salam.
5. Ketika menjabat tangan seseorang, beliau tidak pernah melepaskannya terlebih dahulu.
6. Beliau bergaul dengan masyarakat sedemikian rupa sehingga setiap orang berpikir bahwa dirinya adalah satu-satunya orang yang paling mulia di mata Rasulullah.
7. Bila memandang seseorang, beliau tidak memandang sinis bak pejabat pemerintah.
8. Beliau tidak pernah memelototi wajah seseorang.
9. Beliau senantiasa menggunakan tangan saat mengiyaratkan sesuatu dan tidak pernah mengisyaratkan dengan mata atau alis.
10. Beliau lebih banyak diam dan baru akan berbicara bila perlu.
11. Saat bercakap-cakap dengan seseorang, beliau mendengarkan dengan baik.
12. Senantiasa menghadap kepada orang yang berbicara dengannya.
13. Tidak pernah berdiri terlebih dahulu selama orang yang duduk bersamanya tidak ingin berdiri.
14. Tidak akan duduk dan berdiri dalam sebuah pertemuan melainkan dengan mengingat Allah.
15. Ketika masuk ke dalam sebuah pertemuan, beliau senantiasa duduk di tempat yang akhir dan dekat pintu, bukan di bagian depan.
16. Tidak menentukan satu tempat khusus untuk dirinya dan bahkan melarangnya.
17. Tidak pernah bersandar saat di hadapan masyarakat.
18. Kebanyakan duduknya menghadap kiblat.
19. Bila di hadapannya terjadi sesuatu yang tidak disukainya, beliau senantiasa mengabaikannya.
20. Bila seseorang melakukan kesalahan, beliau tidak pernah menyampaikannya kepada orang lain.
21. Tidak pernah mencela seseorang yang mengalami kesalahan bicara.
22. Tidak pernah berdebat dan berselisih dengan siapapun.
23. Tidak pernah memotong pembicaraan orang lain kecuali bila orang tersebut bicara sia-sia dan batil.
24. Senantiasa mengulang-ulangan jawabanya atas sebuah pertanyaan agar jawabannya tidak membingungkan pendengarnya.
25. Bila mendengar ucapan yang tidak baik dari seseorang, beliau tidak mengatakan mengapa si fulan berkata demikian, tapi beliau mengatakan, bagaimana mungkin sebagian orang mengatakan demikian?"
26. Banyak bergaul dengan fakir miskin dan makan bersama mereka.
27. Menerima undangan para abdi dan budak.
28. Senantiasa menerima hadiah, meski hanya seteguk susu.
29. Melakukan silaturahmi lebih dari yang lain.
30. Senantiasa berbuat baik kepada keluarganya tapi tidak melebihkan mereka dari yang lain.
31. Senantiasa memuji dan mendukung pekerjaan yang baik dan menilai buruk dan melarang perbuatan yang jelek.
32. Senantiasa menyampaikan hal-hal yang menyebabkan kebaikan agama dan dunia masyarakat kepada mereka dan berkali-kali mengatakan, "Orang-orang yang hadir hendaknya menyampaikan segala yang didengarnya kepada orang-orang yang tidak hadir."
33. Senantiasa menerima uzur orang-orang yang punya uzur.
34. Tidak pernah merendahkan seseorang.
35. Tidak pernah memaki atau memanggil seseorang dengan gelar yang jelek.
36. Tidak pernah mengutuk orang-orang sekitar dan familinya.
37. Tidak pernah mencari-cari aib orang lain.
38. Senantiasa menghindari kejahatan masyarakat, namun tidak pernah menghidar dari mereka dan beliau selalu bersikap baik kepada semua orang.
