
کمالوندی
Peran dan Risalah Wanita; Hubungan Wanita dan Pria (2)
Melihat Non Mahram; Sebuah Transaksi Penuh Kerugian
Bila Islam dengan tegas mengatakan, tundukkanlah pandangan kalian, jangan melihat non mahram, kepada wanita dikatakan dalam bentuk tertentu dan kepada lelaki dikatakan dalam bentuk yang lain, tujuannya; ketika mata tertuju pada arah tertentu, maka bagian yang menjadi saham seseorang katakanlah istri kalian, akan tertuju ke sana. Nah, baik kalian sebagai lelaki maupun kalian sebagai wanita; tidak ada bedanya. Sebagian telah tertuju ke sana. Ketika yang bagian sini kalian kurangi, maka kasih sayang akan melemah. Ketika kasih sayang melemah, maka pilar-pilar rumah tangga akan goyah. Maka apa yang kalian perlukan pada saat itu akan hilang dan apa yang merugikan kalian, kalian anggap telah kalian dapatkan. (Pidato dalam khotbah akad nikah, 17/ 2/ 1375)
Islam Menentang Kebebasan Seksual
Prinsip pergaulan wanita dan pria dalam pandangan Islam adalah Islam benar-benar menentang fahsya (perbuatan keji), kefasadan seksual dan kebebasan tanpa aturan yang di dunia masa kini hal itu disebut dengan kebebasan seksual. Bila wanita dan pria sibuk dengan kelezaatan seksual di luar lingkungan rumah tangga, di lingkungan sosial, pendidikan, pekerjaan dan lingkungan ilegal, maka kerugian terbesar yang akan diwujudkan adalah kehancuran dan terputusnya ikatan kuat antara wanita dan pria, dan antara keluarga. (khotbah shalat Jumat Tehran, 18, 7, 1365)
Bukti Ketakwaan; Menjaga Batas-Batas Interaksi
Yang paling tampak dari manifestasi ketakwaan adalah menjaga batas-batas dan aturan ilahi terkait masalah seksual dan hubungan wanita dan pria. Jagalah ketakwaan dalam masalah ini dan pasti Allah akan memberikan pahala yang besar bagi orang-orang yang berusaha dan berjuang di jalan ini. (khotbah shalat Jumat, 10/5/1365)
Batas-Batas yang Ditentukan Dalam Islam Terkait Pergaulan Wanita dan Pria
Batas wanita dan pria dalam Islam sudah ditentukan. Wanita dan pria jangan bercampur dan jangan bergaul antara wanita dan pria non mahram. Jangan memandang secara tajam wajah ke wajah. Jangan memandang disertai syahwat. Nah, siapa yang bilang, jangan mengucapkan “Labbaika” secara bersamaan di Mekah, misalnya. Tidak masalah wanita mengucapkan “Labbaikallahuma Labbaik” juga lelaki secara bersamaan. (Jawaban atas sebuah pertanyaan, 11/3/1360)
Ketakwaan Terkait Hubungan Wanita dan Pria
Saya menghimbau kepada semua saudari dan saudara, para wanita dan pria di Tehran dan yang ada di berbagai kota dalam negeri untuk menjaga ketakwaan ilahi terkait masalah hubungan wanita dan pria dan masalah-masalah yang mendekatkan mereka pada fahsya (perbuatan keji) dan kefasadan. Hati-hatilah, jangan sampai melanggar batas-batas yang ditentukan Islam. Hati-hatilah, jangan sampai bakteri kefasadan masuk kembali ke dalam hati masyarakat yang sehat. Hati-hatilah musuh-musuh kita yang telah melarikan diri karena perjuangan keras kita di bidang politik dan militer dan mereka terpaksa melarikan diri, jangan sampai mereka kembali lagi ke surga Republik Islam dan masuk dengan tipu dayanya. (khutbah shalat Jumat, 14/10/ 1360)
Batas Pergaulan Wanita dan Pria Dalam Islam
Bila kita menginginkan fahsya (perbuatan keji) dan kefasadan seksual jangan sampai menyebar di tengah-tengah masyarakat, maka pencegahan lebih baik daripada penyembuhan. Dan pencegahan yang paling baik adalah mewujudkan batasan-batasan dalam hubungan antara wanita dan pria. Tentunya bukan bermakna wanita tidak bekerja, wanita tidak berkarier, bukan bermakna wanita tidak belajar, atau wanita tidak beraktivitas dalam masyarakat atau tidak muncul di gang dan pasar. Tidak. Wanita bisa ikut berpartisipasi di kancah sosial, belajar, mengajar, berdagang, bekerja di kantor, bekerja sebagai buruh. Wanita juga bisa melakukan semua aktivitas sosial, politik dan perjuangan yang dilakukan oleh pria di tengah-tengah masyarakat. Tentunya dengan hijab. Pergaulan wanita dan pria dalam Islam, kita katakan tidak dilarang, tapi dibatasi dengan batasan tertentu. (pidato dalam pertemuan dengan sekelompok perawat, 15/10/1365)
Pemisahan Dua Jenis: Ciri Khas Budaya Asli Barat dan Timur
Masalah wanita dan pria, sebagaimana yang kalian lihat di dunia selain Barat saat ini adalah terpengaruh dari Barat. Bahkan di kebanyakan negara-negara Barat juga demikian, yakni masalah kebebasan tanpa aturan dan semacamnya, sebenarnya bukan bagian dari budaya Barat yang asli. Dalam budaya Barat yang asli, ibaratnya sama sebagaimana yang ada dalam Islam. Sementara yang ada saat ini yakni tidak adanya pemisahan antara dua jenis sebenarnya sebagian karena penyimpangan mereka dari ajaran Kristen, sebagian karena masalah sejarah dan geografi dan daerah tempat tinggal.
Selain di Barat, di mana saja kalian lihat di dunia ini, ada yang namanya pemisahan antara dua jenis dan saling menjauhnya antara dua jenis wanita dan pria. Ini bukan khusus pada Islam saja. Hanya saja dalam Islam ditentukan dalam batasan tertentu. Di mana-mana hal seperti ini ada. Di mana saja ada, dalam bentuk tertentu. Di dalam Islam juga dalam bentuk tertentu sebagaimana yang kita ketahui. Yang kita sebut dengan “mahram dan non mahram”.
Ini bukan bermakna tidak masuknya salah satu jenis ke tempat yang dihadiri oleh jenis lain. Bukan bermakna tidak adanya kontak antara mereka. Bukan bermakna tidak adanya kerja sama antara mereka. Tapi bermakna khusus dimana kalian mengetahuinya dalam ajaran suci Islam; yakni bisa diartikan “segala yang menyebabkan fitnah seksual”. Inilah parameter yang telah ditetapkan dalam ajaran suci Islam. Fitnah seksual benar-benar fitnah yang buruk dan membahayakan. Penyebab penderitaan umat manusia. Bukan hanya khusus satu negara, dua negara, dunia bagian sini atau dunia bagaian sana. Di mana saja, dalam tingkatan apa saja, bila wanita dan pria terjangkit fitnah ini maka akan menyebabkan kesesatan, kelalaian dan ketergelinciran mereka. Ajaran Islam menetapkan untuk memberantas keburukan ini. inilah caranya. Oleh karena itu kalian akan menyaksikan bahwa kebersamaan wanita dan pria non mahram -bahkan di dalam kamar berduaan saja- hukumnya akan haram dan hukumnya akan makruh; di sini sama sekali tidak menyebutkan syarat misalnya dengan syarat melihat, atau dengan syarat tidak melihat, atau dengan syarat baju mereka demikian. Tidak. Lihatlah isyarat pada hal ini. Padahal bila wanita dan pria ini juga ketika di gang atau di tempat lain, tidak ada orang tapi tempat itu tidak tertutup, bukan tempat yang terkunci, dan keduanya juga bersamaan, keberadaan mereka berdua tidak masalah. Berbicara dan berbincang-bincang berdua. (Dalam pertemuan bersama anggota kelompok Enthebagh-e Pezeshki Ba Mavazin-e Shariy, 16/8/1374) (Emi Nur Hayati)
Sumber: Naghs wa Resalat-e Zan I, Ifaf wa Hejab Dar Sabke Zendegi-e Irani-Eslami
Bargerefteh az bayanat-e Ayatullah al-Udhma Khamenei, Rahbare Moazzam-e Enghelab-e Eslami
Karavan Asyura: Aku Tidak Takut Mati Dalam Kebenaran!
Bulan Muharam Tiba dan umat Islam semakin antusias memeringati hari-hari berkabung untuk Imam Husein as dan sahabatnya. Berikut ini dua peristiwa di hari pertama dan kedua bulan Muharam tahun 61 Hijriah Qamariah yang terjadi pada Imam Husein as dan para sahabatnya.
Bertemu dengan pasukan Hurr ar-Riyahi
Imam Husein as di hari pertama bulan Muharam bertemu dengan pasukan Hurr ar-Riyahi. Beliau memberi minum pasukan Hurr hingga kenyang.
Diriwayatkan bahwa tampaknya pada awal Muharam karavan Imam Husein as bergerak dan pagi harinya beliau memerintahkan para sahabatnya untuk memenuhi semua tempat air lalu bergerak. Tiba-tiba seorang sahabatnya mengucapkan takbir dengan nada tinggi dan mengatakan ada kebun korma terlihat dari jauh.
Imam Husein bertanya, “Apa yang engkau lihat?”
Sebagian berkata, “Yang engkau lihat bukan kebun korma. Telinga kuda terlihat sedemikian rupa menyerupai pohon korma.”
Mereka semakin dekat dan ternyata jumlah mereka ada 1000 pasukan penunggang kuda yang dipimpin oleh Hurr. Mereka datang dengan perintah Ubaidullah bin Ziyad.
Imam Husein as berkata kepada para sahabatnya, “Jamu dan beri minum mereka yang haus.”[1]
Hingga hari kedua bulan Muharam, Hurr memaksa Imam Husein as dan karavannya untuk dibawa ke Kufah. Imam Husein as dan Hurr terlibat dialog. Ketima tiba waktu salat, Imam Husein as melaksanakan salat dan pasukan Hurr menjadi makmum beliau.
Setelah menunaikan salat Zuhur dan Asar, Imam Husein as bangkit dan berkhotbah menasihati mereka. Sementara Hurr tetap bersikeras dengan sikapnya menurut perintah yang disampaikan kepadanya, Imam Husein as tidak menerima keinginannya.
Hurr berkata kepada Imam Husein as, “Bila engkau tetap menolak dan bersikeras dengan sikapmu, engkau dan mereka yang bersamamu akan terbunuh.”
Dalam kondisi itu, Imam Husein as mengutip puisi dari sahabatnya dan berkata, “Engkau menakut-nakutiku dengan kematian? Ksatria tidak takut mati. Apalagi bila harapannya adalah kebenaran, ingin membela kebenaran dan berjihad...”
Ketika Hurr mendengar syair itu, ia minggir dan bergerak bersama pasukannya. Imam Husein as dan karavannya juga bergerak hingga tiba di tempat pemberhentian bernama Bidhah.
