
کمالوندی
28 Jumadil Awal, Ali bin Abbas Baghdadi Meninggal Dunia
Ali bin Abbas Baghdadi Meninggal Dunia
Ali bin Abbas bin Juraih al-Baghdadi yang dikenal dengan Ibnu Rumi atau Ibnu Juraih adalah seorang tokoh puisi Arab di akhir abad ke-3 Hq. Ia membaca puisi dengan penuh kefasihan. Semasa mudanya ia belajar ilmu-ilmu klasik di masanya dan ia telah memiliki kemampuyan membaca puisi sejak kecil.
Ibnu Rumi memiliki cara pandang yang kritis terhadap pelbagai masalah sosial. Cara pandang ini disampaikan dalam syair-syairnya. Oleh karenanya, puisi Ibnu Rumi menjadi salah satu sumber tentang realita masyarakat di masanya.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nissa Ayat 133-136
Ayat ke 133
Artinya:
Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu wahai manusia, dan Dia datangkan umat yang lain (sebagai penggantimu). Dan adalah Allah Maha Kuasa berbuat demikian. (4: 133)
Ayat ini menegaskan agar manusia jangan sampai menyangka Allah Swt memerlukan sesuatu terkait apa yang diperintahkan-Nya. Karena pada dasarnya Allah tidak membutuhkan manusia sama sekali. Bukankah ketika manusia belum diciptakan, Allah Swt juga tidak menemui kesulitan sedikitpun? Lalu mengapa ada pemikiran bahwa Allah menghadapi masalah setelah penciptaan manusia? Oleh karenanya, jangan berbangga diri dan sombong di hadapan-Nya. Karena bila Allah Swt menghendaki, maka Dia mampu melenyapkan manusia durhaka dan menggantikan mereka dengan orang-orang yang taat dan patuh.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah memberikan kesempatan kepada orang-orang kafir bukan berarti lemah, tapi itu bersumber dari rahmat dan kebijakan Allah Swt.
2. Segala sesuatu yang kita miliki datang dari Allah. Oleh karenanya, jangan menyangka kekayaan yang dimiliki itu akan kekal agar tidak sampai terkena penyakit sombong di hadapan Allah Swt.
Ayat ke 134
Artinya:
Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (4: 134)
Ayat ini berbicara tentang orang mukmin yang berpandangan sempit. Mereka beriman kepada Allah, tapi hanya memikirkan kesejahteraan duniawi semata. Seperti orang mukmin yang ikut dalam peperangan, tapi pikiran mereka terpusat pada rampasan perang. Tentang kelompok ini, Allah Swt menyatakan, "Mengapa kalian hanya menginginkan harta dunia, padahal kalian beriman kepada Allah? Padahal dunia dan akhirat kedua-duanya berada di sisi Allah Swt. Apakah kalian menyangka dengan memikirkan akhirat, maka kalian akan kehilangan dunia? Padahal Allah Swt menginginkan agar kaum Mukminin memperoleh kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Karena meninggalkan salah satu untuk memperoleh yang lainnya hanya akan mendatangkan kerugian bagi manusia.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Manusia akan merugi bila tujuan dari perbuatan baiknya hanya untuk hal-hal duniawi saja.
2. Islam adalah Agama yang lengkap dan realistis. Islam mendorong para pengikutnya agar berusaha memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Ayat ke 135
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (4: 135)
Setelah al-Quran memberikan beberapa pesan dalam ayat-ayat yang lalu untuk bersikap adil terhadap anak-anak yatim dan istri, ayat ini berbicara secara umum kepada orang-orang Mukmin. Kepada Mukminin, ayat ini memerintahkan mereka untuk tetap bersikap adil dalam kepada setiap orang dan dalam kondisi bagaimanapun. Al-Quran menekankan masalah bersikap adil ini bahkan kepada diri sendiri, apalagi terhadap kerabat dan orang-orang dekatnya.
Manusia pada umumnya ketika mengambil keputusan selalu dipengaruhi oleh pemihakan kepada keluarga atau status mereka. Sebagai contoh, seseorang akan memberikan kesaksikan yang menguntungkan saudaranya, sekalipun ia bersalah. Orang akan membela siapa saja yang kaya karena tergiur oleh kekayaan yang bakal didapatnya. Ada juga yang membela orang lain karena kasihan, seperti membela orang miskin hanya karena belas kasihan, sekalipun orang tersebut berbuat salah.
Mencermati kondisi dan kenyataan yang sering terjadi seperti ini, ayat ini mengatakan, "Saat mengambil keputusan atau memberikan kesaksian, hendaknya seorang mukmin hanya menjadikan Allah sebagai sandarannya. Jangan sekali-kali memasukkann unsur keluarga, status, ekonomi dan sebagainya dalam mengambil keputusan. Perintah al-Quran ini menunjukkan betapa Islam begitu menaruh perhatian akan masalah duniawi manusia dan menyeru Mukminin untuk memperhatikan keadilan sosial dalam segala hal.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah mengutus para nabi untuk menerapkan keadilan, sekaligus menjadikannya kelaziman iman para pengikut mereka.
2. Keadilan harus dilaksanakan di seluruh aspek kehidupan dan bagi seluruh manusia, bahkan non Muslim sekalipun.
3. Setiap orang sama di hadapan hukum, baik kaya ataupun miskin dan baik menguntungkan ataupun merugikan mereka.
4. Jaminan pelaksanaan keadilan adalah iman kepada Allah dan ilmu Allah akan perbuatan kita.
Ayat ke 136
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (4: 136)
Ayat ini menyeru orang-orang Mukmin agar menumbuhkan dan memperdalam iman mereka. Disebutkan dalam ayat ini, melangkahlah ke depan dan capailah derajat yang lebih tinggi. Berpegang teguhlah pada iman kalian dan jangan beranjak sedikitpun darinya.
Tak dapat dipungkiri bahwa iman memiliki berbagai tingkat dan derajat, sama seperti sebagaimana pengetahuan manusia juga bertingkat-tingkat. Itulah mengapa pendidikan juga berjenjang. Ketika seorang mukmin menyempurnakan imannya dalam setiap kondisi, maka keimanan yang sempurna itu akan melahirkan pengamalan atas perintah Allah yang lebih baik dan banyak.
Selanjutnya, ayat ini menyinggung salah satu bahaya yang mengancam orang-orang mukmin. Ayat ini menyebutkan, jika seorang mukmin mengalami kelemahan iman secara bertahap, maka ia akan sampai pada tahapan dimana ia mulai meragukan apa yang diimani selama ini. Tidak hanya itu, ia akan terjerumus dalam kesesatan yang sangat berat, dimana sangat sulit baginya untuk keluar dari kubangan kesesatan itu.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Agama-agama samawi seperti kelas di sebuah sekolah dan para nabi adalah gurunya yang punya satu tujuan. Oleh karena itu, iman kepada semua nabi dan kitab suci mereka merupakan kelaziman dari iman kepada Allah.