39. Tidak pernah mencaci masyarakat dan tidak banyak memuji mereka.
40. Senantiasa bersabar menghadapi kekurangajaran orang lain dan membalas kejelekan mereka dengan kebaikan.
41. Selalu menjenguk orang yang sakit, meski tempat tinggalnya dipinggiran Madinah yang sangat jauh.
42. Senantiasa menanyakan kabar dan keadaan para sahabatnya.
43. Senantiasa memanggil nama sahabat-sahabatnya dengan panggilan yang terbaik.
44. Sering bermusyawarah dengan para sahabatnya dan menekankan untuk melakukannya.
45. Senantiasa duduk melingkar bersama para sahabatnya, sehingga bila ada orang yang baru datang, ia tidak bisa membedakan di antara mereka yang manakah Rasulullah.
46. Akrab dan dekat dengan para sahabatnya.
47. Beliau adalah orang yang paling setia dalam menepati janji.
48. Senantiasa memberikan sesuatu kepada fakir miskin dengan tangannya sendiri dan tidak pernah mewakilkannya kepada orang lain.
49. Bila sedang dalam shalat ada orang datang, beliau memendekkan shalatnya.
50. Bila sedang shalat ada anak kecil menangis, beliau memendekkan shalatnya.
51. Orang yang paling mulia di sisi beliau adalah orang yang paling banyak berbuat baik kepada orang lain.
52. Tidak ada seorangpun yang putus asa dari Rasulullah Saw. Beliau selalu mengatakan, "Sampaikan kebutuhan orang yang tidak bisa menyampaikan kebutuhannya kepada saya!"
53. Bila ada seseorang membutuhkan sesuatu kepada beliau, Rasulullah Saw pasti memenuhinya bila mampu, namun bila tidak mampu beliau menjawabnya dengan ucapan atau janji yang baik.
54. Tidak pernah menolak permintaan seseorang, kecuali permintaan untuk maksiat.
55. Beliau sangat menghormati orang tua dan menyayangi anak-anak.
56. Rasulullah Saw sangat menjaga perasaan orang-orang asing.
57. Beliau selalu menarik perhatian orang-orang jahat dan membuat mereka cenderung kepadanya dengan cara berbuat baik kepada mereka.
