
کمالوندی
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 19-23
Ayat ke 19
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (4: 19)
Ayat ini diturunkan dalam rangka membela hak kaum wanita dalam persoalan keluarga. Guna mewujudkan hal ini, langkah pertama yang ditempuh al-Quran adalah mengeluarkan perintah larangan kaum pria melakukan tindakan tidak terpuji terhadap perempuan. Di akhir ayat ini dijelaskan satu prinsip umum bagaimana memelihara sistem keluarga.
Menjadikan tolok ukur harta dalam memilih pasangan adalah niat yang tidak terpuji dalam upaya membangun rumah tangga. Karena pada dasarnya, pria yang ingin menikah itu tidak cinta kepada perempuan, atau bila ada itupun tidak sebesar keinginannya untuk menguasai harta perempuan itu. Ayat ini menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh pria itu merupakan kesalahan dan bagi orang yang beriman perbuatan ini tidak menunjukkan keimanan.
Kebiasaan buruk di tengah kaum Jahiliah adalah menekan isteri agar menghalalkan sebagian atau keseluruhan dari maharnya. Hal ini sering terjadi ketika mahar yang diminta oleh pihak perempuan tinggi nilainya. Al-Quran mencegah kebiasaan tidak terpuji ini dan mewajibkan suami untuk menghormati hak dan kekayaan isteri. Mempersulit isteri itu hanya boleh dilakukan bila ia melakukan perbuatan keji, agar dapat menceraikan isteri tanpa harus membayar maharnya. Hal yang demikian menjadi balasan setimpal atas perilaku buruk isterinya.
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan aturan umum agar setiap suami berperilaku baik terhadap isterinya. Bila terjadi suami sudah tidak senang lagi kepada isterinya, atau rasa cinta yang ada sudah semakin berkurang, Allah menekankan agar suami tetap tidak boleh berbuat buruk kepadanya. Karena sangat mungkin ada sejumlah persoalan yang tampaknya tidak menyenangkan suami, tapi Allah memberikan berkah dalam masalah itu.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Jangan menjadikan harta dan kekayaan sebagai tolok ukur dalam memilih isteri. Cinta adalah dasar utama dalam menikah.
2. Mahar adalah milik isteri dan suami tidak berhak memilikinya dengan cara apapun, kecuali dengan kerelaan isteri.
3. Suami bertanggung jawab memelihara institusi keluarga. Segala masalah yang muncul tidak boleh membuatnya bersikap buruk terhadap isteri yang berujung pada perceraian.
Ayat ke 20-21
Artinya:
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (4: 20)
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (4: 21)
Ada kebiasaan buruk di masa Jahiliah yang ditentang keras oleh Islam. Bila ada seorang suami ingin kawin lagi, dengan mudah ia menuduh isteri pertamanya dengan tuduhan yang bukan-bukan. Hal itu dilakukan guna menekan jiwa isterinya dan membebaskannya membayar mahar agar diceraikan oleh suaminya. Setelah menceraikan isteri pertamanya, kemudia ia menikah lagi dengan mahar isteri pertamanya.
Dua ayat ini menentang keras tradisi buruk dan tidak terpuji ini dan mengingatkan kesan pertama saat awal pernikahan. Bukankah pada waktu itu sang suami telah berjanji untuk memberikan mahar kepada isterinya. Setelah hidup bersama bertahun-tahun, bagaimana mereka dengan mudah melanggar janji yang telah diucapkan dahulu. Lebih buruk dari itu, mengapa harus melontarkan tuduhan keji kepada isterinya yang bersih dan suci?
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Islam membela hak wanita dan perkawinan kedua suami tidak boleh mengorbankan hak isteri yang pertama.
2. Mengambil kembali mahar dilarang dalam Islam, apalagi hal itu dilakukan dengan alasan yang dibuat-buat, bahkan dengan tuduhan keji.
3. Akad nikah merupakan perjanjian kokoh, dimana berkat itu Allah menghalalkan seorang pria dan perempuan hidup bersama. Di sini memelihara janji dan berusaha saling memahami merupakan keharusan.
Ayat ke 22-23
Artinya:
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (4: 22)
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (4: 23)
Dua ayat ini secara terperinci menyebutkan kelompok perempuan yang haram dinikahi. Alasan tidak boleh mengawini kelompok perempuan ini kembali pada sifatnya yang menentang fitrah manusia. Tapi secara keseluruhan, ada tiga hal penting yang menyebabkan haramnya pernikahan. Pertama, hubungan nasab atau keturunan yang menyebabkan haramnya menikahi ibu, saudara perempuan, anak perempuan, bibi dan anak perempuan dari saudara laki dan perempuan. Kedua, hubungan sababi (sebab), yang muncul karena perkawinan seorang lelaki dengan seorang perempuan. Setelah menikahi seorang perempuan maka ibu, saudara perempuan dan anak isteri diharamkan baginya. Ketiga, hubungan susuan. Apabila seorang wanita menyusui bayi dalam waktu tertentu, wanita itu dan anak-anak perempuannya yang minum susunya adalah tidak boleh dikawini.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dilarang menikahi perempuan yang muhrim demi menjaga kehormatan keluarga.
2. Penetapan halal dan haram, seperti masalah pernikahan hanya wewenang Allah Swt.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 15-18
Ayat ke 15
Artinya:
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. (4: 15)
Ayat-ayat pertama surat Nisaa menjelaskan persoalan keluarga. Sementara ayat ini dan selanjutnya akan membicarakan soal hukuman yang akan dijatuhkan kepada laki-laki dan perempuan yang melanggar kesucian keluarga dan telah tercemar. Ayat 15 menyinggung soal hukuman terhadap wanita yang memiliki suami, tapi menjalin hubungan di luar syariat dengan pria lain. Tapi ada poin penting dalam Islam yang tidak memperbolehkan tindakan memata-matai, sekalipun dengan alasan ingin menjaga kehormatan keluarga. Islam juga tidak mendorong manusia untuk membuktikan pelanggaran orang lain.
Bila ada tiga orang adil memberikan kesaksian bahwa seorang perempuan melakukan zina, tapi orang keempat tidak membenarkan, maka kesaksian tiga orang itu tidak diterima. Tidak hanya itu, ketiga orang tersebut akan dihukum cambuk dengan alasan telah mencemarkan nama baik perempuan yang dituduh. Selain itu, hukum zina juga tidak dapat diterapkan kepada perempuan tadi.
Hukum terhadap perempuan yang terbukti berzina di akhir ayat bagi perempuan yang berzina pada mulanya adalah ditahan ditahan di rumah suaminya. Hukum ini untuk menjaga kehormatan keluarga, sekaligus mencegah konsentrasi para penyeleweng dalam satu tempat dan penyebarannya ke orang lain atau perempuan ini justru belajar hal-hal buruk lainnya. Dewasa ini, penjara telah menjadi tempat pertukaran informasi bagi para penjahat. Hukum penjara perempuan bersuami di rumah itu berlaku sampai Allah memberlakukan hukum rajam terhadap mereka.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Memelihara kehormatan seorang mukmin, lebih penting bahkan dari darahnya. Pembunuh cukup dibuktikan dengan dua saksi, sementara zina diperlukan 4 saksi.
