
کمالوندی
Manfaat Bepergian
Masalah bepergian dalam agama Islam mendapat perhatian penting. Allah Swt dalam al-Quran memerintahkan manusia agar bepergian. Karena banyak hal yang dapat dipelajari dalam bepergian. Begitu juga yang ditekankan oleh ayat-ayat al-Quran. Salah satu penekanan al-Quran disebutkan dalam surat al-An’am ayat 11, Allah Swt berfirman, “Katakanlah, “Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.”
Istilah bepergian diambil dari bahasa Arab, Safar. Pada intinya berarti mengungkap tabir dan menyingkap tirai. Tabir yang berasal dari luar. Raghib Isfahani menulis, “Safara al-‘Imamata ‘an ar-Ra’si wa al-Khimar ‘an al-Wajhi”. Menyingkirkan sorban dari kepala dan penutup dari wajah.
Bepergian atau Safar ini juga dibahas dalam ilmu Fiqih dan orang yang melakukannya disebut Musafir. Pembahasannya terkait seseorang yang mukim kemudian melakukan perjalanan ke suatu tempat. Ada aturan tentang niat bepergian dari Musafir, jarak perjalanan dan lama tinggal di tempat tujuan.
Namun yang akan dibahas di sini terkait substansi bepergian menurut ulama akhlak. Faidh Kasyani, seorang ulama akhlak dalam karyanya al-Mahajjah al-Baidha’ menulis tentang bepergian sebagai berikut:
“Dengan melakukan perjalanan, manusia akan terbebaskan dari apa yang ditakutinya dan akan meraih apa yang diinginkannya.”[1]
Faidh Kasyani telah menyinggung poin penting terkait bepergian. Perjalanan mengubah sesuatu yang negatif menjadi positif dan meraih apa yang diinginkan. Bepergian menjauhkan rasa takut dari dirinya dan menggantikannya dengan sesuatu yang diinginkannya. Bepergian mengajarkan manusia menjauhkan diri dari urusan yang tidak biasa dan menggantikannya dengan hal-hal yang dapat mengantarkannya kepada kesempurnaan.
Bepergian Menurut Al-Quran dan Hadis
Ketika seseorang melangkahkan kakinya keluar dari rumah atau kotanya, ia akan merasakan manfaat yang banyak. Manfaat itu akan semakin bertambah, bila perjalanan ini dibarengi dengan niat baik dan punya tujuan spiritual. Sedemikian pentingnya, sehingga al-Quran berkali-kali mewasiatkan manusia untuk melakukan perjalanan. Menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah dan memikirkan akibat yang dialami oleh bangsa-bangsa terdahulu merupakan berkah yang ada dalam perjalanan.
Berikut ini tiga ayat al-Quran yang menekankan pentingnya bepergian.
1. Katakanlah, “Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu”.[2]
2. Katakanlah, “Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa”.[3]
3. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul).[4]
Selain manfaat yang disebutkan al-Quran, masih banyak manfaat lainnya bepergian menurut Hadis seperti berikut:
1. Kesegaran
Bepergian terbukti punya peran penting dan positif bagi kesehatan jiwa dan badan manusia. Perubahan cuaca dan suasana sangat membantu bagi kesehatan manusia. Ketika jiwa manusia gembira dengan kondisi baru, dengan sendiri badannya juga membaik dan lebih segar.
Rasulullah Saw bersabda, “Safiru Tashihhu.” Bepergianlah sehingga kalian sehat.[5]
2. Kematangan
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak melakukan perjalanan dapat menumbuhkembangkan rasio seseorang. Karena siapa saja yang bepergian akan menyaksikan pemandangan yang indah, memahami cara pandang dan berpikir orang di kota lain dan mengetahui kelebihan dan kekurangan sebuah masyarakat. Pengenalan ini sangat membantu pertumbuhan cara berpikir seseorang tanpa harus membuka buku-buku yang tebal dan melelahkan.
Rasulullah Saw dengan indah mengingatkan kita akan pentingnya bepergian. Beliau bersabda, “Safiru, Fainnakum in Lam Taghnamu Malan, Ufidtum Aqlan.” Bepergianlah. Sesungguhnya bila dalam perjalanan itu kalian tidak mendapatkan harta, setidaknya pengetahuan kalian bertambah.[6]
3. Pelajaran
Bepergian membuat manusia mengenal nasib dan peninggalan orang-orang sebelumnya. Sejatinya, pengenalan ini merupakan guru palling penting bagi manusia. Karena perjalanan merupakan satu upaya manusia mengkaji perilaku masyarakat sebelumnya, dimana sejarah menuliskan kembali nasib mereka. Inilah pelajaran terbesar yang disampaikan berulang kali oleh al-Quran.
Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?[7]
4. Kesabaran
Bepergian mengajarkan manusia untuk lebih sabar menghadapi segala kesulitan, sehingga mampu menaklukkannya. Karena siapa pun yang bepergian bakal menghadapi banyak kesulitan, dan untuk mengatasinya dibutuhkan kesabaran yang luar biasa. Dengan demikian, menghadapi masalah untuk sementara waktu merupakan latihan yang tepat bagi setiap orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat.
5. Persahabatan
Persahabatan dua orang atau lebih dapat diuji dari perjalanan bersama yang dilakukan. Bepergian memberikan kesempatan kepada seseorang untuk saling menguji satu sama lainnya, sehingga dapat mengetahui kadar loyalitas dan persahabatan. Itulah mengapa Imam Ali as berkata, “As-Safaru Mizan al-Akhlak.” Bepergian parameter akhlak.[8]
Imam Shadiq as berkata, “Jangan sebut orang itu temanmu sebelum mengujinya dengan tiga hal; Perhatikan kemarahannya apakah membawanya dari kebenaran kepada kebatilan? Ujilah dengan uang dinar atau dirham. Dan ketiga, bepergianlah bersamanya.”[9]
Dalam ucapannya, Imam Shadiq as menekankan bahwa bepergian dapat menjadi parameter untuk menilai seorang sahabat yang hakiki.
6. Keuntungan
Tak diragukan bahwa dalam bepergian, selain manfaat maknawi yang didapat, terkadang juga menguntungkan secara materi. Ekonomi dunia berkembang lewat perdagangan. Artinya terjadi perjalanan dari satu daerah ke daerah yang lain begitu juga dari satu negara ke negara yang lain. Dalam ajaran Islam juga ditekankan kepada manusia agar ke luar rumah dan berusaha keras. Karena tidak mungkin hanya diam di rumah dan menanti nikmat materi dan non materi dari Allah Swt.
Al-Quran dalam surat al-Jumuah ayat 10 punya pentakbiran yang sangat indah terkait masalah ini. Manusia hendaklah bertebaran di muka bumi agar mendapat nikmat ilahi dan caranya adalah dengan berdagang. Allah Swt berfirman, “Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Rasulullah Saw bersabda, “Safiru, Tashihhu wa Taghnamu.” Bepergianlah, sehingga sehat dan kaya.[10]
Begitu pula Imam Shadiq meriwayatkan dari ayahnya begitu seterusnya hingga Rasulullah Saw, “Safiru Tashihhu wa Turzaqu.” Bepergianlah, sehingga sehat dan mendapat rezeki.[11]
Manfaat bepergian tidak dapat dibatasi dengan penjelasan ini. Dalam pembahasan selanjutnya tentang bepergian dalam Islam, kita akan menemukan banyak manfaat lain. Namun berikut ini sedikit penjelasan tentang bepergian dalam Islam agar dapat dipahami pentingnya masalah ini.
Rasulullah Saw bersabda, “Allah menyayangi para musafir.” Dan dalam banyak tempat, Rasulullah senantiasa menyebut kasih sayang Allah kepada orang yang bepergian. Dengan demikian dapat dipahami bahwa bila bepergian dengan niat yang baik dan sesuai dengan syariat bakal menurunkan rahmat Allah.
Rasulullah Saw bersabda, “Bila manusia mengetahui rahmat Allah kepada musafir, maka mereka segera bergegas untuk melakukan perjalanan. Sesungguhnya Allah sangat mengasihi musafir.”[12]
Dalam sebuah hadis lain disebutkan, “Barang siapa yang menolong seorang musafir mukmin, Allah Swt akan menghilangkan 73 kesedihan darinya, melindunginya dari kegalauan baik di dunia dan akhirat dan menolongnya dari kesedihan besar di hari ketika orang zalim menggigit jarinya.”[13]
Banyak juga penekanan kepada mereka yang bepergian agar saling memperhatikan dan membantu satu dengan yang lain. Penekanan khusus ini semakin menunjukkan posisi penting bepergian dalam Islam.
Rasulullah Saw bersabda, “Ketika dua orang berjalan bersama, maka yang paling mendapat pahala lebih banyak dan lebih dicintai Allah adalah yang paling memperhatikan dan mengasihi temannya.”[14]
Banyak sekali riwayat yang menjelaskan masalah ini. Membantu seorang mukmin memiliki nilai yang tinggi di sisi Allah. Sekalipun riwayat ini tidak memuat kata safar dan musafir, tapi termasuk dalam sistem nilai membantu orang lain yang sangat ditekankan Islam. (Saleh Lapadi)
Sumber: Ayin Safar; Qommi, Sayed Asgar Nazemzadeh, Bostan Ketab, cet 3, 1386 HS.
[1] . Al-Mahajjah al-Baidha’, jilid 4, hal 39.
[2] . QS: Al-An’am: 11
[3] . QS: An-Naml: 69.