58. Beliau senantiasa tersenyum sementara pada saat yang sama beliau sangat takut kepada Allah.
59. Saat gembira, Rasulullah Saw memejamkan kedua matanya dan tidak banyak menunjukkan kegembiraannya.
60. Tertawanya kebanyakan berupa senyuman dan tidak pernah tertawa terbahak-bahak.
61. Beliau banyak bercanda namun tidak pernah mengeluarkan ucapan sia-sia atau batil karena bercanda.
62. Rasulullah Saw mengubah nama yang jelek dengan nama yang baik.
63. Kesabarannya mendahului kemarahannya.
64. Tidak sedih dan marah karena kehilangan dunia.
65. Saat marah karena Allah, tidak seoranpun yang akan mengenalnya.
66. Rasulullah Saw tidak pernah membalas dendam karena dirinya sendiri melainkan bila kebenaran terinjak-injak.
67. Tidak ada sifat yang paling dibenci oleh Rasulullah selain bohong.
68. Dalam kondisi senang atau susah tidak lain hanya menyebut nama Allah.
69. Beliau tidak pernah menyimpan Dirham maupun Dinar.
70. Dalam hal makanan dan pakaian tidak melebihi yang dimiliki oleh para pembantunya.
71. Duduk dan makan di atas tanah.
72. Tidur di atas tanah.
73. Menjahit sendiri pakaian dan sandalnya.
74. Memerah susu dan mengikat sendiri kaki ontanya.
75. Kendaraan apa saja yang siap untuknya, Rasulullah pasti mengendarainya dan tidak ada beda baginya.
76. Kemana saja pergi, beliau selalu beralaskan abanya sendiri.
77. Baju beliau lebih banyak berwarna putih.
78. Bila memakai baju baru, maka baju sebelumny pasti diberikan kepada fakir miskin.
79. Baju kebesarannya khusus dipakai untuk hari Jumat.
80. Ketika memakai baju dan sandal, beliau memulainya dari sebelah kanan.
81. Beliau menilai makruh rambut yang awut-awutan.
82. Senantiasa berbau harum dan kebanyakan pengeluarannya untuk minyak wangi.
83. Senantiasa dalam kondisi memiliki wudu dan setiap mengambil wudu pasti menyikat giginya.
84. Cahaya mata beliau adalah shalat. Beliau merasa menemukan ketenangan dan ketentraman saat shalat.
85. Beliau senantiasa berpuasa pada tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan.
86. Tidak pernah mencaci nikmat sama sekali.
87. Menganggap besar nikmat Allah yang sedikit.
88. Tidak pernah memuji makanan dan tidak juga mencelanya.
89. Memakan makanan apa saja yang dihidangkan kepadanya.
90. Di depan hidangan makanan beliau senantiasa makan makanan yang ada di depannya.
91. Di depan hidangan makanan, beliau yang paling duluan hadir dan paling akhir meninggalkannya.
92. Tidak akan makan sebelum lapar dan akan berhenti dari makan sebelum kenyang.
93. Tidak pernah makan dua model makanan.
94. Ketika makan tidak pernah sendawa.
95. Sebisa mungkin beliau tidak makan sendirian.
96. Mencuci kedua tangan setelah selesai makan kemudian mengusapkannya ke wajah.
97. Ketika minum, beliau meneguknya sebanyak 3 kali. Awalnya baca Bismillah dan akhirnya baca Alhamdulillah.
98. Rasulullah lebih memiliki rasa malu daripada gadis-gadis pingitan.
99. Bila ingin masuk rumah, beliau meminta izin sampai tiga kali.
100. Waktu di dalam rumah, beliau bagi menjadi tiga bagian: satu bagian untuk Allah, satu bagian untuk keluarga dan satu bagian lagi untuk dirinya sendiri. Sedangkan waktu untuk dirinya sendiri beliau bagi dengan masyarakat. (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
Sumber: Mashregh News
Imam Ridha, Pribadi Mulia Panutan Umat
Imam Ali bin Musa ar-Ridha as dilahirkan di Madinah pada tanggal 11 Dzulqadah tahun 148 Hijriah. Ayahnya adalah Imam Musa al-Kazhim as dan ibunya adalah Najmah Khatun. Setelah Imam Kazhim as syahid, ia dalam usia 35 tahun mulai memegang tali kepemimpinan umat, menegakkan ajaran-ajaran agama dan membimbing umat manusia. Masa keimamahan Imam Ridha as adalah dua puluh tahun. Sepuluh tahun pertama masa kepemimpinan beliau bertepatan dengan masa pemerintahan Harun ar-Rasyid. Setelah masa tersebut, Imam Ridha as memimpin umat selama lima tahun di masa pemerintahan Amin, putra Harun. Sementara lima tahun kedua, kepemimpinan beliau bertepatan dengan masa pemerintahan Makmun al-Abasi, saudara Amin.
Dalam setiap fase kepemimpinan tersebut, Imam Ridha as berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik dalam menjaga dan menyebarkan ajaran Islam meskipun beliau harus berhadapan dengan kebijakan konfrontatif penguasa masa itu dan juga kepincangan-kepincangan sosial yang menimpa masyarakat. Imam Ridha as pada tiga tahun terakhir hidupnya banyak menguras tenaga untuk menyadarkan masyarakat luas dan memfokuskan perhatian mereka pada permasalahan-permasalahan pokok umat.
Imam Ridha as syahid pada tahun 203 Hijriah dalam usia 55 tahun di sebuah desa yang bernama Senabad Nuqan dan sekarang desa itu menjadi salah satu bagian dari kota Mashad. Beliau syahid karena diracun oleh Makmun, khalifah yang berkuasa pada saat itu. Menurut Imam Ridha as, Dinasti Abbasiah bertolak belakang dengan ajaran Ilahi. Karena penentangan beliau, Khalifah Makmun merasa terancam sehingga memaksa Imam Ridha as meninggalkan kota Madinah menuju Ibukota Dinasti Abbasiah saat itu, Khorasan. Namun untuk menghilangkan kecurigaan dan kepekaan umat, Makmun melakukannya dengan bermacam tipu muslihat.