Demi menyempurnakan hujjahnya, Imam Husein as berkhutbah dan menjelaskan tujuannya. Sambil mengutip sabda Rasulullah Saw yang berkata, “Barangsiapa yang memandang penguasa zalim yang menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan membatalkan janjinya, maka wajib bagi umat Islam untuk bangkit memrotesnya.”[2]
Dalam perjalanan ketika Imam Husein as berangkat dari Mekah pada hari kedelapan bulan Dzulhijjah hingga tiba di Karbala, beliau banyak bertemu dengan orang-orang dan pelbagai karavan.
Salah satunya adalah pertemuan dengan Abdurrahman Hurr. Imam Husein as memintanya agar bergabung dengan karavan Karbala, tapi ia menolak. Namun menawarkan kudanya untuk dipakai Imam Husein as.
Imam Husein as menolak tawaran itu.
Di akhir waktu malam, beliau meminta para pemuda untuk mengisi tempat-tempat air. Setelah itu beliau mememerintahkan karavan untuk berangkat dari tempat peristirahatan Qashr bani Muqatil. Mereka bergerak, sementara Imam Husein as sempat tertidur di atas kudanya dan kemudian terbangun. Beliau berkata, “Innaa Lillaahi wa Innaa Illaihi Raaji’uun. Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.” Beliau dua atau tiga kali mengulangi ucapan tersebut.
Ali Akbar, anak Imam Husein as menemui ayahnya dan bertanya tentang maksud dari apa yang dikatakannya.
Imam Husein as menjawab, “Anakku! Saya melihat di alam mimpi ada seorang penunggang kuda berkata kematian mendatangi anggota karavan dan anggota karavan bergerak cepat menuju kematian.”
Ali Akbar bertanya, “Wahai ayah! Apakah kita berada pada kebenaran?”
Imam Husein as menjawab, “Anakku! Kita dalam kebenaran dan kembalinya semua manusia kepada Allah.”
Ali Akbar berkata, “Wahai ayah! Kalau begitu kita tidak takut bila haus mati dalam kebenaran.”
Imam Husein as begitu gembira mendengar ucapan anaknya dan mendoakannya.[3]
Ketika Subuh tiba, anggota karavan menunaikan salat Subuh dan kemudian mulai bergerak. (Saleh Lapadi)
[1]. Al-Irsyad, Syeikh Mufid, cet 1, Qom, Alul Bait, 1414 HQ, jilid 2, hal 77-78.
[2]. Ibid, hal 82.
[3]. Ibid, jilid 2, hal 83-84.
Anak-Anak Sayidah Fathimah (1)
Hasan dan Husein, anak-anak Sayidah Fathimah sedang bermain gulat di hadapan Rasulullah Saw. Rasulullah Saw tersenyum menyaksikan kegembiraan dua anak ini dan terus-terusan mengatakan, “Hai Hasan! Bangkitlah...bagus! Jatuhkan saudaramu dan kalahkan dia!
Dengan heran Sayidah Fathimah berkata, “Wahai ayah! Saya heran, mengapa Anda menyemangati Hasan, padahal Husein lebih kecil dan lebih membutuhkan dukungan?!”
Rasulullah Saw berkata, “Putriku! Malaikat Jibril sedang menyemangati Husein. Oleh karena itulah aku harus menyemangati Hasan!”
Anak-Anak Sayidah Fathimah (2)
Sayidah Fathimah sangat memerhatikan permainan anak-anaknya. Itulah mengapa selalu membarengi anak-anaknya bermain, meski punya banyak masalah. Supaya potensi mereka berkembang. Selain itu beliau juga memerhatikan poin-poin penting pendidikan.
Dikatakan bahwa ketika Sayidah Fathimah bermain dengan anak sulungnya; Hasan as, beliau mengangkat dengan kedua tangannya dan melemparkannya ke atas kemudian menangkapnya lagi sambil berkata, “Wahai Hasan! Jadilah seperti ayahmu! Jauhkan akar kezaliman dari kebenaran! Sembahlah Allah yang memiliki segala nikmat! Jangan berteman dengan orang-orang yang berhati kotor!”
Ketika bermain dengan Husein, Sayidah Fathimah berkata, “Wahai Husein! Engkau mirip ayahku dan tidak mirip Ali!” *
Sayidina Ali pun gembira dan tertawa mendengar ucapan ini.
* Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Imam Hasan as adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah Saw. Dengan demikian, boleh jadi dengan ucapan ini Sayidah Fathimah ingin bercanda dengan anak-anak dan suaminya.
Minimal Kalian Sedikit Bersabar
Rasulullah Saw meninggal dunia dan kepalanya berada di pangkuan Sayidina Ali. Sayidah Fathimah, Hasan dan Husein menangis atas perpisahan ini. Sayidah Fathimah yang selama ini telah menanggung segala kesulitan dan kesengsaraan, kini sedang merasakan semua kesedihan dunia telah memberati hatinya.
Ketika keluarga ini sedang berduka dan Sayidina Ali sedang menyiapkan pemakanan Rasulullah Saw, ada kabar bahwa sekelompok muslim sedang berkumpul di sebuah tempat bernama Saqifah Bani Saidah untuk menentukan siapa pengganti Rasulullah.
Tidak lama kemudian ada kabar bahwa orang-orang Muslim itu telah memilih Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah.
Mendengar kabar ini hati Sayidah Zahra terasa hancur. Kabar yang sulit dipercaya. Sayidah Fathimah bergumam, “Bukankah ayahku telah memilih Ali sebagai penggantinya? Bukankah penetapan Ali sebagai penggantinya atas perintah Allah sejak di hari ketika mulai menyampaikan dakwah di tengah-tengah keluarga dan para pembesar Quraisy? Bukankah Rasulullah berkali-kali menyampaikan tentang kemuliaan suamiku Ali? Bukankah Rasulullah telah mengumumkan tentang Ali sebagai penggantinya di Haji Wada’ dan Ghadir Khum di tengah-tengah kehadiran kaum Muslimin?
Sudahkah masyarakat melupakannya? Secepat inikah mereka melupakan kenangan kehadiran ayahku di antara mereka?
Kemudian Sayidah Fathimah teringat ucapan terakhir ayahnya yang menyampaikan dengan tangisan dan kekecewaan yang bersabda, “Sepeninggalku, engkau akan menghadapi berbagai musibah dari tangan masyarakat ini yang sampai saat ini belum pernah ada orang yang mengalaminya...”
Sayidah Fathimah di Medan Perang
Pada tahun kelima Hijriah, atas usulan Salman Farsi untuk mencegah serangan musuh, Rasulullah Saw memerintahkan kaum Muslimin untuk menggali sebuah parit [Khandaq] di sekeliling kota dan memenuhinya dengan air. Rasulullah Saw sendiri juga ikut serta menggali parit ini.
Selama melakukan penggalian Khandaq, kondisi kaum Muslimin sangat sulit dan terkadang harus menahan lapar karena tidak punya makanan untuk dimakan.
Suatu hari Sayidah Fathimah pergi ke medan perang untuk mengetahui kabar dan kondisi ayahnya. Rasulullah Saw takjub ketika melihat putrinya dan berkata, “Putriku! Ada apa engkau di sini? Seharusnya sekarang engkau berada di sisi anak-anakmu?!”
Sayidah Fathimah mengeluarkan sepotong roti yang dibawanya seraya berkata, “Saya telah membuat sedikit roti untuk anak-anak. Namun saya tidak tega bila Anda tidak memakan roti ini. Karena saya tahu Anda pasti lapar. Saya membawa sedikit dari roti itu untuk Anda.”
Rasulullah Saw bersabda, “Putriku! Sepotong roti yang engkau bawa untukku ini adalah makanan pertama kali yang aku masukkan ke mulutku setelah tiga hari.”
Kemudian Rasulullah Saw mendoakannya dan kembalilah Sayidah Fathimah ke rumahnya.
Fahimah yang Berusia Sepuluh Tahun
Ketika perang Uhud, Sayidah Fathimah berusia sepuluh tahun. Setelah perang berakhir, Sayidah Fathimah yang sangat merindukan ayahnya, dengan susah payah pergi menjenguk ayahnya di medan perang yang berjarak beberapa kilometer dari Madinah.
Dalam perang ini Rasulullah Saw mengalami banyak luka di badannya. Sayidah Fathimah membersihkan wajah ayahnya dengan air yang dibawanya dan mengobati luka-luka yang ada.
Rasulullah yang saat itu merasa gembira karena pertemuannya dengan putrinya, memberikan pedang Sayidina Ali kepadanya dan bersabda, “Putriku! Bersihkan juga pedang ini. Suamimu telah memenuhi hak pedang ini dengan baik.”
Aku Ingin Berbicara Denganmu
Hai Ali! Detik-detik perpisahan sudah dekat. Aku ingin berbicara denganmu. Ali merasa bahwa bumi yang dipijaknya sedang bergetar. Karena dia tahu, sebentar lagi bakal sendirian. Oleh karena itu, meminta agar mereka berduaan saja. Kemudian beliau duduk di sisi istrinya dan dengan penuh kasih sayang berkata, “Fathimah sayang! Sampaikan saja apa yang ingin engkau katakan dan saya akan mendengarkannya dengan baik.”
Sayidah Fathimah berkata, “Wahai anak pamanku! Selama kita hidup bersama, aku tidak pernah membangkangmu dan sama sekali aku tidak pernah berbohong dan berkhianat padamu.”
Dengan penuh kasih sayang Sayidina Ali berkata, “Engkau lebih bertakwa dan lebih tawadhu. Sehingga tidak layak bagiku untuk menyalahkanmu. Oh! Perpisahan dan jauh darimu akan sulit bagiku. Dengan kepergianmu kenangan kematian Rasulullah Saw kembali terbayang bagiku. Kehilangan dirimu, sulit bagiku dan menyedihkan. Aku berlindung kepada Allah atas kedukaan ini dan kuserahkan hatiku pada-Nya. Musibah kematianmu; tidak ada sesuatu yang bisa menebusnya...”
Setelah perpisahan yang pahit ini, Sayidina Ali meletakkan kepala Sayidah Fathimah di dadanya dan keduanya menangis tersedu-sedu. (Emi Nur Hayati)
Sumber: Sad Pand va Hekayat; Sayidah Fathimah Zahra as
Pengakuan Muawiyah
Seorang miskin datang kepada Imam Hasan as dan meminta bantuan kepadanya. Imam Hasan senantiasa lebih dahulu dari yang lain dalam membantu orang-orang yang membutuhkan. Namun kali ini beliau melihat sebaiknya lelaki miskin ini diutus menghadap Muawiyah yang menjadi khalifah di masa itu.
Imam Hasan kepada lelaki itu berkata, “Bila engkau mau, aku utus engkau menghadap khalifah supaya mendapatkan hadiah yang bagus.”
Lelaki itu berkata, “Bagaimana caranya?”
Imam Hasan berkata, “Anak perempuan khalifah baru saja meninggal dunia. Pergilah kepadanya dan aku akan mengajarimu sebuah ucapan. Katakan padanya..., maka engkau akan menyaksikan dia akan memberikan bantuan yang cukup lumayan untukmu...”
Setelah mendengar ucapan Imam Hasan, lelaki itu pergi menemui khalifah. Syukur kepada Allah, anak perempuan telah bersembunyi di bawah tanah di bawah naunganmu. Karena bila engkau lebih dahulu meninggal dunia, maka anakmu akan terlantar dan boleh jadi orang-orang yang menginginkan keburukannya akan menghinanya.”
