
کمالوندی
Tugas Para Penanti Sang Juru Selamat
Meski Imam Hasan Askari as, cucu Rasulullah Saw, gugur syahid di tahun 260 hijriah, yang membuat umat Muslim tenggelam dalam kesedihan, akan tetapi berita gembira kepemimpinan Imam Mahdi as, putra beliau dan sekaligus hujjah terakhir Allah Swt di muka bumi, menerangi dan memberikan harapan besar pada hati umat. Oleh karena itu, pada hari ini; hari dimulainya kepemimpinan Imam Mahdi as sang juru selamat dan penegak keadilan sejati di dunia, diperingati sebagai hari raya.
Rasulullah Saw bersabda: "Bintang-bintang adalah tempat tinggal untuk mereka yang berada di langit, jika bintang-bintang itu musnah maka mereka yang di sana juga akan musnah. Jika Ahlul Bait tiada, maka manusia di muka bumi juga akan Sirna."
Imam Mahdi as merupakan hujjah terakhir di antara para imam maksum as dari keturunan Rasulullah Saw yang akan memenuhi bumi dengan keadilan—setelah dipenuhi dengan kezaliman dan ketidakadilan. Dia adalah hujjah tersembunyi Allah Swt untuk umat manusia . Dimulainya kepemimpinan matahari kemuliaan dan keadilan ini sejatinya adalah berkah bagi umat manusia.
Selama berabad-abad Imam Mahdi as berada di balik tabir ghaibah dan harapan kemunculan beliau menjadi penenang hati umat manusia yang selalu galau. Ghaibah bukan sebuah fenomena tunggal dan pertama terjadi terhadap Imam Mahdi as, karena banyak riwayat yang menyebutkan bahwa sejumlah nabi juga pernah mengalami ghaibah. Ini terjadi demi maslahat dan hikmah yang diketahui Allah Swt.
Imam Ja'far as-Shadiq as berkata, "Sesungguhnya untuk Imam Mahdi (as) kami akan terjadi ghaibah yang sangat lama." Perawi menanyakan sebab ghaibah Imam Mahdi as itu dan beliau menjawab, "Allah ingin memberlakukan sunnah para nabi dalam ghaibah mereka terhadap Imam Mahdi as."
Menanti kemunculan Imam Mahdi as itu berarti berharap dan mempersiapkan diri untuk masa depan yang lebih baik. Anggap saja seperti seseorang yang menanti anaknya yang sedang sakit, dia sedang menanti kesembuhan anaknya. Yakni dia ingin mengakhiri kondisi yang sedang terjadi dan menyambut kondisi lebih baik. Oleh karena penantian itu tersusun atas dua unsur; berakhirnya kesulitan yang terjadi dan munculnya kondisi ideal dan sesuai. Dengan kata lain, penantian yakni menerawang jauh menuju masa depan dan berupaya untuk kondisi ideal tersebut.
Penantian itu sendiri terbagi menjadi dua, pertama penantian yang dangkal dan tidak komitmen dan kedua penantian yang sejati dan berkomitmen. Penantian yang dangkal itu adalah bentuk penantian secara lahiriyah, temporal dan pengungkapan penantian itu hanya sekedar pada doa serta peringatan-peringatan keagamaan saja. Akan tetapi penantian yang sejati dan berkomitmen adalah sebuah gerakan berkomitmen yang dibarengi dengan upaya konstan dan konstruktif baik secara individu maupun sosial. Imam Ja'far as-Shadiq as dalam hal ini berkata, "Para penanti kemunculan Imam Mahdi as bergerak menuju kemunculan dan mengamalkan tujuan-tujuan kemunculan tersebut dan penantian seperti ini sendiri dinilai sebagai kedatangan dan keterbukaan."
Imam Ali al-Ridho as berkata, "Betapa indah kesabaran dan harapan menanti kedatangan (Imam Mahdi as)." Penantian adalah termasuk di antara tugas para sahabat Imam Mahdi as, yang merupakan amalan batin yang memiliki banyak pengaruh dan berkah lahiriyah. Penantian kemunculan dan kedatangan Imam Mahdi as berarti penantian penegakan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan sejati di dunia. Penantian seperti ini merupakan di antara ibadah terbaik. Penantian sang juru selamat dunia, bukan sekedar slogan saja, karena seorang penanti memiliki tugas-tugas yang harus dilaksanakan dengan serius dan mempersiapkan perwujudan janji-janji Allah Swt. Imam Ja'far as-Shadiq as berkata, "Pemerintahan keluarga Muhammad pada akhirnya akan terbentuk, maka siapa saja yang menjadi sahabat Imam Mahdi as, harus selalu berhati-hati dan bertakwa, menghiasi dirinya dengan akhlak yang baik dan kemudian menanti kemunculannya Imam Mahdi as."
Mengenal Imam Mahdi as adalah tugas pertama seorang mukmin yang menanti kemunculan beliau. Pengenalan tersebut tentunya berdasarkan prinsip-prinsip ketauhidan dan kenabian. Tugas terpenting seorang penanti adalah berusaha mencapai makrifat wujud suci Imam Mahdi as, karena manusia yang tidak mengenal imam dan kedudukannya tidak akan dapat menentukan tugasnya. Rasulullah Saw bersabda, "Barang siapa mati tanpa mengenal imam zamannya, maka dia mati dalam kondisi jahiliyah."
Dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengenal secara proporsional imam zamannya dan menyerahkan diri pada perintah imamnya, maka keutamaan yang didapatkannya dari imamnya adalah kestabilan di jalan dan makrifat Allah Swt, yang merupakan sumber dari semua keutamaan. Makrifat imam zaman merupakan sumber dan hulu seluruh kebaikan yang menjamin kebahagiaan sempurna.
Kemunculan sang juru selamat dunia itu menuntut unsur-unsur kemanusiaan yang siap dan bernilai, yang mampu memikul beban berat tugas islah di seluruh penjuru dunia. Kesiapan tersebut pada tahap awalnya memerlukan wawasan dan pengetahuan tingkat tinggi serta persiapan ruh dan jasmani dalam menjalankan tugas-tugas besar.
Termasuk di antara tugas penanti adalah membenahi, mendidik dan mempersiapkan diri untuk kemunculan Imam Mahdi as. Dalam al-Quran disebutkan, "Telah kami tulis dalam Zabur setelah Taurat, hamba-hamba saleh akan menjadi pewaris dunia." Oleh karena itu, para sahabat dan penanti sejati Imam Mahdi as, adalah para hamba saleh dan bertakwa yang memiliki iman kokoh. Berbagai riwayat dalam Islam juga menyebutkan mereka adalah orang-orang yang benar-benar mengenal Allah Swt, bertakwa, mencapai makrifat atas kepemimpinan para imam dan meyakini imamah hujjah terakhir Allah Swt di muka bumi. Para penanti seperti ini juga akan menghiasi diri mereka dengan akhlak mulia dan adab serta berpegang teguh pada agama dan meningkatkan keimanan dan keyakinannya, juga berserah diri di hadapan agama dan perintah Ahlul Bait as.