Hari ini suasana di kota Mashad, Iran, tempat di mana Imam Ridha as dimakamkan terasa begitu istimewa dan berbeda dari hari-hari biasanya. Makam suci Imam Ridha as dipenuhi oleh lautan peziarah dan pecinta Ahlul Bait as dari seluruh penjuru dunia. Rasulullah Saw pernah bersabda, "Belahan jiwaku akan dikebumikan di Khorasan. Siapapun yang mengalami kesulitan dan berziarah kepadanya, niscaya Allah Swt akan menghapus kesedihannya dan setiap pendosa yang berziarah kepadanya, Allah Swt pun akan mengampuni dosa-dosanya."
Pada masa hidupnya, Imam Ridha as mengetahui dengan baik perkembangan ilmiah dan percaturan politik kala itu. Beliau tak pernah henti berjuang untuk menghidupkan ajaran Islam murni dan membimbing manusia pada kebenaran. Tugas utama Imam Ridha pada masa itu adalah mencegah masyarakat dari penyimpangan perilaku dan pemikiran serta mengenalkan mereka kepada hakikat kebenaran. Pada dasarnya, Imam Ridha as merupakan sebuah jembatan yang menghubungkan seorang hamba dengan Tuhannya dan menyirami jiwa-jiwa mereka dengan pengetahuan luhur Islam.
Imam Ridha as senantiasa mengajak manusia untuk berpikir dan merenung dalam agamanya. Beliau berkata, "Ibadah bukan berarti memperbanyak shalat dan puasa, tapi ibadah hakiki adalah banyak berpikir tentang Sang Pencipta." Kesucian hati, ketajaman visi, keluasan ilmu, keimanan yang kuat kepada Allah Swt, dan perhatiannya yang besar kepada nasib masyarakat merupakan sejumlah sifat mulia yang khas pada diri Imam Ridha as. Karena itu, salah satu julukan beliau adalah "Rauf" atau penyayang. Beliau as memiliki hubungan baik dengan siapapun, mulai dari kalangan orang-orang kaya dan fakir-miskin, cerdik-pandai dan masyarakat awam, para pecinta beliau maupun musuh-musuhnya.
Pada masa kekuasaannya, Makmun kadang mengumpulkan para ilmuwan dari berbagai penjuru untuk menggelar forum diskusi ilmiah sekaligus meningkatkan popularitasnya di tengah masyarakat. Suatu hari, Makmun bercerita kepada Imam Ridha as tentang kemenangan pasukannya di sejumlah medan perang. Dia terkesan bangga dengan keberhasilan itu. Setelah cukup mendengar cerita Makmun, Imam Ridha as kemudian berkata, "Apakah engkau gembira karena berhasil menguasai sebuah desa?" Makmun balik bertanya, "Bukankah ini layak dibanggakan?" Imam menjawab, "Takutlah engkau kepada Allah akan nasib umat Muhammad dan kekuasaan yang ada di tanganmu. Engkau telah merusak urusan umat Islam dan menyerahkannya kepada orang-orang yang tidak mengadili dengan hukum Allah. Kaum tertindas semakin menderita dan untuk kehidupan mereka tidak memiliki apa-apa. Tak ada tempat bagi mereka mengadu. Tahukah engkau bahwa pemimpin dalam Islam harus memainkan peran layaknya tiang kemah, dan siapa saja bisa menjumpainya dengan mudah."