[4] . QS: Yusuf: 109.
[5] . Al-‘Iqd al-Farid, jilid 6, hal 271. Bihar al-Anwar, jilid 76, hal 221.
[6] . Makarim al-Akhlak, hal 240.
[7] . QS: Yusuf: 109.
[8] . Ibnu Abi al-Hadid, Syarah Nahj al-Balaghah, jilid 2, hal 296.
[9] . Bihar al-Anwar, jilid 74 hal 180.
[10] . Kanz al-Ummal, hal 701, hadis 17470. Bihar al-Anwar, jilid 62, hal 267.
[11] . Kanz al-Ummal, hal 701, hadis 17469.
[12] . Majmu’eh Warram, jilid 2, hal 33.
[13] . Makarim al-Akhlak, hal 266.
[14] . Wasail as-Syiah, jilid 8, hal 492. Al-Mahajjah al-Baidha’, jilid 4, hal 60.
Kedudukan Sayidah Fathimah Maksumah di Dunia dan Akhirat
Selain alam dunia, ada juga yang namanya alam akhirat. Masing-masing dari dua alam ini memiliki kapasitas untuk mengenal. Manusia juga demikian, di dua alam ini ia akan menampakkan kapasitasnya sebatas keberadaan dirinya. Terkait masalah ini, Ahlul Bait Rasulullah Saw memiliki posisi istimewa.
Mereka yang memiliki derajat kemaksuman dan keimamahan, sangat kecil kapasitasnya bila mengenal mereka melalui alam dunia. Selain para Imam Maksum as, ada sebagian anak-anak mereka yang menampakkan keistimewaan sebagai hamba Allah khusunya putra putri para Imam Maksum. Keberadaan Sayidah Fathimah Maksumah merupakan salah satu putri Imam Maksum yang harus dihormati. Masyarakat pun telah memanfaatkan keberadaan makamnya dengan baik dari sisi spiritual sepeninggal beliau.
Kedudukan Duniawi Sayidah fathimah as
Sebagaimana kita tahu bahwa alam akhirat adalah manifestasi hakiki alam dunia ini. Akhirat setiap orang nantinya akan menggambarkan kedudukan hakiki seseorang ketika di dunia ini. Itulah mengapa, sebelum kita memahami kedudukan Sayidah Fathimah Maksumah di akhirat, kita gali terlebih dahulu kepribadiannya saat beliau di dunia ini.
Sebagai putri seorang Imam Maksum, Sayidah Fathimah Maksumah besar di bawah asuhan seorang ibu yang bertakwa bernama Najmah Khatun bersama saudaranya yang bernama Imam Ridha as dan belajar serta mencapai kesempurnaan di bawah bimbingan Imam Maksum as. Sayidah Fathimah Maksumah mendapatkan gelar “Fidaha Abuha” dari ayahnya Imam Musa Kazhim sebagaimana gelar yang dimiliki Sayidah Fathimah az-Zahra as dari ayahnya Rasulullah Saw. Itulah mengapa saudara beliau yakni Imam Ridha as terkait Sayidah Fathimah Maksumah mengatakan, “Man Zara al-Ma’sumata Biqum Kaman Zarani...barang siapa yang menziarahi Maksumah di Qom, maka ia seperti menziarahiku.” Kisah tentang ucapan Imam Musa Kazhim as terkait putrinya juga berkaitan dengan posisi keilmuannya dan ini merupakan stempel dan bukti posisi keilmuwan Sayidah Fathimah Maksumah.
Posisi Ukhrawi Sayidah Fathimah Maksumah
Pujian yang paling penting para Imam Maksum as terkait kepribadian Sayidah Fathimah Maksumah adalah mengenai kedudukan dan posisi ukhrawinya. Posisi yang secara umum berkaitan dengan sebuah pintu yang menuju surga dan syafaat beliau untuk para pengikut Ahul Bait as.
Pintu masuk ke surga
Imam Shadiq as menjelaskan tentang gambaran masuknya seseorang dari kota Qom
Tempat Masuk Ke Surga
امام صادق(ع) تصویر ورود به بهشت را از شهر قم تبیین میکنند:
إِنَّ لِلهِ حَرَماً وَ هُوَ مَکَّةُ أَلَا إِنَّ لِرَسُولِ اللَّهِ حَرَماً وَ هُوَ الْمَدِینَةُ أَلَا وَ إِنَّ لِأَمِیرِ الْمُؤْمِنِینَ حَرَماً وَ هُوَ الْکُوفَةُ أَلَا وَ إِنَّ قُمَّ الْکُوفَةُ الصَّغِیرَةُ أَلَا إِنَّ لِلْجَنَّةِ ثَمَانِیَةَ أَبْوَابٍ ثَلَاثَةٌ مِنْهَا إِلَى قُمَّ تُقْبَضُ فِیهَا امْرَأَةٌ مِنْ وُلْدِی اسْمُهَا فَاطِمَةُ بِنْتُ مُوسَى وَ تُدْخَلُ بِشَفَاعَتِهَا شِیعَتِی الْجَنَّةَ بِأَجْمَعِهِمْ
Bagi Allah ada sebuah haram, yaitu Mekah. Bagi Rasulullah juga ada sebuah haram, yaitu Madinah. Bagi Amirul Mukminin ada sebuah haram, yaitu Kufah. Sesungguhnya Qom adalah Kufah kecil. Ketahuilah bahwa surga memiliki delapan pintu dan ketiga pintunya menghadap ke kota Qom. Di Qom ada seorang perempuan dari anak keturunanku yang akan meninggal dunia dan namanya adalah Fathimah binti Musa as dan dengan syafaatnya, seluruh pengikutku akan masuk surga.
Salah satu perkara akhirat hanya khusus milik Allah dan dengan izinnya adalah syafaat. Oleh karena itu berfirman:
یَوْمَئِذٍ لا تَنْفَعُ الشَّفاعَةُ إِلاَّ مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمنُ وَ رَضِیَ لَهُ قَوْلا
Pada hari itu tidak berguna syafa'at, kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya.(QS. Thaha:109)
Oleh karena itu syafaat adalah sebuah kedudukan yang sangat agung khususnya terkait dengan seseorang harus dijelaskan oleh Imam Maksum as. Terkait masalah syafaat sebuah umat dengan cara melalui ziarah ke makam Sayidah Fathimah Maksumah as bisa ditafsirkan dengan dua makna:
Syafaat di dunia
Makna pertama; sebagaimana lahiriahnya hadis maknanya adalah mensyafaati para pengikut. Dengan artian bahwa para pengikut Ahlul Bait yang memiliki kesalahan di dunia maka dengan cara menziarahi makam Sayidah Fathimah Maksumah, maka mereka akan diampuni kesalahannya dan akan dimasukkan ke dalam surga atau melalui ziarah ke makam beliau, mereka akan diberi kedudukan yang tinggi di surga.
Imam Ridha as berkata:
مَنْ زَارَهَا فَلَهُ الْجَنَّةُ
Barang siapa yang menziarahinya, maka baginya surga. Maknanya adalah barang siapa yang benar-benar menziarahi Sayidah Fathimah Maksumah secara hakiki, maka ia akan masuk surga.
Makna kedua; sebagaiman firman Allah Swt bahwa untuk mendapatkan surga, seseorang harus berusaha di dunia ini:
وَسارِعُوا إِلى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّکُمْ وَ جَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّماواتُ وَ الْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقینَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali Imran: 133)
Mendapatkan hidayah di dunia ini dengan sendirinya sama dengan masuk ke dalam surga. Menziarahi Sayidah Fathimah Maksumah karena tingginya spiritualitas di dalamnya, menjadikan seseorang memperbaiki urusannya di dunia dan selanjutnya adalah keselamatan seseorang dari api neraka di alam akhirat dan masuk ke dalam surga. Bahkan mendapatkan posisi yang tinggi di surga.