Salah satu dimensi lain dari penantian adalah persiapan untuk kebangkitan universal Imam Mahdi as. Manusia penanti selalu berharap pada masa depan dan terus bergerak maju serta tidak mungkin dapat stagnan pada satu titik. Oleh karena itu, penanti sejati bak seorang pejuang di medan perang yang selalu siap menanti perintah untuk melancarkan serangan. Pada saat yang sama, penanti hakiki berkewajiban untuk menjaga orang lain. Artinya, selain membersihkan diri sendiri, dia juga harus berusaha untuk mengislah orang lain, karena penantian ini bukan masalah individu melainkan sebuah program yang meliputi semua unsur revolusi dan dilakukan bersama-sama.
Pengaruh penting lain dari penantian Imam Mahdi as ini adalah tidak tercampur dalam kefasadan lingkungan dan tidak menyerah di hadapan pencemaran batin. Pemahaman penantian yang jelas dan benar menuntut manusia untuk berusaha secara berkesinambungan mempersiapkan diri dan masyarakat menyambut kemunculan Imam Mahdi as. Masa kemunculan sang juru selamat tidak diketahui oleh karena itu dituntut kesiapan setiap saat.
Rahbar atau Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei, menjelaskan penantian Imam Mahdi as dan kondisi para penantinya mengatakan, "Para penanti Imam Mahdi as, mengharapkan terangnya kehidupan umat manusia serta diakhirinya era kezaliman dan pelanggaran. Kejahatan zalim dan penindasan para penguasa imperialis dunia tidak akan mampu memadamkan harapan di hati mereka. Para penanti Imam Mahdi as tidak pernah ragu bahwa era kezaliman, perusakan dan pelanggaran akan berakhir dan kekuatan kebenaran akan meruntuhkan semua pilar kefasadan dan pelanggaran. Kami percaya bahwa dengan kemunculan Imam Mahdi as, pemikiran serta akal manusia akan lebih inovatif dari semua era sebelumnya serta perdamaian dan keamanan akan ditegakkan secara universal. Kita semua harus berusaha demi mewujudkan era tersebut sehingga semakin hari dunia akan semakin mendekati era ideal tersebut."
Muhammad Saw, Pionir Kebangkitan dan Perubahan
Bulan maulid adalah bulan keberkahan dan kebahagiaan untuk memperingati kelahiran manusia agung yang pernah hidup di jagad ini. Dia adalah Muhammad Saw, pribadi mulia yang menerangi semesta dan menyelamatkan umat manusia dari kesesatan. Para penulis sejarah Muhammad pada umumnya sepakat bahwa ia lahir pada Tahun Gajah, yaitu tahun 570 Masehi, yang merupakan tahun gagalnya tentara Abrahah menyerang Kabah. Nabi Muhammad Saw lahir di kota Makkah, di bagian selatan Jazirah Arab, suatu tempat yang ketika itu merupakan daerah paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni, maupun ilmu pengetahuan.
Hampir semua ahli hadis dan sejarawan sepakat bahwa Muhammad lahir di bulan Rabiul Awal, kendati mereka berbeda pendapat tentang tanggalnya. Di kalangan Syiah meyakini bahwa ia lahir pada hari Jumat, 17 Rabiul Awal, sedangkan kalangan Sunni percaya bahwa ia lahir pada hari Senin, 12 Rabiul Awal. Kelahiran bayi mulia ini disambut gembira oleh keluarga Bani Hasyim. Di negeri Persia, kelahiran Muhammad bin Abdillah memadamkan api keramat yang selama seribu tahun tidak pernah padam. Kelahiran Muhammad juga mambuat dinding istana Raja Kisra retak dan empat belas menaranya runtuh. Muhammad lahir dengan membawa janji risalah terakhir dari Allah Swt untuk umat manusia.
Masa sebelum kenabian lazim disebut sebagai zaman Jahiliyah. Kata Jahiliyah diambil dari kata Jahl yang berarti bodoh. Dengan demikian, masa Jahiliyah berarti zaman kebodohan atau kegelapan. Memang, bangsa Arab di zaman itu layak mendapat sebutan tersebut, karena selain tidak mengenal baca tulis, bangsa yang hidup di Jazirah Arab ini juga memiliki kebiasaan dan perilaku bodoh. Mereka menjadikan berhala-berhala karyanya sebagai tuhan untuk disembah, mengubur anak perempuan hidup-hidup, dan bertawaf mengelilingi Kabah dalam keadaan telanjang. Muhammad lahir untuk mengikis kebodohan bangsa Arab dan umat manusia secara umum dengan cahaya iman dan ilmu.
Sejak lahir, Muhammad telah menunjukkan keistimewaan yang luar biasa. Kepedihan sebagai anak yatim telah menempa pribadi Muhammad dan mempersiapkannya untuk menjadi manusia agung dan pionir perubahan di dunia ini. Selama empat tahun, Muhammad hidup terpisah dari sang ibu, Aminah binti Wahb dan tinggal di tengah keluarga Halimah as-Saadiyah. Setelah berumur empat tahun, Halimah dengan berat hati melepas Muhammad dan mengembalikannya kepada sang ibu.
Muhammad Saw diutus untuk mengajarkan manusia akan cinta dan kasih sayang, kemanusiaan, dan kebebasan. Beliau diberi tugas untuk mengajarkan hikmah, penyucian diri, dan menjadi teladan bagi umat manusia. Meski Rasulullah Saw mengemban risalah besar dari Allah Swt, namun beliau berperilaku sederhana layaknya masyarakat biasa. Nabi Muhammad Saw adalah hamba yang saleh dan menjelaskan kebenaran dengan argumentasi dan logika. Beliau dengan kekuatan iman dan kelembutan telah menghancurkan pondasi kebatilan dan memadamkan api bujukan setan yang menyesatkan manusia. Di samping itu, beliau juga telah menebarkan suara kebenaran kepada umat manusia.
Sejak kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa, Muhammad dikenal oleh masyarakat sebagai sosok yang memiliki kepribadian agung, jujur, penyantun, gemar menolong, dan berjiwa besar. Ketinggian akhlaknya membuat kagum bangsa Arab khususnya suku Quraisy di Makkah. Berbeda dengan para pemuda dan masyarakat di zaman itu, Muhammad tidak tertarik kepada kehidupan yang hanya mengejar kesenangan duniawi. Putra Abdullah ini gemar menyendiri di lereng-lereng gunung atau di Gua Hira untuk menghindari kehidupan syirik dan menyibukkan diri dengan beribadah dan bermunajat kepada Allah.
Di Gua Hira, Muhammad menemukan ketenangan batin yang tidak ia dapatkan di Makkah. Akhirnya, pada suatu hari ketika usianya menginjak 40 tahun, saat berada di Gua Hira, Muhammad mendengar suara yang mengajaknya untuk membaca. Untuk pertama kalinya, Muhammad menerima ayat yang turun dari Allah Swt. Iqra bismi rabbikalladzi khalaq, bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Ayat ini adalah yang pertama kalinya turun kepada Muhammad yang menandai kenabiannya.