Dalam percakapan itu, Imam Ridha as memberondong Makmun dengan kritik deras seraya mengingatkan bahwa pemimpin Islam mesti menjauhi kemewahan dan segala protokoler yang menjauhkannya dari rakyat. Pemimpin mesti bekerja untuk rakyat bukan mengunci diri dan berfoya-foya di istana-istana yang megah. Imam dalam riwayat lain menegaskan, "Hukum Ilahi tidak akan tegak kecuali jika dijalankan oleh seorang yang kuat, mumpuni dan kredibel yang menegakkan urusan ini dan mencegah pelecehan hak-hak masyarakat."
Imam Ridha as menerangkan panjang lebar tentang kriteria pemimpin yang saleh dan cakap. Pemimpin harus menjalankan pemerintahan dengan baik, cerdas dan semangat mengabdi dengan demikian ia akan terhindar dari ambisi dan kediktatoran. Kepemimpinan seperti ini tidak akan terwujud kecuali seseorang memandang kekuasaan sebagai amanat Ilahi. Imam Ridha as menyatakan bahwa penguasa adalah orang yang memegang amanat dari rakyat, karena itu kekuasaan harus digunakan untuk mencegah kezaliman dan pelanggaran hak orang lain. Beliau berkata, "Setiap kali penguasa melakukan kezaliman maka kekuasaannya akan melemah."
Ajaran Islam menjelaskan berbagai makanan halal dan sehat untuk dikonsumsi oleh manusia. Berbagai hadis Rasulullah Saw dan para imam maksum as menjelaskan pembahasan khusus mengenai gizi dan kesehatan. Sejumlah buku panduan medis seperti Tib al-Nabi, Tib al-Sadiq, dan Tib al-Ridha (Risalah Dzahabiyah)merupakan buku berharga yang menjelaskan petunjuk dari Rasulullah Saw, Imam Jakfar Shadiq dan Imam Ridha as mengenai dunia medis, gizi dan kesehatan. Sumber berharga ini bukan hanya bermanfaat di masanya, bahkan kini menjadi perhatian para ahli medis dan peneliti muslim maupun non-muslim.
Islam sebagai agama yang komprehensif memberikan berbagai panduan bagi pemeluknya. Agama samawi ini dengan gamblang mengungkapkan berbagai metode dan pedoman hidup sehat dan bahagia bagi manusia. Imam Ridha as dalam sebuah ucapannya di kitab Risalah Dzahabiyahberkata, "Jika masyarakat merasa cukup dengan makan sedikit, maka kondisi tubuh mereka akan stabil." Beliau memandang tubuh manusia seperti tanah yang suci dan menulis, "Tubuh manusia ibarat tanah yang suci dan siap ditanami, pengolahan dan pengairannya tidak boleh melebihi dari kebutuhan tanah itu sehingga ia tergenangi, dan juga tidak boleh kurang dari kebutuhannya sehingga ia kehausan dan gersang."
Risalah Dzahabiyahmerupakan salah satu panduan medis yang sangat bernilai dan warisan peradaban Islam di bidang kedokteran. Buku itu memuat berbagai cabang ilmu kedokteran seperti ilmu bedah, fisiologi, kesehatan umum, dan teknik-teknik pencegahan agar tidak terserang penyakit tertentu. Risalah Dzahabiyahjuga menjelaskan seputar ilmu kimia, gizi, dan cabang-cabang ilmu lain yang ada kaitannya dengan dunia medis. Panduan medis Imam Ridha as akan mengarahkan seseorang untuk hidup sehat sebagai sebuah anugerah dari Allah Swt yang patut disyukuri. Pada dasarnya, Imam Ridha tidak hanya menaruh perhatian pada keselamatan jiwa manusia, tapi juga pada kesehatan raga mereka.