2. Imam perlu diperkuat agar terus tumbuh dan menyempurna. Seorang mukmin harus mencapai derajat keimanan yang paling tinggi.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 129-132
Ayat ke 129
Artinya:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4: 129)
Ayat ini ditujukan kepada orang laki-laki yang memiliki beberapa isteri. Sebagai lanjutan dari ayat sebelumnya yang mewasiatkan kepada seluruh kaum lelaki agar berbuat baik dan memperbaiki kehidupan suami isteri, ayat ini memesankan kepada kaum lelaki supaya berbuat adil. Tetapi sebelum menjelaskan poin-poin yang ada di dalam ayat ini ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi:
1. Islam tidak pernah memerintahkan kepada kaum lelaki agar memiliki beberapa isteri. Tetapi Islam membolehkan hal itu dalam kondisi dan keadaan tertentu.
2. Adanya bencana alam dan perang ditambah beragamnya sistem sosial manusia memberikan peluang kepada lelaki untuk berpoligami. Bila masalah ini tidak ditangani dengan baik, akan memunculkan hubungan ilegal di tengah masyarakat. Bila menyaksikan kondisi negara-negara Barat yang melarang poligami, ternyata para prianya justru dengan mudah melakukan hubungan di luar nikah dengan pelbagai wanita, baik itu secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.
Di sini, Islam tidak melarang dan juga tidak mendorong umat Islam untuk berpoligami. Karena pada dasarnya poligami itu tuntutan masyarakat sendiri, maka Islam kemudian meletakkan batasan-batasan dalam melakukan poligami. Islam menetapkan keadilan seorang suami sebagai dasar dalam berpoligami. Itulah mengapa di ayat ketiga surat an-Nisaa al-Quran menyebutkan, "...Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja..."
3. Penyalahgunaan undang-undang dapat dilakukan di mana saja dan dalam kasus apa saja. Betapa banyak lelaki yang melangggar hukum Allah ini. Tanpa memiliki kelayakan dan keadilan mereka menikahi beberapa orang isteri. Tapi jelas, sebuah hukum dan undang-undang tidak akan dicabut hanya dikarenakan ada sejumlah orang yang melanggar.
Kembali pada ayat ini yang mengingatkan bahwa seorang suami harus bersikap adil dan memenuhi hak-hak para isterinya. Hal ini harus dilakukannya agar tidak ada seorangpun dari isteri-isteri yang dimilikinya terzalimi atau diperlakukan tidak adil. Terutama sekali seorang suami harus bersikap adil dalam masalah materi.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Suami tidak boleh membiarkan kondisi isterinya tanpa kejelasan. Selama masih menjadi isterinya, maka suami berkewajiban memenuhi haknya, hingga resmi diceraikan.
2. Kehidupan yang damai, saling mencintai antara suami dan isteri serta menjaga nilai-nilai takwa ilahi merupakan sumber keutuhan sebuah rumah tangga. Kondisi ini akan menurunkan anugerah ilahi dalam kehidupan mereka.
Ayat ke 130
Artinya:
Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana. (4: 130)
Kelebihan Islam dibandingkan agama-agama yang lain ada pada kemampuannya memberikan solusi atas kenyataan yang terjadi dalam keluarga atau masyarakat. Lebih jauh lagi, solusi yang disampaikan oleh Islam tidak kaku dan kering yang menyampaikan manusia kepada sebuah jalan buntu. Islam memberikan jalan keluar dengan baik, fleksibel dan bertahap agar dapat dilaksanakan dengan baik oleh pemeluknya.
Satu masalah yang sering dihadapi oleh masyarakat adalah perceraian. Benar, Islam mendorong para pemuda untuk menikah, tapi pada saat yang sama melarang (makruh) untuk melakukan perceraian. Tapi dalam kehidupan manusia, terkadang muncul yang namanya perceraian, ketika kedua pihak tidak mampu lagi mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Dalam kondisi yang demikian, memaksa keduanya untuk tetap bersama merupakan keputusan yang salah, bahkan dampaknya justru lebih merugikan, tidak hanya bagi keduanya, tapi yang lebih buruk lagi adalah dampak yang diterima oleh anak-anak mereka.
Islam memberikan peluang untuk bercerai kepada suami dan isteri yang sudah tidak mampu lagi mempertahankan kehidupan rumah tangga mereka dengan beberapa syarat. Selain itu, Islam mengingatkan mereka akan kegagalan dalam pernikahan tidak boleh membuat mereka berputus asa. Mereka harus senantiasa meminta petunjuk dan harapan kepada Allah Swt. Dengan pengertian, mereka tetap berusaha untuk membentuk kembali keluarga baru, baik dengan menikah lagi, atau kembali rujuk dengan mantan isterinya. Karena rahmat Allah tidak terbatas hanya pada kehidupan masa lalu.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Tidak ada jalan buntu dalam kehidupan seorang muslim. Bila pemberian maaf, berdamai dan takwa sudah tidak dapat mempertahankan keutuhan keluarga, maka Islam memberikan penyelesaian akhir dengan perceraian.
2. Tidak semua perceraian itu buruk. Betapa banyak terjadi suami membunuh isteri dan sebaliknya disebabkan masing-masing sudah tidak sanggup hidup bersama.
Ayat ke 131-132
Artinya:
Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. (4: 131)
Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara. (4: 132)
Sebagai lanjutan ayat-ayat sebelumnya yang memberi pesan kepada pasangan suami-isteri agar tetap menjaga takwa dalam urusan kehidupannya, terutama urusan rumah tangganya, ayat ini menjelaskan hal yang lebih luas lagi.Dalam ayat ini ditekankan bahwa ajaran ini tidak khusus hanya kepada umat Islam, tapi semua ajaran agama yang lain juga memiliki ajaran yang sama seperti ini.
Ayat ini juga menegaskan bahwa jangan sampai kita menyangka bahwa ajaran ini menguntungkan Allah Swt. Karena Allah tidak memerlukan apapun dari kita. Dia adalah pemilik seluruh langit dan bumi beserta isinya. Bahkan Allah tidak memerlukan keberadaan kita, apa lagi ketakwaan kita. Oleh karenanya, bila seluruh penduduk dunia ini kafir dan mengingkari Allah Swt, maka hal itu tidak akan pernah mendatangkan kerugian sedikitpun kepada-Nya.
Ada yang menarik dalam ayat ini. Masalah kepemilikan dan kekuasaan mutlak Allah Swt diulangi sebanyak tiga kali. Hal itu sengaja dilakukan agar segala keraguan manusia akan ketidakbutuhan Allah menjadi sirna dalam benaknya. Pengulangan itu ingin menghapus keragu-raguan dalam diri seorang muslim dan membuktikan hanya Allah yang Maha Kaya.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Agama yang diturunkan Allah tidak saling bertentangan. Karena semua berasal dari satu sumber. Semua menekankan penjagaan dan pelaksanaan perintah-perintah Allah Swt.