Sejenak khalifah memandang lelaki itu dan memikirkan makna ucapannya. Kemudian tersenyum dan berkata, “Hai lelaki! apakah kata-kata yang indah ini dari dirimu dan engkau ingin menenangkan hatiku?!
Lelaki itu berkata, “Tidak. Ini adalah ucapan yang diajarkan Hasan bin Ali kepadaku.”
Muawiyah berkata, “Engkau benar. Ucapan ini darinya. Dia adalah sumbernya kata-kata yang indah dan penuh makna.”
Kemudian memerintahkan untuk memberikan uang yang banyak kepada lelaki tersebut.
Engkau Menginterogasiku?!
Abu Said ‘Aqisha salah seorang sahabat Imam Hasan menemui beliau pasca perdamaian dengan Muawiyah dan berkata, “Wahai putra Rasulullah! Mengapa Engkau berdamai denga Muawiyah, padahal kebenaran ada padamu?”
Imam Hasan menjawab, “Hai Abu Said! Apakah aku bukan hujjah Allah atas makhluknya?!”
Abu Said berkata, “Iya”.
Imam Hasan berkata, “Bukankah Rasulullah Saw bersabda tentang aku dan saudaraku Husein bahwa “Hasan dan Husein; keduanya adalah Imam, baik dia bangkit atau tidak bangkit?!”
Abu Said berkata, “Iya, Wahai Putra Rasulullah!”
Imam Hasan berkata, “Untuk itu, saat ini saya adalah Imam dan pemimpin, baik saya bangkit atau tidak. Hai Abu Said! Alasan perdamaianku dengan Muawiyah, sama seperti alasan yang dimiliki oleh Rasulullah Saw ketika berdamai dengan kabilah Bani Dhumrah dan Bani Asyja’. Pada waktu itu warga Mekah meminta agar berdami dengan dua kabilah ini. Saat ini mereka meminta kepada saya untuk tidak mengajak mereka berperang. Hai Abu Said! Ketika saya dipilih oleh Allah sebagai imamnya masyarakat, jangan sampai mempertanyakanku tentang keputusan yang kuambil. Meski sebab keputusan yang kuambil tidak jelas. Apakah engaku melupakan kisah Khidhir ketika kapal itu dilubangi, ketika anak lelaki itu dibunuh dan ketika dinding itu diperbaiki? Musa protes kepadanya. Karena ia tidak tahu apa sebabnya. Ketika ia memahami sebab perbuatan yang dilakukan Khidhir. Ia rela. Sekarang perbuatanku juga demikian. Karena engkau tidak tahu rahasianya, engkau memprotes. Engkau tidak tahu; bila aku tidak melakukan hal ini, maka tidak satu orang pun dari para pengikutku akan tetap hidup.”
Perdamaian Rasulullah dengan kabilah Bani Dhumrah dan Bani Asyja’ dikenal dengan “Shulh Hudaibiyah”. Perdamaian ini terjadi karena begitu pasukan muslimin berhadap-hadapan dengan dua kabilah ini langsung terjadi gerhana matahari. Karena masyarakat ingin mencari kesempatan untuk mengundurkan diri dari perang, kepada Rasulullah Saw mereka berkata, “Gerhana matahari adalah bukti ketidakrelaan Tuhan atas perang ini. Namun dengan segala usaha yang dilakukan oleh Rasulullah, masyarakat tetap tidak mau. Akhirnya Rasulullah terpaksa menulis perjanjian perdamaian dan tidak jadi perang.
Aku Lebih Layak Darimu!
Pasca perjanjian damai ditandatangani, Muawiyah datang ke Kufah untuk mengetahui kondisi kota ini dari dekat. Dia datang dengan gembira dan sombong karena berhasil membuat Imam Hasan menyerah padanya. Ia masuk ke dalam masjid dan berbicara di depan masyarakat. Namun Imam Hasan as mendahuluinya dan naik ke atas mimbar dan berpidato:
“Hai orang-orang! Muawiyah beranggapan bahwa aku menilainya layak menjadi seorang khalifah dan aku sendiri tidak layak dalam hal ini. Namun anggapan dia ini adalah salah. Saya lebih layak dari yang lain untuk memimpin masyarakat; di dalam kitab Allah maupun dari mulut Rasulullah. Demi Allah! Bila kalian berbaiat kepada saya dan tidak membiarkan saya sendirian, maka langit akan menurunkan air hujan dan bumi akan memberikan keberkahannya pada kalian. Hai Muawiyah! Seandainya saya engkau tidak rakus pada kekuasaan. Padahal Rasulullah Saw bersabda, “Bila seseorang mengambil kekuasaan atas masyarakat, sementara ada yang lebih pandai darinya di tengah-tengah masyarakat, maka ia akan menyeret urusan masyarakat itu pada kehinaan, sampai pada batas kembali menyembah sapi...”
Tidak ada Kebaikan Padamu
Suatu Hari Muawiyah kepada Imam Hasan berkata, “Hai Hasan! Engkau menyaksikan bahwa aku lebih baik darimu!”
Imam Hasan berkata, “Bagaimana mungkin engkau mengasa khayalan salah ini pada benakmu?!
Muawiyah berkata, “Karena masyarakat telah mengelilingiku, sementara tidak ada seorangpun di sisimu.”
Imam Hasan berkata, “Sungguh engkau salah anggapan, wahai putra pemakan hati! Mereka yang mengelilingimu; yang menaatimu dan yang terpaksa. Mereka yang menaatimu adalah yang membangkan Allah. Sementara mereka yang terpaksa, oleh kitab Allah akan dimaafkan. Selain itu, jangan sampai terjadi; kukatakan bahwa aku lebih baik darimu. Karena tidak ada kebaikan padamu. Allah telah membersihkanku dari segala jenis kotoran, sebagaimana Allah telah menjauhkanmu dari segala keutamaan!” (Emi Nur Hayati)
Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Hasan as
Penuturan Doktor Fahimeh Mostafavi Tentang Ayahnya, Imam Khomeini ra (2)
Bagaimana sikap Imam Khomeini terhadap keluarga?
Sikap Imam Khomeini terhadap kami mengingatkan kami pada gaya hidup Rasulullah Saw. Meskipun beliau sibuk dengan kajian dan mengajar fiqih, namun beliau tidak sampai melalaikan anak-anaknya. Beliau tidak melupakan hak-hak keluarga dan kewajibannya mendidik anak-anaknya. Untuk mewujudkan masalah ini, setiap hari beliau menyisihkan waktunya untuk menyenangkan anak-anaknya bahkan bermain dengan mereka. Namun saat bermain dengan anak-anaknya beliau tidak melupakan pesan pendidikan di dalamnya.
Saya masih ingat ketika masa kanak-kanak, saya dan dua orang saudara perempuan saya yang lebih besar; mereka berusia sembilan dan sebelas tahun. Padahal sebelumnya sudah diingatkan oleh Imam Khomeini untuk tidak pergi ke rumah tetangga, tapi kami tetap saja pergi ke sana. Untuk menghukum kakak saya yang lebih besar, beliau mengambil sebuah ranting dan memukulkannya ke dinding untuk membuat jera kakak saya. Ranting itu putus dan sebagian dari kayunya terlempar mengena kaki kakak saya. Setelah beberapa saat kakinya sedikit merah. Imam Khomeini kemudian mengetahui hal ini dan melihat kaki kakak saya yang sedikit merah. Kemudian beliau membayar diyahnya kepada kakak saya dan dengan menjaga kondisi yang ada, beliau mengulangi lagi perintahnya.
Ketika kami masih kanak-kanak, setelah Zuhur kami bermain. Sehingga membuat Imam Khomeini tidak bisa tidur. Namun yang dilakukan Imam Khomeini adalah memanggil salah satu dari kami; itu berarti kami terlalu ribut dan mengganggu. Saya sering mendengar beliau berkata:
“Sore hari ini saya tidak tidur. Anak-anak membuat saya tidak bisa tidur.”
Tentunya ucapan ini dalam bentuk obrolan yang disampaikan kepada ibu kami. Bukan sebuah kemarahan yang ditujukan kepada kami misalnya, “Mengapa kalian menganggu? Atau mengapa kalian ribut?”
Ketika musim panas dan saya masih kanak-kanak, Imam Khomeini dan ibu berada di halaman sedang menanam bunga. Waktu itu setelah shalat Magrib dan Isya. Imam menggemburkan tanah taman dengan pisau dapur. Ibu saya yang menanam bunganya. Kami dan anak-anak tetangga sedang sibuk bermain di dalam ruangan. Di balik jendela tersusun kasur lipat. Kakak perempuan saya mengangkat salah satu anak tetangga dan mendudukkannya di atas kasur kuat-kuat. Sehingga punggungnya mengena kaca jendela dan pecahlah kaca jendela itu. Kaca hancur dari atas sampai ke bawah dan jatuh tepat di mana Imam Khomeini dan ibu kami sedang sibuk menanam bunga. Kami berpikir bahwa Imam Khomeini pasti melakukan protes pada kami. Tapi beliau tidak mengatakan apa-apa. padahal tangan beliau terluka dan darahnya mengalir. Beliau hanya memanggil pembantu yang ada di rumah kami dan meminta untuk membersihkan serpihan kaca-kaca itu.
Kalaupun karena suatu hal kami harus dihukum, malamnya beliau bersikap sedemikian rupa untuk menyenangkan hati kami. Kami pada masa itu tidak memahaminya, tapi sekarang ketika masa telah berlalu, kami baru memahami akan kasih sayang Imam Khomeini. Suatu malam beliau membeli permen untuk saya karena saya habis dihukum. Beliau berkata:
“Ini saya beli untuk Fahimeh.”
Secara keseluruhan, sikap Imam Khomeini pada anak-anaknya sangat lembut. Meskipun beliau punya cucu yang berusia dua sampai tiga tahun dan anak-anak yang berusia tiga puluh sampai empat puluh tahunan, tidak ada sesuatu yang bisa disembunyikan dari beliau. Karena kecerdasannya beliau sangat cepat memahami sesuatu. Imam Khomeini tidak pernah bertanya kepada anak-anak, “Kamu tadi di mana?” tujuannya supaya bila kami tidak ingin mengatakannya, kami tidak harus terpaksa berbohong. Bahkan ketika kami mengatakan, “Kami mau pergi.” Mungkin sekali saja beliau mengatakan:
“Mengapa? Tinggal di sini saja.”
Tapi tidak sampai seseorang dalam dirinya lantas mengatakan bila saya sekarang pergi, maka tidak pantas dan berarti tidak mengamalkan ucapan Imam Khomeini. Justru malah sebaliknya, sikap Imam Khomeini sedemikian rupa sehingga kita senantiasa ingin tetap tinggal di sisinya. Saya masih ingat, bila saya baru pulang dari luar, beliau tidak pernah menanyakan, “Kamu tadi di mana?” bila saya ingin keluar dari rumah, beliau tidak pernah mengatakan, “Kamu mau kemana? Tapi mengatakan:
“Kalau bisa tetaplah tinggal [di sini]!”