Imam Ali as berkata, "Lalu Allah mengutus Muhammad sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Dia adalah yang terbaik di alam semesta sebagai anak dan yang tersuci sebagai orang dewasa, yang paling suci dari yang disucikan dalam perangainya, yang paling dermawan di antara mereka yang didekati karena kedermawanan." Di bagian lain, Imam Ali as mengatakan, "Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, manusia pilihan yang dipilih-Nya. Dia menerangi berbagai negeri setelah sebelumnya berada dalam kesesatan yang gelap dan kejahilan yang merajalela." "Muhammad adalah pengemban amanah wahyu-Nya, penutup para rasul-Nya, penyampai berita gembira akan rahmat-Nya, dan pemberi peringatan akan siksa-Nya."
Misi utama agama Islam adalah pendidikan dan perbaikan individu-individu masyarakat sehingga mereka menjadi bersih dari kotoran dan noda. Tanpa pendidikan dan perbaikan, manusia bukan saja tidak akan membentuk sebuah masyarakat ideal, tetapi juga akan menjadi perusak masyarakat itu sendiri. Sementara Rasulullah Saw adalah figur sukses yang mampu membangun bangsa dari serba keterpurukan menjadi bangsa yang mulia dan berjaya. Berbagai kisah sukses kehidupan Nabi Muhammad Saw perlu direalisasikan dalam konteks kehidupan umat Islam saat ini.
Rasul Saw telah menyampaikan sebuah ajaran yang dilandasi oleh persamaan dan persaudaraan. Beliau berhasil mengubah Makkah dan Madinah menjadi zona dengan sistem pemerintahan yang sempurna dan membentuk masyarakat Madani atau masyarakat yang purna, damai, dan sejahtera. Tidak hanya itu, Nabi Muhammad Saw mampu memperbaiki nasib bangsa Arab dan umat manusia, lalu menyatukan mereka di bawah panji Islam. Umat manusia dari bermacam etnis, suku bangsa, ras, dan, golongan bersatu padu dan membentuk front persatuan berkat kerja keras Rasulullah.
Selain meletakkan dasar-dasar interaksi antar sesama manusia, Nabi Muhammad Saw juga membangun hubungan manusia dengan Allah Swt melalui ajaran luhur yang dibawanya. Salah satu masalah yang sangat ditekankan oleh Rasulullah adalah urusan shalat. Beliau menyebut shalat sebagai pilar agama dan menekankan umatnya untuk selalu menunaikan kewajiban agama itu. Shalat dapat menentramkan jiwa dan menjadi sarana penghubung intensif antara hamba dan Allah Swt. Selain itu, shalat juga disebut sebagai tanda terima kasih atas karunia tak terbatas Sang Pencipta. Dalam surat al-Kautsar disebutkan, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkorbanlah."
Kedatangan manusia agung ini juga untuk menghapus semua atribut yang telah menciptakan jarak dalam hubungan sosial masyarakat. Rasul Saw mengumumkan kepada semua bahwa warna kulit dan suku bukan lagi simbol keunggulan. Parameter baru kemuliaan manusia adalah ketakwaan mereka dan kedekatannya dengan Allah Swt. Manusia diciptakan untuk menghambakan diri kepada Allah Swt dan ketakwaan merupakan manifestasi paling indah dari penghambaan ini. Allah Swt berfirman, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS: 49:13).
Seorang penulis Kristen dari Romania, Constantin Virgil Gheorghiu dalam bukunya ‘Mohammad Peyghambari Ke az no Bayad Shenakht' menulis, "Sejujurnya, Muhammad adalah pribadi yang paling suci, paling baik, dan mutiara alam semesta. Ia lahir ke dunia dari garis keturunan yang paling suci, dari permata yang paling berkilau, dan dengan sejarah yang paling bersih. Ia tumbuh di jantung padang pasir, di bawah langit yang cerah, dan di pangkuan yang suci. Muhammad – di bawah ajaran tauhid para leluhurnya seperti Ibrahim – berlepas diri dari kemusyrikan dan penyembahan berhala dan dengan hati yang arif, ia beriman kepada Tuhan Yang Esa."
Sifat dan perilaku mulia yang dimiliki oleh Rasulullah Saw membuat nama beliau masih dikenang hingga sekarang. Setiap harinya orang yang mengimaninya dan risalahnya semakin bertambah. Setiap hari jutaan umat Islam di pelbagai penjuru dunia dalam shalatnya mengucapkan penyaksian akan risalah beliau dan mengucapkan janji setia akan cita-cita beliau. Dan setiap tahun, umat Muslim dunia selalu memperingati Maulid Nabi untuk lebih mengenal sosok Muhammad dan mengimplementasikan ajaran-ajaran beliau dalam kehidupan sehari-hari.
Imam Shadiq as; Mujahid Tak Kenal Lelah di Bidang Keilmuan
Imam Shadiq as hidup bersama kakeknya, Imam Sajjad as hingga berusia 12 tahun dan menerima ilmu dari beliau. Setelah kakeknya wafat, Imam Shadiq as hidup di sisi ayahnya Imam Muhammad Baqir as. Oleh karena itu, terlepas dari ilmu-ilmu ilahi yang didapatkannya dari Allah sebagaimana yang diberikan kepada setiap imam maksum, Imam Shadiq telah mencapai kesempurnaan ilmu dan makrifat dari ayah dan kakeknya karena potensi dan kecerdasan yang dimilikinya. Pasca wafatnya sang ayah, Imam Shadiq as mengemban tugas sebagai pemimpin kaum Muslimin selama 34 tahun dan selama itu pula beliau berhasil mendirikan "Mazhab Jakfari", sehingga menjadikan ajaran kakeknya, Rasulullah Saw kembali lurus dan terjaga.
Kehidupan penuh berkah Imam shadiq as bertepatan dengan masa kekhilafahan lima orang penguasa Bani Umayah. Masing-masing dari lima orang khilafah ini senantiasa menyakiti fisik dan jiwa Imam Shadiq as. Beliau juga hidup semasa dengan dua orang penguasa Bani Abbas, Saffah dan Mansur. Kezaliman kedua penguasa Bani Abbas ini tidak lebih ringan dari Bani Umayah. Sehingga pada satu dekade terakhir usianya, Imam Shadiq as benar-benar hidup dalam ketidakamanan dan kesulitan.
Masa Imam Shadiq as adalah masa kebangkitan umat Islam melawan pemerintahan Bani Umayah. Sehingga tekanan politik di akhir pemerintahan Bani Umayah sedikit melonggar dan kota Madinah dapat merasakan kebebasan yang lebih dari sebelumnya. Imam Shadiq as menggunakan kesempatan ini dan mendirikan sebuah pusat keilmuan yang besar. Universitas ini banyak melahirkan pribadi-pribadi yang terdidik dan menguasai pelbagai macam ilmu keislaman. Mereka ada yang ahli hadis, faqih besar, teolog dan masing-masing dari mereka menjalankan tugasnya sesuai dengan keahliannya.