Kesimpulannya, keberadaan Sayidah Fathimah Maksumah as yang penuh berkah tidak hanya terbatas pada masa hidupnya yang pendek namun keberkahan itu sampai kini meliputi dunia Islam dan umat manusia pada umumnya baik dari sisi keilmuan maupun spiritual. Bahkan di akhirat, puncak kedudukannya akan menjadi jelas yakni seluruh para pengikutnya akan masuk surga karena syafaatnya. (Emi Nur Hayati)
Peran dan Risalah Wanita; Hubungan Wanita dan Pria (3)
Perlunya Menjelaskan Batas-Batas Hubungan Wanita dan Pria Menurut Islam
Ketika kita mengatakan, masalah kefasadan dan fahsya (perbuatan keji) dan batas-batas hubungan wanita dan pria menurut Islam harus kita jelaskan, hal ini bukan hanya untuk masyarakat dunia, tapi untuk masyarakat kita sendiri juga. Hakikatnya adalah di tengah-tengah masyarakat Islam terkait masalah kebebasan yang tak beraturan dan dilarangnya fahsya dan kefasadan belum ada kegiatan budaya yang dilakukan. Tentunya masyarakat kita memiliki iman yang sempurna tentang hijab dan penjagaan yang diperlukan yang telah ditentukan oleh Islam. Namun, mengingat masalah hijab dan batasan hubungan wanita dan pria bagi sebagian orang belum jelas, dan belum dipahami, maka kita punya kewajiban untuk menjelaskan masalah ini kepada masyarakat. (khutbah salat Jumat, 9/8/1365)
Menjaga Hubungan Wanita dan Pria di Radio dan Televisi
Antara wanita dan pria telah ditetapkan sebuah hijab. Saling berbicara, bertransaksi, bertengkar, berteman; namun dengan sebuah hijab dan penjagaan. Ini ada dalam Islam dan harus dijaga. Hubungan wanita dan pria dalam percakapan ini harus dijaga. Terkadang hubungan wanita dan pria di sebagian arena begitu dekat dan akrab dimana seseorang yang menontonya di depan televisi benar-benar merasa malu. Kami sebagai orang lelaki lanjut usia, tapi tetap merasa malu. Jagalah hal-hal seperti ini. Tidak perlu berpura-pura. Kita seperti orang-orang yang berdiri di tepi kolam renang. Sebagian yang berada di atas mengkritik mereka yang melompat di kolam renang dan mengatakan kaki si fulan, miring atau tangannya demikian! Kerjaannya hanya mengkritik orang-orang yang melompat. Kita katakan, coba kamu sendiri yang melompat. Dia katakan, aku tidak bisa melompat. Sekarang adalah penukilan kita. Kita sendiri tidak bisa melakukannya. Namun ketika kita melihatnya, kita tahu bahwa kakinya miring. Karena tidak sedang melompat. Misalnya kakinya terbalik. Manusia berpikir bahwa sebagian dari hal-hal ini bisa dilakukan dengan benar. (pertemuan bersama para direktur radio dan televisi, 15/11/1381)
Kebiasaan Salah; Menggunakan Gambar Wanita Untuk Menarik Perhatian di Media
Bayangkan -bukan hanya khusus media saja- bila film-film Persia atau media Persia berusaha menayangkan wajah dan gambar wanita dengan bentuk yang menarik bagi kaum lelaki, sehingga membuat film-filmya di sukai sekelompok orang. Secara bertahap hal ini akan menjadi sebuah kebiasaan. Yakni perlahan-lahan hasilnya bila gambar ini tidak ada dalam film, maka film ini tidak akan menarik lagi. Padahal sejak awal tidak demikian, tapi perlahan-lahan menjadi seperti ini. (dalam tanya-jawab perkumpulan wanita Iran dan asing, 18/7/1377)
Mencegah Percampuran Wanita dan Pria di Tempat-Tempat Umum
Kami meyakini bahwa cara-cara yang dipakai waktu itu dan diusahakan agar percampuran wanita dan pria semakin pesat, maka hal itu harus dicegah. Sikap wanita dan pria saling memamerkan dirinya di depan yang lain di lingkungan selain rumah tangga dan lingkungan luar, harus dihindari. Alat-alat yang dipakai oleh penjajah dunia untuk menguasai budaya terkait masalah wanita dan pria, harus dicegah. Ini merupakan pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan. (dalam wawancara tentang kedudukan wanita di Republik Islam, 4/12/1363)
Menjaga Kewibawaan dalam Hubungan Wanita dan Pria
Jagalah kewibawaan. Tertawa yang tidak pada tempatnya, bisa merusak kewibawaan. Pembicaraan antara wanita dan pria yang tidak tepat bisa merusak keseimbangan yang ada. Seorang wanita dan pria yang sedang berbicara akan terwujud keseimbangan yang baik. Seorang wanita dengan penuh kewibawaan dan dengan suara yang bagus sedang berbicara; seorang lelaki juga sedang berbicara dengan suara yang bagus dan hangat dan dengan penuh kewibawaan. Namun bila tiba-tiba kondisi pembicaraan seorang wanita dan seorang pria di radio ini misalnya berubah menjadi pembicaraan seorang pria penjual dan pemilik butik dengan pembeli wanitanya, lihatlah bagaimana keseimbangan ini akan rusak. Mungkin saja seorang wanita dan pria di butik berbicara demikian. Tidak tentu haruskah wanita pembeli dan pemilik butik itu kita panggil dan kita sanksi mengapa kalian berbicara demikian. Tapi berbicara seperti itu jangan sampai terjadi di radio. Karena akan merusak kewibawaan yang seharusnya ada pada acara yang ada. Oleh karena itu dalam pembicaraan antara wanita dan pria, dalam menggunakan kalimat, dalam mewujudkan kondisi keakraban bahkan pada pria, kalian harus tetap menjaga kondisi kewibawaan. (dalam pertemuan bersama anggota kelompok sosial radio Republik Islam Iran, 29/11/1370)
Mengarahkan Pada Cinta yang Suci dengan Cerita
Bercerita memiliki dayak tarik [tersendiri] dan indah. Menurut saya, hal ini harus dimanfaatkan. Oleh karena itu, bila sebuah cerita sekalipun tidak memiliki daya tarik seksual, ia sendiri tetap menarik. Selain itu, daya tarik seksual juga bisa dimasukkan ke dalamnya dengan tanpa menimbulkan masalah. Yakni ketika seorang pemudi dan seorang pemuda saling mencintai secara suci dan cinta ini akhirnya berujung pada pernikahan, tidak masalah sama sekali. Bahkan bisa menjadi pelajaran. Karena bagaimanapun juga cinta itu ada. Kalian tidak mungkin bisa memberangus cinta yang ada di dunia. Bagaimanapun juga cinta itu ada. Kalian bisa mengarahkan hal ini. (dalam pertemuan bersama para pengurus lembaga pengembangan pemikiran anak-anak dan remaja, 18/5/1376)
Usaha Menjaga Keamanan Akhlak di Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan harus sehat; baik untuk anak lelaki maupun anak perempuan. Universitas harus aman bagi anak-anaknya masyarakat; baik anak perempuan maupun anak lelaki. Gang dan jalan harus aman dari sisi akhlak dan kesucian; baik bagi anak-anak perempuan maupun anak-anak lelaki, tidak ada bedanya. Bila keamanan ini tercapai, maka lingkungan akan menjadi aman, di gang dan di pasar kondisinya aman, di universitas akan aman, di sekolah menengah umum akan aman. Ketika keamanan akhlak dan pemikiran terjamin, -para pejabat, parah ayah dan ibu harus menjaminnya- maka anak perempuan muslim, anak lelaki muslim, pria muslim, wanita muslim bisa melakukan aktivitasnya (dalam pertemuan bersama kaum wanita Khouzestan, 20/12/75)
Percampuran Wanita dan Pria di Lingkungan Keilmuan dan Rumah Sakit
Masalah kedokteran dan menyikapinya dengan masalah-masalah syariat, khususnya terkait perbedaan dua jenis wanita dan pria, sangat penting.
Tentunya masalah kedokteran dan menyikapinya dengan masalah syariat dalam beberapa bidang, sangat penting. Yang paling penting adalah sejauh yang saya hadapi, yaitu masalah wanita dan pria dan perbedaan dua jenis ini. tapi tidak hanya terbatas pada keduanya. Ada hal-hal lainnya seperti masalah menggugurkan janin dan memotong anggota badan, menghapus anggota badan dan semacamnya dari sisi taklif syariat secara detil harus jelas. Yang paling banyak menghadapi dari yang lain adalah masalah wanita dan pria baik di bagian keilmuan, pendidikan; baik di bagian keilmuan dan rumah sakit, tempat praktek dan semacamnya, benar-benar pekerjaan besar yang telah kalian mulai; para saudara dan saudari. (dalam pertemuan dengan anggota kelompok Enthebagh-e Pezeshki Ba Mavazin-e Shariy, 16/8/1374)
Merujuknya Para Wanita Pada Dokter Wanita
Usahakan, dalam pemerintahan Republik Islam [Iran], pada tahap pertama; untuk setiap penyakit, bila seorang wanita ingin berobat kepada dokter wanita, baginya mudah. Pada tahap kedua; sebisa mungkin bila seorang wanita ingin berobat kepada dokter lelaki, baginya sangat sulit. Tentunya kami tidak mengatakan, terlarang. Tidak. Bagaimanapun juga ini sebuah pekerjaan seperti pekerjaan-pekerjaan lainnya, manusia bebas melakukannya. Kalian sebagai pemerintah; dalam urusan pendidikan usahakan untuk mempermudah hal-hal yang halal dan mempersulit hal-hal yang haram atau makruh atau hal-hal yang ada pada tempat-tempat yang haram dan makruh. (dalam pertemuan dengan anggota kelompok Enthebagh-e Pezeshki Ba Mavazin-e Shariy, 16/8/1374) (Emi Nur Hayati)
Sumber: Naghs wa Resalat-e Zan I, Ifaf wa Hejab Dar Sabke Zendegi-e Irani-Eslami
Bargerefteh az bayanat-e Ayatullah al-Udhma Khamenei, Rahbare Moazzam-e Enghelab-e Eslami.
Penuturan Doktor Fahimeh Mostafavi Tentang Ayahnya, Imam Khomeini ra (3)
Bagaimana sikap Imam Khomeini terhadap keluarga?
Pada dasarnya, Imam Khomeini sangat ketat terkait hubungan dengan non mahram. Ketika putra saya dan putranya Haj Ahmad Agha berusia lima belas sampai enam belas tahun dan kami diundang untuk makan siang di rumah ayah [Imam Khomeini], anak-anak lelaki tidak boleh datang. Kalaupun mereka datang, kami tinggal di rumah ibu dan makan di sana, sementara mereka berada di rumah Haj Ahmad Agha, supaya anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan tidak makan bersama. Tidak hanya jangan bercampur dalam satu jamuan makan, tapi jangan saling mengucapkan salam. Karena tidak wajib.