Ketinggian iman, ilmu, dan akhlak Imam Ridha as telah menimbulkan pengaruh besar di kalangan masyarakat Khorasan dan mereka menjadi sadar akan kebenaran Ahlul Bait Nabi as. Untuk menghancurkan popularitas Imam Ridha as di tengah masyarakat, Makmun bahkan mengundang pemuka berbagai agama untuk berdebat dengan beliau. Namun, ketinggian ilmu Imam Ridha malah membuat para pemuka agama itu mengakui kebenaran dan ketokohan Imam Ridha as. Akhirnya, Makmun mengambil keputusan untuk membunuh Imam Ridha as dengan cara meracuni beliau pada tahun 203 Hijriah.
Imam Ridha as berkata, "Akal seorang muslim tidak akan sempurna kecuali jika ia memiliki sepuluh karakter berikut: (1) Kebaikannya selalu diharapkan orang, (2) Orang lain merasa aman dari kejahatannya, (3) Menganggap banyak kebaikan orang yang sedikit, (4) Menganggap sedikit kebaikan yang telah diperbuatnya kepada orang lain, (5) Tidak pernah menyesal jika orang lain selalu meminta bantuan darinya, (6) Tidak merasa bosan mencari ilmu sepanjang umurnya, (7) Kefakiran di jalan Allah lebih disukainya dari pada kekayaan, (8) Hina di jalan Allah lebih disukainya dari pada mulia di dalam pelukan musuh-Nya, (9) Ketidaktenaran lebih disukainya dari pada ketenaran." Kemudian sahabat beliau bertanya, "Lalu, apakah yang kesepuluh?" Beliau menjawab, "Ia tidak melihat seseorang kecuali berkata (dalam hatinya); Ia masih lebih baik dariku dan lebih bertakwa."
Imam Askari, Pribadi Suci Rujukan Umat
Imam Hasan al-Askari as, putra Imam Ali al-Hadi, dilahirkan pada 8 Rabiul Akhir tahun 232 Hijriah di kota Madinah. Beliau memangku tugas imamah pada usia 22 tahun, setelah ayahnya meneguk cawan syahadah. Di usia yang masih sangat muda itu, beliau mendapat mandat Ilahi untuk menjadi pelita hidayah bagi umat manusia. Julukan al-Askari yang beliau sandang merujuk pada suatu tempat yang bernama Askar, di dekat kota Samarra, Irak. Ibu Imam Askari bernama Haditsa, meski ada juga yang menyebut ibu beliau bernama Susan atau Salil. Setelah sang ayah wafat, Imam Hasan Askari as hidup selama 6 tahun, dan sepanjang itulah masa kepemimpinannya.
Ketika diboyong oleh sang ayah ke Samarra, Imam Askari as baru berusia 4 tahun. Semenjak itu pula beliau selalu diawasi secara ketat oleh Dinasty Abbasiyah. Imam Askari as senantiasa berada dalam pengawasan para penguasa, karena adanya riwayat-riwayat dari Nabi Saw yang menguatkan bahwa Imam Mahdi as – sang juru selamat – akan terlahir ke dunia sebagai putra Imam Askari as. Oleh karena itu, para penguasa merasa takut akan kemunculannya yang akan memenuhi dunia ini dengan keadilan. Imam Askari juga sering dijebloskan ke penjara, sampai akhirnya beliau diracun dan syahid pada 8 Rabiul Awwal 260 Hijriah. Beliau dimakamkan di samping ayahnya, Imam Ali al-Hadi as, di kota Samarra.
Ahlul Bait Nabi as adalah insan-insan mulia yang selalu menjadi teladan dan petunjuk bagi umat manusia dalam merajut jalan kebenaran. Salah satu misi global Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Baitnya adalah menyampaikan dan mengawal ajaran agama dan pemikiran-pemikiran Islam. Rasul Saw dan para penerus misi beliau telah mengemban tugas tersebut sesuai dengan kondisi sulit di masa itu. Mereka semua memikul dua tugas utama yaitu, memberi petunjuk dan pencerahan kepada masyarakat, dan memperingatkan mereka akan pemikiran-pemikiran menyimpang.