2. Manusia hanya takut kepada Allah Swt, bukan selain-Nya.
3. Manusia harus bertawakal kepada Allah, penguasa langit dan bumi serta isinya.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 125-128
Ayat ke 125-126
Artinya:
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama I brahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. (4: 125)
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu. (4: 126)
Telah disebutkan sebelumnya bahwa keimanan kepada Allah dan Hari Kiamat serta beramal saleh menjadi syarat diterimanya amal perbuatan manusia dan mendapat pahala dari Allah Swt. Dua ayat ini menyinggung motivasi yang ada dalam diri manusia mukmin dan mengatakan, "Iman akan dianggap berharga dan sempurna, bila ia berdasarkan pada sikap pasrah dan ikhlas kepada Allah Swt. Iman tidak cukup hanya sekadar lisan yang mengakui wujud Allah, sedangkan hati manusia tidak tunduk dan menyerah di hadapan Allah.
Perbuatan manusia juga akan diterima oleh Allah Swt, bila orang yang melakukannya memiliki motivasi dan niat yang bersih serta ikhlas. Ia melakukan perbuatan tersebut hanya dengan tujuan kebaikan, bukan untuk menipu dan riya serta tidak untuk memperoleh manfaat materi. Dalam hai ini, al-Quran membawakan kisah Nabi Ibrahim as sebagai contoh sempurna manusia yang demikian. Al-Quran mengajak manusia untuk mengambil contoh dari manusia teladan ini. Karena al-Quran menyebut Nabi Ibrahim as sebagai manusia yang telah mencapai kedudukan "khalilullah" (kekasih Allah).
Nabi Ibrahim as telah mencapai kedudukan yang sedemikian tinggi,sehingga Rasulullah Saw juga diperintahkan untuk mengikuti ajaran-ajarannya yang benar. Itulah mengapa agama Islam sering pula disebut sebagai agama Ibrahimi, yang disebut dalam ayat-ayat ini sebagai agama terbaik.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Inti agama samawi adalah bersikap pasrah kepada Allah dan berbuat baik kepada orang lain.
2. Iman dan amal adalah dua hal yang saling berkaitan. Keduanya baru lengkap dan efektif bila berkumpul.
3. Sekalipun Allah Swt menyeru manusia kepada iman dan amal, namun Allah sama sekali tidak memerlukan semua itu. Karena Allah adalah Penguasa semua langit dan bumi dengan segala isinya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat ke 127
Artinya:
Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya. (4: 127)
Bila ayat-ayat pertama surat an-Nisaa berbicara tentang hukum nikah dan warisan bagi para wanita, ayat ini mengatakan, "Katakanlah kepada kaum lelaki, semua hukum yang telah diterangkan tentang hak-hak kaum wanita, semuanya berasal dari Allah Swt dan aku yang ditunjuk sebagai Nabi oleh Allah sama sekali tidak memiliki peran dalam menentukan hal ini. Bukan hanya hukum-hukum kaum wanita pada umumnya, dari segi warisan dan mahar, tetapi juga hukum yang berkenaan dengan para janda dan anak-anak yatim perempuan dan lelaki yang tidak memiliki pelindung. Semua itu diturunkan dari sisi Allah dan telah diterangkan di berbagai ayat al-Quran."
Ayat ini menjelaskan bahwa keadilan merupakan tolok ukur dalam setiap perlakuan terutama terhadap anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Karena keadilan meniscayakan penunaian hak-hak finansial dan kekeluargaan kaum perempuan serta anak-anak. Bukan hanya memberikan hak-hak mereka yang bersifat wajib, namun berbuat baik kepada mereka juga sangat ditekankan oleh Allah Swt.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Pada masa dimana kaum perempuan sama sekali tidak memiliki hak di dalam keluarga dan masyarakat, Islam datang membela hak-hak kaum perempuan, anak-anak dan para yatim.
2. Hukum-hukum Islam datang dari sisi Allah Swt. Sedangkan para nabi hanya bertugas menyampaikan serta menjelaskannya kepada masyarakat luas.
Ayat ke 128
Artinya:
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (4: 128)
Sebagai lanjutan ayat sebelumnya yang memesankan kepada kaum lelaki agar meperhatikan dan melindungi hak-hak kaum wanita, ayat ini berbicara kepada kaum wanita dengan mengatakan, "Sekalipun hukum-hukum dan masalah-masalah yang berkaitan dengan hak-hak kekeluargaan harus dijunjung tinggi, namun pemeliharaan pokok keluarga itu sendiri merupakan hal yang terpenting. Seandainya pemberian perhatian terhadap masalah tersebut akan menyebabkan kehancuran sistem keluarga, maka lebih baik kedua belah pihak, yaitu suami dan istri, memperlihatkan sikap toleran demi memelihara keutuhan keluarga.
Ayat ini mengingatkan segalanya harus dicegah sebelum masalah keluarga berakhir dengan perceraian. Hendaknya perselisihan keluarga diselesaikan dengan damai dan lapang dada. Jangan sampai keinginan-keinginan hawa nafsu, sikap kikir dan pandangan sempit menciptakan perpecahan di antara suami dan istri. Bahkan keduanya harus berusaha agar ikatan keluarga semakin kuat daripada sebelumnya dengan saling berbuat kebaikan.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Suami dan isteri harus memperkuat sifat pemaaf guna menjaga fondasi rumah tangga tetap kokoh.
2. Islam menekankan agar sedapat mungkin masalah rumah tangga diselesaikan tanpa campur tangan pihak lain.
3. Sistem undang-undang Islam selalu seiring dengan norma-norma akhlak. Terkait rumah tangga, Islam berbicara tentang "islah" untuk menyelesaikan masalah dengan damai, sementara untuk berbuat baik kepada sesama, Islam berbicara tentang "ihsan".
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 120-124
Ayat ke 120-121
Artinya:
Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. (4: 120)
Mereka itu tempatnya Jahannam dan mereka tidak memperoleh tempat lari dari padanya. (4: 121)
Dua ayat ini masih juga melanjutkan pembahasan ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang cara-cara setan menyesatkan manusia. Dalam ayat-ayat ini dijelaskan metode lain lagi seperti memberikan janji bohong dan setelah itu menjerumuskan manusia ke dalam angan-angan panjang dan kosong. Janji-janji bohong ini sering dipakai oleh setan dalam menyesatkan manusia.
Dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa Iblis mengumpulkan bala tentaranya, ketika ayat-ayat al-Quran mengenai pengampunan Allah Swt terhadap orang-orang yang berdosa telah diturunkan. Kepada mereka Iblis berkata, "Bila manusia bertaubat, maka seluruh jerih payah dan kerja keras kita akan sia-sia." Salah satu dari bala tentaranya berkata, "Setiap kali seseorang memutuskan untuk bertaubat, maka kita harus menyibukkannya dengan angan-angan kosong. Karena hal itu dapat membuatnya menunda-nunda keinginannya bertaubat. Akhirnya ia mengurungkan niatnya untuk bertaubat.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Terbiasa memiliki angan-angan yang jauh tanpa realisasi dapat menyebabkan seseorang terjatuh dalam perangkap setan.
2. Janji bohong kepada orang lain, sekalipun kepada anak kecil tetap merupakan perbuatan setan.
Ayat ke 122
Artinya:
Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah? (4: 122)
Bila ayat sebelumnya berbicara tentang janji-janji bohong setan kepada manusia, maka dalam ayat ini disebutkan bahwa janji yang diberikan Allah Swt semuanya benar. Allah menjanjikan kepada manusia akan surga dan pasti ditepatinya. Allah Swt tidak meminta manusia berangan-angan, tapi Dia meminta manusia agar beramal dan berusaha. Amal dan usaha itu juga harus baik dan mendatangkan kebaikan kepada orang lain. Sebuah amalan baik dengan niat yang bersih dan mulia yang dapat menjadi sumber perkembangan kesempurnaan orang yang bersangkutan.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Iman dan amal saleh senantiasa saling berkaitan erat dan tidak akan berpisah. Seorang tidak akan menjadi seorang mukmin tanpa amal saleh.
2. Kita harus percaya sepenuh hati kepada janji-janji Allah Swt. Janji akan adanya surga abadi yang tidak ada sedikitpun keraguan akan kebenarannya.
Ayat ke 123
Artinya:
(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. (4: 123)
Dalam ayat ini setan memberikan angan-angan kosong kepada manusia yang melakukan perbuatan dosa agar tetap tersesat dan tidak punya keinginan untuk bertaubat. Ayat ini menyebutkan, "Karena kalian adalah orang beragama, baik Islam atau Kristen, maka Allah Swt tidak akan menyiksa kalian. Allah hanya menimpakan siksaan-Nya kepada pemeluk agama yang lain. Dengan pemikiran seperti ini, setan tetap berusaha menyiapkan lahan bagi para pelaku dosa untuk tetap berbuat dosa. Dengan demikian, dari satu sisi mereka tetap bergelimangan dalam perbuatan dosa dan dari sisi lain, mereka telah menutup jalannya sendiri untuk bertaubat."
Oleh karenanya, ayat ini mengatakan, "Janganlah kalian bersenang dan berpuas hati dengan angan-angan dan cita-citanya kosong ini. Jangan pula kalian menyangka bahwa Allah Swt akan melakukan perhitungan secara khusus kepada kalian. Perlakuan khusus itu membuat kalian tidak disiksa! Tidak! Tidak demikian. Karena setiap orang yang berbuat dosa dari pemeluk keyakinan apapun atau dari etnis manapun pasti akan mendapat balasan dari setiap perbuatannya. Mereka yang berbuat dosa pasti akan mendapat siksa yang pedih."
Dalan sejarah disebutkan ada sebagian Muslimin berharap Nabi Muhammad Saw akan berpihak kepada Muslimin ketika mereka berselisih dengan orang-orang Ahli Kitab. Padahal dasar segala sesuatu adalah keadilan, bukan dukungan kepada sesama Muslim. Tolok ukurnya adalah sifat dan keadaan dimana seseorang itu berada dan tidak ada hubungannya dengan pertalian hubungan etnis, keluarga atau yang lainnya.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Tuntutan untuk diperlakukan secara khusus, adanya perasaan lebih baik dari orang lain dan pengharapan tidak pada tempatnya merupakan cara-cara setan untuk menyesatkan hamba-hamba Allah.
2. Ajaran Islam dan perintah-perintahnya bertumpu di atas kenyataan, bukan di atas khayalan dan kecenderungan pribadi.
3. Setiap orang sama di hadapan undang-undang ilahi adalah sama. Islam melarang penyalahgunaan nama dan ajaran agama.
Ayat ke 124
Artinya:
Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. (4: 124)
Sebagai lanjutan dari ayat sebelumnya, ayat ini menjelaskan kriteria umum ancaman hukuman ilahi. Ayat ini menjelaskan kriteria umum pemberian pahala di Hari Kiamat sebagai berikut; setiap orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, baik laki-laki maupun perempuan, yang melaksanakan perbuatan baik apapun, maka ia akan menikmati surga Allah. Pahala mereka tidak akan dikurangi sedikitpun. Hal penting lainnya dalam ayat ini, syarat diterimanya perbuatan baik seseorang dalam ayat ini dan juga ayat-ayat lainnya al-Quran adalah adanya keimananya kepada Allah Swt
Bila keimanan kepada Allah Swt menjadi syarat diterimanya perbuatan baik seseorang, maka dengan sendirinya menjadi jelas mengapa orang yang tidak beriman tidak diterima perbuatan baiknya oleh Allah Swt. Karena seseorang yang tidak beriman kepada Hari Kiamat dan pahala-pahala di hari itu, maka sudah barang tentu ia tidak akan mengharapkan balasan apapun dari Allah Swt. Namun bukan berarti tempatnya adalah di neraka. Karena boleh jadi Allah dengan rahmat dan karunia-Nya yang Maha Luas akan memasukkan orang yang melakukan kebaikan tanpa iman ini ke dalam surga-Nya pula. Akan tetapi yang demikian itu berbeda dengan pengharapan kepada pahala dan hak menerima ganjaran yang baik di akhirat kelak.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Imam kepada Allah penyebab dimasukkannya manusia ke dalam surga, bukan harapan kosong. Semua manusia memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh rahmat Allah.
2. Perempuan dan laki-laki sama dalam kemampuan mencapai kesempurnaan maknawi. Tidak ada suatu pembatasan apa pun bagi mereka dalam rangka memperoleh tahap-tahap kesempurnaan.
3. Iman adalah syarat diterimanya amal perbuatan, sedangkan perbuatan-perbuatan baik manusia-manusia yang tidak beriman akan mendapatkan balasan di dunia saja.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa ayat 115-119
Ayat ke 115
Artinya:
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (4: 115)
Salah satu dari bahaya yang mengancam seorang mukmin adalah keluar dari agama dan melakukan penentangan secara sadar kepada pemimpin ilahi dan petunjuk mereka yang hak. Meskipun pada zaman kita sudah tidak ada lagi nabi, sehingga seseorang tidak dapat lagi menentang pribadi beliau langsung, tetapi penentangan terhadap jamaah muslimin akan menyebabkan perpecahan dan perselisihan di kalangan mereka. Perbuatan ini termasuk yang dilarang dalam ayat ini dan dikategorikan sebagai sikap permusuhan terhadap Rasulullah Saw. Jika seseorang melakukan permusuhan terhadap muslimin, maka dapat dipastikan ia akan menerima pemerintahan zalim di dunia dan di akhirat akan mendapat siksa yang amat pedih.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Adanya anggota masyarakat Islam yang melawan dan tidak menaati lagi pemimpinnya yang hak akan dihukumi sebagai penentangan terhadap Nabi Saw.