Bagaimanapun juga, ayah [Imam Khomeini] menilah haram; model pertamuan para wanita dan pria non mahram dan duduk bersama-sama dalam satu jamu makan.
Saya masih ingat, waktu itu saya berusia lima belas tahun ketika almarhum Agha Eshraghi menikah dengan saudari saya dan menjadi menantu kami. Suatu hari kami semua diundang ke rumahnya. Ketika saya dan Imam Khomeini masuk ke rumahnya, saya melihat Agha Eshraghi datang menyambut. Kepada Imam Khomeini saya berkata, “Ayah, saya ucapkan salam? Beliau berkata, “Tidak wajib.” Karena saya juga tidak enak kalau tidak mengucapkan salam, akhirnya saya masuk melewati taman supaya tidak berhadap-hadapan dengan Agha Eshraghi.
Ketika Imam Khomeini diasingkan ke Turki, paman saya [Ayatullah Pasandideh] mau menjenguk ayah ke Turki. Beliau datang ke rumah kami dan dari balik pintu berkata, “Saya ingin bicara dengan ibu, barangkali ada pesan secara langsung yang akan disampaikan untuk ayah.” Oleh karena itu, ibu terpaksa mengucapkan salam kepadanya. Kemudian, saya masih ingat bahwa ibu merasa tidak enak. Karena ini adalah salam pertama kali yang diucapkan kepada lelaki non mahram di saat ayah tidak ada dan beliau berkata, “Bagaimana kalau ayah [Imam Khomeini] tidak rela?”
Jangan sampai tidak tersampaikan, ayah tidak masalah terkait urusan wajib dan genting. Tentunya harus berbicara secara serius. Bukannya, percuma duduk-duduk bersama dan mengucapkan salam. Begitu juga bila Imam Khomeini melihat sesuatu tidak sesuai dengan kedudukan seseorang, maka beliau memotres. Misalnya, salah satu keluarga kami memakai baju, meskipun warnanya hitam, namun menurut Imam tampak mewah. Waktu hari raya dan kami di rumah Imam Khomeini. Beliau berkata:
“Baju ini tidak tepat. Jangan dipakai.”
Orang yang ditegur mengatakan, “Ini adalah hitam.” Imam Khomeini berkata:
“Iya. Tapi ini tidak sesuai dengan posisimu.”
Orang itu menerima dan pergi mengganti bajunya. Tentunya bila sesuatu terpikirkan oleh beliau, maka beliau menegur. Namun teguran beliau sangat halus. Selain itu, teguran itu hanya ditujukan sesuai kepada orangnya.
Imam Khomeini sangat memberikan kebebasan kepada orang-orang terkait dalam menjalankan sesuatu yang hukumnya mubah. Namun terkait dengan hal-hal yang haram beliau sangat tegas. Saya masih ingat, beliau berbeda dengan para mujtahid yang lainnya. Ketika para mujtahid ngotot agar istrinya memakai cadar [penutup wajah] dan semacamnya, tapi Imam Khomeini sama sekali tidak mempersulit masalah ini.
Dalam menjawab sesuatu, Imam Khomeini tidak akan berlama-lama. Ucapan yang akan kalian sampaikan kalian pikirkan sebelumnya selama berhari-hari, maka Imam Khomeini akan menjawabnya segera. Ini karena bersumber dari logikanya. Misalnya, sekali waktu saya diundang ke Cina. Suatu hari saya menemui beliau. kabar ini saya sampaikan di sela-sela pembicaraan bahwa karena ada undangan resmi perkumpulan para wanita Cina, saya ingin pergi ke Cina. Beliau tidak mengatakan sesuatu. Hanya langsung mengangkat kepalanya dan berkata:
“Kamu ingin pergi ke Cina?”
Saya tertawa dan berkata, “Sekarang saya lihat dululah.”
Saya merasa beliau tidak setuju dengan kepergian saya. Tapi tidak menyampaikannya. Kali berikutnya ketika saya menemui beliau. kepada saya beliau berkata:
“Berdirilah ke depan sini.”
Saya maju ke depan dan di dekat telinga saya beliau berkata:
“Jangan pergi ke Cina.”
Saya berkata: “Iya.”
Waktu itu berlalu. Ketika saya menemui beliau kembali, saya berkata, “Mengapa Anda membisikkan di telinga saya? Beliau berkata:
“Lantas, kau ingin aku menyampaikannya ke telapak kakimu?”
Saya berkata, “Tidak. Maksud saya; coba Anda menyampaikannya saat sepi.”
Beliau berkata:
“Iya. Aku telah memangilmu dari keramaian dan menyampaikan kepadamu di saat sepi.”
Imam Khomeini merasa senang dengan pekerjaan-pekerjaan yang sederhana seperti pergi salat Jumat dan ikut serta demonstrasi. Ketika beliau melihat kami pergi salat Jumat. Dengan mudah kami bisa menyaksikan kerelaan di wajahnya. Begitu juga ketika ada demonstrasi, secara tidak langsung mengatakan:
“Kalian [kan] besok mau pergi.”
Selama hidupnya, beliau hanya sekali atau dua kali menasihati kami. Sekali ketika pernikahan putri kami. Ketika beliau menyampaikan khutbah nikah, kami berada di sisi beliau dan Imam Khomeini menasihati putri saya seraya berkata:
“Ketika suamimu pulang dan marah dan bahkan dia menuduhmu dan berbicara tidak sesuai kenyataan. Jangan katakan apapun padanya. Bersabarlah. Ketika kemarahannya sudah redah, katakan, ucapanmu adalah tuduhan [fitnah].”
Kemudian menghadap kepada pengantin pria dan berkata:
“Kamu juga harus demikian. Ketika kamu pulang ke rumah dan istrimu marah, maka pada saat itu kamu jangan menegurnya.”
Ketika pernikahan putri saudariku; putri Agha Eshraghi dan menantunya Agha Khatami. Beliau juga menasihati. Tentunya, karena pengantin lelaki bukan mahram kami, dia tidak ada. Imam Khomeini berkata:
“Kamu siapkan rumah sedemikian rupa dan kamu sendiri harus sedemikian rupa sehingga ketika suami teringat ingin kembali ke rumah, dia datang dengan senang dan semangat, bukan dengan ketidaksukaan.”
Ibu saya mengatakan, “Suatu hari saya berkata kepada Imam Khomeini, kemana saja Anda pergi saya ikut. Apa saja yang terjadi pada Anda, saya bertahan menyertai Anda. Namun sekarang saya menginginkan sesuatu dari Anda. Bila Anda masuk ke surga maka bawalah saya bersama Anda. Mengingat Imam Khomeini bukan orang yang suka basa basi, beliau berkata:
“Tidak. Sampai di mana saja Anda menyertai saya, saya mengucapkan terima kasih. Namun di sana [surga] setiap orang adalah dirinya sendiri dan amalnya. Di sana saya tidak bisa [membawamu].”
Imam Khomeini membuat teh sendiri. Beliau juga yang mencuci sendiri ceret dan gelasnya. Bahkan ketika kami menjenguk beliau, beliau yang membuatkan teh dan menyuguhkan kepada kami. Imam Khomeini dengan kedudukan dan usianya, beliau tidak pernah mengatakan kepada saya yang sebagai anak kecilnya, “Bangkit dan kerjaan pekerjaan fulan atau ambilkan fulan sesuatu.”
Selain malam-malam bulan Ramadhan, bila Imam Khomeini mau berpuasa dan yang lain tidak berpuasa, beliau tidak akan membangunkan yang lain untuk urusan sahur. Dengan pelan beliau bangun dari tidur. Kemudian menyalakan samavar [tempat merebus air] dan membuat teh. Makan sahur Imam Khomeini hanya sebutir telur.
Meski Imam Khomeini tidak pernah menasihati, namun dengan tegurannya tepat waktunya dan dengan perilakunya beliau membimbing kami. Suatu hari saya mendengar bahwa salah satu pembantu rumah Imam Khomeini dibawa ke penjara karena satu kesalahan. Beberapa hari berikutnya saudari saya bertanya kepada saya tentang orang tersebut. Saya bilang, dia sudah tidak ada. Dan saya menceritakan kejadian yang ada. Waktu itu cerita saya belum selesai, Imam Khomeini berkata:
“Ini adalah Ghibah.”
Saya berkata, “Perbuatan dia terang-terangan dan dia sekarang di penjara.”
Imam Khomeini berkata: "Tidak. Dia berbuat sesuatu. Dan kewajiban mereka adalah memasukkannya ke dalam penjara. Tapi kamu tidak boleh menjatuhkan harga dirinya di tempat lain.”
Sekali waktu beliau memanggil semua anggota rumah dan berkata:
“Saya berencana untuk menyampaikan sesuatu ketika kalian semua berkumpul.”
Kemudian berkata: “Kalian tahu bahwa ghibah hukumnya haram?”
Kami menjawab, “Iya.
Beliau berkata: “Kalian tahu bahwa betapa besarnya dosa membunuh seseorang dengan sengaja?”
Kami menjawab, “Iya.
Beliau berkata: “Ghibah [dosanya] lebih besar.”
Kemudian berkata:
“Kalian tahu bahwa betapa besarnya doa perbuatan di luar syariat yang bertentangan dengan harga diri [zina]?”
Kami menjawab, “Iya.
Beliau berkata: “Ghibah [dosanya] lebih besar.”