Masa kepemimpinan Imam Askari as termasuk salah satu fase sulit, di mana pemikiran-pemikiran sesat mengancam masyarakat Islam dari segala penjuru. Di sisi lain, beliau juga berada dalam pengawasan ketat penguasa Abbasiyah. Saking ketatnya pengawasan terhadap keluarga Imam Askari, masyarakat sangat sulit untuk berinteraksi dengan beliau. Menyiasati kondisi tersebut, Imam Askari selama masa kepemimpinannya menyampaikan pesan kepada masyarakat melalui sejumlah sahabat dekat beliau. Mereka mendapat bimbingan khusus dari Imam Askari dan kemudian diberi tugas untuk memberi pencerahan kepada masyarakat.
Sepanjang 6 tahun kepemimpinannya, Imam Askari selain memerangi kezaliman, juga bangkit menghalau pemikiran-pemikiran sesat yang menyerang masyarakat Islam pada masa itu. Beliau mengambil sikap tegas dan jelas terhadap berbagai kelompok dan mazhab pemikiran seperti, sufisme, ghulat, politeisme, dan pemikiran-pemikiran sesat lainnya. Mengenai kaum Sufi, Imam Askari berkata, "Ketahuilah bahwa mereka adalah para perampas jalan orang-orang mukmin dan menyeru masyarakat kepada ateisme dan pengingkar agama. Siapa saja yang berpapasan dengan mereka, maka jauhilah mereka dan jagalah agama dan imanmu dari bahaya mereka." (Hadiqatul a-Syiah, hal.592)
Seseorang bernama Idris bin Ziyad mengisahkan, "Aku termasuk di antara orang yang ghulu (berlebihan mencintai sesuatu atau sikap menyimpang) terkait Ahlu Bait Nabi as. Suatu hari, aku pergi ke kota Samarra untuk bertemu Imam Hasan Askari. Ketika sampai di kota itu, aku tampak lelah dan istirahat di sebuah tempat. Di tempat itu, aku terlelap dan bangun beberapa saat kemudian setelah mendengar sebuah suara, suara Imam Askari. Aku berbegas bangkit dan memberi penghormatan kepada beliau."
Ucapan pertama yang keluar dari lisan Imam Askari dalam pertemuan singkat itu adalah ayat 26 dan 27 surat al-Anbiya, lalu Imam berkata, "Wahai Idris, mereka adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan di sisi-Nya. Mereka tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya." Mendengar ucapan itu, aku berkata dalam hati, "Di sini, Imam ingin memberi pemahaman kepadaku agar aku tidak bersikap ghulu tentang Ahlu Bait, sebab mereka sama sekali tidak punya kuasa kecuali dengan kehendak Tuhan. Aku juga sepenuhnya memahami maksud Imam." Idris lalu berkata kepada Imam, "Wahai tuanku, ucapan tadi sudah cukup bagiku, sebab niat kedatanganku untuk menanyakan masalah tersebut."
Imam Askari menjalani separuh hidupnya di dalam penjara rezim Abbasiyah. Meski demikian, beliau tetap teguh berjuang melawan penindasan dan tirani. Walaupun mendapat berbagai hambatan, Imam Askari menghadiahkan mutiara abadi bagi umat Islam yang senantiasa dikenang sepanjang masa. Kata-kata hikmah beliau dalam menjawab berbagai persoalan, memperjelas antara hak dan batil. Kesuksesan program dakwah Imam Askari dalam menyebarkan hakikat Islam terbukti melalui berbagai forum dan diskusi ilmiah serta pengajaran dan pendidikan kepada murid-muridnya.