Secara umum beliau sangat memberi kebebasan pada anak-anaknya. Beliau mengatakan:
“Biarkan mereka menumpahkan, memegang, mengotori. Biarkanlah. Anak-anak harus begitu.”
Beliau juga tidak akan menasihati anak-anak yang lebih besar. Pada hakikatnya beliau adalah contoh praktis bagi anak-anak. Imam Khomeini memberikan kebebasan pada cucu-cucunya sebagaimana beliau memberikan kebebasan pada anak-anaknya. Ketika cucu-cucunya mengelilinginya, beliau sangat gembira. Bila ibunya ingin mencegahnya agar tidak sampai mengganggu Imam Khomeini, beliau melarangnya dan mengatakan:
“Mereka ini anak-anak. Biarkan bermain.”
Cucu-cucunya memegang jenggotnya, menggeluti lutut, kaki dan memutari kakinya. Atau menaiki badannya untuk mematikan dan menyalakan tombol stop kontak lampu. Selama itu Imam Khomeini tidak marah dan tidak protes. Kecuali bila ada kerjaan. Terkadang ketika sedang menonton tv, anak-anak melanjutkan permainannya dan mengganggunya.
Imam Khomeini telah memberikan kebebasan mutlak pada kami saat masa kanak-kanak dan beliau tidak mempersulit urusan kami. Namun ketika kami menjelang usia baligh dan semakin besar, beliau mengawasi sebagian urusan kami. Dengan semua ini, sikap beliau terhadap cucu-cucunya yang masih remaja dan muda berbeda dengan sikap beliau terhadap orang-orang dewasa. Sikap beliau terhadap kami lebih serius, juga ketika menyampaikan hal-hal tertentu kepada kami. Namun terhadap cucu-cucu perempuannya yang masih remaja dan muda, beliau menyampaikannya dengan dibarengi canda. Terkadang kami mengeluh; misalnya anak perempuan saya tidak mau mendengarkan kata-kata saya. Terkait masalah ini beliau senantiasa membela para pemuda. Beliau meyakini bahwa anak-anak muda ini yang harus dijaga perasaannya.
Bila kami ada hubungan persahabatan dengan sebuah keluarga yang disetujui Imam Khomeini, maka beliau tidak ada urusan dengan urusan lainnya. Tidak penting kapan kami pergi dan kembali dan tinggal di sana berapa hari. Sekalipun di rumah teman-teman. Kebebasan ini membuat kami merasa mendapatkan kebebasan dari sisi kejiwaan. Sikap dan perilaku Imam Khomeini mengingatkan kami pada teladan nyata akhlak Islam. Berkecimpung dengan beliau sangat mempengaruhi jiwa dan mental kami.
Imam Khomeini sebelum Zuhur mengajar di rumah dan para santri datang belajar kepada beliau. pelajaran selesai pada pukul setengah dua belas. Beliau bermain dengan kami sampai pukul dua belas kurang sepuluh menit, kemudian mengambil wudhu dan mengerjakan salat. Tentunya jangan sampai tak tersampaikan, Imam Khomeini sangat menentang terkait membeli mainan. Oleh karena itu, kami membuat kelereng dari tanah liat. Kami bermain kelereng dengan menatanya secara berderet dan siapa saja yang berhasil membenturkan kelereng pada deretan kelereng yang ada, maka ia menang. Yakni kami bermain dengan kami sendiri. [setelah selesai mengajar] beliau datang dan bermain dengan kami selama dua puluh menit. Misalnya kalau kami main petak umpet maka salah satu berdiri menyembunyikan wajahnya pada pangkuan Imam Khomeini, kemudian yang lain bersembunyi.
Di semua hari raya beliau senantiasa memberikan hadiah kepada kami. Akhir-akhir ini Imam Khomeini memberikan hadiah kepada semua orang dewasa yang ada di rumah, masing-masing tiga ratus toman. Ketika kami di Najaf, Imam Khomeini memberikan hadiah masing-masing dua dinar. Suatu hari; di pagi hari raya, hari raya keagamaan atau non keagamaan; saya tidak ingat, kami menunggu pemberian hadiah dari Imam Khomeini. Beliau berkata:
“Hari ini saya tidak punya hadiah.”
Saya berkata, “Bagaimana Anda tidak punya hadiah?”
Beliau berkata:
“Saya memberikan hadiah dari uang milik saya sendiri. Sementara sekarang ini saya tidak punya uang. Itulah mengapa saya tidak bisa memberi hadiah.”
Namun kami tidak bisa menerima begitu saja tanpa hadiah. Akhirnya saudara perempuan kami yang lebih tua meminjamkan uangnya kepada beliau supaya dipakai untuk memberi hadiah. Bila nanti mendapatkan uang maka pinjaman itu akan dikembalikan. Imam Khomeini berkata:
“Boleh jadi saya tidak mendapatkan uang. Bila tidak mendapatkan. Pinjaman pada kamu masih tetap.”
Kamipun berkata, “Insyaallah Anda akan mendapatkan.”
Kemudian saudara perempuan saya yang lebih tua meminjamkan uangnya kepada Imam Khomeini. Imam Khomeini pun memberikan hadiah kepada kami dan beberapa hari kemudian membayar pinjamannya.
Sikap-sikap Imam Khomeini ini membuat kehidupan beliau menjadi sangat tenang dari sisi kekeluargaan. Beliau mengajarkan kepada kami dengan amal. Diamnya lebih banyak dari omongannya. Suatu hari ibu menyuruh saya, -saat itu saya berusia dua belas atau tiga belas tahun- untuk mengambilkan sesuatu dari kamar dan memberikannya kepada beliau. Dengan mudah saya berkata, “Tidak. Saya tidak mau mengambil dan memberikan.” Dan saya tidak menaatinya. Imam Khomeini mendengar ucapan ibu dari halaman dan pelan-pelan beliau mendatangi saya, dalam kondisi menyingsingkan lengannya dan dengan sikapnya ingin menunjukkan bahwa beliau akan memukul saya. Tujuannya adalah untuk menakut-nakuti saya dan saya harus melarikan diri. Namun saya tidak lari dan Imam pun mendekati saya dan saya kena pukul karena tidak menaati ibu. Kejadian itu membuat saya, setiap kali ibu meminta sesuatu dari saya, saya pasti mengatakan, “Iya!” terkait kedudukan ibu, berkali-kali kepada saya Imam Khomeini berkata:
Bila dikatakan, surga berada di bawah telapak kaki ibu; yakni engkau harus menundukkan wajahmu sampai ke tanah di depan kaki ibu, supaya Allah membawamu ke surga.”
Imam Khomeini tidak pernah membangunkan seseorang untuk mengerjakan salat Subuh. Yakni bila kami sedang tidur, beliau begitu pelan dalam mengerjakan salat; baik salat malam maupun salat Subuh, supaya jangan sampai kami terbangun. Kecuali bila seseorang berpesan kepada beliau agar membangunkannya untuk mengerjakan salat Subuh. Kami pun senantiasa berpesan kepada beliau agar membangunkan kami dan beliau pun membangunkan kami.
Saya benar-benar masih ingat; beliau pelan-pelan bangun dari tidur dan mengerjakan salat. Ketika mau mengambil wudu beliau berusaha suara langkah kakinya jangan sampai mengganggu ketenangan orang lain. Beliau senantiasa mengajak orang lain untuk mengerjakan kewajiban bukan dengan ucapan, tapi dengan amal. Beliau senantiasa berusaha menggabungkan ucapan yang benar dengan keindahan, ketenangan dan kelembutan. Dalam hal ini beliau tidak pernah menggunakan kekerasan dan tidak pernah menunjukkan; ibadah kepada Allah dan mengerjakan kewajiban sebagai sesuatu yang berat dan melelahkan di mata orang lain.
Program keluarga suami saya adalah membangunkan anak untuk mengerjakan salat Subuh. Itulah mengapa, meskipun saya kurang setuju dengan cara ini, suami saya tetap membangunkan putri saya yang sudah mencapai usia taklif untuk mengerjakan salat Subuh. Dia meyakini bahwa anak harus dibiasakan bangun untuk mengerjakan salat Subuh. Setelah beberapa lama kami pergi ke Najaf menemui Imam Khomeini. Di sana, kepada Imam Khomeini saya berkata, “Boroujerdi membangunkan Laili untuk mengerjakan salat Subuh.”
Imam Khomeini berkata:
Sampaikan ucapan saya kepadanya’ Jangan merusak tidur pada anak dan wajah Islam yang indah pada perasaan anak.”
Ucapan ini benar-benar berpengaruh pada jiwa saya dan putri saya dan setelah itu putri saya senantiasa berpesan agar saya bangunkan dia pada waktunya untuk mengerjakan salat Subuh.
Imam Khomeini tidak pernah ikut campur sama sekali dalam memberikan nama pada cucu-cucunya. Khususnya bila cucu dari anak perempuan. Bila beliau punya pendapat tentang nama cucu dari anak perempuan, maka beliau mengirim pesan kepada ayahnya. Namun, nama anak seperti Fathimah, Zahra dan Husein, Imam Khomeini yang memilihnya. Imam Khomeini lah yang memilih nama Ali, untuk putranya Ahmad Agha. Pada mulanya nama lain sudah dipilih untuknya, tapi Imam Khomeini mengatakan, “Ali”.
Jarang terjadi beliau memberikan nasihat. Kebanyakan beliau menunjukkan melalui amalnya, perbuatan apakah yang baik dan perbuatan apakah yang buruk. Kami memahaminya dari reaksi beliau, apakah perbuatan itu buruk. Reaksi Imam Khomeini juga berbeda terkait berbagai macam masalah. Beliau sangat keras dalam menyikapi hal-hal yang haram dan yang wajib. Namun terkait hal-hal yang mustahab, tidak begitu. (Emi Nur Hayati)
Dikutip dari penuturan Fahimeh [Zahra] Mostafavi, anak Imam Khomeini ra.
Sumber: Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra, 1387, cetakan 6, Moasseseh Nashr-e Panjereh
Pembagian Pekerjaan Rumah
Sayidina Ali dan istrinya; Sayidah Fathimah merupakan teladan kasih sayang, sehati dan sepemikiran dalam kehidupan rumah tangga. Sepemikiran dan keakraban ini dibangun sejak hari pertama kehidupan rumah tangga mereka dan berlanjut sampai akhir. Meski begitu cepat berakhir dengan syahadahnya wanita penghulu dua alam ini.
Dua orang mulia ini bermusyawarah dan meminta pendapat Rasulullah Saw dalam membagi pekerjaan rumah. Sehingga karena berkah wujudnya Rasulullah, kehidupan sederhana keduanya menjadi kokoh. Kepada Rasulullah Sayidina Ali as berkata, “Wahai Rasulullah! Kami akan senang bila Anda memberikan pendapat tentang pembagian pekerjaan rumah kami!”
Rasulullah Saw pun menetapkan pekerjaan di luar rumah khusus sebagai tanggung jawab Sayidina Ali dan pekerjaan dalam rumah sebagai tanggung jawab putrinya. Keduanya merasa gembira menjalankan pendapat Rasulullah dalam kehidupan pribadinya. Rasulullah Saw juga merasa senang dan menerima usulan mereka untuk menyampaikan pendapatnya. Terutama Sayidah Fathimah as karena ayahnya telah membebaskannya dari menjalankan pekerjaan di luar rumah. Sayidah Fathimah sangat rela dan berkata, “Allah mengetahui, betapa senangnya aku karena ayahku telah membebaskanku dari tanggung jawab berhadapan dengan orang-orang laki.”