Selama 34 tahun masa keimamahannya, Imam Shadiq as mengajar dan mendidik murid-muridnya dengan pelbagai macam keilmuan dan yang paling penting adalah menghidupkan Sunnah Rasulullah Saw di tengah-tengah umat Islam. Imam Shadiq as bahkan pernah meninggalkan Madinah selama dua tahun karena tekanan para penguasa Bani Abbasiahdan hidup di Hirah, sebuah kota di dekat Kufah. Di sana juga Imam Shadiq mendirikan pusat pendidikan besar dan mendidik murid-muridnya.
Masa peralihan kekuasaan Bani Umayah ke Bani Abbasiah merupakan masa yang paling kacau dalam kehidupan Imam Shadiq as. Pada saat yang sama, di masa Imam Shadiq as muncul beragam pendapat dan ajaran serta ideologi. Terjadi pertentangan beragam pemikiran filosofi dan teologi yang muncul karena interaksi kaum Muslimin dengan penduduk negara-negara yang telah ditaklukkan dan juga hubungan antara pusat-pusat Islam dan dunia luar. Di dalam dunia Islam sendiri muncul semangat dan kegigihan untuk memahami dan meneliti.
Di masa seperti ini, sedikit keteledoran dan kelalaian akan menyebabkan kemusnahan dan kehancuran agama dan ajaran Islam. Dalam krisis semacam ini Imam Shadiq as berpikir untuk menyelamatkan pemikiran dan keyakinan sekelompok umat Islam dari atheisme, kemusyrikan dan kekufuran sekaligus mencegah agar jangan sampai masyarakat menyimpang dari prinsip-prinsip dan pengetahuan Islam yang sejati. Beliau harus melakukan pekerjaan ini sementara Bani Abbasiah sedang berada di tampuk kekuasaan dan kondisi saat itu benar-benar menekan dan tidak menyenangkan, sementara para sahabat beliau terancam bahaya kematian.
Sebagai contoh, Jabir Ju'fi salah satu sahabat khusus Imam Shadiq as sedang berada dalam perjalanan menuju Kufah untuk melaksanakan perintah Imam. Di tengah perjalanan utusan Imam yang lain menemuinya dan berkata, "Imam mengatakan, "Berpura-puralah sebagai orang gila!" Karena anjuran inilah Jabir selamat dari kematian. Penguasa Kufah secara rahasia di perintahkan oleh khalifah untuk membunuh Jabir, namun ia mengurungkan niatnya karena beranggapan bahwa Jabir gila.
Dalam kondisi sesulit ini Imam Shadiq as berhasil mewujudkan tempat pembelajaran keilmuan yang besar yang hasilnya adalah beliau memiliki 4 ribu murid dalam pelbagai macam bidang keilmuan. Mereka menyebar di seluruh wilayah negara-negara Islam. Menghidupkan kembali ajaran Islam menjadikan Imam Jakfar Shadiq as dikenal sebagai pemimpin mazhab Jakfari atau Syiah. Imam Shadiq as sebagai pejuang tak kenal lelah berjuang di kancah pemikiran dan amal dan mendirikan sebuah kebangkitan keilmuan. Kebangkitan semacam ini perlu dalam upaya mengeluarkan hakikat agama dari tengah-tengah khurafat dan hadis-hadis palsu sekaligus bertahan menghadapi serangan pemikiran menyimpang dengan kekuatan logika dan argumentasi.
Di masa Imam Shadiq as, teologi dan hikmah Islam mampu tumbuh menghadapi filsafat Yunani. Imam Shadiq as mampu mendidik para filosof dan hakim dengan ilmu-ilmu keislaman. Di sisi lain, masalah fiqih dan teologi yang pada waktu itu dibahas secara terpisah-pisah, Imam Shadiq as berhasil membahasnya secara sistematik. Fiqih Jakfari yang dibangun beliau adalah perintah-perintah agama dari Allah Swt yang disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. Fiqih yang kaya ini menjelaskan hukum-hukum Islam yang ada sejak masa Nabi Saw. Abu Hanifah, Imam Mazhab Hanafi tentang Imam Shadiq as berkata, "Saya tidak pernah melihat dan mengetahui ada orang yang lebih faqih dan alim dari Jakfar Shadiq as."
Imam Shadiq as sering melakukan dialog dan diskusi tentang agama dan akidah dengan para sahabatnya yang juga menjadi muridnya. Pada prinsipnya, satu dari metode tablig para Imam Maksum as adalah melakukan dialog dengan para pemimpin atau tokoh mazhab, agama, ateis dan mereka yang suka bertanya. Metode ini juga dipakai oleh Imam Shadiq as dalam menyebarkan agama Islam. Beliau banyak melakukan dialog dengan para ahli fiqih, perbintangan, teolog dan lain-lain. Untungnya kebanyakan dialog yang dilakukan beliau dicatat dalam sumber-sumber sejarah dan hadis.
Imam Shadiq as memiliki akhlak mulia seperti para Imam Maksum as sebelumnya. Hatinya penuh dengan cahaya ilahi dan terkenal dengan kemurahan hatinya membantu dan menolong orang-orang miskin. Dengan penuh kerendahan hati beliau sendiri melakukan segala pekerjaannya. Beliau membawa cangkul dan dengan diterpa matahari yang panas, beliau melakukan pekerjaannya bercocok tanam. Imam Shadiq as berkata, "Bila aku menemui Allah dalam kondisi sedang bekerja seperti ini, maka aku akan menjadi orang yang berbahagia. Karena aku menjamin bekal dan kehidupanku dan keluarga dengan keringat yang ada di dahiku ini."
Sekaitan dengan sifat pemaaf Imam Shadiq as diriwayatkan bahwa ada seseorang yang mendatangi beliau dan berkata, "Saya telah bertemu dengan seseorang yang berbicara tentang keburukanmu." Mendengar itu Imam Shadiq as bangkit lalu mengambil air wudhu dan berdiri sambil melaksanakan shalat. Perawi kemudian mengatakan, "Aku berkata dalam hati bahwa Imam Shadiq as pasti mengutuk orang itu." Tapi ternyata setelah Imam Shadiq as selesai melaksanakan shalatnya, beliau berdoa, "Ya Allah! Saya memaafkan dia sebatas hak saya. Engkau lebih pemurah dari diriku. Oleh karenanya maafkan dia dan jangan menyiksanya!"
Imam Shadiq as berkata, "Setan berkata bahwa ada lima kelompok manusia yang tidak bisa aku kuasai. Lima kelompok manusia itu adalah; Seseorang yang berlindung kepada Allah Swt dengan ikhlas dan percaya kepada Allah dalam semua pekerjaannya. Seseorang yang banyak mengucapkan tasbih kepada Allah di siang dan malam hari. Seseorang yang menerima apa saja yang diterima oleh saudara mukminnya. Seseorang yang tetap sabar ketika terkena musibah. Dan seseorang yang rela dengan apa yang diberikan oleh Allah Swt dan tidak pernah sedih dengan rezeki yang dimilikinya."