2. Allah Swt tidak akan menyiksa seseorang tanpa menyempurnakan hujjah. Mula-mula Allah menyediakan segala petunjuk-Nya. Ketika seseorang menyimpang dari petunjuk tersebut barulah akan menurunkan azab.
Ayat ke 116-117
Artinya:
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (4: 116)
Yang mereka sembah selain Allah itu, tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah syaitan yang durhaka. (4: 117)
Ketika Islam muncul di Mekah, warga Mekah masih menyembah patung yang memiliki nama perempuan seperti Lata, Manat dan Uzza. Mereka juga berkeyakinan bahwa para malaikat adalah anak-anak perempuan Tuhan dan segala macam urusan kehidupan berada di tangan mereka. Karena itulah mereka menyembah malaikat-malaikat itu. Ayat-ayat ini dengan tegas menolak segala bentuk keyakinan khurafat seperti ini dan mengatakan, "Mereka sebenarnya mengikuti pemikiran setan yang batil. Keyakinan syirik semacam ini hanya akan menggiring manusia kepada kesesatan dan penyelewengan.
Jelas, bahwa setiap orang musyrik tidak mau meninggalkan kemusyrikannya dan tidak menyembah Allah yang Maha Esa, maka Allah Swt tidak akan mengampuninya. Di satu sisi, seorang mukmin yang memiliki pemikiran dan keyakinan yang benar bila suatu waktu tergelincir dan jatuh dalam perbuatan dosa, maka masih ada kesempatan baginya untuk memperoleh kelembutan dan rahmat Allah Swt. Pengampunan Allah berdasarkan kesalehan dan kelayakan seseorang yang ditimbang oleh hikmah dan maslahat ilahi.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dosa terbesar adalah syirik atau menyekutukan Allah. Perbuatan ini akan menutup pintu rahmat ilahi.
2. Setiap jalan penyelewengan akan berakhir pada sebuah jalan setan. Orang yang menjauhkan diri dari kebenaran tidak memiliki pelindung kecuali setan.
3. Penyembahan kepada selain Allah hakikatnya adalah penyembahaan kepada setan.
Ayat ke 118-119
Artinya:
Yang dilaknati Allah dan syaitan itu mengatakan: "Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bahagian yang sudah ditentukan (untuk saya) (4: 118)
Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya". Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. (4: 119)
Orang-orang Musyrik tidak hanya menyembah patung dan berhala lalu menyebutnya sebagai perantara antara dirinya dan Tuhan. Tidak hanya menganggap mereka sebagai pembantu Allah di bumi, tapi mereka juga mengorbankan sebagian hasil peternakan dan pertanian merela sebagai nadzar untuk patung-patung itu. Mereka membagi-bagi binatang sembelihan mereka dan menentukan bagian tertentu untuk patung-patung sesembahan mereka dengan memberinya tanda. Dengan memberi tanda diketahui bahwa bagian itu khusus untuk berhala-berhala. Mereka juga melarang siapapun untuk memanfaatkan daging tersebut.
Dalam ayat tersebut, Allah Swt menyebut keyakinan dan perbuatan semacam itu sebagai ajaran setan dan berfirman, "Setan telah bersumpah akan menyesatkan hamba-hamba Alah dan membuka peluang bagi kesesatan mereka. Oleh sebab itu, mereka dan para penngikut mereka terjauh dari rahmat Allah Swt.
Di antara ajaran-ajaran setan untuk menyimpangkan manusia, yang disinggung dalam ayat ini, mengaharapkan sesuatu yang tidak pada tempatnya serta mengubah ciptaan Allah Swt. Jelas bahwa khurafat dan berharap keselamatan dari berhala akan menciptakan harapan-harapan kosong yang membawa manusia kepada kesesatan. Begitu juga tentang mengubah ciptaan Allah Swt dan undang-undang ilahi termasuk di antara jalan setan yang menjauhkan manusia dari fitrah sucinya.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Setan adalah musuh bebuyutan manusia. Oleh karenanya, manusia harus selalu sadar agar tidak terperosok ke dalam jurang yang diciptakannya.
2. Mengharamkan hal-hal yang halal termasuk di antara ajaran sesat setan. Demikian pula menghalalkan yang haram.
3. Setan akan menyesatkan siapa saja dengan cara tertentu. Ada dengan cara memberikan harapan kosong dan ada juga yang lewat upaya mengubah ciptaan Allah dan begitulah seterusnya.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 110-114
Ayat ke 110
Artinya:
Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4: 110)
Sebelumnya telah disebutkan bahwa Allah Swt telah memperingatkan kepada orang-orang Mukmin dari segala bentuk pengkhianatan, penyembunyian kebenaran dan dukungan kepada para pengkhianat. Allah juga mengingatkan mereka akan balasan siksa yang sangat pedih di Hari Kiamat. Ayat ini memberitakan tentang terbukanya pintu taubat dan mengatakan, "Barangsiapa berbuat jahat kepada orang lain atau melakukan perbuatan dosa dan menzalimi diri sendiri, lalu ia meminta ampun kepada Allah Swt, maka Allah akan mengampuninya dan mencurahkan rahmat-Nya kepada hamba tersebut."
Dalam hal ini tidak ada bedanya antara dosa kecil ataupun dosa besar. Karena di sisi Allah Swt yang penting adalah taubat dan permintaan ampun dari dosa yang dapat menarik ampunan Allah dan mengembalikan rahmat-Nya. Yang pasti, jelas bahwa bila suatu dosa menyebabkan kerugian harta atau nyawa orang lain, maka kerugian tersebut harus ditebus dan yang demikian itu merupakan syarat diterimanya taubat tersebut. Tanpa penebusan itu taubat tidak akan diterima.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dosa pada hakikatnya adalah kezaliman pada diri sendiri. Sementara manusia tidak berhak menganiaya bahkan dirinya sendiri.
2. Allah Swt tidak hanya mengampuni perbuatan jahat, tetapi menyukai orang yang berbuat taubat. Allah mengasihi orang-orang yang bertaubat.
Ayat ke 111-112
Artinya:
Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (4: 111)
Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata. (4: 112)
Dua ayat ini, selain menekankan dampak negatif dosa juga mengingatkan bahwa pelaku dosa sebelum menimpakan kerugian kepada orang lain dan masyarakat, sesungguhnya ia telah menimpakan kerugian pada dirinya sendiri. Karena dengan berbuat dosa itu maka fitrah suci dan ilahinya akan tercemari. Ia akan kehilangan kebersihan hati serta kesucian jiwanya dan ini adalah kerugian yang terbesar.