2. Islam memberlakukan hukuman berat demi melindungi keluarga dan masyarakat dari penyimpangan.
3. Penjara diperlukan untuk mensterilkan masyarakat. Dalam melaksanakan perintah ilahi, perasaan dan emosi harus dibelakangkan.
Ayat ke 16
Artinya:
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (4:16)
Sekalipun dalam ayat ini bersifat umum dan mencakup pria yang berbuat keji, baik dengan sejenis atau lawan jenis, tapi menurut sebagian besar ahli tafsir ayat ini khusus berbicara mengenai perempuan dan pria yang belum berumah tangga. Bila mereka berbuat zina, maka hukuman yang diterapkan ke atas mereka adalah cambuk.
Tetapi, selagi kesalahannya belum terbukti di pengadilan dan mereka yang tertuduh itu, baik pria maupun perempuan bertaubat dan berusaha memperbaiki diri, maka mereka harus diampunia. Sementara apakah mereka memang benar melakukannya atau tidak harus diserahkan kepada Allah. Karena Allah Maha Penyarang dan Pengampun akan menerima taubat mereka.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Siap saja yang bersalah dalam masyarakat Islam tidak boleh merasa aman dan harus dihukum setimpal dengan perbuatannya.
2. Jangan menutup pintu taubat dan berikan kesempatan kepada orang yang benar-benar menyesali perbuatannya untuk kembali ke pangkuan masyarakat.
Ayat ke 17-18
Artinya:
Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (4: 17)
Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang". Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. (4: 18)
Menyusul ayat sebelumnya yang menjelaskan kemungkinan bertaubatnya orang-orang yang bersalah, ayat ini menjelaskan syarat dan waktunya bertaubat. Syarat terpenting taubat berawal dari perbuatan dosa itu berasal dari kelalaian, tidak tahu dampak buruknya dan akibat mengikuti hawa nafsu. Dengan kata lain, perbuatan dosa yang dilakukan itu bukan kebiasaan dan tidak atas niat menyepelekan dosa. Syarat kedua, taubat harus segera dilakukan setelah mengetahui buruknya dosa dan penyesalan.
Jangan menunda-nunda taubat, kemudian mengulangi dosa itu, hingga akhir ajal. Karena taubat yang dilakukan setelah mendekati ajal dengan kondisi seperti ini tidak akan diterima oleh Allah Swt. Karena syarat diterima taubat harus ada upaya memperbaiki diri, bila hal itu tidak dilakukan, maka taubat menjadi sia-sia. Menunda taubat bakal menjerumuskan manusia untuk mengulangi perbuatan dosanya, sehingga perbuatan dosa itu menyatu dan menjadi karakternya. Bila sudah demikian kondisinya, taubat yang dilakukannya hanya sekadar lisan, dan tidak benar-benar keluar dari hatinya. Jiwa manusia yang terbiasa melakukan dosa akan sangat sulit untuk kembali ke fitrahnya.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Allah Swt menerima taubat orang yang berdosa. Oleh karenanya, selagi hidupm mari kita gunakan kesempatan ini.
2. Orang yang tidak mampu melawan hawa nafsu sejatinya bodoh, sekalipun ia pandai
3. Kunci diterimanya taubat adalah segera melakukannya dan jangan menundanya
4. Taubat harus dilakukan dengan kehendak, bukan bahaya atau menjelang kematian.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 11-14
Ayat ke 11-12
Artinya:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (4: 11)
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (4: 12)
Allah Swt dengan kebijaksanaan-Nya menurunkan aturan dan hukum agama yang sesuai dengan kebutuhan alami dan fitrah manusia. Kematian menyebabkan terputusnya semua ikatan duniawi, kepemilikan dan dominasi manusia atas materi. Kematian juga merupakan jalan penghubung manusia untuk memasuki dunia lain. Tapi ada pertanyaan penting, apa nasib semua benda yang diperolehnya semasa hidup dan jatuh ke tangan siapa nantinya?
Di sebagian masyarakat, harta orang yang meninggal dunia dibagikan kepada keluarga dan keturunannya yang laki-laki. Sementara isteri dan anak perempuan tidak mendapat bagian apapun dari harta yang ditinggalkan. Di sebagian tempat harta yang ditinggal mati oleh seseoragn menjadi milik umum, sementara keluarga dan keturunannya tidak berhak sedikitpun darinya. Ajaran Islam datang membawa perintah untuk mengatur masalah pembagian harta warisan yang dikenal dengan hukum waris. Menariknya, ternyata Islam memberikan wewenang untuk membelanjakan sepertiga dari hartanya sesuai keinginan yang meninggalkan harta warisan, sebelum meninggal dunia.
Aturan yang ada dalam Islam membuat mereka yang kaya tetap berusaha mencari rezeki, sekalipun mendekati hari-hari terakhir dari kehidupannya. Karena mereka tahu bahwa sepeninggal mereka, harta yang ditinggal akan terjatuh ke tangan keturunannya yang melanjutkan namanya. Dengan dasar itulah, Islam pada tingkat pertama membagi warisan kepada anak dan selanjutnya kepada kerabat. Dalam pembagian ini anak laki-laki mendapat dua kali lebih banyak dari anak perempuan. Alasannya, kaum lelaki menanggung biaya kehidupan keluarganya, dan mereka lebih memerlukan uang dari wanita untuk membiayai anak isterinya.
Meskipun ketetapan ini secara lahiriah merugikan perempuan, namun dengan memperhatikan ketetapan Islam lainnya, menjadi jelas bahwa ketetapan ini sebenarnya mengutungkan wanita.Karena dalam sistem keluarga Islam, perempuan tidak berkewajiban mengeluarkan uang dan semua keperluan,dari makanan, pakaian dan tempat tinggal ditanggung lelaki. Dalam kondisi yang demikian, perempuan dapat menyimpan semua bagian warisannya atau di belanjakan untuk keperluan pribadinya. Sementara, lelaki minimal harus membelanjakan separuh dari warisannya untuk kehidupan keluarganya, baik nafkah maupun mahar.
Sebenarnya, perempuan menjadi pemilik bagian warisannya dan juga bergabung di dalam separuh dari warisan suaminya. Sebaliknya suami tidak berhak memperoleh bagian warisan isterinya dan ia harus membelanjakan haknya untuk isterinya. Ayat 11 dan12 surah Nisaa yang menjelaskan ketetapan pembagian warisan antara anak anak, orang tua dan isteri yang meninggal, hanya menyentuh sebagian dari hukuman warisan. Oleh karenanya, untuk detilnya harus merujuk ke riwayat yang kuat yang menjelaskan detil masalah warisan. Perlu diketahui juga bahwa pembagian warisan baru boleh dilakukan setelah membayar utang yang dimiliki orang yang meninggal dan melaksanakan wasiatnya. Karena hak orang yang memberi utang dan yang dimaksud dalam wasiat harus didahulukan ketimbang hak para pewaris
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Karena anak merupakan pelanjut ayahnya, maka sudah semestinya ia juga menjadi pewaris ayahnya dan tidak boleh ada yang mencegahnya.