Salah satu mahakarya Imam Askari adalah mendidik murid-murid terkemuka. Mereka adalah para pemikir dan rujukan ilmu pengetahuan di tengah masyarakat dalam menyelesaikan berbagai persoalan agama dan sosial. Salah seorang murid terkemuka Imam Askari adalah Abu al-Hassan Ali bin Hussein Qummi. Beliau mendapat pengajaran langsung dari Imam di bidang fikih dan hadis serta cabang ilmu agama lainnya. Kebanyakan pengajaran Imam Askari kepada Hussein Qummi dilakukan melalui surat. Salah satu surat tersebut adalah penjelasan Imam Askari mengenai putranya, Imam Mahdi dan kabar kegaiban serta kebangkitan beliau sebagai penyelamat umat manusia.
Selain mendidik para murid dan menyemangati para penulis, Imam Askari sendiri juga menulis beberapa buku dan surat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pelurusan akidah. Di antara karya Imam Askari adalah sebuah tafsir al-Quran, dua buah buku tentang fikih dan risalah terkait halal-haram, serta sejumlah surat yang memuat berbagai cabang ilmu. Pada masa beliau, masyarakat Syiah terkonsentrasi di sejumlah kota dan daerah seperti, Kufah, Baghdad, Neishabur, Qom, Yaman, Rei, Azerbaijan, dan Samarra. Demi menyebarluaskan budaya Syiah dan ilmu pengetahuan, Imam Askari menulis sejumlah surat yang ditujukan kepada wakil-wakilnya di kota tersebut.
Salah satu contohnya adalah surat Imam Askari kepada Ishaq bin Ismail Neishaburi. Di surat ini, Imam menjawab pertanyaan Ishaq terkait sejumlah kewajiban seorang Muslim. Imam berkata, "Sesungguhnya Allah menetapkan kewajiban kepada kalian dengan rahmat-Nya dan bukannya karena kebutuhan-Nya kepada kalian. Kewajiban ini ditetapkan karena kecintaan-Nya kepada kalian supaya keburukan terpisah dari kebaikan. Oleh karena itu, Allah menetapkan kewajiban haji, umrah, shalat, zakat, puasa serta patuh kepada pemimpin kalian. Untuk memahami kewajiban ini, Allah membuka pintu lebar-lebar dan memberikan kalian kuncinya. Jika tidak ada Rasul dan Ahlul Baitnya, kalian pasti tersesat dan tidak akan memahami satu pun dari kewajiban tersebut. Apakah ada jalan lain untuk memasuki kota selain gerbangnya? Oleh sebab itu, Allah telah berlaku baik kepada kalian dengan menetapkan para Imam sesudah Rasul."
Imam Askari senantiasa menekankan kepada para pengikutnya untuk bersikap jujur, membersihkan diri dan beramal saleh. Hal ini beliau lakukan demi menjaga ajaran suci Islam. Imam menyadari sepenuhnya usaha memperdalam dan menyebarkan ajaran Islam terletak pada penerapan nilai-nilai Islam itu sendiri. Karena ketika iman dan amal saling berhubungan dengan kokoh maka pengaruhnya pun semakin kuat. Oleh karena itu, Imam Askari menekankan kepada para pengikutnya untuk mengoreksi diri dan tidak memandang remeh dosa.
Imam Askari juga menyerukan kepada umat Islam untuk berakhlak mulia di tengah masyarakat. Beliau berkata, "Allah senantiasa mengingatkan agar bertakwa dan jadilah mutiara bagi kami dengan amalmu. Kami bahagia jika salah seorang dari kalian bersikap wara dan jujur, menjalankan amanah dan berbuat baik kepada orang lain." Akhlak mulia yang terpancar dari Imam Askari menyebabkan besarnya pengaruh beliau di tengah masyarakat. Daya tarik spiritual Imam bahkan mempengaruhi musuh-musuhnya.
Berikut ini adalah mutiara hadis dari Imam Askari as, "Tidak ada kemuliaan bagi orang yang meninggalkan kebenaran, dan tidak ada kehinaan bagi orang yang mengamalkannya." "Bukan termasuk kebajikan menampakkan kegembiraan di hadapan seorang yang sedih." "Seluruh keburukan telah terkumpul dalam satu rumah, dan kuncinya adalah dusta."