Nasihat Imam Ridha as Kepada Pengikut Ahli Bait
Imam Ridha as dalam sebuah nasihat bijak kepada para pengikut Ahli Bait meminta mereka agar meninggalkan debat sia-sia yang tidak ada untungnya bagi mereka dan lebih baik bersikap diam.
Abdul Azhim Hasani termasuk perawi terpercaya dan pecinta Ahli Bait as. Sekaitan dengan dirinya, Imam Hadi as pernah berkata, "Sesungguhnya engkau adalah pecinta kami."
Suatu hari Imam Ridha as melihat Abdul Azhim Hasani dan mengajarkannya beberapa nasihat bijak agar menyampaikannya kepada para pengikut Ahli Bait. Isi nasihat Imam Ridha as itu sebagai berikut:
"Wahai Abdul Azhim! Sampaikan salamku kepada para pecinta Ahli Bait dan katakan kepada mereka:
1. Jangan beri jalan kepada setan ke dalam hati.
2. Hendaknya jujur dalam berucap dan menjadi orang yang amanah.
3. Tinggalkan debat yang sia-sia dan tidak ada untungnya bagi mereka dan lebih baik bersikap diam.
4. Memperhatikan dan bersilaturahmi dengan mereka. Karena perbuatan ini membuat mereka lebih dekat kepada saya.
5. Jangan sampai mereka saling bermusuhan dan berkata buruk. Karena saya berjanji barangsiapa yang melakukan pekerjaan ini dan mengganggu seorang pecintaku atau membuatnya marah, saya memohon kepada Allah Swt agar menyiksanya dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.
6. Katakan kepada mereka, "Demikianlah Allah mengampuni mereka yang berbuat baik dan memaafkan kesalahan mereka, kecuali di antara mereka ada yang berbuat syirik atau mengganggu para pecintaku atau dengki terhadap mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan memaafkannya, sehingga mengubah perbuatan buruknya dengan kebaikan. Kapan saja ia meninggalkan perbuatan buruk ini, ampunan Allah akan meliputinya. Bila tidak, maka ruh iman akan keluar dari hatinya, terpisah dari wilayah kami dan tidak ada manfaatnya wilayah kami baginya. Wa'udzubika Min Dzalik. (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
(Al-Ikhtishas dan Bihar al-Anwar)
Sumber: Qudsonline
Hadis Akhlak Ushul Kafi: Mengganggu Muslimin
Mengganggu Muslimin
1. Imam Shadiq as berkata, "Allah Swt berfirman, ‘Barangsiapa yang mengganggu hamba-Ku yang mukmin berarti ia telah mengumumkan perang dengan-Ku."(1)
2. Imam Shadiq as menukil dari Rasulullah Saw berkata, "Allah Swt berfirman, ‘Barangsiapa yang menghina seorang dari teman-teman-Ku, maka sesungguhnya ia telah mempersiapkan dirinya untuk berperang dengan-Ku."(2)
3. Imam Shadiq as berkata, "Rasulullah Saw bersabda, ‘Allah Swt berfirman, ‘Barangsiapa yang merendahkan hamba-Ku yang mukmin, berarti ia secara terang-terangan telah bangkit untuk berperang dengan-Ku."(3)
4. Imam Shadiq as berkata, "Siapa saja yang merendahkan seorang mukmin dikarenakan tidak memiliki apa-apa dan kemiskinannya, Allah Swt akan mengungkap rahasianya di hadapan semua orang di Hari Kiamat."(4) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Vajeh-haye Akhlak az Ushul Kafi, Ibrahim Pishvai Malayeri, 1380 Hs, cet 6, Qom, Entesharat Daftar Tablighat-e Eslami.
Catatan:
1. Bab Man Adza al-Muslimin wa Ihtaraqahum, hadis 1.
2. Ibid, hadis 3.
3. Ibid, hadis 6.
4. Ibid, hadis 9.
Baca juga:
Nahjul Balaghah: Umur Manusia (Bagian Pertama)
Modal Bernama Umur
Syarat pertama untuk memanfaatkan umur adalah manusia harus menyadarinya sebagai modal dasar.
Dengan modal yang dimilikinya, manusia dapat melakukan apa saja, bahkan menambah modalnya, sehingga mendapat untung yang lebih banyak. Tapi terkadang ada saja orang yang mengalami kerugian. Mendapat keuntungan atau mengalami kerugian bergantung pada sejumlah faktor. Cara menggunakan modal dengan baik dan benar serta memiliki pengalaman serta keseriusan merupakan faktor-faktor tersebut. Dengan sedikit kelalaian saja maka seseorang akan merugi dalam memanfaatkan modalnya.
Siapa saja akan dapat meraih kebahagiaan ketika mampu memanfaatkan dengan baik umur dan kesempatan yang dimiliki. Dengan sarana ini manusia memperluas kebahagiaan itu dan membaginya dengan orang lain.
Imam Ali as setiap kali naik ke atas mimbar, sebelum memulai khutbahnya, beliau senantiasa memperingatkan mereka yang hadir dengan ucapannya:
"Wahai Manusia! Bertakwalah kepada Allah. Karena manusia tidak diciptakan sia-sia, sehingga boleh menyia-nyiakan dirinya dan tidak pula ia dibiarkan tanpa diurusi, sehingga ia boleh berbuat sia-sia." (Nahjul Balaghah, Hikmah 370)
Setiap berlalunya siang dan malam, modal ini akan diambil dari manusia. Artinya, setiap saat manusia manusia tengah menyerahkan sebagian dari usianya. Dalam kondisi seperti ini, manusia harus melihat apa yang diraihnya.
Imam Ali as berkata:
"Seseorang tidak akan melewati sehari dari umurnya, kecuali dengan memusnahkan hari lain dari umurnya." (Nahjul Balaghah, Khutbah 145)
Setiap kali manusia bernapas, berarti ia telah maju selangkah mendekati garis terakhir dari umurnya dan perlahan-lahan modal ini akan mencapai titik nol.
Bila umur merupakan modal, maka manusia harus menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat. Karena umur manusia menunggangi tubuh dan harus digunakan sedemikian rupa sehingga mencapai tujuan yang diinginkan. Kesempatan dan fasilitas harus menjadi tangga untuk meraih kesempurnaan ruh. Bila manusia tidak mampu meraihnya, itu berarti ia menjadi pecundang.
Imam Ali as berkata:
"Ambil tubuh kalian dan gunakan untuk ruh kalian dan jangan kikir menggunakan tubuh untuk tujuan ruh." (Nahjul Balaghah, Khutbah 183)
Benar, setiap orang pasti memikirkan dirinya, tapi ada yang hanya memikirkan tubuhnya dan yang lain memikirkan ruhnya. Sebagian melihat tubuh sebagai yang prinsip dan yang lain melihat ruh. Pertanyaannya, mana dari keduanya yang paling penting?