Dari saat itu pekerjaan seperti mengambil air dan belanja ke pasar dan semacamnya dikerjakan oleh Sayidina Ali dan pekerjaan seperti menggiling gandum, membuat roti, memasak dan membersihkan serta merapikan rumah, mengasuh anak-anak dan sebagainya dikerjakan oleh Sayidah Fathimah. Selain itu, bila Sayidina Ali memiliki waktu luang, dan memang dibutuhkan, maka beliau membantu istrinya mengerjakan sebagian pekerjaan rumah. Di sisi lain, bila Sayidina Ali tengah sibuk berperang atau bepergian, maka Sayidah Fathimah yang mengerjakan pekerjaan di luar rumah.
Suatu hari Rasulullah Saw menyaksikan keduanya sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Rasulullah Saw dengan penuh kasih sayang berkata, “Siapakah di antara kalian berdua yang lebih lelah, sehingga aku yang menggantikannya bekerja.”
Sayidina Ali as berkata, “Wahai Rasulullah! Zahra-lah yang lebih lelah.”
Rasulullah Saw meminta putrinya untuk istirahat sejenak dan beliau kemudian membantu Sayidina Ali.
Aku Akan Menyertaimu Agar Engkau Tak Sendirian
Di pertengahan jalan menuju Kufah, bertemulah dua orang musafir. Salah datu dari keduanya seorang muslim dan yang satunya seorang Yahudi. Keduanya begitu cepat akrab dan membuka pembicaraan. Ternyata tujuan safar orang muslim ini adalah kota Kufah. Di dekat kota Kufah jalan orang Yahudi harus pisah darinya. Namun keduanya memutuskan untuk bersama, selain agar tidak sendirian, juga perjalanan yang panjang akan terasa pendek.
Sesaat kemudian mereka berada di persimpangan jalan dan harus berpisah. Namun orang muslim ini berkata, “Saya tidak ingin menjadi teman separuh perjalanan, saya akan menyertaimu. Saya akan mengantarkanmu sampai pada tujuan kemudian saya akan kembali ke Kufah.
Lelaki Yahudi keheranan menyaksikan sikap lelaki muslim ini dan dia berkata, “Saya tidak rela perjalananmu menjadi jauh karena saya.”
Lelaki muslim berkata, “Engkau benar! perjalananku akan menjadi jauh. Namun Rasulullah kepada kami Saw bersabda, “Ketika dua orang bersamaan, meski hanya sekejap saja, maka masing-masing ada hak atas yang lainnya. Itulah mengapa saya ingin memenuhi hak persahabatan denganmu. Saya akan menyertaimu, agar engkau tak sendirian!”
Lelaki Yahudi berkata, “Pasti alasan kemajuan pesat agama Islam adalah karena akhlak yang baik dan mulia nabi Anda.”
Dan ketika ia tahu bahwa teman safar dan sahabat perjalanannya adalah seorang khalifah muslimin Ali bin Abi Thalib, ia semakin takjub. Karena terpengaruh oleh perilaku agung Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, akhirnya ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan masuk Islam. Lelaki ini kemudian menjadi orang mukmin dan sahabat dekat Imam Ali as yang penuh pengorbanan.
Tangisan Muawiyah untuk Sayidina Ali
Beberapa tahun setelah perang Shiffin dan syahadahnya Imam Ali as, ‘Adi putra Khatam Tha’i yang terkenal sangat dermawan, mendatangi Muawiyah yang saat itu berkuasa. Adi ini adalah salah seorang sahabat setia Imam Ali dan tiga orang anaknya menjadi pasukan Imam Ali yang akhirnya mencapai syahadah di perang Shiffin.
Untuk mengingatkan ‘Adi pada kematian anak-anaknya, Muawiyah menyindir seraya bertanya, “’Adi, apa yang terjadi pada anak-anakmu?!”
‘Adi berkata, “Mereka berjuang bersama Ali bin Abi Thalib di perang Shiffin dan telah mencapai Syahadah.”
Muawiyah berkata, “Menurutmu, apakah Ali termasuk adil karena dia telah menyebabkan anakmu terbunuh karena dirinya dan menjadikanmu tidak berputra?!”
‘Adi menjawab, “Justru akulah yang tidak berbuat adil padanya.”
Dengan takjub Muawiyah berkata, “Kenapa?”
‘Adi berkata, “Karena Dia telah terbunuh dan saya masih hidup. Seharusnya aku mengorbankan jiwaku untuknya saat masa hidupnya.”
Muawiyah merasa bahwa rencananya gagal dan kepada ‘Adi berkata, “Ceritakan padaku tentang Ali!”
‘Adi berkata, “Biarkan aku untuk tidak melakukan hal ini!”
Namun Muawiyah memaksa dan ‘Adi terpaksa berkata, “Demi Allah! Ali benar-benar berpikiran jauh ke depan dan kuat. Dia bicara tentang keadilan dan dengan tegas melaksanakannya. Ilmu dan hikmahnya senantiasa memancar. Dia sangat benci pada gemerlapan dunia. Dia akrab dengan malam dan kesendirian. Dia banyak menangis dan banyak berpikir. Dia memakai pakaian yang sederhana dan hidup bak orang miskin. Dia seperti kami dan bila kami meminta sesuatu padanya, pasti menyetujuinya. Bila kami menemuinya, dia tidak menjauhi kami dan tidak bersikap sombong. Dengan semua [ciri khas] ini, Dia begitu agung, sehingga kami merasa segan dan malu memandang wajahnya secara langsung. Dia adalah sahabat orang-orang miskin dan papah. Orang kuat tidak khawatir dizalimi, orang lemahpun tidak putus asa dari keadilannya.
Demi Allah! Suatu malam aku melihat dengan mata kepalaku sendiri; Dia sedang ibadah berdiri di mihrab dan air matanya menetes di wajahnya seraya berkata, “Wahai dunia! Kepadaku engkau menunjukkan keindahan? Pergilah! Pergilah! Goda saja orang lain selain diriku! Aku telah menceraikanmu..!”
Ketika ucapan ‘Adi sampai di sini, dengan sendirinya Muawiyah menangis. Dia menghapus air matanya dan berkata, “Semoga Allah merahmati Abulhasan [Imam Ali]! Demikianlah dia sebagaimana yang kau katakan. Sekarang bagaimana keadaanmu; jauh darinya?!”
Dengan penuh kesedihan ‘Adi berkata, “Bagaikan seorang ibu yang kepala anaknya di potong di pangkuannya.”
Muawiyah berkata, “Apakah engkau pernah melupakannya?!”
‘Adi berkata, “Memangnya bisa melupakannya? Dia senantiasa tetap hidup dan menjadi ingatan dalam hati-hati.” (Emi Nur Hayati)
Sumber: Sad Pand va Hekayat; Imam Ali as
Mafatih Al-Hayat: Tafakur dan Tadabur
Urgensi Tafakur dan Tadabur Al-Quran dan Hadis senantiasa mengajak manusia untuk berpikir.
Dalam al-Quran berpikir termasuk sifat orang-orang yang berakal.[1]
Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Ibnu Mas’ud! Setiap kali engkau ingin melakukan satu pekerjaan harus berdasarkan ilmu. Jangan lakukan pekerjaan tanpa berpikir dan ilmu. Karena Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali[2].”[3]
Begitu juga beliau bersabda, “Salat dua rakaat ringan dibarengi tadabur lebih baik dari salat malam.”[4]
Di tempat lain Rasulullah Saw bersabda, “Sifat orang berakal; setiap kali ingin berbicara, ia berpikir terlebih dahulu. Bila ucapan itu bermanfaat, ia mengatakannya dan beruntung, tapi bila tidak bermanfaat, ia diam dan berada dalam keselamatan.”[5]
Imam Shadiq as berkata:
“Seseorang mendatangi Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah! Nasihatilah aku.’
Rasulullah berkata kepadanya, ‘Apakah engkau akan melakukannya bila aku menasihatimu?’
Pertanyaan itu disampaikan beliau hingga tiga kali.
Setiap kali Rasulullah bertanya demikian, orang itu menjawab, ‘Iya, wahai Rasulullah!’
Kemudia Rasulullah berkata kepadanya, ‘Saya menasihatimu agar setiap kali engkau ingin melakukan sesuatu, pikirkan akibat dari perbuatan itu. Bila pekerjaan itu bakal memberimu hidayah, maka lakukanlah, tapi bila hanya membuat sesat, maka hindarilah.”[6]
Imam Ali as berkata, “Ketahuilah bahwa tidak ada kebaikan pada ibadah yang tidak ada tafakur di dalamnya.”[7]
Beliau berkata, “Tidak ada kebaikan pada bacaan yang tidak ada tadabur padanya.”
Begitu juga ketika berwasiat kepada anaknya Muhammad bin Hanafiah, beliau berkata, “Barangsiapa yang ingin melakukan satu pekerjaan tanpa memperhatikan akibatnya, maka ia meletakkan dirinya pada kondisi yang sangat buruk dan tidak diinginkannya. Sementara memikirkan segalanya sebelum melakukan pekerjaan membuatnya tidak akan menyesal.”[8]
Ibnu Kawwa bertanya kepada Imam Ali as tentang ciri khas Islam.
Imam Ali as menjawab, “Sesungguhnya Allah mensyariatkan Islam dan menjadikannya pakaian bagi siapa yang berpikir jauh ke depan dan menyebabkan orang cerdas memahami.”[9]
Beliau juga berkata, “Ibadah terbaik adalah senantiasa berpikir tentang Allah dan kekuatan-Nya.”[10]
Imam Ridha as berkata, “Ibadah bukannya banyak-banyak salat dan puasa. Tapi ibadah yang hakiki adalah memikirkan urusan Allah.”[11]
Tadabur dan Manajemen
Rasulullah Saw kepada seseorang berkata, “Saya menasihatimu agar setiap kali ingin melakukan pekerjaan, maka pikirkan akibatnya. Bila menambah perkembangan dirimu, maka lakukanlah, tapi bila justru menambah kefasadan dan kehancuran, maka tinggalkan!”[12]
Begitu juga beliau bersabda, “Allah Swt mencintai seseorang yang ketika bekerja, ia melakukannya dengan baik dan mantap.”[13]
Imam Ali as berkata, “Tegaknya kehidupan seseorang pada program yang baik dan parameternya adalah manajemen yang baik.”[14]
Imam Shadiq as berkata, “Ada tiga hal yang mencegah seseorang mencapai posisi yang tinggi; tidak semangat, manajemen tidak maksimal dan ketidakmampuan berpikir.”[15]
Sekaitan dengan masalah ini, Salman al-Farisi ketika ia mendapatkan bagiannya, ia lalu memisahkan makanannya untuk setahun, hingga tiba pemberian yang yang akan datang.[16]
Imam Jawad as berkata, “Mengungkap sesuatu yang belum kokoh justru merusaknya.”[17]
Tidak Memaksa Diri
Islam memiliki program untuk segala dimensi kehidupan manusia dan tidak ada kewajiban baik dalam masalah ibadah, akhlak dan materi maupun spiritual yang melampaui batas. Ahlul Bait as di segala bidang menasihati umatnya agar hidup dengan nyaman, normal dan tidak memaksa diri.