2. Sekalipun bagian warisan anak perempuan setengah dari bagian anak laki-laki, perbedaan itu kembali pada perbedaan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, karena itu merupakan ketetapan Allah, maka sudah selayaknya kita pasrah di hadapannya.
3. Menunaikan hak manusia dan peduli akan hak rakyat sangat penting, sehingga Allah menekankannya sebanyak 4 kali agar para pewaris tidak melupakan hak orang lain.
Ayat ke 13-14
Artinya:
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. (4: 13)
Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (4: 14)
Setelah ayat ayat hukum warisan, ayat ini mewasiatkan orang mukmin agar taat terhadap perintah Tuhan dalam persoalan harta, khususnya warisan dan menghindari segala bentuk pelanggaran dan ketidakpatuhan. Karena, melanggar hak-hak ilahi termasuk dosa besar dan mendatangkan hukuman yang berat.
Ayat ini menjelaskan bahwa taat kepada Tuhan bukan hanya beribadah, melainkan memelihara hak masyarakat dalam persoalan sosial dan ekonomi, merupakan syarat tauhid dan agama dan seorang individu dan keluarga.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Jalan untuk sampai kepada kebahagiaan dunawi dan akhirat adalah mengikuti hukum agama, bukannya mengikuti hawa nafsu.
2. Orang yang melanggar hak orang lain bakal mendapat siksaan yang hina di akhirat, sama dengan orang kafir.
3. Sekalipun orang yang meninggal sudah tidak tahu apakah utang-utangnya telah ditunaikan oleh anak-anaknya, tapi harus diketahui Allah ada. Allah akan menyiksa berat orang yang melanggar hak orang lain.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa ayat 7-10
Ayat ke 7
Artinya:
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (4:7)
Sebelumnya, telah disebutkan ayat-ayat pertama surat Nisaa menjelaskan banyak persoalan keluarga. Salah satu problem keluarga adalah anak-anak yang tidak memiliki pengasuh dan anak yatim. Dalam sebuah riwayat telah disebutkan, salah seorang dari sahabat Rasul Saw meninggal dunia. Sahabat tadi memiliki isteri dan anak, tapi keponakan yang meninggal justru membagi-bagi harta si mayit di antara mereka sendiri dan tidak menyisakan sedikitpun untuk isteri dan anak-anaknya. Karena di masa Jahiliah, hanya lelaki yang memiliki hak waris, bukan anak-anak si mayit atau isterinya.
Ayat ke-7 surat Nisaa diturunkan untuk membela hak-hak kaum perempuan, terutama masalah warisan. Disebutkan, "Sebagaimana kaum pria memiliki hak waris, kaum perempuan juga punya hak yang sama, sekalipun berbeda dalam jumlah. Karena jatah masing-masing telah ditentukan oleh Allah."
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Islam tidak hanya memerintah shalat dan puasa, tapi memberikan perhatian ke seluruh aspek kehidupan manusia. Islam melihat upaya melindungi hak perempuan dan anak yatim sebagai kelaziman iman seseorang.
2. Pembagian warisan harus berlandaskan perintah Tuhan, bukan mengikuti tradisi sosial atau keinginan orang yang meninggal.
3. Poin penting dalam pembagian warisan bukan jumlah, tapi perlindungan hak para ahli waris. Bukan karena jumlahnya sedikit, lalu hak waris seseorang diabaikan.
Ayat ke 8
Artinya:
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. (4:8)
Demi mengokohkan dan memelihara hubungan keluarga, diperlukan perilaku dan etika yang sesuai. Sebagai kelanjutan ayat sebelumnya, ayat ini membahas hukum warisan dan akhlak.
Disebutkan dalam ayat bila ada kerabat miskin atau anak yatim yang ikut dalam proses pembagian harta warisan, maka bila disepakati oleh ahli waris hendaknya mereka juga diberi bagian walaupun sedikit. Hal ini penting untuk mempererat jalinan keluarga dan mengokohkan hubungan yang ada, sekaligus tentu saja menghilangkan rasa dengki yang mungkin lahir dari kemiskinan mereka. Bila pihak ahli waris sepakat untuk memberikan sedikit bagian kepada kerabat miskin yang hadir, diupayakan agar tetap bersikap sopan dan santun ketika berbicara dengan mereka. Hal ini harus dilakukan agar menghapus kesan bahwa mereka tidak dipedulikan oleh kerabatnya lantaran miskin.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Hendaknya kita memperhatikan harapan orang miskin sebatas kewajaran dan membantu mereka di luar dari kewajiban yang ditetapkan agama.
2. Memberi hadiah dan perhatian dapat mengokohkan hubungan keluarga. Memberikan bantuan berupa materi dan bersikap sopan dapat mencegah munculnya dengki dan dendam di tengah keluarga.
Ayat ke 9
Artinya:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (4: 9)
Al-Quran memberikan gambaran dalam ayat ini untuk menumbuhkan empati masyarakat akan kondisi anak-anak yatim. Al-Quran mengajak umat Islam membayangkan bagaimana bila anak mereka sendiri hidup di bawah pengawasan orang-orang yang kejam dan sewenang-wenang dalam membelanjakan harta mereka. Allah mengingatkan mereka bila mengkhawatirkan masa depan anak-anaknya sepeninggal mereka, maka hal pertama yang dilakukan adalah takut kepada Allah, tidak menzalimi, berperilaku terpuji, mengasihi dan memenuhi kebutuhan material dan spiritual mereka.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kita harus bersikap yang sama terhadap anak-anak yatim seperti yang kita lakukan terhadap anak kita.
2. Perilaku baik memiliki dampak di dunia, bukan hanya di akhirat. Perilaku baik atau buruk kita akan sampai kepada anak dan keturunan kita.
3. Kebutuhan anak yatim tidak terbatas pada hal-hal materi, tapi yang lebih penting adalah kebutuhan spiritual.
Ayat ke 10
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (4: 10)
Ayat ini menyinggung wajah batin di balik perbuatan kejam terhadap anak-anak yatim. Memakan harta anak yatim sama dengan menelan api dan hal ini akan terbukti dan menjelma pada Hari Kiamat.
Perbuatan manusia di dunia memiliki wajah lahiriah yang kita lihat sehari-hari, tapi juga memilih wajah batin yang tersembunyi. Wajah batin perbuatan manusia akan muncul di Hari Kiamat. Pada hari itu perbuatan yang kita lakukan akan menjelma wajah aslinya. Bila memakan harta anak yatim terlihat betapa pelakunya gembira di dunia, tapi bila melihat dengan mata batin, maka apa yang dimakannya itu sejatinya berupa api. Pada Hari Kiamat yang dimakan itu bukan harta, tapi api yang akan membakar wajah dan tubuhnya.
Dengan demikian, bila ayat sebelumnya menyinggung dampak lahiran dari berbuat zalim terhadap anak-anak yatim, maka dalam ayat ini dijelaskan mengenai dampak batin dari menyelewengkan harta anak yatim.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Memakan harta haram, khususnya milik anak yatim, sekalipun terlihat nikmat, tapi pada hakikatnya mengganggu jiwa manusia.