Imam senantiasa memperhatikan perilaku dan kehidupan kami. Ketika hari libur beliau melihat saya belajar, beliau berkata:
“Kamu tidak akan sukses, karena waktunya istirahat, kamu harus istirahat.”
Masalah ini sangat serius disampaikan kepada putra saya di depan saya seraya berkata:
“Saya tidak menggunakan satu jam pun waktu istirahat saya untuk belajar dan tidak menggunakan satu jam pun waktu belajar saya untuk istirahat.”
Yakni segala sesuatu ada waktunya sendiri. Beliau juga menasihati putra saya seraya berkata:
“Kamu harus punya kesempatan istirahat. Kalau tidak punya, maka kamu tidak bisa menyiapkan diri untuk belajar.” (Emi Nur Hayati)
Dikutip dari penuturan Fahimeh [Zahra] Mostafavi, anak Imam Khomeini ra.
Sumber: Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra, 1387, cetakan 6, Moasseseh Nashr-e Panjereh
Hanya Demi Keridhaan Allah Aku Berperang
Amr bin Abdiwud adalah salah seorang tukang perang Arab yang pemberani. Di perang Khandaq, Sayidina Ali menutup pintu gerbang Khandaq supaya musuh tidak bisa masuk. Setelah itu Amr datang di tengah-tengah medan peperangan dan berteriak, “Siapakah yang siap berperang denganku?”
Tidak ada seorangpun yang berani menantang. Amr kembali berkata, “Dimanakah umat Islam yang akan terbunuh di tanganku, lalu masuk surga? Mengapa kalian tidak segera menuju surga? Mengapa tidak ada seorangpun yang menjawab?”
Tidak ada seorangpun yang berkata. Amr bin Abdiwud dalam kondisi mengangkat pedangnya ke atas dan memutar-mutarkannya seraya berkata, “Suaraku sampai habis karena berkali-kali menginginkan lawan. Aku berdiri di tempat, dimana setiap tukang perang yang pemberani gemetaran dan ketakutan. Sesungguhnya keberanian dan pengorbanan adalah senjata yang paling bagus bagi para pelaku perang.”
Pada saat itu Sayidina Ali meminta izin kepada Rasulullah Saw untuk pergi melawan Amr. Rasulullah Saw kepada Sayidina Ali berkata, “Bersabarlah!”
Amr pun melanjutkan ocehannya dan menginginkan lawan. Setiap kali Sayidina Ali meminta izin kepada Rasulullah, beliau mengatakan, “Bersabarlah!”
Sayidina Ali berkata, “Wahai Rasulullah! Bila dia adalah Amr, maka saya adalah Ali bin Abi Thalib. Akhirnya Rasulullah Saw mengizinkannya dan berkata, “Saya meminta kepada Allah untuk memenangkanmu atas Amr.”
Kemudia Rasulullah Saw mendongakkan kepalanya dan berkata, “Ya Allah! Jangan biarkan sendirian saudaraku dan putra pamanku!”
Kemudian dengan mata berkaca-kaca kepada Sayidina Ali beliau berkata, “Pergilah! Allah menjadi penolong dan pendukungmu!”
Sayidina Ali pergi menuju medan pertempuran dan berkata, “Hai Amr! Jangan tergesa-gesa dalam perang! Orang yang akan melawanmu bukan orang yang lemah. Dia memiliki niat yang baik dan sadar dan sifat ini adalah dasar keberuntungan. Aku tidak mendatangimu kecuali dengan harapan menjadikan istrimu berduka atasmu dan aku akan memukulmu sedemikian rupa sehingga tidak akan pernah terlupakan.”
Mengingat Amr adalah lelaki sombong dan angkuh. Ia tidak mau menjawab ucapan Sayidina Ali.
Sayidina Ali melanjutkan, “Aku mendengar bahwa engkau berjanji; bila seorang lelaki dari Quraiys meminta salah satu dari tiga hal darimu, maka engkau akan menyetujuinya.”
Amr menjawab, “Iya.”
Sayidina Ali berkata, “Untuk itu, aku mengajakmu pada Islam dan risalah Muhammad Saw.”
Amr menjawab, “Aku tidak mau menerima.”
Sayidina Ali berkata, “Kalau begitu, kembalilah ke tempat dari mana kamu datang dan urungkanlah berperang dengan Rasulullah!”
Amr berkata, “Bila aku melakukan hal ini, maka para wanita Quraiys akan mencelaku. Karena ketika aku terluka di perang Badar, aku berjanji tidak akan duduk tenang selama aku belum membunuh Muhammad dan aku tidak akan berhenti melawannya.”
Sayidina Ali berkata, “Kalau begitu, aku terpaksa harus mengajakmu bertempur.”
Amr tertawa dan berkata, “Orang Arab tidak akan meminta hal ini padaku. Aku tidak suka membunuhmu. Karena dulu aku sebagai teman ayahmu Abu Thalib dan di antara paman-pamanmu ada yang lebih kuat darimu. Kamu seorang pemuda dan aku tidak ingin engkau mati di tanganku. Kamu tidak sejajar dan setingkat denganku.
Sayidina Ali berkata, “Tapi aku suka membunuhmu di jalan Allah.”
Amr berkata, “Apa yang aku dengar?” dan ia tertawa terbahak-bahak.
Sayidina Ali berkata, “Aku suka berperang denganmu dan aku bunuh engkau. Untuk itu, turunlah! Ayo kita berperang!”
Amr marah mendengar ucapan Sayidina Ali dan turun dari kudanya, kemudian mengangkat pedangnya. Sayidina Ali mengangkat tamengnya untuk menutupi kepalanya. Namun pukulan pedang membuat tameng itu terbelah menjadi dua dan mengena kepalanya. Menyaksikan hal ini, Rasulullah Saw mendatangi Sayidina Ali dan membalut kepala Sayidina Ali dengan surban.
Sayidina Ali kembali ke medan pertempuran dan berkata, “Hai Amr! Kau tidak malukah, membawa pendamping sebanyak ini, sementara aku sendirian menghadapimu?!”
Amr menoleh dan memandang pasukannya. Pada saat itu Sayidina Ali menyabet kaki Amr dengan pedangnya dan jatuhlah Amr. Tiba-tiba suara takbir para hadirin serentak menggema. Para musuh melarikan diri dan umat Islam dengan gembira mengejar dan mengusir mereka.
Imam Ali berdiri mendekati Amr dan ingin memenggal kepalanya. Amr berkata, “Kamu telah menipuku.”
Sayidina Ali berkata, “Inilah makna perang. Jangan selalu bersandar pada kekuatan lenganmu. Terkadang sebuah taktik bisa mengalahkan musuh. Demikian juga dengan kamu, seharusnya menggunakan pikiranmu daripada hanya mengoceh. Pada saat itu juga Amr meludai wajah Sayidina Ali. Sayidina Ali bangkit dan berjalan beberapa langkah kemudian kembali mendatangi Amr dan mau memenggal kepalanya.
Amr berkata, “Mengapa kamu tidak jadi dan sekarang kembali lagi?!”
Sayidina Ali berkata, “Kau meludai wajahku dan membuatku marah. Aku tidak ingin memenggal kepalamu pada saat aku dalam kondisi marah. Karena boleh jadi niatku terhitung sebagai balas dendam padamu. Padahal, sebagaimana telah kukatakan, aku berperang denganmu dengan niat karena keridhaan Allah.”
Sayidina ali memenggal kepala Amr bin Abduwud dan membawanya kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw mencium Sayidina Ali dan mendoakannya. (Emi Nur Hayati)
Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Ali as
Faedah Menangis dan Berduka untuk Imam Husein as
Majlis duka dan tangisan atas nama Imam Husein as memiliki ciri khas tersendiri. Ciri khas tangisan demi Imam Husein memiliki faedah di dunia dan pahala di akhirat.
Ketika ada pembicaraan tentang berduka untuk Imam Husein as dan tibalah bulan duka untuk keluarga Rasulullah Saw, maka muncullah berbagai macam kerancuan untuk melawan acara menyampaikan kecintaan dan belasungkawa untuk mereka.
Sebagian mengatakan, semua kesedihan dan tangisan ini percuma. Bahkan memrotes para imam maksum dan mengatakan, mengapa mereka menganjurkan para pecinta keluarga Rasulullah untuk menyelenggarakan majlis duka untuk Imam Husein?
Pada dasarnya orang-orang semacam ini menilai duka sebagai masalah yang tidak baik. Di sinilah kesalahan mereka, yakni tidak membedakan ragam duka. Bila mereka mengetahui macam-macamnya duka, pertanyaan seperti ini tidak akan muncul dalam diri mereka.
Macam-macam duka:
1. Duka penyakit
Duka penyakit merupakan salah satu jenis duka yang pada hakikatnya dia adalah sebuah penyakit. Duka seperti ini tidak ada nilainya sama sekali dan harus segera diobati. Duka seperti ini, kita menyaksikan bahwa seseorang telah menderita penyakit jiwa dan senantiasa sedih dan berduka. Seperti kesedihan yang disebabkan oleh penyakit hasud. Bila sifat yang tidak baik ini disingkirkan, maka seseorang tidak akan berduka lagi.