Banyak orang yang di akhir umurnya menyesali mengapa selama hidup tidak menggunakan umurnya untuk hal-hal yang bermanfaat. Hal ini seperti seseorang yang menggunakan modalnya di jalan yang tidak menguntungkan, bahkan membuatnya merugi.
Imam Ali as dalam sebuah ucapannya yang penuh hikmah menggambarkan kondisi orang-orang tengah berada pada tahapan akan meninggalkan dunia yang tiba-tiba sadar dari tidurnya selama ini. Tapi mengapa sekarang? Ketika semua kekuatannya telah hilang dan amanat yang ada di tangannya harus dikembalikan dan kematian mendatanginya. Pada waktu, ia bahkan kehilangan kekuatan untuk berbicara. Ia berada di tengah-tengah keluarganya. Sekalipun mereka tengah melihatnya, tapi tidak ada yang dapat mereka lakukannya untuknya. Saat itulah ia berpikir, "Apa yang aku lakukan dengan umurku dan bagaimana aku melalui hari-hariku!" (Nahjul Balaghah, Khutbah 109)
Dalam Mukaddimah Golestan Sa'di disebutkan:
Wahai orang miskin yang pergi ke pasar
Saya takut engkau kembali dengan tangan kosong (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Javad Moheddesi, Darsha-i az Nahjul Balaghah, Daftar-e Avval, cet 1, 1391 Hs, Mashad, Bonyad Pezhouhesha-ye Eslami.
Mukmin Senantiasa Membutuhkan Nasihat
Dalam kehidupan modern saat ini, sebagian orang tidak mau mendengarkan nasihat orang lain. Padahal sebagian nasihat menjadi solusi atas masalah yang dihadapinya. Kebutuhan akan nasihat orang lain merupakan kelaziman dari kehidupan sosial. Mendengar nasihat orang lain tidak berarti harus melakukannya, sama halnya dengan melakukan musyawarah dengan orang lain. Karena mendengarkan pendapat orang lain tidak pernah merugikan manusia. Bila itu sesuai dengan pendapatnya sendiri, maka nasihat atau pendapat orang lain menjadi penguat atas apa yang dipikirkan selama ini. Sementara bila itu tidak sesuai dengan pendapatnya, maka orang itu telah siap saat terjadi peristiwa yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Itulah mengapa dalam hadis disebutkan, "Maa Khaaba Man Istasyaara", tidak akan merugi orang yang bermusyawarah dan mendengarkan pendapat orang lain.
Berikut ini kita akan bersama-sama membaca ucapan para Maksumin as tentang kebutuhan seorang mukmin akan nasihat orang lain:
Menerima nasihat
Luqman al-Hakim berkata:
"Wahai anakku! Terimalah nasihat orang lain dan amalkan itu. Karena nasihat pada orang yang berakal lebih manis dari madu."(1)
Hasil dari menerima nasihat
Imam Ali as berkata:
"Barangsiapa yang menerima nasihat, ia akan selamat dari terungkapnya aib."(2)
Nasihat kebutuhan seorang mukmin
Imam Jawad as berkata:
"Seorang mukmin membutuhkan tiga hal; Taufik dari Allah Swt, penasihat dari dalam dirinya dan menerima nasihat orang lain."(3)
Hak pemberi nasihat
Imam Sajjad as berkata:
"Hak pemberi nasihat adalah hendaknya engkau bersikap rendah hati kepadanya, mempersiapkan hati untuk memahami nasihatnya, mendengarkan nasihatnya, bila ucapannya benar, maka bersyukurlah kepada Allah dan menerimanya ..." (4)
Pemberani nasihat terbaik
Imam Ali as berkata:
"Tidak ada pengingat manusia yang lebih baik dari nasihat."(5) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Catatan:
1. Irsyad al-Qulub, jilid 1, hal 72.
2. Ghurar al-Hikam, jilid 5, hal 277, hadis 8344.
3. Bihar al-Anwar, jilid 78, hal 358, hadis 1.
4. Tuhaf al-Uqul, hal 269.
5. Ghurar al-Hikam, hadis 10623 dan Mizan al-Hikmah, hal 600.
Sumber: Farhangnews
Indahnya Membantu Orang Lain Menurut Imam Ridha as
Membantu orang lain dan melakukan perbuatan baik merupakan satu dari keistimewaan para Imam Maksum as. Setiap kali berbicara mengenai kewajiban seorang muslim, para Imam Maksum as dengan pelbagai ungkapan menyebut berbuat baik sebagai salah satu prinsip nilai dalam masyarakat Islam.
Dalam budaya Islam, berbuat baik kepada orang lain muncul dalam banyak tema pembahasan dan disebut sebagai jembatan bagi akhirat, ladang akhirat, perdagangan penuh keuntungan, bekal jalan, kemenangan ilahi dan lain-lain.
Membantu orang lain dan melayani manusia bermakna memenuhi kebutuhan mereka dari jalan yang benar, baik dari sisi materi maupun spiritual. Berbuat baik dikenal dalam budaya Islam sebagai ibadah yang paling penting. Diriwayatkan dari Rasulullah Saw, "Orang yang memenuhi kebutuhan saudara mukminnya, seperti orang yang beribadah kepada Allah seumur hidupnya."(1)
Imam Ridha as dalam pelbagai kesempatan mengingatkan tradisi baik ini dan menilainya sebagai perbuatan yang agung. Beliau juga menyebut berbuat baik kepada orang lain dapat menyebabkan panjang umur(2) dan menyarankan manusia untuk berbuat baik dan bersedekah.
Imam Ridha as meriwayatkan dari ayahnya hingga kepada Rasulullah Saw berkata, "Harta manusia yang paling baik dan bermanfaat adalah yang disedekahkan."
Sekaitan dengan pengaruh dan ragam sedekah, Imam Ridha as mengatakan, "Bersedekahlah, sekalipun sedikit. Karena setiap yang sedikit bila dilakukan demi Allah dengan niat yang ikhlas dinilai besar dan agung di sisi Allah Swt." "Dengan memberi sedekah, kalian memohon rezeki yang lebih banyak dari Allah Swt." "Obati orang yang sakit dengan sedekah." "Setiap perbuatan baik itu seperti sedekah dan dengan demikian ia memiliki pahala sedekah." Dan juga, "Membantu orang lemah dan miskin merupakan sedekah terbaik."