2. Api neraka sejatinya perbuatan buruk yang menjelma di Hari Kiamat. Karena Allah tidak suka menyiksa hamba-Nya, tapi kitalah yang menjebloskan diri ke api neraka.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 4-6
Ayat ke 4
Artinya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (4:4)
Surat Nisaa menjelaskan banyak tentang hukum dan masalah keluarga. Satu persoalan yang dibahas terkait pembentukan sebuah keluarga adalah mahar. Tapi yang terjadi di kalangan bangsa Arab di masa Rasulullah Saw, pihak pria tidak bersedia membayar mahar, atau bila mereka membayarnya, mahar itu diambil kembali secara paksa.
Al-Quran dalam surat Nisaa ini berusaha membela kaum perempuan dengen memerintahkan kaum lelaki untuk membayar mahar. Pembayaran yang dilakukan harus dilakukan atas kehendak dan keinginan, bukan karena takut atau terpaksa. Selanjutnya, kaum lelaki diingatkan bahwa mereka tidak berhak mengambil seluruh atau sebagian dari mahar yang telah diberikan kepada wanita. Karena mahar itu milik isteri, bila ia menginginkan untuk mengembalikannya kepada kalian, di saat itu mahar itu menjadi halal bagi kalian.
Beralih dalam penggunaan kata "Nihlah" dalam ayat ini. Oleh pakar bahasa Arab, Raghib Isfahani menyebut kata Nihlah berasal dari Nahl yang berarti lebah madu. Lebah memberikan madu kepada manusia tanpa pernah mengharapkan apapun dari manusia. Al-Quran menyerupakan mahar seperti lebah madu, dimana ia merupakan pemberian dari suami kepada isterinya dan menjadi pemanis kehidupan rumah tangganya. Oleh karenanya, suami tidak boleh berharap mahar yang telah diberikan untuk diminta kembali, sama seperti lebah madu yang tak pernah mengharap apapun dari manusia.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Mahar bukan berarti harga wanita, melainkan hadiah lelaki dan petanda ketulusan lelaki dalam merefleksikan cintanya. Kata "Shadaq" berarti mahar yang berasal dari kata shidq yang artinya kejujuran. Berarti mahar itu sendiri simbol dari kejujuran.
2. Mahar merupakan hak perempuan dan milik isteri yang harus diberikan oleh suami dan tidak boleh diambil darinya.
3. Kerelaan secara zahir saat memberi tidaklah cukup, tapi perlu kerelaan hati juga. Bila, wanita menghalalkan maharnya atas dasar terpaksa dan keberatan, maka pengembalian itu tidak sah sekalipun ia rela secara zahir.
Ayat ke 5
Artinya:
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (4: 5)
Dari ayat-ayat sebelumnya dan selanjutnya menjelaskan bahwa maksud ayat ini memerintahkan agar kalian jangan menyerahkan harta anak-anak yatim kepada mereka selagi belum dewasa dari segi akal dan ekonomi. Selain itu, apabila anak-anak yatim itu bodoh, maka jangan sekali- kali kalian serahkan hartanya kepada mereka. Harta anak yatim harus dijaga dan boleh diniagakan, kemudian keuntungan yang diperoleh dari harta anak-anak yatim itu dibelanjakan untuk keperluan hidup mereka, seperti makanan dan pakaian.
Setelah itu Allah Swt menyinggung nilai etik yang sangat penting, "Bahkan berbicaralah dengan orang-orang yang bodoh dengan baik, bukannya perkataan buruk. Jika kalian tidak memberikan harta kalian kepada mereka, hendaknya kalian harus menghormati mereka dengan lisan dan perilaku".
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Harta dan kekayaan merupakan sarana dinamis masyarakat, dengan syarat diberikan kepada orang-orang yang bersih dan saleh.
2. Dalam masalah ekonomi, keluarga dan masyarakat hendaknya memperhatikan maslahat individu dan sosial.
3. Menurut Islam, harta dan kekayaan dunia bukan hanya tidak buruk dan tercela, melainkan penyebab kekokohan sistem ekonomi, dengan catatan tidak ada di tangan orang-orang yang bodoh.
Ayat ke 6
Artinya:
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (4: 6)
Ayat ini menerangkan secara terperinci metode pemeliharaan harta anak-anak yatim,metodeuntuk membelanjakan harta itu untuk kepentingan mereka dan membuat rancangan kerja untuk melindungi orang lemah dalam masyarakat. Syarat penyerahan harta anak yatim kepada mereka adalah kedewasaan pemikiran yang dapati dibuktikan lewat pengamatan.
Hal lain yang disebutkan dalam ayat ini, sebelum diserahkan kepada mereka, harta anak yatim harus dijaga oleh yang diberi amanat untuk itu, bukannya dibelanjakan sebelum mereka dewasa. Persoalan lainnya, orang yang mengasuh anak yatim, tidak bolehmenggunakanharta anak yatim itu, kecuali bila ia sendiri hidup dalam kemiskinan. Ia hanya diperbolehkan menggunakan uang anak yatim sekadar upah dari jerih payahnya menjaga harta anak yatim itu, tidak lebih.
Masalah penting lainnya, saat melakukan penyerahan harta anak yatim, hendaknya disertai dengan kesaksian orang yang dapat dipercayai. Hal ini sangat diperlukan untuk menghindari segala bentuk sengketa dan konflik yang bakal muncul di kemudian hari.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Untuk menggunakan hartanya, anak yatim disyaratkan sudah dewasa dalam berpikir. Itulah mengapa seorang remaja boleh menggunakan hartanya dengan syarat sudah dewasa secara ekonomi.
2. Perlu keseriusan dalam masalah keuangan dan ekonomi. Selain seseorang harus memperhatikan perintah Allah, ia harus menjaga kehormatannya di tengah masyarakat.
Tafsir Al-Quran, Surat An-Nisaa Ayat 1-3
Surat an-Nisaa memiliki 176 ayat dan diturunkan di Madinah. Dikarenakan sebagian besar ayat dari surat ini berkaitan dengan persoalan-persoalan keluarga, hak wanita dalam keluarga, surat ini dinamakan Surat an-Nisaa yang artinya wanita.
Ayat ke 1
Artinya:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (4:1)
Nama surat yang berkaitan dengan persoalan keluarga ini dimulai dengan anjuran takwa dan dalam ayat pertama anjuran ini, dinyatakan dua kali. Karena kelahiran dan pendidikan setiap individu terjadi di dalam keluarga. Bila pondasi urusan ini bukan perintah Tuhan, maka tidak ada jaminan untuk kesehatan ruhani dan mental individu dan sosial. Untuk menafikan segala bentuk keinginan untuk unggul sendiri, Allah Swt mengingatkan bahwa semua kalian diciptakan dari satu jenis, maka bertakwalah dan jangan berfikir bahwa keturunan, warna kulit dan bahasa dapat menjadi faktor keunggulan.
Bahkan wanita dan lelaki dengan semua perbedaan-perbedaan yang dimiliki baik dari segi jasmani dan ruhani, tetapi tidak satupun yang lebih unggul dari lainnya. Karena keduanya dari satu jenis dan akar semuanya adalah seorang ayah dan ibu. Pada ayat al-Quran yang lain, Allah Swt menempatkan berbuat kebajikan kepada orang tua dari sisi ketaatan kepada-Nya dan dengan demikian, memandang posisi mereka begitu tinggi dan mulia. Namun dalam ayat ini, bukan hanya orang tua, melainkan setelah nama-Nya Allah Swt menyebut perlu pemeliharaan hak semua keluarga (famili) dan kerabat serta memperingatkan masyarakat agar menjauhi perilaku zalim terhadap mereka.