Rasulullah Saw dalam beberapa hadis bersabda:
“Saya tidak suka dengan orang-orang yang suka memaksa diri.”[18]
“Jangan paksa tamumu dengan sesuatu yang memberatinya.”[19]
“Jangan memaksa dirimu karena tamu.”[20]
“Penghormatan seseorang kepada saudara seagamanya adalah menerima hadiahnya, memberi apa yang dimiliki sebagai hadiah kepadanya dan tidak memaksanya.”[21]
Imam Ali as berkata, “Kehidupan paling nikmat adalah mencapakkan sikap memaksa diri.”[22]
Kepada anaknya, Imam Ali as berkata, “Anakku! Rezeki ada dua macam; yang kamu cari dan yang mencarimu. Oleh karenanya, bila engkau tidak mendatanginya, ia akan menemuimu. Jangan paksakan kesedihan setahunmu di atas kesedihan seharimu. Cukup bagimu memikirkan setiap hari yang engkau hadapi.”[23]
Imam Shadiq as berkata, “Seorang mukmin tidak memaksa dirinya demi teman-temannya.”[24]
Beliau juga berkata, “Hatiku berat kepada mereka yang bekerja keras untukku, sementara aku menahan diri dari mereka. Hatiku ringan kepada mereka yang ada bersamaku, sama rasanya seperti aku seorang diri.”[25]
Di tempat lain beliau berkata, “Bila engkau kedatangan tamu, jamu ia sesuai dengan yang engkau miliki. Tapi bila engkau yang mengundangnya, hendaknya engkau menjamunya lebih dari yang ada.”[26]
Suatu hari beliau berkata, “Tidak boleh seorang mukmin menghinakan dirinya sendiri.”
Para sahabatnya bertanya, “Bagaimana ia menghinakan dirinya?”
Beliau menjawab, “Ia melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.”[27]
Dikutip dari beliau, “Memaksakan diri bukan termasuk akhlak orang-orang Saleh dan slogan orang-orang Muttaqin. Allah Swt berfirman kepada Rasul-Nya, ‘Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas dakwahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.’ Nabi Muhammad Saw bersabda, “Kami para nabi dan wali berlepas tangan dari sikap memaksa. Takutlah kepada Allah dan bersikap istiqamah agar Allah membuatmu tidak berada dalam kondisi terpaksa. Allah akan memberikanmu keimanan. Jangan menyibukkan diri dengan makanan yang akhirnya kotoran, pakaian yang akhirnya lusuh, rumah yang akhirnya rusak, harta yang akhirnya warisan, teman yang akhirnya perpisahan, kejayaan yang akhirnya kehinaan, martabat yang akhirnya derita dan kehidupan yang akhirnya penyesalan.”[28]
Parameter Kebijaksanaan
Imam Ali as berkata, “Ukur pemikiran masyarakat dengan enam hal; bergaul, berdagang, meraih posisi, pemecatan, kekayaan dan kemiskinan.”[29] (Saleh Lapadi)
Sumber: Mafatih Al-Hayat, Ayatullah Javadi Amoli, Markaz Nashr Esra, 1391 HS, cetakan 7.
[1] . QS. Al-Imran: 190-191, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
[2] . QS. An-Nahl: 92.
[3] . Makarim al-Akhlaq, hal 458.
[4] . Makarim al-Akhlaq, hal 300.
[5] . Tuhaf al-Uqul, hal 28-29.
[6] . Al-Kafi, jilid 8, hal 150.
[7]. Al-Kafi, jilid 1, hal 36.
[8]. Wasail as-Syiah, jilid 15, hal 281-282.
[9]. Al-Kafi, jilid 2, hal 49.
[10]. Ibid, jilid 2, hal 55.
[11]. Ibid, jilid 2, hal 55.
[12]. Qurb al-Isnad, hal 32.)
[13]. Al-Jami’ as-Shaghir, jilid 1, hal 284.
[14]. Ghurar al-Hikam, hal 354.
[15]. Tuhaf al-Uqul, hal 315.
[16]. Tuhaf al-Uqul, hal 351.
[17]. Tufah al-Uqul, hal 457.
[18]. Al-Kafi, jilid 6, hal 276.
[19]. Makarim al-Akhlaq, hal 135.
[20]. Al-Jami’ as-Shaghir, jilid 2, hal 688.
[21]. Al-Kafi, jilid 6, hal 276.
[22]. Ghurar al-Hikam, hal 478.
[23]. Al-Faqih, jilid 4, hal 386.
[24]. Al-Kafi, jilid 2, hal 47.
[25]. Mustdrak al-Wasail, jilid 9, hal 155.
[26]. Al-Mahasin, hal 410.
[27]. Al-Kafi, jilid 5, hal 64.
[28]. Bihar al-Anwar, jilid 70, hal 394-395.
[29]. Ghurar al-Hikam, hal 343.
Mengapa Engkau Bersedih?!
Sekelompok masyarakat Hijaz di zaman jahiliah mengubur hidup-hidup anak perempuannya. Karena mereka menganggapnya sebagai sumber kehinaan dan kerendahan. Bertahun-tahun lamanya, akhirnya Rasulullah Saw berhasil menghilangkan kebiasaan salah kaum ini. Meski demikian, ada orang-orang yang baginya sulit untuk meninggalkan adat istiadat yang salah ini.
Seorang lelaki duduk di sisi Rasulullah. Datanglah seorang lelaki dan membisikkan sesuatu kepadanya. Tiba-tiba wajahnya berubah dan ia menjadi cemberut.
Rasulullah Saw berkata, “Hai lelaki! Apa yang terjadi sehingga engaku menjadi sedih?!”
Lelaki itu menjawab, “Istriku hamil. Baru saja lelaki ini membisikkan ke telingaku bahwa istriku telah melahirkan seorang anak perempuan.”
Rasulullah Saw berkata, “Mengapa engkau bersedih? Bumilah yang akan menahan bebannya. Langit yang akan menaunginya. Allah yang akan memberikan rezekinya. Anak perempuan bak seonggok bunga yang kau cium baunya dan karenanya Allah akan memberikan rezekinya yang halal padamu.”
Imam Ali menukil dari Rasulullah Saw dan berkata, “Barang siapa yang mengasuh tiga anak perempuan, maka ia akan diberi tiga taman di surga dan masing-masing dari taman itu lebih besar dari dunia dan seluruh isinya.”
Sikap Lembut Ini Untuk Apa?
Rasulullah Saw dan istrinya Aisyah duduk di suatu tempat. Seorang lelaki Yahudi lewat di sampingnya. Dengan nada biadab berkata, “Saamun alaikum”. Tujuan dia melakukan hal ini adalah untuk mengejek etika bergaul umat Islam. Aisyah marah melihat sikap biadab ini. namun Rasulullah Saw dengan lembut menjawab lelaki Yahudi itu dengan ucapan, “Alaika”
Setelah itu lelaki Yahudi lainnya lewat di situ dan berkata, “Saamun alaikum”
Dengan demikian jelas bahwa perbuatan biadab dua orang ini sudah direncanakan sebelumnya. Namun Rasulullah tetap bersikap baik dan tidak mengucapkan apa-apa selain “Alaika”. Beliau tidak menunjukkan sikap kasar pada keduanya. Ternyata ada lagi lelaki Yahudi ketiga yang lewat di tempat itu dan mengulangi lagi sikap biadab itu.
Kali ini Aisyah berpikir bahwa Rasulullah akan memberikan jawaban telak kepada ketiga lelaki Yahudi yang kurang ajar ini. Namun Rasulullah dengan lembut menjawab, “Alaika”.
Aisyah benar-benar marah melihat kelembutan sikap suaminya seraya berkata, “Wahai Rasulullah! Bukankah engkau telah melihat mereka telah bersikap biadab kepada Anda? Lalu sikap-sikap lembut ini untuk apa?”
Rasulullah Saw bersabda, “Hai Aisyah tenanglah! Bila umpatan dan cacian itu berbentuk benda padat, rupanya sangat jelek dan buruk dan menyebabkan seseorang merasa malu dan terhina. Tapi sikap yang lembut dan ucapan yang bagus akan menambah kewibawaan dan kepribadian manusia dan dia tampak rapi dan tampan.”
Kemudian bersabda, “Bila mereka telah bersikap biadab terhadapku, saya telah mengembalikan kebiadabannya kepada diri mereka sendiri dengan ucapan “Alaika”.
Menentang Godaan Para Istri
Dengan berakhirnya perang antara kaum Muslimin dengan Bani Quraidhah, banyak ghanimah yang didapatkan oleh umat Islam.
Menyaksikan kondisi seperti ini, para istri Rasulullah mulai merasa tamak dan kepada Rasulullah mereka berkata, “Sebagian besar dari ghanimah ini adalah milik Anda. Karena Anda sebagai pemimpin umat Islam dan komandan perang mereka. Bawalah ke rumah ghanimah tersebut supaya bisa mengubah kehidupan kita.”
Rasulullah Saw benar-benar menentang keinginan hawa nafsu para istrinya ini dan bersabda, “Saya sebagai pemimpin kaum Muslimin harus hidup tanpa kemewahan dan sederhana, supaya orang-orang miskin dan papah tidak merasa rendah dan lemah.”
Kembalilah dan Amalkan Ucapan Kalian!
Hudzaifah dan ayahnya “Yaman” baru saja masuk Islam. Perang Badar pun mulai terjadi. Kedua orang ini ingin sekali ikut serta di sisi Rasulullah Saw dalam perang ini. Namun keduanya tidak bisa. Yang menarik adalah kedua orang ini dengan susah payah datang ke medan perang Badar. Namun Rasulullah Saw tidak mengizinkan keduanya untuk berperang.
Kejadiannya adalah ayah dan putranya ini setelah masuk Islam, keluar dari kabilahnya untuk ikut serta berperang. Ketika penduduk Mekah tahu bahwa keluarnya mereka dari kota Mekah karena untuk bergabung dengan pasukan Rasulullah, maka mereka mencegah dua orang ini dan tidak mengizinkan keduanya keluar kota.
Hudzaifah dan ayahnya berbohong untuk melepaskan dirinya dari tangan orang-orang Musyrik. Yakni, keduanya keluar kota untuk urusan lain seraya berkata, “Percayalah, kami tidak akan bergabung dengan Muhammad dan para sahabatnya.” Itulah mengapa keduanya diizinkan untuk keluar dari kota Mekah. Akhirnya keduanya keluar dan dengan senang mereka menemui Rasulullah dan menceritakan kejadian yang ada. Namun Rasulullah Saw bersabda, “Kembalilah ke kotamu dan jangan melanggar janji. Mereka telah mempercayai kalian. Oleh karena itu kalian tidak berhak menjadikan mereka curiga.”
Dengan takjub ayah dan putra berkata, “Wahai Rasulullah! Kami datang untuk membantu Anda dan kami ingin berada di sisi Anda.”