Selain itu, berdasarkan sunnah ilahi yang berlaku di dalam tatanan sosial, segala bentuk kezaliman dan kejahatan terhadap masyarakat, lambat atau cepat dampaknya akan kembali kepada pelakunya. Pelaku kejahatan itu akan mengalami kesulitan di dunia karena perbuatan jahatnya itu. Poin yang lebih penting dalam ayat ini, menuduh orang lain oleh al-Quran disebut sebagai serangan dan aksi kejahatan terhadap orang lain yang merusak nama baik orang itu.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dosa bukan sesuatu yang sudah dilakukan dan lalu selesai. Dosa berdampak pada mental dan jiwa pelaku dosa.
2. Orang yang menuduh orang lain memikul dosa berat di pundaknya. Karena ia telah menjatuhkan kehormatan orang lain di depan khalayak ramai.
Ayat ke 113
Artinya:
Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu. (4: 113)
Dalam riwayat-riwayat yang dinukil oleh buku sejarah disebutkan ada sekelompok orang musyrik yang mendatangi Rasulullah Saw dan berkata, "Kami siap berbaiat dan memeluk agama anda dengan dua syarat; pertama, patung-patung yang ada di tangan kami tidak perlu kami pecahkan. Kedua, untuk setahun kedepan, izinkan kami untuk tetap menyembah Uzza.
Sebagai jawaban atas permintaan mereka dengan dua syarat itu, ayat ini diturunkan kepada Rasulullah Saw, "Mereka tidak berniat mendapat petunjuk, tapi berniat menyesatkanmu. Sedangkan Allah Swt mengajarkan kepadamu al-Kitab dan Hikmah. Dengan rahmat-Nya Dia menjagamu dari segala bentuk penyelewengan".
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah Swt senantiasa menjaga Nabi Muhammad Saw dari segala bentuk kesalahan dan penyelewengan. Inilah yang dimaksud dengan maksum atau keterjagaan yang dianugerahkan Allah khusus kepada para nabi.
2. Allah Swt memberikan pelajaran kepada Nabi Saw. Sudah barang tentu pelajaran ini tidak akan pernah salah sedikitpun.
Ayat ke 114
Artinya:
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (4: 114)
Selain menyinggung satu kasus akhlak yang tidak baik, yaitu berbicara dengan berbisik-bisik dan sembunyi-sembunyi, ayat ini berkata, berbicara dengan bisik-bisik bukan perbuatan terpuji, kecuali yang menuntut harus disembunyikan seperti pembicaraan rahasia.
Dalam ayat ini dibolehkan melakukan perbuatan secara sembunyi-sembunyi seperti berinfak kepada orang miskin. Bahkan dalam ayat-ayat lain ditekankan kepada pelaku infak agar melakukannya secara rahasia dan tidak diketahui oleh orang lain. Begitu juga dengan kewajiban amar makruf dan nahi mungkar. Karena seseorang yang melakukan kewajiban ini secara sembunyi-sembunyi, hasil dan dampaknya lebih besar. Tapi yang lebih penting lagi, cara ini dapat menciptakan ketenangan dan kedamaian di tengah masyarakat serta keluarga dan juga dapat melindungi kehormatan orang lain.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Di dalam pergaulan sosial, memlihara nama baik orang lain merupakan pokok yang harus diperhatikan dengan baik.
2. Nilai mulia suatu pekerjaan kembali pada keikhlasan pelakunya. Merahasiakan perbuatan baik akan semakin mendekatkannya kepada keikhlasan.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 104-109
Ayat ke 109
Artinya:
Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (4: 104)
Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, setelah kekalahan kaum Muslimin dalam peperangan Uhud, orang-orang Kafir Mekah memutuskan untuk menyerang kota Madinah, untuk membunuh kaum Muslimin yang tersisa, sekaligus membasmi agama Islam.Tetapi dengan turunnya ayat ini Nabi Muhammad Saw langsung memerintahkan mobilisasi kaum Muslimin, bahkan mereka yang terluka di dalam perang sebelumnya juga ikut siap siaga untuk membela dan mempertahankan Islam. Kekompakan dan kesiapan umum ini telah menyebabkan pasukan Kafir Mekah berubah pikiran dan mengurungkan rencana penyerangan tersebut.
Poin penting yang disinggung oleh ayat ini, dalam setiap pertempuran kedua belah pihak pasti akan mengalami luka atau tertawan dan pada puncaknya terbunuh. Tetapi yang penting adalah tujuan yang akan dicapai. Pasukan Islam memiliki harapan kepada pertolongan Allah Swt dan turunnya pertolongan ilahi kepada mereka. Sedangkan pasukan Kuffar tidak memiliki tempat pelarian dan perlindungan. Orang-orang Mukmin yang luka dan tewas di dalam pertempuran akan mendapatkan pahala yang besar yaitu surga. Tetapi orang-orang Kafir yang tewas yang tidak memiliki keyakinan akan Hari Kiamat, mereka tidak akan memperoleh apa pun kecuali siksa yang lebih pedih di akhirat.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sebagian kekalahan menghadapi musuh tidak boleh berdampak pada kelemahan mental dalam menghadapi mereka. Kaum muslimin memiliki mental yang kokoh dengan bertawakal kepada Allah Swt.
2. Harapan kepada rahmat Allah Swt merupakan modal yang paling besar bagi tentara Islam. Oleh karenanya, baik gugur sebagai syahid atau menang, semua menjanjikan kebahagiaan bagi mereka.
3. Berbagai kesulitan yang kita tanggung dalam melaksanakan tugas agama, tidak akan dilupakan begitu saja. Allah Swt mengetahui semua itu dan akan memberikan pahala sesuai dengan hikmah-Nya.
Ayat ke 105-106
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (4: 105)
Dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4: 106)
Berdasarkan beberapa riwayat, seorang muslim telah mencuri sebuah baju besi. Ketika perbuatannya itu hampir ketahuan, ia menjatuhkan barang curian tersebut ke rumah seorang Yahudi. Kemudian ia meminta kepada teman-temannya agar menjadi saksi bahwa orang Yahudi itulah yang mencuri. Rasulullah Saw membebaskan muslim itu berdasarkan kesaksian mereka dan menuduh orang Yahudi itu yang mencuri. Saat itu ayat ini turun memberitahukan kepada Nabi Saw duduk perkara yang sebenarnya.