Dari ayat tadi terdapat empat pelajaran yang dapat dipetik:
1. Islam adalah agama sosial. Oleh karenanya ia menaruh perhatian tentang hubungan manusia antara satu dengan lainnya dalam keluarga dan masyarakat. Kelaziman takwa dan tauhid adalah menjaga hak orang lain.
2. Manusia harus bersatu. Karena segala bentuk diskriminasi antara mereka berdasarkan warna, etnis, bahasa dan kawasan adalah dilarang Allah Swt. Allah menciptakan semua manusia dari satu jenis.
3. Semuan anak Adam adalah satu keluarga. Karena semua dari satu ayah dan satu ibu. Untuk itu semuanya harus saling menghormati seperti keluarga sendiri.
4. Tuhan mengetahui niat kita. Kita tidak patut mempraktikkan diskriminasi terhadap sesama manusia mekipun dalam hati.
Ayat ke 2
Artinya:
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (4: 2)
Ayat ini menyinggung salah satu topik yang menimpa semua masyarakat manusia yaitu anak-anak yatim. Anak-anak yang tak punya pengasuh dan tak mampu menjaga harta warisan. Oleh karenanya mereka diasuh oleh seorang pengasuh yang berpeluang menyalahgunakan harta anak yatim itu.
Pesan penting ayat ini adalah anak-anak kecil yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya seringkali hak-hak mereka terabaikan. Harta waris yang semestinya milik mereka diambil oleh orang lain, atau diberi sesuka hati sang pengasuh, tidak seperti yang ditentukan oleh Allah dalam hukum warisan. Ayat ini melarang segala bentuk penyalahgunaan harta anak-anak yatim. Barang siapa melakukannya berarti ia telah jatuh ke dalam dosa besar. Karena tugas mengasuh anak yatim, adalah memegang amanah dan menyerahkannya kepada anak-anak itu ketika mereka sudah besar kelak, bukannya harta itu dibelanjakan untuk kepenntingan sendiri.
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Harta anak-anak yatim harus diserahkan kepada mereka, meskipun mereka tidak tahu ataupun lupa.
2. Anak-anak juga pemilik harta, namun selagi mereka belum mencapai usia dewasa, mereka tidak berhak memegangnya.
3. Islam menaruh perhatian kepada orang-orang tertindas dan anak-anak yang tidak memiliki pengasuh dalam masyarakat dan membela mereka.
Ayat ke 3
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (4: 3)
Ayat ini berkaitan dengan anak-anak gadis yatim yang selalu menjadi obyek kesewenang-wenangan. Oleh karenanya, Allah Swt berbicara mengenai mereka secara tersendiri dan terpisah serta melarang keras tindakan zalim terhadap mereka ini.
Betapa banyak orang yang meminang anak-anak yatim dengan tujuan menguasasi harta gadis-gadis yatim tersebut. Untuk tujuan ini mereka menggunakan segala cara. Namun al-Quran menyatakan, bila kalian ingin mengawini gadis-gadis yatim dan berniat menzalimi mereka, maka urungkanlan niat tersebut.
Dalam riwayat disebutkan, sebagian orang yang mengangkat anak dari gadis-gadis yatim, namun tidak berapa lama mereka mengawininya dengan niat menguasai hartanya. Bahkan yang lebih buruk lagi, mas kawinnya diberikan di bawah standar. Ayat ini dan ayat 127 turun dan melarang segala bentuk ketidakadilan terhadap mereka. Dikarenakan anak-anak gadis yatim tersebut pada umumnya dijadikan isteri kedua, ketiga atau keempat. Untuk memelihara kehormatana mereka, al-Quran menyatakan, jika kalian berniat kawin lagi, mengapa kalian memilih anak-anak gadis yatim? Carilah wanita lain atau paling tidak kalian mencukupkan diri dengan budak-budak wanita yang kalian miliki.
Meskipun ayat ini mengizinkan kepada lelaki untuk menikah dengan empat wanita, namun perlu diketahui bahwa perkara ini bukan inisiatif Islam. Tapi ini sebuah solusi dari masalah sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Karena Islam selalu berusaha untuk memelihara kehormatan keluarga, menetapkan syarat yang berat baginya. Dengan kata lain, Islam tidak memerintahkan poligami, keduali setelah melihat kondisi realistis dari masyarakat. Untuk itu Islam mengontrolnya dan meletakkan undang-undang yang khas.
Pada kenyataannya, kaum lelaki tidak lebih terjamin keselamatan nyawanya ketimbang kaum wanita. Dalam peperangan, kaum lelaki yang mati, sementara isteri mereka menjadi janda. Dalam kegiatan sehari-hari, kaum lelaki senantiasa menjadi obyek ancaman dan jumlah korban jauh yang jatuh lebih besar dari wanita. Oleh karena itulah, dalam semua masyarakat, usia pertengahan di kalangan wanita lebih banyak dari kaum lelaki. Pertanyaannya, apakah para janda dan wanita itu harus tetap dalam kondisnya hingga akhir usianya?
Di sisi lain, apakah mudah memerintah para pemuda untuk mengawini para janda yang memiliki anak? Lebih buruk adalah kondisi yang berlaku di Barat, dimana tidak ada batasan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Islam tidak ingin mengingkari kebutuhan timbal balik ini. Untuk itu Islam menetapkan hukum yang khusus dan membatasi jumlah isteri. Tapi yang terpenting dalam hubungan ini adalah menjaga keadilan antara isteri.
Apakah ini bertentangan dengan hak wanita? Sementara di masyarakat yang tidak memberikan batasan bagi hubungan laki-laki dan wanita telah mengizinkan segala bentuk hubungan bahkan dengan isteri orang lain. Semua ini disosialisasikan dengan isu-isu kebebasan yang menipu. Apakah hal yang seperti ini menghormati hak perempuan? Al-Quran dalam ayat ini dengan jelas mengatakan, jika kalian tidak dapat membagi keadilan terhadap isteri, maka kalian tidak berhak berpoligami!
Dari ayat tadi terdapat tiga pelajaran yang dapat dipetik:
1. Untuk memelihara kehormatan dan kemuliaan anak-anak gadis yatim dan mencegah segala bentuk penyalahgunaan harta dan kehormatan mereka, Islam menjadikan keadilan sebagai tolak ukur bagaimana bersikap dengan mereka.
2. Salah satu dari syarat memilih isteri adalah cinta. Tidak boleh seseorang dikawinkan secara paksa.
3. Bila muslimin menyalahgunakan poligami, bukan berarti poligami itu sendiri yang buruk. Sebaliknya, masyarakat yang memerlukan poligami, tapi harus diatur undang-undang yang jelas.