Di tempat lain Imam Ridha as menyebut kehidupan ideal ada pada upaya manusia menjamin kehidupan orang lain dan membantu orang miskin. Beliau berkata, "Kehidupan terbaik milik siapa yang dapat menjamin kehidupan orang lain yang hidup bersamanya."(3)
Pada hakikatnya, setiap apa saja yang dibelanjakan di jalan Allah, sekalipun sedikit, tetap dihitung besar oleh Allah Swt. Sekaitan dengan hal ini Imam Ridha as berkata, "Bersikaplah seimbang dalam pengeluaran! Seimbang ketika memiliki harta atau tidak. Begitu juga dalam berbuat baik, apakah itu sedikit atau banyak. Karena sesungguhnya Allah menilai besar pemberian sebagian biji buah kurma, sehingga di Hari Kiamat pahalanya itu seperti gunung Uhud."
Beliau di tempat lain berkata, "Berlakulah kepada masyarakat sebagaimana engkau menginginkan bagaimana mereka berlaku kepadamu."(4)
Imam Ridha as berkata, "... Pernah terjadi terjadi kekeringan yang luar biasa di masa Bani Israil selama beberapa tahun. Ada seorang perempuan yang memiliki segenggam roti. Ketika ia hendak memasukkan roti itu ke dalam mulutnya, ada seorang peminta-minta yang mendatanginya dan berkata, ‘Wahai hamba Allah! Saya lapar!'
Perempuan itu berkata pada dirinya, ‘Sedekah pada saat seperti ini sangat baik.'
Ia kemudian mengeluarkan roti itu dari mulutnya dan memberikannya kepada peminta itu. Perempuan ini memiliki seorang anak kecil yang sedang pergi mengumpulkan kayu bakar di gurun. Tiba-tiba ada serigala mendatanginya dan akan membawanya. Anak itu berteriak. Ibunya mendengar teriakan anaknya dan mengejar serigala itu.
Pada waktu itu, Allah Swt mengutus malaikat Jibril. Ia mengambil anak itu dari mulut serigala dan memberikannya kepada ibunya.
Kepada ibunya malaikat Jibril berkata, ‘Wahai hamba Allah! Apa yang hendak dimakan serigala itu sebagai balasan makanan yang hendak engkau makan, tapi tidak jadi dan engkau memberikannya kepada seorang peminta. Apakah engkau rela dengan semua ini?"(5)
Catatan:
1. Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, jilid 93, hal 383.
2. Al-Kafi, jilid 2, hal 152.
3. Tuhaf al-Uqul, hal 448.
4. Musnad al-Imam Ridha as, jilid 1, hal 385.
5. Tsawab al-‘Amal wa ‘Iqab al-‘Amal, Syeikh Shaduq, Dar ar-Ridha, Tarjomeh Bandar Rigi, hal 301.
Sumber: Qudsonline
Hadis Akhlak Ushul Kafi: Menyakiti Orang Tua
Menyakiti Orang Tua
1. Imam Shadiq as berkata, "Menyakiti orang tua yang paling sederhana adalah ketika mengatakan "Uffin" (ah) kepada mereka. Bila ada yang lebih kecil dan lebih hina dari itu, maka sudang barang tentu itupun akan dilarang."(1)
2. Rasulullah Saw bersabda, "Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, maka engkau akan mendapat tempat di surga. Tapi bila engkau menyakiti mereka, maka tempatmu di neraka."(2)
3. Imam Shadiq as berkata, "Barangsiapa yang melihat kedua orang tuanya dengan pandangan permusuhan, sementara keduanya juga berbuat zalim kepadanya, Allah tidak akan menerima shalatnya."(3)
4. Rasulullah Saw bersabda, "Jangan menyakiti orang tua! Karena bau surga dapat dirasakan dari jarak 1000 tahun, tapi mereka yang menyakiti orang tua tidak dapat merasakannya."(4) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Catatan:
1. Bab al-‘Uquq, hadis 1.
2. Ibid, hadis 2.
3. Ibid, hadis 5.
4. Ibid, hadis 6.
Sumber: Vajeh-haye Akhlak az Ushul Kafi, Ibrahim Pishvai Malayeri, 1380 Hs, cet 6, Qom, Entesharat Daftar Tablighat-e Eslami.
Imam Ali as dan Tata Kelola Pemerintahan
Salah satu tantangan besar yang dihadapi manusia modern adalah metode para pemimpin dan penguasa dalam mengelola pemerintahan dan negara. Kebanyakan penindasan, perilaku tirani, dan perampasan hak-hak rakyat bersumber dari tata kelola pemerintahan yang salah dan penyimpangan para penguasa. Masalah pemerintahan sejak dulu telah menjadi perhatian serius para filosof seperti, Plato dan Aristoteles serta para pemikir setelah mereka. Para filosof menekankan nilai-nilai moral dan keadilan dalam mengelola pemerintahan serta menyarankan para penguasa untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan mereka.
Namun setelah munculnya berbagai mazhab pemikiran dan teori-teori tentang sistem pemerintahan, manusia modern justru menyaksikan berbagai kasus penyimpangan moral dalam mengatur negara dan juga penyalahgunaan kekuasaan di negara-negara dunia. Dengan memperhatikan sejarah tata kelola pemerintahan di berbagai belahan dunia, sistem pemerintahan Imam Ali as dan nasehat-nasehat cemerlang beliau kepada para penguasa merupakan salah satu contoh ideal dalam mengelola negara.
Salah satu karakteristik terpenting Imam Ali as adalah komitmennya membentuk masyarakat yang berkeadilan. Pandangan Imam Ali as terhadap pemerintahan sangat berbeda kontras dengan sikap para politisi yang haus kekuasaan. Metode politik dan pemerintahan Imam Ali as berpijak pada prinsip-prinsip yang mendorong masyarakat untuk mencapai kesempurnaan secara material dan spiritual. Dalam pandangan beliau, kezaliman dan ketidakadilan menghalangi manusia mencapai kesempurnaan dan tujuan penciptaan.
Prinsip pemerintahan Imam Ali as adalah poros ketuhanan. Beliau memandang pemerintahan sebagai sebuah amanah dari Tuhan dan kesempatan untuk mengabdi kepada makhluk-makhluk Allah Swt. Imam Ali as senantiasa melarang para bawahannya untuk mengejar kekuasaan dan merampas hak-hak masyarakat serta mengingatkan bahwa Tuhan selalu mengawasi perilaku manusia dalam setiap keadaan.
Imam Ali as menilai faktor utama keterbelakangan dan keruntuhan masyarakat adalah sikap mengabaikan hukum-hukum Tuhan, perilaku zalim, dan ketidakadilan. Beliau pada masa pemerintahannya sangat teliti dalam mengangkat para pegawai dan pembantunya. Imam Ali as memilih orang-orang yang kuat, layak, dan kredibel sebagai pembantunya untuk ditempatkan di berbagai kota. Mengenai urgensi keadilan, Imam Ali as berkata, keadilan adalah salah satu prinsip yang harus berdiri tegak di alam semesta. Beliau juga menuturkan, tidak ada yang menyamai keadilan, karena prinsip itulah yang menyebabkan kota-kota menjadi makmur. Menurutnya, keadilan bukan memperindah iman, tapi bagian dari prinsip keimanan sendiri.