Rasulullah bersabda, “Sebagaimana yang saya katakan, kembalilah! Insyaallah Allah akan membantu kami di hadapan orang-orang Quraiys.” (Emi Nur Hayati)
Sumber: “Sad Pand va Hekayat” Nabi Muhammad Saw.
Penuturan Doktor Fahimeh Mostafavi Tentang Ayahnya, Imam Khomeini ra (1)
Mohon jelaskan secara singkat tentang kehidupan, pendidikan dan hasil karya Imam Khomeini!
Imam Khomeini lahir di tengah-tengah keluarga pejuang. Dalam usia lima bulan, ayahnya meninggal dunia. Dalam usia enam belas tahun, ibunya meninggal dunia. Beliau diasuh dan dididik oleh bibinya dan kakaknya yang lebih besar. Ketika beliau berusia sembilan belas tahun, beliau berkesimpulan bahwa bila mau mempelajari ilmu, maka harus berada di lingkungan ilmu tersebut. Itulah mengapa beliau kemudian pergi ke Isfahan, Arak, kemudian melanjutkan ke Qom. Imam Khomeini pergi ke Qom ketika usia dua puluh tahun dan dalam usia dua puluh tujuh tahun beliau berhasil menulis bukunya yang pertama Irfan-Akhlak, yakni beliau menulis syarah doa Sahar dan saat ini buku tersebut diajarkan di tingkat tinggi universitas. Dalam usia dua puluh delapan tahun, beliau menulis lebih luas hasil karya; Irfan-Akhlak nya mejadi Misbahul Hidayah Ilal Khilafah wal Wilayah. Kebanyakan buku-buku irfan Imam Khomeini, beliau tulis ketika sebelum berusia empat puluh tahun. Seperti; Chehel Hadis, Serrus Shalat wa Adabus Shalat. Imam Khomeini pada dasarnya mengikuti perintah ayat al-Quran, “Wa Yuzakkihim Wa Yallimuhumul Kitaba Wal Hikmata”. Yakni pertama; beliau membangun dirinya kemudian berkecimpung dalam urusan keilmuan. Beliau melaksanakan perintah Ilahi karena mengenal Allah dan mengenal dirinya dan mengamalkan apa yang diketahuinya. Orang-orang yang mengenal Imam Khomeini dan buku-bukunya dari dekat, mengetahui bahwa antara tulisan, omongan dan perbuatan Imam Khomeini terdapat keselarasan. Dengan model inilah Imam Khomeini menjadi imam dan masyarakat mempercayainya. Buku-buku ushul dan fikih seperti Al-Bai’ dan Makasib Muharrameh dan lain-lainnya beliau tulis setelah berusia empat puluh tahun.
Bagaimana sikap Imam Khomeini terhadap keluarga?
Imam Khomeini di tengah-tengah keluarga benar-benar menjaga semua hak-hak yang ada. Beliau tidak memberikan hak pada dirinya untuk mengeluarkan perintah kepada ibu kami, meski itu hanya sebuah perintah kecil. Di dalam rumah, ibu kami memiliki kebebasan penuh. Untuk keluar rumah juga memiliki kebebasan penuh. Kecuali bila Imam Khomeini memandang tempat yang akan dituju tidak tepat, maka beliau mengingatkannya. Tentunya ibu kami juga tidak tersinggung sama sekali bila mendapat teguran dari suaminya yang sekaligus sebagai partner dan orang yang menyayanginya. Bahkan mengamalkannya. Imam Khomeini di pekan pertama setelah pernikahannya, kepada ibu beliau berkata:
“Aku tidak meminta sesuatu darimu dan aku tidak akan memerintah dan melarangmu. Hanya jangan lakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah, dan lakukan hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. Yakni aku hanya meminta kepadamu menjalankan hukum yang diperintahkan oleh Allah.”
Setelah berabad-abad hak-hak kaum wanita diinjak-injak dan mereka sebagai alat permainan para pelaku kezaliman, Imam Khomeini menampakkan kepada mereka keagungan jiwa, kepribadian dan kemuliaan hakiki mereka. Imam Khomeini senantiasa memerintahkan mereka untuk ikut berpartisipasi secara langsung terkait nasib mereka dan urusan politik-sosial. Beliau mempelajari hubungan yang sehat menurut Islam dengan keluarga dan istri baik dari sisi praktis maupun teori. Beliau telah mewujudkan contoh nyata tentang persamaan dan keadilan, kesepakatan hati dan kerjasama dalam rumah sebagaimana kakeknya Ali bin Abi Thalib as. Beliau benar-benar berpartisipasi dan bekerjasama dengan istrinya dalam menjaga anak-anak. Di waktu-waktu malam, beliau tidur selama dua jam, dan ibu yang menjaga kami, kemudian ibu tidur selama dua jam, dan beliau lantas yang menjaga kami.
Perilaku Imam Khomeini sangat berpengaruh pada kami. Kami di dalam keluarga Imam Khomeini merasakan adanya kekebasan penuh. Dan yang lelaki juga memiliki kebebasan penuh. Antara lelaki dan perempuan tidak saling berhadapan sehingga menyebabkan terjadinya perselisihan dan pertikaian. Bahkan setiap orang menjadi penentu utama terkait urusannya masing-masing dan dia sendiri yang akan bertanggung jawab terkait perbuatannya. Hal ini saya ketahui karena pengaruh pendidikan Imam Khomeini. Karena beliau secara independen sebagai pengambil keputusan urusannya sendiri. Dan ibu kami juga sebagai pengambil keputusan semua urusan yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Nikmat kebebasan ini merupakan hutang budi kami atas pendidikan yang diberikan oleh Imam Khomeini. Setiap lelaki dan perempuan yang menjadi anggota keluarga kami, ia merasa memiliki kebebasan yang sah dan penuh. Masing-masing menghargai hal ini dan tidak berusaha mempersulit yang lainnya sehingga yang lain tidak akan membalas dengan hal yang sama yang membuatnya merasa kesulitan. Itulah mengapa setiap anggota keluarga hidup dengan penuh kepastian dan kebebasan.
Hal-hal yang berkaitan dengan urusan rumah, menjadi tanggung jawab ibu kami. Yang mengawasi masalah dana pengeluaran untuk kebutuhan rumah, sejak awal menjadi tanggung jawab ibu dan Imam Khomeini tidak ikut campur dalam urusan ini. Padahal di zaman itu bapak-bapak sendirilah yang berbelanja untuk kebutuhan rumah. Bahkan ikut mengawasi pembuatan makanan. Namun Imam Khomeini tidak ikut campur dalam urusan ini. Pada hakikatnya, terkadang di tengah-tengah masyarakat ada hal-hal yang dianggap sebagai sebuah undang-undang bagi masyarakat, sementara hal-hal tersebut tidak tertulis dalam undang-undang resmi negara. Di rumah kami juga ada undang-undang yang tidak tertulis dan Imam Khomeini menjaganya. Misalnya; bila Imam Khomeini sesekali mengatakan ingin duduk di tempat tertentu dan ibu kami mengatakan, “Tidak. Seseorang tidak harus duduk di tempat ini!” maka Imam Khomeini langsung mengamalkannya.
Saya tidak pernah melihat Imam Khomeini memerintah istrinya. Penghormatan yang dilakukan Imam Khomeini kepada ibu sangat besar. Selama enam puluh tahun hidup bersama, saya tidak pernah melihat beliau mengatakan pada ibu, “Kasih aku segelas teh!” Saya menyaksikan ibu membawa teh untuk disajikan buat Imam Khomeini, tapi mendapat protes dari Imam. Kepada Imam Khomeini ibu lantas mengatakan, “Saya membawa teh untuk diri saya sendiri.” Imam Khomeini mengatakan:
“Tidak. Saya yang seharusnya menyajikan teh.”
Yang menjadi kebiasaan selama ini, bekerja di dalam rumah merupakan kewajiban bagi istri. Bila seorang istri menginginkannya, maka ia bisa mengerjakannya. Tapi suami tidak berhak mengatakan lakukanlah pekerjaan ini, atau misalnya buatlah makanan untuk makan malam.
Suatu hari ibu saya menceritakan, bagaimana di awal kehidupan mereka berdua, Imam Khomeini mengajari caranya memasak nasi Kateh [nasi yang tanpa dibuang airnya, yakni semacam nasi liwet]. Imam Khomeini berkata:
“Ketika nasi sudah masak, maka cipratkan air ke bagian luar panci. Bila panci bersuara [suara yang timbul karena benturan tetesan air dengan benda panas], maka berarti tidak ada lagi air di dalam panci, dan nasi sudah matang.”
Suatu hari ibu saya ada tamu. Saya tidak tahu, tamunya datang begitu saja ataukah datang tidak tepat waktunya. Bagaimanapun juga tidak ada kesiapan untuk menjamunya. Saya masih ingat, ibu agak panik untuk menyiapkan kue dan buah. Kemudian ayah berkata:
“Sudahlah, pergi sana temui tamu-tamu itu!”
Setelah itu ayah menuju tempat bejana yang dipakai untuk membuat teh yang bahan bakarnya arang dan sangat sulit untuk menyalakannya. Ayah menggerak-gerakkan tempat itu sampai akhirnya menyala. Kemudian membuat teh dan menyiapkan hidangan. Ayah tidak mengizinkan ibu meninggalkan tamu-tamunya karena untuk mengerjakan sesuatu di ruangan lain.
Berkali-kali saya menyaksikan ibu masuk ke dalam ruangan dan duduk di samping ayah. Ayah juga tidak mengatakan, “Tutuplah pintunya!” tapi beliau sendiri bangkit dan menutup pintu tersebut. Bahkan ketika sudah bangkit tidak mengatakan kepada saya, “Tutuplah pintunya.” Suatu hari saya berkata kepada ayah, “Ketika ibu masuk ke ruangan, pada saat itu juga katakanlah kepadanya, tutuplah pintunya!” Ayah mengatakan:
“Saya tidak berhak untuk memerintahnya.”
Meski dalam bentuk permintaan, beliau tidak pernah meminta sesuatu pada ibu. Bila ibu ingin ke ruangan lainnya, beliau tidak akan mengatakan, “Ambilkan juga obatku dari ruangan itu!” Atau ketika mau mandi, beliau mengatakan:
“Saya ada baju?”
Tidak mengatakan, “Kasih aku baju!” sama sekali tidak memerintahkan dan tidak pernah menyerahkan sebuah pekerjaan kepada ibu. Sekali pembantu rumah cuti dan tidak bekerja, ibu membawa hidangan makanan di talam dan meletakkannya di taplak makan. Ayah mengatakan:
“Wah musibah! Farideh! Ibu sedang membawa talam!”
Tentunya masa ini kembali pada masa kanak-kanak saya. Saudara perempuan saya mengatakan, “Kami di rumah banyak bekerja. Tapi ayah sama sekali tidak mengizinkan ibu untuk bekerja.”
Imam Khomeini benar-benar memberikan kebebasan pada ibu sehingga ibu benar-benar nyaman saat makan atau tidur. Misalnya, bila suatu hari ibu lelah, meski Imam Khomeini begitu teratur dan tertib dalam pekerjaan-pekerjaannya, beliau tetap menjaga kondisi ibu dan mengatakan:
“Bila engkau mau, sekarang kita makan, lalu tidur.”