Mengenal Surat An-Nisaa
Surat keempat dalam Al-Quran adalah surat an-Nisaa yang berdasarkan urutan, surat ini diturunkan setelah surat Mumtahanah. Surat ini dinamakan an-Nisaa karena mengandung berbagai hukum dan hak-hak perempuan. Kata Nisaa dalam surat ini disebut 20 kali dan secara keseluruhan 50 kali dalam al-Quran. Di antara ayat-ayat surat ini, terdapat berbagai masalah lainnya seperti hukum shalat, jihad, syahadah, perdagangan dan sedikit penjelasan tentang ahli kitab. Dari kandungan makna ayat-ayatnya dapat dengan mudah dipahami bahwa surat ini diturunkan pasca hijrah Rasulullah ke Madinah.
Ayat pertama dalam surat an-Nisaa ditujukan kepada seluruh umat manusia dan menyeru mereka untuk bertakwa kepada Allah Swt. Dalam ayat ini disebutkan satu poin sosial penting yaitu bahwa setiap orang diciptakan dari satu jiwa dan berpasang-pasang serta tidak ada yang lebih unggul dari lainnya. Allah Swt berfirman:
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."
Ayat ini membuktikan bahwa al-Quran menafikan segala bentuk pengunggulan diri dalam masyarakat. Baik perempuan, laki-laki, besar, maupun kecil, semua manusia memiliki satu kedudukan dalam masyarakat dan tidak ada yang berhak menzalimi lainnya. Pada ayat berikutnya, masalah tersebut tetap disinggung dan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan kelangsungan masyarakat yaitu pernikahan dan warisan.
Dijelaskan pernikahan yang benar guna mencegah pernikahan yang fasid. Dalam masalah ini dijelaskan beberapa jumlah isteri yang diperbolehkan, dan siapa saja yang tidak dapat menjalin ikatan pernikahan. Adapun dalam masalah warisan dijelaskan secara terperinci soal pembagian warisan dan perbandingan jumlah antara hak laki-laki dan perempuan.
Termasuk dalam masalah yang dibahas dalam surat ini adalah persatuan dan persahabatan antarumat Islam, dan Allah Swt menyeru mereka untuk memegang erat tali Allah Swt. Dan masih banyak lagi berbagai masalah yang dijelaskan dalam surat ini.
Surat an-Nisaa termasuk surat yang diturunkan di Madinah dan memiliki 176 ayat. Termasuk pembahasan hukum-hukum pernikahan yang disebutkan dalam surat ini adalah haramnya pernikahan antarmuhrim. Muhrim yakni orang yang tidak dapat dinikahi karena faktor kehormatan hubungan keluarga.
Keluarga sangat dimuliakan dalam Islam dan memiliki nilai kesucian tersendiri. Oleh karena itu, Islam dalam mencegah terjadinya penyelewengan dalam ikatan keluarga. Termasuk dalam penyelewegan itu adalah pernikahan sesama muhrim. Adapun muhrim itu sendiri dibagi dalam dua kelompok, muhrim nasabi dan sababi. Muhrim nasabi adalah hubungan kerabat yang berdasarkan keturunan, adapun muhrim sababi adalah hubungan kerabat berdasarkan pernikahan.
Larangan pernikahan antarmuhrim ini kurang lebih juga terdapat dalam agama lain dan adat-istiadat berbagai bangsa. Bahkan di sebagian bangsa, pernikahan dengan kerabat dekat hanya diperbolehkan guna menghindari penyusupan orang asing dalam kelompok mereka. Selain itu, hasil penelitian modern membuktikan bahwa pernikahan antara kerabat akan menimbulkan perpindahan unsur-unsur genetika yang merusak.
Tafsir Al-Quran, Surat Ali Imran Ayat 196-200
Ayat ke 196-197
Artinya:
Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. (3: 196)
Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah jahannam dan jahannam itu adalah tempat yang seburuk buruknya." (3: 197)
Terkadang muncul pertanyaan saat melihat orang kafir yang bergelimang kemewahan, sementara orang mukmin justru hidup dalam kesulitan. Mengapa mereka bisa hidup mewah, padahal kafir, sementara seorang mukmin hidup dalam penderitaan?
Pertanyaan ini juga ada di benak orang-orang mukmin di awal Islam. Karena orang-orang musyrikin Mekah dan orang-orang Yahudi Madinah sibuk dengan perdagangan yang akhirnya mereka hidup berkecukupan. Sementara orang muslinm yang hijrah dari Mekah ke Madinah hidup dalam kesulitan. Terlebih lagi, mereka telah meninggalkan harta bendanya saat pergi berhijrah.
Al-Quran dalam menjawab pertanyaan ini, pertama mengingatkan bahwa kondisi material orang-orang kafir jangan sampai menipu kalian. Karena penghasilan dan fasilitas tersebut adalah temporal dan bakal sirna. Sebaliknya, kesulitan hidup yang kalian alami juga hanya sementara. Kedua, kesejahteraan duniawi yang dibangun atas dasar kufur akan berlanjut dengan siksaan akhirat yang pedih. Jika kalian ingin membandingkan kondisi kalian dengan kondisi mereka, maka kalian hendaknya juga melihat kesudahan kerja mereka.
Satu poin yang tidak boleh dilupakan bahwa barang siapa yang dalam kehidupan dunia bersikap serius dan istiqomah disertai ilmu pengetahuan, maka ia akan sukses. Tidak ada bedanya, apakah ia seorang kafir atau mukmin. Sementara siapa saja yang malas, maka dia akan menderita dalam hidupnya, baik dia itu mukmin ataupun kafir.
Oleh karenanya, akar kesuksesan orang kafir adalah kerja keras mereka, bukannya kekufuran mereka. Sebagaimana juga, akar kesengsaraan mukminin, adalah kemalasan mereka. Hendaknya perkara ini diperhatikan.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kekayaan dan kehidupan orang-orang kafir jangan sampai membuat mata orang orang mukmin gelap dan terpedaya. Sehingga karena tamak terhadap dunia, kalian melepaskan iman.
2. Dalam membandingkan kondisi orang, maka hendaknya kita melihat kondisi di dunia dan di akhirat.
3. Kesejahteraan dunia, seperti kehidipan dunia, akhirnya akan berakhir. Oleh karenanya, hendaknya kita lebih fokus kepada kesejahteraan yang abadi.
Ayat ke 198
Artinya:
Akan tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya, bagi mereka syurga yang mengalir sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya sebagai tempat tinggal (anugerah) dari sisi Allah. Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti." (3: 198)
Mengikuti ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan kondisi orang-orang kafir pada Hari Kiamat, ayat ini menyinggung kesudahan baik orang-orang yang saleh dan menyatakan, " Meskipun ketakwaan dan memelihara hukum dan aturan agama menyebabkan keterbatasan-keterbatasan di dunia dan mencegah penumpukan harta dan monopoli, namun, Allah Swtpada Hari Kiamat menjamu orang-orang yang dikasihinya dengan sebaik-baiknya jamuan.
Hidup di akhirat dan tinggal di istana surga yang di sekeliling pepohonan dan hutan belukar serta di sisi mata air mengalir, merupakan jamuan pendahuluan dari Tuhan bagi orang-orang mukmin. Jamuan yang penting dan tinggi, adalah nikmat spiritual yang diperoleh oleh Mukminin dari sisi Tuhannya.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1 Syarat diterimanya iman dan amal perbuatan, adalah takwa. Amal saleh dari orang yang tidak bertakwa mendatangkan manfaat bagi masyarakat, namun tidak bagi dirinya sendiri.