Dalam perkara pengadilan seorang hakim dituntut untuk memperoleh bukti-bukti yang kuat dari kedua belah pihak dan harus mencari jalan untuk mencegah penyalahgunaan undang-undang oleh para penjahat. Dalam peristiwa ini jalan penyelesaian diperoleh melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Saw dan bantuan ilahi yang sekaligus merupakan bukti kebenaran kenabian Muhammad Saw. Hal ini juga menunjukkan hubungan beliau dengan Allah Swt, sekaligus mencegah pemberian hukuman kepada orang yang tidak bersalah, sekalipun ia hanya seorang Yahudi.
Dari dua ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Al-Quran diturunkan berdasarkan hak dan sebagai dasar bagi seluruh hakikat bagi manusia. Oleh sebab itu, seharusnya al-Quran dijadikan sebagai dasar dalam proses pengadilan dan hakim harus menjadikan al-Quran sebagai dasar pijakannya dalam mengadili siapapun.
2. Tuduhan orang lain tidak bisa dijadikan sebagai bukti kesalahan seorang tertuduh. Asas praduga tak bersalah juga sangat sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan jika seorang kafir sekalipun mendapat tuduhan dari seorang muslim, maka ia harus dibela, apalagi bila ternyata memang ia tidak bersalah.
Ayat ke 107-109
Artinya:
Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa. (4: 107)
Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak redlai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan. (4: 108)
Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah)? (4: 109)
Allah Swt dalam tiga ayat ini memberikan peringatan kepada dua kelompok. Pertama kepada kepada hakim. Ayat ini mengatakan, dalam melaksanakan pengadilan hendaknya jangan membela pengkhianat dan tidak melanggar rambu-rambu kebenaran. Jangan menyangka bahwa tidak ada orang yang mengawasi perbuatan kita. Karena Allah Swt Maha Mengetahui semua pekerjaan Anda. Kedua kepada orang membela pengkhianat dan jahat. Allah Swt berfirman, "Sekalipun usaha kalian berhasil di dunia, tapi itu tidak akan berguna di akhirat kelak."
Point yang menarik dalam hal ini, dalam ayat 107, Allah berfirman, "Orang yang berkhianat sebelum mengkhianati orang lain, ia telah berkhianat dan menzalimi dirinya sendiri. Karena, mula-mula ia kehilangan kebersihan fitrah ilahi dan terjauh dari ketulusan serta semangat keadilan. Dengan perbuatannya itu ia telah membuka peluang bagi orang lain untuk menzalimi dan berkhianat juga kepadanya.
Dari tiga ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dalam budaya al-Quran, anggota masyarakat diserupakan dengan bagian anggota tubuh. Bila anggotanya berkhianat, berarti telah mengkhianati dirinya sendiri.
2. Keyakinan bahwa Allah Swt mengetahui seluruh pikiran, ucapan dan perbuatan kita sebagai unsur takwa paling penting.
3. Seandainya hakim membebaskan pengkhianat di dunia, tapi di Hari Kiamat Allah Swt akan memberikan balasan yang setimpal. Orang yang dizalimi di dunia tidak boleh berputus asa. Karena di akhirat Allah akan menjadi pembelanya.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 100-103
Ayat ke 100
Artinya:
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4: 100)
Dalam penjelasan sebelumnya telah disebutkan bahwa orang-orang Mukmin tidak terikat dengan kota dan negerinya. Karena yang utama bagi mereka adalah menyembah Allah Swt dan bukan menghambakan diri kepada negerinya. Oleh sebab itu, apabila mereka tidak bisa menjaga agama dan ibadahnya di negerinya sendiri, maka mereka harus berhijrah. Ayat ini mengatakan, bahwa jangan menyangka bahwa bumi ini hanya berakhir di kota dan negeri kalian saja. Bumi Allah sungguh sangat luas. Barangsiapa keluar dari rumahnya dan berhijrah karena Allah, maka Allah akan membukakan kepadanya pintu keberhasilan. Ia akan memperoleh kelapangan hidup yang lebih banyak di dunia ini. Disamping itu, bila maut menjemputnya dalam perjalanan hijrah tersebut, maka pahalanya telah tersedia di sisi Allah.
Meskipun dalam ayat ini, hijrah yang disebutkan adalah hijrah dalam rangka menjaga agama, namun seluruh hijrah yang bermotivasi ilahi tercakup di dalamnya. Sebagaimana berhijrah untuk menuntut ilmu atau berdakwah.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kita dituntut untuk melaksanakan tugas dan kewajiban kita, bukan memikirkan hasil. Dengan kata lain, kita harus berhijrah terlebih dahulu demi menyelamatkan diri dan agama, ketimbang diam yang membahayakan diri dan agama.
2. Dengan berpangku tangan dirumah, seseorang tidak akan mencapai apa pun. Ia berusaha dan berjuang menggapai cita-cita dan itu berarti ia telah bergerak dan berhijrah.
3. Bila sudah pasti, maka lakukan langkah yang telah dipilih. Bila meninggal atau dibunuh di tengah jalan, pahalanya adalah syahid di jalan Allah.
Ayat ke 101
Artinya:
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. (4: 101)
Ayat ini menjelaskan hukum shalat bagi orang yang bepergian. Kaum Muslimin di awal munculnya Islam begitu memperhatikan shalat, sehingga mereka melakukannya dengan sempurna, terutama jumlah rakaatnya, seperti yang diperintahkan Allah Swt. Dalam ayat ini, Allah Swt menurunkan ayat ini dengan hukum baru. Disebutkan bahwa bila dalam keadaan jihad dan berada dalam perjalanan hijrah, dimana bahaya musuh mengancam, maka mereka diperintahkan untuk memperpendek rakaat shalat agar tidak memberi peluang musuh menyerang mereka.
Sejak saat itu hingga kini, hukum yang terkandung dalam ayat ini diberlakukan secara umum. Yaitu, mencakup segala bentuk perjalanan. Dengan demikian, maka setiap musafir yang berada dalam perjalanan, harus memperpendek rakaat shalatnya, bila telah memenuhi syarat seorang musafir seperti yang dijelaskan dalam buku-buku fiqih. Shalat yang pada mulanya empat rakaat menjadi dua rakaaat.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sekalipun tengah melakukan shalat, seorang muslim tidak boleh lengah menghadapi musuh. Sebuah lembaga, bahkan negara termasuk dalam hukum ini. Bila negara Islam dalam bahaya, maka untuk mempertahankannya, maka seorang muslim harus memperpendek shalatnya.
2. Kewajiban shalat atas manusia tidak pernah gugur dalam keadaan apapun. Bahaya yang mengancam tidak menggugurkan shalat, tapi shalat diringkas atau qashar.