Bila kita; dua atau tiga orang mendatangi Imam Khomeini dan berbincang-bincang di sisi Imam Khomieni, beliau mengatakan:
“Mengapa kalian duduk di sini dan ibu kalian sendirian di halaman? Pergi dan berbincang-bincanglah di sisi ibu kalian!” (Emi Nur Hayati)
Dikutip dari penuturan Fahimeh [Zahra] Mostafavi, anak Imam Khomeini ra.
Sumber: Pa be Pa-ye Aftab; Gofteh-ha va Nagofteh-ha az Zendegi Imam Khomeini ra, 1387, cetakan 6, Moasseseh Nashr-e Panjereh
Peran dan Risalah Wanita; Hubungan Wanita dan Pria (1)
#beritadunia.net Wanita adalah bagian dari keindahan penciptaan manusia. Bagian yang indah ini secara alami dengan sedikit dibarengi rasa malu. Ciri khas [rasa malu] ini adalah bagian yang indah dan lembut dari wujud kemanusiaan. Rasa malu ini telah dicerabut, juga hal-hal yang seharusnya dipenuhi melalui aturan dan undang-undang seperti kebutuhan biologis manusia baik yang ada pada wanita maupun pria. Namun hal ini telah disebarkan di tengah-tengah masyarakat dengan tanpa undang-undang dan aturan. Ini merupakan pengkhianatan paling besar yang dilakukan terutama terhadap wanita dan selanjutnya terhadap umat manusia; wanita maupun pria. Yang melakukan hal ini adalah politik Barat. (pidato dalam pertemuan besar bersama kalangan elit kaum wanita, 13/4/1386)
Iffah dan hijab; nilai dan kepribadian wanita
Kondisi kehormatan dan kesucian diri wanita dan hijab merupakan sesuatu yang membedakan wanita dari pria dalam berinteraksi. Yang memberikan kepribadian manusiawi kepada wanita. Yang memberikan lapangan pekerjaan, perjuangan, studi dan berpikir padanya, dan mengeluarkannya dari hanya sekedar alat pemuas. Yang memberikan nilai kepadanya. Yang memberikan kepribadian kepadanya. Garis ini adalah garis Islam. Garis keimanan.
Wanita Iran, wanita muslimah revolusioner, tidak bisa menyimpang dan berpisah dari garis ini dan jalan yang dipilihnya. (pidato dalam pertemuan bersama menteri dan para mahasiswi marakez Tarbiyat Moallem, 12/2/1363)
Aktivitas sosial dengan adanya percampuran wanita dan pria
Islam telah menentukan batasan dalam berbagai macam aktivitas. Batasan ini bukan terkait pada wanita dan bolehnya dia untuk beraktivitas. Tapi terkait pada percampuran wanita dan pria. Dan Islam sangat sensitif terhadap masalah ini. Islam meyakini bahwa harus ada pembatas antara pria dan wanita di semua tempat; di jalan, di kantor, di kantor perdagangan. Di antara wanita dan pria telah ditentukan sebuah hijab dan batasan. Percampuran wanita dan pria tidak seperti percampuran wanita dengan wanita dan pria dengan pria. Hal ini harus dijaga. Pria harus menjaga, wanita juga harus menjaga. Bila sensitivitas Islam terkait tentang hubungan dan berbagai model percampuran pria dan wanita ini dijaga, maka semua pekerjaan di kancah sosial yang bisa dilakukan oleh kaum pria, juga bisa dilakukan oleh kaum wanita bila mereka memiliki kekuatan dari sisi jasmani, semangat dan kesempatan. (pidato dalam pertemuan bersama kaum wanita Khouzestan, 20/12/1375)
Bolehnya wanita dan pria berbicara dan berpartisipasi dalam kancah sosial dengan menjaga aturan Islam
Untuk mencegah wanita dari terjangkitnya budaya masa rezim despotik, maka infiltrasi anasir-anasir dengan sarana seksualnya yang berakibat pada kefasadan harus kita cegah. Hal terbaik yang harus dilakukan untuk masalah ini adalah menggunakan pakaian yang benar, menghindari dandanan, pertemuan dan pergaulan tertentu di semua lingkungan. Tentunya bukan berarti kami katakan bahwa wanita dengan pria tidak boleh berbicara sama sekali dan jangan keluar ke tengah-tengah masyarakat. Bila seseorang ingin memaknai ucapan ini maka itu adalah sebuah taktik. (wawancara tentang kedudukan wanita di Republik Islam, 4/12/1362)
Kokohnya rumah tangga dan terjaminnya kebahagiaan, hasil tidak adanya percampuran wanita dan pria
Islam sangat memerhatikan masalah rumah tangga. Untuk mencegah kegoncangan pilar-pilar rumah tangga, Islam menilai harus dan wajib menjaga aturan dan batasan di lingkungan sosial. Budaya Islam adalah budaya tidak adanya percampuran wanita dan pria. Islam memperketat masalah ini dengan tujuan menjamin kebahagiaan dan kemajuan kehidupan wanita dan pria. Dan poin ini berseberangan dengan kehendak para penguasa dan kaum feodal penyembah syahwat dunia dimana mereka berusaha mencerabut hijab antara wanita dan pria. (pidato dalam pertemuan bersama para perawat, 20/7/1374)
Menggunakan lingkungan sehat rumah tangga bergantung pada pembatasan dalam berinteraksi
Melihat non mahram hukumnya haram, sementara hijab hukumnya wajib, ini merupakan sebuah mukadimah supaya terwujud adanya lingkungan yang sehat di tengah-tengah masyarakat. Itulah mengapa kami menilai bahwa di dalam masyarakat Islam, harus ada batasan-batasan terkait interaksi wanita dan pria. Bukan karena penghinaan terhadap wanita. Bukan karena menentang kelezatan seksual. Bukan karena menindas kebutuhan biologis. Bahkan sebaliknya. Tepat karena supaya manusia; yakni wanita dan pria menggunakannya di dalam lingkungan sehat rumah tangga. (khutbah shalat Jumat, 18/7/1365)
Interaksi dengan non mahram; sarana kecurigaan dan hasud
Saya selalu menyarankan kepada para lelaki muda bahwa kalian dalam berinteraksi dengan non mahram bahkan dengan mahram, jangan sampai bersikap dan berbicara yang sekiranya memaksa istri kalian bersikap hasud. Saya juga menganjurkan kepada para wanita muda bahwa kalian dalam menghadapi para pria asing, jangan sampai bertindak dan berbicara yang sekiranya akan membangkitkan rasa hasud dan cemburu suami kalian. Hasud ini akan memunculkan kecurigaan dan akan melemahkan pilar-pilar kasih sayang dan membakar dari akarnya. (khutbah nikah, 10/9/1379)
Perlunya penjagaan semua orang, khususnya para wanita dari memamerkan diri
Manusia berada dalam ancaman bahaya. Para pria berada dalam ancaman bahaya. Para wanita berada dalam ancaman bahaya. Para pemuda berada dalam ancaman bahaya. Para lanjut usia berada dalam ancaman bahaya. Orang pandai, orang bodoh, semuanya dalam ancaman bahaya. “Walmukhlishuna Fi Khatharin ‘Adzim” sekarang di manakah mukhlis [orang yang ikhlas]? Kita semua berada di bawah standar ini. Bila kita sampai pada batas standar, telah menjadi orang yang mukhlis, tetap saja masih dalam “khatharin adzim” [bahaya besar]. Baiklah. Kita harus hati-hati. Musuh dunia kita, musuh akhirat kita, musuh kemuliaan kita, musuh pemerintahan Republik Islam kita, menggunakan titik kelemahan kita. Dari rasa syahwat kita, dari rasa marah kita, dari kecintaan kita pada kekuatan, dari kesukaan kita memamerkan diri, kita harus hati-hati. Para wanita juga harus berhati-hati. Para remaja putri juga harus berhati-hati. (pidato dalam pertemuan bersama para pembaca kidung Ahlul Bait, 23/2/1391)
Takabbur dan tidak tawadhu dalam berbicara dengan pria non mahram
Takabbur itu tidak baik bagi semua manusia. Kecuali bagi para wanita di hadapan para pria non mahram. Wanita harus takabbur di hadapan pria non mahram. “Fa La Takhdha’na Bilqauli” wanita ketika berbicara dengan pria non mahram tidak boleh tawadhu. Ini untuk menjaga kemuliaan wanita. Inilah yang diinginkan oleh Islam dan inilah teladan wanita muslimah. (pidato dalam pertemuan bersama kumpulan para wanita, 25/9/1371)
Menghadapi pria tanpa tawadhu
Kitalah yang mengatakan bahwa wanita dengan menjaga pakaian dan hijabnya dengan benar, berarti ia sedang menjaga kemuliaan dirinya. Dia telah mengangkat lebih tinggi dirinya dari batasan yang diinginkan oleh para lelaki bejat dunia – di semua zaman dan tempat senantiasa ada pria yang bejat. Di dalam al-Quran, dikatakan kepada wanita, “Fa La Takhdha’na Bilqauli” (QS. Ahzab, ayat 32) jangan tawadhu. Pembahasannya adalah masalah tawadhu. Wanita dalam menghadapi pria [non mahram] jangan sampai dengan sikap tawadhu. (pidato dalam pertemuan bersama anggota pusat himpunan para wanita, 15/2/1371)
Takabbur [Kesombongan] wanita di hadapan pria non mahram
Sungguh takabbur bagi semua orang hukumnya haram dan termasuk dosa. Kecuali bagi wanita. Takabbur bagi pria hukumnya haram. Tapi bagi wanita hukumnya sunnah. Yakni terkait pada pria non mahram, wanita harus sombong. Wanita harus demikian menghadapinya. Terkadang kesombongan ini ada pada seorang wanita dengan kewibawaanya yang sesuai dengan Islam meskipun katakanlah bahwa ia tidak memakai cadur [pakaian panjang, khas wanita Iran].
Kemuliaan dan kewibawaan wanita di hadapan pria itupun bisa terwujud meski dengan tanpa memakai cadur, dan benar dan ada. (pidato dalam pertemuan bersama menteri dan para direktur kementrian kebudayaan dan bimbingan Islam, 4/9/1371)
Batas antara wanita dan pria; penyembuh sensasi kebutuhan biologis
Islam memiliki cara penyembuhan yang sangat bagus bagi sensasi kebutuhan bioligis wanita dan pria. Yakni menurut kami, menurut saya, penyembuhan ini benar-benar sebuah penyembuhan. Yakni dengan menetapkan batasan antara wanita dan pria. Namun budaya yang datang telah lama mencerabut batasan itu dan bahkan sudah terlupakan. Dengan menerima begitu saja prinsip budaya Eropa, pada dasarnya ingin menafikan fenomena dan efek budaya [Eropa] tersebut, dan itu akan menemui masalah. (wawancara tentang kedudukan wanita di Republik Islam, 4/12/1363) (Emi Nur Hayati)
Sumber: Naghs wa Resalat-e Zan I, Ifaf wa Hejab Dar Sabke Zendegi-e Irani-Eslami
Bargerefteh az bayanat-e Ayatullah al-Udhma Khamenei, Rahbare Moazzam-e Enghelab-e Eslami.