2. Duka alami dan duniawi
Dalam duka jenis ini, seseorang berduka karena urusan duniawi dan materi. Misalnya seseorang ingin menjadi orang kaya. Mengingat dia tidak mencapai keinginannya, lantas berduka. Dalam hal ini Imam Shadiq as berkata:
اَلرَّغْبَةُ فِی اَلدُّنْیَا تُورِثُ اَلْغَمَّ وَ اَلْحَزَنَ وَ اَلزُّهْدُ فِی اَلدُّنْیَا رَاحَةُ اَلْقَلْبِ وَ اَلْبَدَنِ
Cenderung pada dunia menyebabkan duka dan kesedihan. Dan mengabaikan dunia menjadikan hati dan badan tenang.[1]
3. Duka kemanusiaan
Ketika seseorang memiliki keinginan fitrah dan menjadikan sesuatu sebagai nilai dan tujuan, namun ia tidak bisa mencapai hal itu, maka ia akan mengalami duka kemanusiaan. Misalnya seseorang ingin kekal di dunia, tapi hal itu tidak mungkin terjadi, maka dia akan sedih.
4. Duka yang bagus
Jenis duka yang terakhir adalah duka yang bagus. Duka ini benar-benar bernilai dan menyebabkan kebahagiaan dan pahala di akhirat. Dalam hal ini Imam Shadiq as berkata:
نَفَسُ المَهمُوم لِظُلمِنا تَسبیحٌ وَ هَمُّهُ لَنا عِبادَة
Nafas seseorang yang bersedih karena kemazluman kami terhitung sebagai tasbih dan kedukaannya karena kami terhitung sebagai ibadah.[2]
Di samping hadis-hadis ini, ada sebagain riwayat yang menunjukkan tingginya nilai kedukaan untuk Imam Husein as. Membandingkan kedukaan Imam Husein dengan duka-duka yang lain salah dan tidak pada tempatnya. Duka yang sudah terpahat di hati orang-orang Mukmin.
Oleh karena itu Rasulullah Saw bersabda:
إنَّ لِقَتْلِ الْحُسَیْنِ حَرَارَةٌ فِی قُلُوبِ الْمُؤْمِنِینَ لَنْ تَبْرُدَ أَبَداً
Sesungguhnya untuk syahadahnya Husein, ada kobaran api di hati orang-orang mukmin yang tidak akan dingin selamanya.[3]
Berduka dan menangis untuk Imam Husein pada hakikatnya memperbarui baiat dengannya. Sebuah baiat yang berabad-abad lamanya pasca syahadah Imam Husen tetap dan akan berlanjut. Dengan menangis atas musibah Imam Husein, seseorang telah menunjukkan garis pemikirannya dan mengumumkan kebenciannya terhadap para musuh Imam Husein. Tangisan seperti ini merupakan ikatan perjanjian persahabatan antara seseorang dengan Imam Husein as.
Demikian juga dengan Imam Ridha as. Beliau berpesan kepada Rayan bin Syabib untuk menangisi Imam Husein as.
یَا ابْنَ شَبِیبٍ إِنْ کُنْتَ بَاکِیاً لِشَیْ ءٍ فَابْکِ لِلْحُسَیْنِ بْنِ عَلِیٍّ فَإِنَّهُ ذُبِحَ کَمَا یُذْبَحُ الْکَبْشُ وَ قُتِلَ مَعَهُ مِنْ أَهْلِ بَیْتِهِ ثَمَانِیَةَ عَشَرَ مَا لَهُمْ فِی الْأَرْضِ شَبِیهُونَ
Hai Putra Syabib, bila engkau menangis karena sesuatu, maka menangislah untuk Husein bin Ali, karena sesungguhnya ia disembelih seperti kambing yang disembelih dan delapan belas orang dari keluarganya dibunuh bersamanya yang tidak ada bandingannya di dunia.[4]
Masalah menangis untuk Imam Husein tidak sama dengan tangisan dan duka lainnya, sehingga kita samakan dan dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik. Tapi menangis untuk Imam Husein sejak awal beda. Imam Shadiq as berkata:
إِنَّ الْبُکَاءَ وَ الْجَزَعَ مَکْرُوهٌ لِلْعَبْدِ فِی کُلِّ مَا جَزِعَ مَا خَلَا الْبُکَاءَ عَلَى الْحُسَیْنِ بْنِ عَلِیٍّ ع فَإِنَّهُ فِیهِ مَأْجُورٌ
Sesungguhnya setiap tangisan dan jeritan itu makruh bagi seseorang kecuali tangisan untuk Husein bin Ali. Karena sesungguhnya ia [tangisan untuk Husein] ada pahalanya.[5]
Jenis duka untuk Imam Husein as dengan duka-duka yang lain begitu berbeda, sehingga jauh-jauh sebelum tragedi Asyura menyampaikan tentang nilainya menangis untuk Imam Husein as dan bersabda:
یا فاطِمَةُ! کُلُّ عَینٍ باکِیَةٌ یَومَ القِیامَةِ إلاّ عَینٌ بَکَت عَلى مُصابِ الحُسَینِ
Hai Fathimah! Setiap mata akan menangis di Hari Kiamat, kecuali mata yang menangis atas musibah-musibah [yang menimpa] Husein.[6]
Faedah Menangis dan berduka untuk Imam Husein as
Ketika menangisi musibah Imam Husein begitu dianjurkan, dan disebutkan betapa besar pahalanya di akhirat; yakni memahamkan kepada kita bahwa amal ini juga memiliki pengaruh dan faedah yang sangat penting di dunia. Salah satu pengaruhnya adalah melewati gerbang gejolak dan masuk menuju lautan pemahaman. Menangis untuk Imam Husein bukan akhir pekerjaan, tapi permulaan untuk memahami. Perasaan yang akan bangkit dan kita dibawa untuk memikirkan. Sebuah pemikiran yang membangun yang terbentuk dari ilham yang berasal dari musibah yang ada.
Risalah menangis untuk Imam Husein adalah menjaga nama, peninggalan dan jalan Imam Husein. Tangisan inilah yang mengajarkan budaya syahadah pada para pecinta jalan Imam Husein, juga yang menjaga darah [perjuangan] Imam Husein.
Menangis untuk Imam Husein pada dasarnya mengenali para pezalim dan despotik dunia. Setelah bertahun-tahun ada saja orang-orang yang melanjutkan jalannya Yazid dan orang-orang seperti Yazid. Menangis untuk Imam Husein menjadikan seseorang terdidik menjadi seorang pejuang. Pejuang yang sungguh-sungguh yang menghadapi kezaliman dan imperialisme sampai akhir hayat dan di jalan menuju pada Allah tidak takut sama sekali pada pezalim. Selain itu, menangis untuk Imam Husein adalah mewariskan kecintaan kepada Imam Husein pada generasi selanjutnya dan mengalihkan budaya Asyura dari generasi ke generasi. Jangan lupa bahwa alat untuk menyampaikan budaya Imam Husein di tangan Sayidah Zainab dan Imam Sajjad adalah tangisan untuk Imam Husein as.
Kesimpulan
Duka memiliki berbagai macam jenis. Tidak semua jenisnya percuma. Tapi salah satu dari empat jenis duka adalah duka yang bagus, yang bisa membuat seseorang berkembang dan menentukan tujuan bagi seseorang. Berduka dan menangis atas musibah yang menimpa Imam Husein merupakan duka yang bagus; selain memiliki pahala akhirat, juga memiliki banyak faedah di dunia.
Mengingat dunia imperialis, para pezalim dan despotik tahu bahwa majlis-majlis duka untuk Imam Husein yang akan menghancurkan pemerintahannya, mereka berusaha menjauhkan para pemuda dari majlis-majlis ini dengan cara menyebarkan keraguan atas duka ini. (Emi Nur Hayati)
[1]. Tuhafful Uqul, hal 358.
[2]. Amali, Syeikh Mufid, hal 338.
[3]. Mustadrak al-Wasa’il, Jilid 10, hal 318.
[4]. Wasail as-Syiah, jilid 13, hal 503.
[5]. Wasail as-Syiah, jilid 13, hal 506.
[6]. Biharul Anwar, jilid 44, hal 293.
Barangkali Punya Nama Lain
Begitu tunggangan Imam Husein as sampai di tanah Karbala, ia tidak lagi mau melangkahkan kakinya. Semakin Imam Husein menggerakkannya untuk berjalan, tetap saja ia tidak mau melangkahkan kakinya. Imam Husein as meminta kendaraan yang lainnya dan menaikinya. Tapi sama, hewan itupun tidak mau bergerak.
Imam Husein mengganti kuda sampai enam kali. Namun tidak satupun dari mereka yang mau melangkahkan kakinya. Imam Husein as menghadap kepada para sahabatnya dan berkata:
“Tanah apakah ini?”
Mereka menjawab, “Ghadhiriyah.”
Imam Husein as berkata, “Barangkali punya nama lainnya.”
Mereka berkata, “Iya. Disebut juga dengan Syathi’ul Furath.”
Imam Husein as berkata, “Apakah punya nama lainnya lagi?”
Mereka menjawab, “Iya. Ia juga disebut Karbala.”
Imam Husein as berkata, “Sekarang aku sudah merasa nyaman.”
Kemudian beliau menghela nafas panjang dan menangis tersedu-sedu, kemudian berkata, “Demi Allah! Inilah tanah karbun wa bala’. Demi Allah! Di sinilah para lelaki kami dibunuh. Demi Allah! Di sinilah para wanita kami akan menjadi janda. Demi Allah! Di sinilah anak-anak kami dipenggal kepalanya. Demi Allah! Di sinilah martabat kehormatan kami dicabik-cabik. Dengan demikian, turunlah hai para kesatria! Di sinilah tempat kuburan kita.”