Salah satu sumber terpenting untuk mengenal pemikiran politik Imam Ali as terkait pemerintahan adalah surat beliau kepada Malik al-Asytar ketika diangkat menjadi gubernur di Mesir. Surat itu berisi pesan-pesan dan petunjuk yang sangat bersejarah, mengandung banyak sekali hal yang patut diperhatikan terutama oleh para pemegang kekuasaan di tengah masyarakat. Dalam pesan tertulis ini, Amirul Mukminin sangat menekankan pendidikan dan pembinaan mental dan akhlak para penguasa, sebab kelayakan para pelaksana undang-undang lebih penting dari undang-undang itu sendiri.
Pada kalimat pembuka suratnya itu, Imam Ali as menyebut dirinya sebagai hamba Allah Swt. Beliau berkata, "Ini adalah pesan seorang hamba Allah, Ali bin Abi Thalib kepada Malik al-Asytar..." Dengan menyatakan diri sebagai hamba Allah Swt, Imam Ali as mengingatkan bahwa penulis pesan ini adalah seorang hamba di antara hamba-hamba Allah Swt yang selalu mentaati perintah-perintah-Nya dan menjadikan penghambaan kepada Tuhan sebagai jalan hidupnya. Imam Ali as memegang tampuk kekuasaan untuk mewujudkan keadilan di tengah masyarakat dan memenuhi hak mereka. Di mata beliau, kinerja terpenting pemerintahan adalah menciptakan keadilan. Dengan kata lain, keadilan adalah inti politik Imam Ali as.
Dalam surat politiknya itu Imam Ali as menulis, "Jangan sekali-kali engkau mengira bahwa kekuasaan yang telah diserahkan kepadamu itu adalah hasil buruan yang jatuh ke tanganmu. Itu adalah amanah yang diletakkan ke pundakmu. Pihak yang di atasmu mengharapkan engkau dapat menjaga dan melindungi hak-hak rakyat. Maka janganlah engkau berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat." Sudah barang tentu masyarakat tidak akan mendukung para pemimpin jika mereka tidak dikenal sebagai pengemban amanah, dan akibatnya dasar-dasar kepemerintahan akan rapuh.
Imam Ali as sangat menekankan perlunya orang-orang yang sesuai untuk menangani segala urusan kepemerintahan. Sebuah pemerintahan akan kacau, sekalipun memiliki undang-undang yang jelas dan tepat, jika pelaksananya adalah orang-orang yang tidak kompeten dan oportunis. Imam Ali as kepada Malik al-Asytar menulis, "Pikirlah baik-baik terlebih dahulu untuk memilih seseorang sebagai penanggung jawab. Angkatlah dia setelah ia siap untuk bekerja dan janganlah engkau angkat mereka hanya dengan kehendakmu sendiri tanpa bermusyawarah dengannya, karena ini adalah perbuatan khianat."
Bagian lain dari surat Imam Ali as itu berbicara tentang kriteria dan tanggung jawab penguasa. Imam Ali as menulis, "Ketahuilah wahai Malik! Bahwa aku telah mengutusmu ke suatu daerah, di mana sebelumnya pernah dipimpin oleh penguasa-penguasa, yang adil maupun yang zalim. Sekarang, rakyat akan memperhatikan tindakan-tindakanmu, sebagaimana engkau telah memperhatikan tindakan-tindakan para penguasa sebelummu. Dan, mereka (rakyat) akan menilaimu sebagaimana engkau pernah menilai mereka (para penguasa)... Sesungguhnya orang bijak diketahui dengan nama baik yang Allah tebarkan untuk mereka melalui lisan hamba-hamba-Nya. Maka itu, jadikanlah amal saleh sebagai koleksi yang terbaik. Untuk itu, kuasailah hawa nafsumu dan sayangilah dirimu dari melakukan apa yang diharamkan atas engkau, karena menyayangi diri berarti menyeimbangkan diri di antara apa yang disukainya dan apa yang dibencinya."
Imam Ali as juga mengingatkan bagaimana para penguasa harus menjalankan roda pemerintahannya. Beliau berkata, "Hendaknya jalan yang paling engkau sukai ialah jalan yang paling tengah dalam kebenaran, yang paling merata dalam keadilan, dan yang paling mengakomodir kehendak rakyat banyak... Bersihkanlah ganjalan segala dengki terhadap rakyat, putuskanlah akar setiap permusuhan dari dirimu. Janganlah lengah dari apa yang tidak nampak bagimu, jangan pula cepat menerima hasutan provokator, karena provokator itu adalah penipu, walau ia nampak sebagai orang yang bermaksud baik."
Imam Ali as mengubah sistem pemikiran dan budaya publik serta mereformasi struktur pemerintahan dan para pejabatnya dalam rangka mewujudkan keadilan di tengah masyarakat. Beliau menghidupkan kembali nilai-nilai agama dan menghilangkan jurang sosial dan diskriminasi. Untuk menghilangkan diskriminasi, Ali menerapkan persamaan di berbagai bidang. Kepada para hakim, Imam Ali berkata, "Kalian berlaku adillah dalam memutuskan sebuah perkara. Perlakukan setiap orang sama di hadapan hukum, sehingga orang-orang terdekatmu tidak rakus dan musuh kalian tidak putus asa terhadap keadilanmu."
Mengenai perlakuan negara terhadap kaum lemah dan miskin, Imam Ali as berkata, "Hati-hatilah! Takutlah kepada Allah tentang ihwal kaum miskin yang tidak mempunyai cukup usaha, yang tak punya dan tak berdaya. Di antara mereka terdapat orang yang menanggung sengsaranya secara diam-diam, dan orang-orang yang mengemis. Lindungilah hak-hak mereka, sebagaimana Allah yang telah menuntut engkau untuk melindungi mereka. Untuk mereka sisakan bagian dari anggaran negara (baitul mal), dan bagian dari hasil bumi dan pertanian yang diperoleh sebagai zakat di setiap area, karena di dalamnya -yang jauh maupun yang dekat- mereka mempunyai bagian yang sama."
Kebanyakan para pemimpin dan politisi dunia seringkali tidak pernah mengindahkan prinsip-prinsip moral dalam mengendalikan urusan pemerintahan. Mereka menggunakan segala cara dengan berbohong, menipu maupun cara lainnya untuk mencapai tujuan. Namun sebaliknya Imam Ali as sangat memperhatikan prinsip moral dalam urusan pemerintahannya. Beliau tidak pernah melepaskan prinsip-prinsip moral itu. Imam Ali as tidak pernah berpikir untuk melakukan penyelewengan, bahkan dalam kondisi yang paling sulit sekalipun. Beliau bersikap jujur dan menjauhi segala bentuk penipuan terhadap masyarakat awam.
Sikap terpuji lainnya Imam Ali as adalah hidup sederhana dan tawadhu. Mengenai kehidupannya, Ali menuturkan sendiri, "Janganlah kalian bersikap denganku seperti menghadapi raja-raja yang angkuh...jangan mengira aku sulit menerima kebenaran yang kalian ucapkan."