2. Orang-orang mukmin pada Hari Kiamat adalah tamu Allah dan Tuhan adalah penjamu mereka, dan syurga adalah jamuan yang pertama dari Tuhan. Apa yang di sisi Tuhan, adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.
Ayat ke 199
Artinya:
Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat- ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungannya. (3: 199)
Setelah Rasul Saw hijrah dari Mekah ke Madinah, orang-orang Yahudi dan Kristen yang berada di Madinah dan sekitarnya mengenali Islam. Sebagian dari mereka beriman kepada Rasul Saw dan meninggalkan fanatisme buta. Bahkan raja Habasyi Ethiopia juga beriman kepada Islam. Ketika beliau meninggal, Rasul beserta muslimin menghadiahkan shalat mayit untuknya dari jarak jauh serta memohon ampunan baginya. Sebagian orang munafik mengatakan, Rasul shalat mayit untuk orang kafir yang bahkan tidak dikenalinya. Kemudian ayat ini turun untuk menjawab pernyataan orang orang kafir itu.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dalam menghadapi orang-orang non muslim, kita harus memelihara sikap obyektif dan memuji orang-orang yang baik dari mereka.
2. Iman akan bernilai, bila disertai kerendahan hati dan khusyu dan jauh dari segala bentuk kesombongan.
Ayat ke 200
Artinya:
Hai orang orang yang beriman bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga ( di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung. (3: 200)
Ayat ini adalah ayat paling akhir dari surah Ali Imran, yang meliputi 4 perintah beruntun. Isi semuanya adalah ketabahan dan istiqomah dalam melaksanakan tugas personal dan sosial serta menanggapi dengan serius perintah-perintah Tuhan. Beranjak dari ayat ini ditujukan kepada orang-orang Mukmin, kita memahami bahwa syarat iman adalah sabar dan istiqomah.
Istiqomah di hadapan peristiwa-peristiwa pahit dan kesulitan pribadi serta keluarga, dan bertahan di hadapan musuh-musuh luar yang berupaya menghancurkan Muslimin. Lebih penting dari semuanya adalah tabah dalam menjaga perbatasan pemikiran dan idiologi denikian pula territorial bumi dan perlawanan ini dapat bermanfaat bila disertai takwa. Hanya dengan cara ini, muslimin akan mencapai kemenangan dunia dan akhirat.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Jika musuh bertahan di jalan kesesatannya, kita harus tetap bersikukuh di jalan kebenaran.
2. Perlawanan akan bernilai bila untuk Tuhan dan di jalan takwa. jika tidak, hanya akan menyebabkan fanatisme.
Tafsir Al-Quran, Surat Ali Imran Ayat 191-195
Ayat ke 191
Artinya:
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (3: 191)
Telah disebutkan sebelumnya bahwa langit dan bumi dan semua makhluk, merupakan petanda akan keberadaan Tuhan. Ayat ini mengatakan, orang-orang yang berakal adalah mereka yang senantiasa memikirkan alam semesta. Memahami tujuan alam dan menyadari bahwa dunia ini tidak dicipta tanpa pencipta membuat kita memahami bahwa penciptaan ini berdasarkan tujuan tertentu. Adakah dapat diterima bahwa pencipta alam mendirikan alam semesta ini tanpa didasari tujuan dan program?
Pertanyaan selanjutnya, bila kita terima bahwa dunia punya tujuan, haruslah kita lihat, apakah peran kita?Sejauh manakah kita dapat memanfaatkan alam semesta dan sejauh manakah kita melakukan kewajiban yang diperintahkan sang pencipta? Al-Quran menyatakan, orang-orang yang berakal, selalu memikirkan tentang perkara ini. Oleh sebab itu, mereka memohon maaf dari kekhilafan dan kekurangan dan mereka meminta dari Allah keterbebasan dari siksa neraka.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Tanda ketinggian akal adalah mengingat Tuhan di semua tempat. Sejatinya, ahli pikir juga ahli zikir.
2. Iman akan bernilai bila berlandaskan pikiran. Zikir juga demikian menjadi bernilai dengan disertai pemikiran.
3. Alam semesta berlandaskan tujuan dan tujuan finalnya mendekatkan diri kepada Allah. Semakin kita jauh dari tujuan ini, kita akan lebih dekat dengan neraka.
Ayat ke 192
Artinya:
Ya Tuhan kami, sesungguhnya barang siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang zalim seorang penolongpun. (3: 192)
Ayat ini menyinggung siksa Allah di lisan mereka dengan menyebutkan, meskipun api neraka itu panas membakar, namun apa yang lebih menyebabkan kesedihan dan kemurungan pada Hari Kiamat tatkala semua keburukan terbuka. Padahal semua orang berakal takut terbukanya rahasia dirinya pada Hari Kiamat. Karena orang-orang yang berakal memahami bahwa terbukanya rahasia di depan mata orang-orang saleh adalah lebih sulit dari merasakan api neraka yang membakar.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Pandangan salah terhadap alam semesta menyebabkan kezaliman terhadap diri.
2. Orang-orang yang zalim pada Hari Kiamat tidak mendapatkan syafaat ilahi.
Ayat ke 193-194
Artinya:
Sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu) Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti. (3: 193)
Ya Tuhan kami, berikanlah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji." (3: 194)
Orang-orang yang berakal bukan hanya mengucapkan labbaik kepada seruan akal dan fitrah, tapi sampai kepada Allah dengan renungan akan alam semesta. Merekamemberikanjawaban positif terhadap seruan Allah yang menyeru manusia untuk beriman kepada Allah dan menyatakan keimanannya.
Mereka meminta ampunan dari dosa kecil dan besar dan akhirnya meminta kebaikan dari Tuhan dalam kehidupannya. Orang-orang yang berakal tahu bahwa mereka tidak mendapatkan pahala lantaran perbuatan baik mereka. Oleh karenanya, mereka senantiasa meminta Allah agar memenuhi janji-Nya untuk menganugerahkan pahala, dan Tuhan tidak sekali-sekali mengingkari janji.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Menerima kebenaran dan mendengar ayat-ayat al-Quran merupakan indikasi akal.
2. Kelaziman iman dan akal adalah mengingati dosa dan segera bertaubat ketika melakukan dosa.
3. Memikirkan masa depan merupakan tanda-tanda berakal.
Ayat ke 195
Artinya:
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): Sesungguhnya, Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, karena sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain, maka orang-orang yang berhijraj, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiri pada jalan Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan, Ku hapuskan kesalahan-kesalahan ke dalam syurga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi Nya pahala yang baik. (3: 195)
Pada ayat ini Allah Swt memberikan jawaban positif terhadap keinginan mereka dan menjawab hajat mereka. Setelah itu Allah menjelaskan satu kaidah umum, tidak satupun perbuatan baik di alam ini yang akan sia-sia dan tidak ada perbedan pelakunya pria atau wanita. Karena hanya takwalah yang menjadi keutamaan seseorang. Kemudian al-Quran menyatakan bahwa iman dengan sendirinya tidak cukup, karena akal dan ilmu bila tidak disertai amal tidak akan berguna. Tapi semua itu harus dengan syarat bahwa dikerjakan dengan niat hanya untuk Allah.