Kemudian Imam Husein turun dari kendaraannya dan begitu kaki beliau sampai di tanah Karbala, tanah berubah warna menjadi kuning dan debunya terangkat sampai ke rambutnya Imam Husein as. (Maqtal Az Madinah Ta Madinah, Sayid Mohammad Javad Zehni Tehrani, hal 341-342, menukil dari Maqtal Abu Mikhnaf, hal 326-327)
Membeli Tanah Karbala
Ketika Karavan Sayidus Syuhada [Imam Husein] sampai di Karbala. Beliau memanggil para penduduk daerah itu. Beliau membeli tanah untuk tempat kuburannya dan tanah sekitar kuburannya dari penduduk Nainawa dan Ghadhiriyah dengan harga enam puluh ribu dirham. Imam Husein meminta kepada mereka untuk mengarahkan masyarakat ke kuburannya dan menjamu para peziarah kuburan beliau sampai selama tiga hari.
Imam Shadiq as berkata, “Luas tanah yang dibeli untuk kuburan itu empat kali empat mil dan hukumnya halal bagi anak-anak dan para pecinta Imam Husein dan haram bagi yang lainnya. (Maqtal Az Madinah Ta Madinah, Sayid Mohammad Javad Zehni Tehrani, hal 344, menukil dari Kasykul Syeikh Bahai)
Karavan Asyura: Bagaimana Ibnu Ziyad Provokasi Umar bin Saad Perangi Imam Husein as?
Bulan Muharam Tiba dan umat Islam semakin antusias memeringati hari-hari berkabung untuk Imam Husein as dan sahabatnya. Di hari kedua bulan Muharam 61 Hijriah terjadi sejumlah peristiwa terhadap Imam Husein as dan para sahabatnya. Berikut ini kita akan mengetahui satu kejadian lain yang terjadi di hari itu secara ringkas.
Ibnu Ziyad mengumpulkan para pendukungnya. Ia mengatakan, “Wahai masyarakat! Siapa yang siap memerangi Husein bin Ali as dan sebagai gantinya aku akan menjadikannya gubernur di daerah yang diingikannya?”
Semua terdiam. Tidak ada yang berani menjawab tantangan Ibnu Ziyad. Tapi hal itu tidak membuat Ibnu Ziyad kehilangan ide. Ia lalu menatap Umar bin Saad bin Abi Waqqash. Karena beberapa hari lalu ia telah mengeluarkan surat pengangkatannya sebagai gubernur Rey. Ia juga mengeluarkan perintah agar Umar bin Saad memerangi daerah Daylam dan tengah menyiapkan diri dan pasukannya untuk berangkat ke sana.
Dalam kondisi yang demikian, Ibnu Ziyad berkata kepada Umar bin Saad, “Saya ingin engkau pergi memerangi Husein bin Ali as. Setelah masalah ini selesai, engkau bisa pergi menjadi gubernur. Insya Allah!”
Umar bin Saad menjawab, “Wahai Amir! Bila engkau dapat membebaskan aku dari perang melawan Husein bin Ali as, maka tolong lakukan itu!”
Ibnu Ziyad berkata, “Baiklah. Saya membebaskanmu dari tugas ini. Tapi kembalikan surat pengangkatanmu sebagai gubernur dan tinggallah di rumahmu. Setelah itu aku akan mengirim orang lain.”
Umar menyela, “Berikan saya waktu hari ini untuk memikirkan tawaran ini!”
Ibnu Ziyad berkata, “Baiklah, saya memberimu waktu.”
Umar bin Saad kembali ke rumahnya. Ia kemudian bermusyawarah dengan saudara dan orang-orang yang dapat dipercayainya. Tapi semua sama berpendapat, “Takutlah kepada Allah dan jangan lakukan itu!”
Hamzah anak Mughirah bin Syu’bah, keponakannya mendatanginya dan berkata, “Wahai paman! Demi Allah, jangan pergi memerangi Husein bin Ali as. Karena itu berarti engkau bermaksiat kepada Allah dan memutuskan silaturahmi! Apa yang akan engkau lakukan dengan kekuasaan? Takutlah kepada Allah. Jangan sampai di Hari Kiamat engkau menemui Allah Swt dengan darah Husein anak Fathimah.”
Umar bin Saad hanya terdiam. Tapi cinta akan posisi sebagai gubernur Rey telah merebut hatinya. Dini hari, ia menemui Ibnu Ziyad di istananya. Ibnu Ziyad berkata, “Wahai Umar! Apakah engkau sudah mengambil keputusan?”
Umar menjawab, “Wahai Amir! Engkau telah mengangkatku sebagai gubernur dan telah menulis surat pengangkatanku. Rakyat juga telah mengetahui apa yang engkau lakukan. Di kota Kufah ada tokoh-tokoh yang dapat memerangi Husein bin Ali as.”
Setelah itu ia menyebut nama tokoh-tokoh tersebut.
Ubaidillah bin Ziyad berkata kepadanya, “Saya lebih mengenal tokoh-tokoh Kufah daripadamu. Saya hanya menginginkanmu membantuku menyelesaikan masalah ini. Dengan demikian engkau menjadi orang terdekatku. Bila tidak, kembalikan surat pengangkatan dan kembalilah ke rumahmu. Saya tidak memaksamu melakukan hal ini!”
Umar bin Saad untuk kesekian kalinya terdiam.
Ibnu Ziyad berkata, “Wahai anak Saad! Demi Allah, bila engkau tidak segera bergerak menuju Husein as, menjadi komandan pasukan dan membawa sesuatu kepadaku yang membuatnya sedih, maka aku akan memenggal lehermu dan merampas hartamu!”
Umar menjawab, “Dengan bantuan Allah, besok aku akan bergerak menuju Husein as.”
Ibnu Ziyad memberinya banyak hadiah dan menyiapkan 4000 pasukan penunggang kuda lalu berkata, “Pergi dan datangilah Husein bin Ali as.”
Ubaidillah bin Ziyad mengirim Umar bin Saad bin Abi Waqqash dengan 4000 pasukan berkuda menuju Imam Husein as.
Sebelumnya, Ibnu Ziyad telah mengangkat Umar bin Saad sebagai gubernur Rey dan pasukan berkuda itu juga telah disiapkan bersamanya menuju Daylam. Ketika ia memerintahkan Umar bin Saad memerangi Husein as, Umar sempat menolak, tapi Ibnu Ziyad mengancamnya menarik kembali surat pengangkatannya, merampas harta dan memenggal lehernya. Ancaman itu membuat Umar bin Saad menerima perintah memerangi Imam Husein as.
Setelah memutuskan untuk memerangi Imam Husein as, kabilah Umar bin Saad Bani Zuhreh mendatanginya dan berkata, “Demi Allah! Jangan sampai engkau memegang kendali memerangi Husein as. Karena demikian itu memunculkan permusuhan antara kita dan Bani Hasyim!”
Umar bin Saad kembali menemui Ubaidillah bin Ziyad dan meminta agar membebaskannya dari tugas tersebut. Namun Ibnu Ziyad tidak menerima. Akhirnya Umar bin Saad memutuskan untuk berangkat menuju Imam Husein as dan karavannya.
Waktu itu ada 50 orang yang bersama Imam Husein as dan kemudian ada 20 orang dari pasukan Umar bin Saad yang bergabung dengan beliau. Sementara dari keluarga Imam Husein as sendiri ada 19 laki-laki yang berada bersamanya.
Ketika Imam Husein as melihat bahwa Umar bin Saad dan pasukannya ingin memeranginya, beliau berkata, “Wahai kalian semua! Dengarkan! Semoga Allah Swt memberi rahmat kepada kalian! Apa yang kami lakukan terhadap kalian? Wahai warga Kufah! Apa yang ingin kalian lakukan terhadap kami?”
Mereka menjawab, “Kami takut gaji dan hadiah kami diputus.”
Imam Husein as berkata, “Bukankah hadiah kalian dari Allah lebih baik?”
Saya Akan Menunggu Di Sini
Waktu itu setelah Zuhur di musim panas dan suhunya pun sangat panas. Masyarakat yang lewat menyaksikan Rasulullah Saw berdiri di bawah terik matahari dan keringat beliau bercucuran. Kepada Rasulullah Saw mereka bertanya, apa alasan Anda berdiri di bawah terik matahari dan tidak berkutik dari tempat ini?
Rasulullah Saw menjawab, “Saya menunggu seorang lelaki karena ada janjian bertemu dengannya.”
Seorang lelaki yang ada di situ berkata, “Aduh...siapakah lelaki yang tidak tepat janji ini, sehingga membuat repot Rasulullah? Setidaknya Anda agak ke sana sehingga bisa berdiri di bawah naungan korma.”
Rasulullah Saw berkata, “Saya tidak bisa melakukan hal itu, karena kami sepakat bertemu di sini di samping lempengan batu. Saya akan menunggu di sini. Bila ia tidak datang, maka dia yang tidak menepati janji.”
Kesetiaan
Sebelum Rasulullah Saw mencapai posisi kenabian, dalam beberapa waktu beliau menggembala. Ammar Yasir pada masa itu juga sebagai seorang penggembala dan biasanya menggembala bersama-sama. Suatu hari Ammar dan Muhammad Saw janjian bahwa hari berikutnya akan membawa kambing-kambing mereka ke sebuah daerah subur supaya kambing-kambing mereka makan rumput yang bagus.