Ayat ke 102-103
Artinya:
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu], dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu. (4: 102)
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (4: 103)
Sebagai kelanjutan ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang kewajiban memperpendek shalat ketika berada dalam keadaan berjihad, ayat ini menjelaskan bagaimana melakukan shalat berjamaah dalam situasi perang. Shalat berjamaah dalam kondisi perang ini disebut dengan shalat "Khouf" yang berarti takut. Tata cara pelaksanaannya dilakukan dengan membuat dua kelompok. Satu kelompok bersama Imam jamaah berdiri melakukan shalat dengan senjata tetap bersama mereka. Setelah mereka melakukan sujud kedua dalam rakaat pertama, maka rakaat kedua dilakukan secara munfarid atau sendiri. Shalat mereka dilakukan dua rakaat, tidak lebih dan segera disempurnakan.
Setelah kelompok pertama ini selesai dengan dua rakaat mereka, maka kelompok kedua datang menjadi makmum untuk melakukan shalat dua rakaat bersama Imam, sebagai mana kelompok pertama. Sementara itu kelompok pertama yang sudah selesai, menggantikan kelompok kedua berjaga-jaga dengan senjata siap di tangan. Dengan cara ini, mereka tetap melaksanakan shalat, tanpa memberi kesempatan kepada musuh untuk menyerang. Di sini, shalat tetap dilaksanakan dengan berjamaah selama hal itu memungkinkan.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Sedemikian pentingnya nilai shalat berjamaah, sampai-sampai di medan perangpun tetap dilaksanakan.
2. Dalam keadaan apa pun senantiasa harus waspada, sampai dalam shalat pun kaum Muslimin tidak boleh lengah dari bahaya musuh.
3. Penentuan waktu khusus untuk shalat sudah ditetapkan di dalam syariat. Umat Islam diminta untuk menjaga dan berpegang teguh dengannya.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 95-99
Ayat ke 95-96
Artinya:
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. (4: 95)
(yaitu) beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4: 96)
Sebagai lanjutan keterangan sebelumnya dimana Allah Swt menegaskan kepada kaum Mukminin agar tidak tergesa-gesa dalam menentukan perkara musuh, ayat ini menyeru mereka untuk pro aktif di medan jihad melawan musuh. Demi membangkitkan semangat kaum Mukminin yang takut atau cinta dunia Allah mengingatkan kedudukan para mujahidin yang maju ke medan perang tidak dengan kaum Mukminin yang hanya berdoa dan shalat serta tinggal di rumah. Dalam ayat ini Allah berfirman, "Para mujahidin memiliki derajat yang lebih mulia." Sedangkan di akhir ayat ini disebutkan, "Bukan saja derajat, tetapi pahala yang sangat besar juga menunggu mereka. Pahala dan balasan yang disertai dengan rahmat serta kecintaan ilahi."
Tentu saja Allah Swt tidak membebankan taklif atau kewajiban yang berat kepada manusia. Karena itu, siapa saja yang memiliki tubuh yang lemah dan sakit, maka ketidakhadiran mereka di medan perang dapat dimaklumi dan dimaafkan. Apabila mereka membantu para mujahidin, baik secara materil maupun moril, maka mereka juga akan memperoleh pahala. Sekalipun dalam ayat ini ditekankan sebanyak tiga kali tentang keutamaan para mujahidin dibanding orang-orang yang duduk dan tinggal di rumah, tetapi hal ini bukan berarti tidak mempedulikan pengabdian dan jerih payah orang lain. Karena itu, ayat ini menekankan, Allah Swt menjanjikan pahala dan balasan bagi seluruh kaum Mukminin. Keutamaan para mujahidin memang benar, tetapi hal itu sama sekali bukan berarti mengesampingkan orang lain.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Keadilan di dalam masyarakat Islam bukan berarti menyamakan kedudukan semua mukmin. Ikut dalam berjihad dengan sendiri menjadi keistimewaan yang harus diperhatikan umat Islam. Tapi para mujahidin tidak boleh memiliki harapan yang tidak pada tempatnya.
2. Syarat memperoleh rahmat ilahi adalah pembersihan dan penyucian diri yang dimulai dengan permohonan ampun.
3 Sekalipun Allah Swt adalah Maha Pengampun dan Maha Pengasih, namun peluang untuk memperoleh ampunan dan rahmat-Nya berada di tangan manusia sendiri.
Ayat ke 97
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (4: 97)
Berdasarkan riwayat-riwayat yang tercatat dalam buku-buku sejarah, sebagian Muslimin yang tinggal di Mekah, terkadang akibat kekhawatiran atas atas keselamatan jiwanya, mereka bersedia bekerjasama dengan orang-orang kafir. Sebagian dari mereka bahkan ikut di dalam kelompok orang-orang kafir ketika memerangi Muslimin serta terbunuh di dalam peperangan tersebut. Ayat ini turun dan menyebut mereka ini sebagai orang yang telah melakukan dosa dan kesalahan. Cinta tanah air dan kampung halaman merupakan alasan yang tidak bisa diterima untuk menjalin kerjasama dengan musuh. Ayat ini menegaskan bahwa yang penting adalah penjagaan agama, sekalipun untuk itu seseorang harus melakukan hijrah dari satu tempat ke kekawasan lain.
Hal yang patut dicermati berdasarkan ayat ini ada pada saat ajal datang menjemput. Karena manusia bertemu dengan malaikat Allah dan mereka berbicara dengan manusia tersebut, serta menegur dan mengungkapkan kesalahan manusia itu.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Bukan hanya Allah Swt tetapi para malaikat juga mengetahui amal perbuatan manusia.
2. Berhijrah dari lingkungan kafir dan dosa adalah wajib. Sebagaimana menjadi anggota pasukan kafir adalah haram.
3. Dasar dalam kehidupan adalah penyembahan Allah Swt bukan memuja tanah air. Seseorang harus mengubah lingkungannya atau berpindah dari tempat tersebut.
Ayat ke 98-99
Artinya:
Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). (4: 98)
Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (4: 99)
Sebagai kelanjutan ayat sebelumnya, dimana berhijrah untuk menjaga agama dinyatakan sebagai suatu kewajiban, ayat ini mengecualikan orang-orang mukmin yang tidak memiliki kemampuan untuk berhijrah. Artinya, mereka yang lemah untuk berhijrah tidak dituntut untuk melakukan sesuatu di luar kemampuannya.
Pada dasarnya di dalam Islam kemampuan merupakan syarat taklif (kewajiban). Orang yang tidak memiliki kemampuan berpikir atau jasmani, maka ia tidak akan masuk dalam lingkar kewajiban ilahi. Sebagaimana di dalam ayat ini, orang laki-laki dan perempuan yang lemah disejajarkan dalam hal ini dengan anak-anak dan dianggap sebagai mustadhaf (lemah).
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Hijrah yang dibicarakan oleh ayat ini tidak hanya wajib atas laki-laki dewasa, tetapi juga atas seluruh anggota keluarga, baik wanita maupun anak-anak, kecuali jika mereka tidak memiliki kemampuan.
2. Allah hanya akan menerima alasan yang sebenarnya dan bukan yang dibuat-buat.