Dari ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dalam pandangan hidup ilahi, tidak satupun amalan yang tanpa balasan, tapi dengan syarat dilakukan di jalan Allah bukan untuk diri sendiri.
2. Lelaki dan wanita sama dalam mencapai kesempurnaan spiritual.
3. Selagi manusia tidak bersih dari dosa, maka ia tidak punya kelayakan tinggal di surga.
Tafsir Al-Quran, Surat Ali Imran Ayat 196-200
Ayat ke 196-197
Artinya:
Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. (3: 196)
Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah jahannam dan jahannam itu adalah tempat yang seburuk buruknya." (3: 197)
Terkadang muncul pertanyaan saat melihat orang kafir yang bergelimang kemewahan, sementara orang mukmin justru hidup dalam kesulitan. Mengapa mereka bisa hidup mewah, padahal kafir, sementara seorang mukmin hidup dalam penderitaan?
Pertanyaan ini juga ada di benak orang-orang mukmin di awal Islam. Karena orang-orang Musyrikin Mekah dan orang-orang Yahudi Madinah sibuk dengan perdagangan yang akhirnya mereka hidup berkecukupan. Sementara orang muslinm yang hijrah dari Mekah ke Madinah hidup dalam kesulitan. Terlebih lagi, mereka telah meninggalkan harta bendanya saat pergi berhijrah.
Al-Quran dalam menjawab pertanyaan ini, pertama mengingatkan bahwa kondisi material orang-orang kafir jangan sampai menipu kalian. Karena penghasilan dan fasilitas tersebut adalah temporal dan bakal sirna. Sebaliknya, kesulitan hidup yang kalian alami juga hanya sementara. Kedua, kesejahteraan duniawi yang dibangun atas dasar kufur akan berlanjut dengan siksaan akhirat yang pedih. Jika kalian ingin membandingkan kondisi kalian dengan kondisi mereka, maka kalian hendaknya juga melihat kesudahan kerja mereka.
Satu poin yang tidak boleh dilupakan bahwa barang siapa yang dalam kehidupan dunia bersikap serius dan istiqomah disertai ilmu pengetahuan, maka ia akan sukses. Tidak ada bedanya, apakah ia seorang kafir atau mukmin. Sementara siapa saja yang malas, maka dia akan menderita dalam hidupnya, baik dia itu mukmin ataupun kafir.
Oleh karenanya, akar kesuksesan orang kafir adalah kerja keras mereka, bukannya kekufuran mereka. Sebagaimana juga, akar kesengsaraan Mukminin, adalah kemalasan mereka. Hendaknya perkara ini diperhatikan.
Dari dua ayat tadi terdapat tiga poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kekayaan dan kehidupan orang-orang kafir jangan sampai membuat mata orang orang mukmin gelap dan terpedaya. Sehingga karena tamak terhadap dunia, kalian melepaskan iman.
2. Dalam membandingkan kondisi orang, maka hendaknya kita melihat kondisi di dunia dan di akhirat.
3. Kesejahteraan dunia, seperti kehidipan dunia, akhirnya akan berakhir. Oleh karenanya, hendaknya kita lebih fokus kepada kesejahteraan yang abadi.
Ayat ke 198
Artinya:
Akan tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya, bagi mereka syurga yang mengalir sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya sebagai tempat tinggal (anugerah) dari sisi Allah. Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti." (3: 198)
Mengikuti ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan kondisi orang-orang Kafir pada Hari Kiamat, ayat ini menyinggung kesudahan baik orang-orang yang saleh dan menyatakan, " Meskipun ketakwaan dan memelihara hukum dan aturan agama menyebabkan keterbatasan-keterbatasan di dunia dan mencegah penumpukan harta dan monopoli, namun, Allah Swtpada Hari Kiamat menjamu orang-orang yang dikasihinya dengan sebaik-baiknya jamuan."
Hidup di akhirat dan tinggal di istana surga yang di sekeliling pepohonan dan hutan belukar serta di sisi mata air mengalir, merupakan jamuan pendahuluan dari Tuhan bagi orang-orang mukmin. Jamuan yang penting dan tinggi, adalah nikmat spiritual yang diperoleh oleh Mukminin dari sisi Tuhan-Nya.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Syarat diterimanya iman dan amal perbuatan, adalah takwa. Amal saleh dari orang yang tidak bertakwa mendatangkan manfaat bagi masyarakat, namun tidak bagi dirinya sendiri.
2. Orang-orang Mukmin pada Hari Kiamat adalah tamu Allah dan Tuhan adalah penjamu mereka, dan syurga adalah jamuan yang pertama dari Tuhan. Apa yang di sisi Tuhan, adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.
Ayat ke 199
Artinya:
Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat- ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungannya. (3: 199)
Setelah Rasul Saw Hijrah dari Mekah ke Madinah, orang-orang Yahudi dan Kristen yang berada di Madinah dan sekitarnya mengenali Islam. Sebagian dari mereka beriman kepada Rasul Saw dan meninggalkan fanatisme buta. Bahkan raja Habasyi Ethiopia juga beriman kepada Islam. Ketika beliau meninggal, Rasul beserta Muslimin menghadiahkan shalat mayit untuknya dari jarak jauh serta memohon ampunan baginya. Sebagian orang munafik mengatakan, Rasul shalat mayit untuk orang kafir yang bahkan tidak dikenalinya. Kemudian ayat ini turun untuk menjawab pernyataan orang orang kafir itu.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dalam menghadapi orang-orang non muslim, kita harus memelihara sikap obyektif dan memuji orang-orang yang baik dari mereka.
2. Iman akan bernilai, bila disertai kerendahan hati dan khusyu dan jauh dari segala bentuk kesombongan.
Ayat ke 200
Artinya:
Hai orang orang yang beriman bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga ( di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung. (3: 200)
Ayat ini adalah ayat paling akhir dari surah Ali Imran, yang meliputi 4 perintah beruntun. Isi semuanya adalah ketabahan dan istiqomah dalam melaksanakan tugas personal dan sosial serta menanggapi dengan serius perintah-perintah Tuhan. Beranjak dari ayat ini ditujukan kepada orang orang mukmin, kita memahami bahwa syarat iman adalah sabar dan istiqomah.
Istiqomah di hadapan peristiwa-peristiwa pahit dan kesulitan pribadi serta keluarga, dan bertahan di hadapan musuh-musuh luar yang berupaya menghancurkan muslimin. Lebih penting dari semuanya adalah tabah dalam menjaga perbatasan pemikiran dan idiologi denikian pula territorial bumi dan perlawanan ini dapat bermanfaat bila disertai takwa. Hanya dengan cara ini, muslimin akan mencapai kemenangan dunia dan akhirat.
Dari ayat tadi terdapat dua poin pelajaran yang dapat dipetik:
1. Jika musuh bertahan di jalan kesesatannya, kita harus tetap bersikukuh di jalan kebenaran.
2. Perlawanan akan bernilai bila untuk Tuhan dan di jalan takwa. Jika tidak, hanya akan menyebabkan fanatisme.