Hari itu Muhammad Saw menggiring kambing-kambingnya ke tempat itu. Tapi Ammar terlambat datang. Ketika Ammar dan kambing-kambingnya sampai di sana, ia melihat Muhammad sedang berdiri di depan kambing-kambingnya dan melarang mereka dari memakan rumput. Ammar berkata, “Mengapa Engkau tidak mengizinkan kambing-kambingmu makan rumput yang segar?!”
Muhammad Saw menjawab, “Kesepakatan aku dan kamu adalah kita datang bersama-sama di tempat ini. Tapi kamu datang terlambat dan aku tidak ingin kambing-kambingku makan rumput-rumput ini lebih dari kambing-kambingmu.”
Kembalikanlah Kambing-Kambing Itu Kepada Para Pemiliknya
Perang Khaibar berlangsung lama. Bekal kaum Muslimin telah habis. Mereka terpaksa makan daging hewan yang hukumnya makruh. Bahkan sampai ketika benteng Khaibar terbuka pun, masih tidak ada makanan bagi mereka. Dalam kondisi seperti ini datanglah seorang Yahudi yang kerjaannya menggembalakan kambing orang-orang Yahudi Khaibar.
Yahudi ini meminta kepada Rasulullah untuk memberitahukannya tentang hakikat agama Islam. Rasulullah menjelaskan tentang Islam kepadanya. Ia tertarik dengan penjelasan Rasullah dan masuk Islam. Dia berkata, “Kambing-kambing ini adalah milik orang-orang yang berperang melawan Anda. Karena sekarang saya telah menerima agama Islam, maka saya tidak ada tempat di sisi mereka. Oleh karena itu, lebih baik ambillah kambing-kambing ini sebagai ghanimah [rampasan perang].”
Namun Rasulullah Saw berkata, “Dalam ajaran kami, berkhianat dalam amanat adalah dosa besar. Wajib bagimu untuk mengembalikan kambing-kambing ini kepada para pemiliknya, lalu kembalilah kepada kami!”
Kerapian dan Ketertiban (1)
Rasulullah Saw sangat memperhatikan kerapian dan ketertiban. Setiap kali Rasulullah Saw datang ke masjid untuk mengerjakan salat, pertama dengan telaten beliau merapikan dan menertibkan barisan yang ada. Terkait masalah ini ada yang bertanya, dan beliau menjawab, “Hai hamba-hamba Allah yang beriman! Tertibkan barisan kalian! Kalau tidak, maka Allah akan menetapkan perselisihan di antara kalian dan karena ketidaktertiban kalian akan bercerai-berai.
Suatu kali Rasulullah Saw menertibkan barisan para jemaah salat. Ketika mau melakukan takbiratul ihram, beliau tahu ada seseorang yang lebih maju dari yang lain. Beliau menegur lelaki ini agar berdiri tertib supaya ketertiban salat tidak rusak.
Kerapian dan Ketertiban (2)
Sa’ad bin Muadz salah satu sahabat Rasulullah Saw yang setia. Dalam salah satu perang, kakinya terkena anak panah dan berapa hari berikutnya mencapai syahadah. Kaum Muslimin berkumpul di masjid. Rasulullah Saw yang mengimami salat jenazahnya, kemudian menguburkannya.
Rasulullah Saw masuk ke dalam liang lahad dan meletakkan jenazah sahabat setianya. Setelah itu, masyarakat meletakkan batu di atas liang lahad dan Rasulullah menata bau-batu itu dengan rapi di atas kuburannya dan menimbunnya dengan tanah dengan teliti dan rapi. Seseorang merasa takjub menyaksikan ketelitian dan kerapian Rasulullah dan bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah! Semua ketelitian ini untuk apa? Sekarang kita akan menimbun batu-batu ini dengan tanah...!?”
Rasulullah Saw menjawab, “Saya tahu tanah akan menutupi batu-batu ini! Namun Allah menyukai; hamba-Nya yang memulai sebuah pekerjaan dan menyelesaikannya dengan teliti dan telaten.”
Berharap Pada Rahmat Allah
Dikabarkan kepada Rasulullah Saw bahwa salah seorang muslim sakit parah sehingga ia tidak punya harapan untuk hidup. Rasulullah Saw berencana untuk menjenguknya. Oleh karena itu, beliau pergi ke rumahnya bersama beberapa orang sahabat. Orang ini tidak jelas apa penyakitnya. Dengan suara yang sangat pelan yang hampir tidak bisa didengar, ia berkata, “Wahai Rasulullah! Sebab semua kesusahan dan penyakit ini adalah aku meminta kepada Allah agar menyiksaku di dunia ini supaya dosa-dosaku bersih, kemudian aku pergi menemui-Nya. Sekarang Allah telah mengabulkan doaku dan telah memberikan penyakit ini kepadaku supaya hambanya bersih dari dosa.”
Rasulullah tidak senang mendengar ucapan lelaki ini dan berkata, “Bila Allah ingin menyiksa hamba-Nya di dunia untuk setiap dosanya, maka yakinlah bahwa penyakitmu yang parah ini tidak akan ada apa-apanya di hadapan siksa itu.”
Kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Adapun kewajiban kita adalah berharap pada rahmat Allah dan senantiasa berdoa kepada-Nya agar mengampuni kesalahan-kesalahan kita. Dan menjaga kita di jalan yang lurus. Inilah rahasia keselamatan hamba. Kita harus senantiasa mengucapkan, “Rabbana Atina Fiddunya Hasanah Wa Fil Akhirati Hasanah Wa Qina Adzabannar...Ya Allah! Berikanlah kebaikan dunia dan akhirat untuk kami dan selamatkanlah kami dari siksa neraka jahannam.
Disebutkan bahwa lelaki tersebut mengamalkan anjuran Rasulullah ini dan dengan takjub dia selamat dari penyakitnya. (Emi Nur Hayati)
Sumber: “Sad Pand va Hekayat” Nabi Muhammad Saw.
Karavan Asyura: Aku Tidak Akan Memulai Perang!
Bulan Muharam Tiba dan umat Islam semakin antusias memeringati hari-hari berkabung untuk Imam Husein as dan sahabatnya. Sebagai kelanjutan pembahasan sebelumnya, kita akan mengenal sejumlah peristiwa yang terjadi pada Imam Husein as dan para sahabatnya di hari pertama bulan Muharam 61 Hijriah Qamariah.
Ketika waktu Subuh tiba, karavan Imam Husein as melaksanakan salat berjamaah dan setelah itu mereka bergerak. Sementara Hurr dan pasukannya mendatangi mereka lalu berusaha menggiring mereka ke arah Kufah, tapi Imam Husein as menolak. Zuheir bin Qein berkata, “Tuanku, kita berperang melawan mereka dengan pasukan sedikit. Mengalahkan mereka sangat mudah.”
Imam Husein as menjawab, “Saya tidak akan pernah memulai perang.”
Pada hari itu datang utusan dari Kufah. Sementara karavan Imam Husein as tengah menuju Nainawa karena dipaksa Hurr. Ternyata utusan itu dikirim oleh Ubaidullah yang membawa pesan buat Hurr. Pesan itu berisikan perintah agar memaksa Husein berbaiat dan bila tidak dilakukan, paksa ia dan karavannya ke daerah tanpa air, rumput, rumah dan tempat berlindung hingga datang perintah selanjutnya.
Hurr ar-Riyahi memberitahukan Imam Husein as akan isi surat yang dibawa utusan tersebut.
Imam berkata, “Biarkan kami di desa ini dan tinggal di sini!”
Hurr menjawab, “Orang yang diutus Ubaidillah adalah seorang mata-mata dan tengah mengawasi apa yang kulakukan. Tolong jangan meminta itu dari saya.”
Imam dan karavannya kemudian berangkat dan sampai di lembah tanpa air dan rumput.
Kuda Imam Husein as berhenti. Beliau lalu bertanya, “Tempat apakah ini?”
Zuheir berkata, “Tempat ini punya banyak nama. Ada yang menyebutnya Aqr dan nama lainnya adalah Karbala.”
Imam Husein as berkata, “Hentikan karavan di sini dan pasang kemah-kemah kalian. Aku mengenal daerah ini. Ketika aku bersama ayahku ke Shiffin, beliau beristirahat di sini. Ketika terbangun dari tidurnya, beliau berkata, “Aku bermimpi lembah ini penuh dengan darah dan Husein bergelimangan darah di sana.”
Syeikh Abbas al-Qommi dalam buku Malhuf mengutip:
Di hari kedua Muharam tahun 61 HQ, Imam Husein as tiba di Karbala dan ketika tiba di sana, beliau bertanya, “Apa nama tempat ini?”
Ada yang menjawab, “Mereka menamakan tempat ini Karbala.”
Ketika mendengar nama Karbala, beliau berkata, “Allahumma Inni A’udzubika min al-Karb wa al-Bala’”. Ya Allah, aku berlindung dari kesedihan dan cobaan.
Setelah itu beliau berkata, “Ini adalah tempat kesedihan dan cobaan. Turunlah di sini. Karena di sini tempat persinggahan dan tenda-tenda kita. Daerah ini tempat mengalirnya darah kita. Ini adalah tempat kuburan kita.”[1]
Kedatangan karavan Imam Husein as di Karbala adalah hari kedua bulan Muharam 61 Hq. Setelah hari ini, kondisi menjadi sangat sulit dan setiap hari blokade pasukan Kufah semakin ketat dan jumlah mereka semakin bertambah, sehingga Imam Husein as menilai perang pasti terjadi.[2]