کمالوندی

کمالوندی

Minggu, 25 September 2016 00:10

Perintah Birrul Walida’in dalam Al-Qur’an

Perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua dalam Al-Qur’an kurang lebih berulang sebanyak 13 kali. Seperti surah Al-Baqarah, ayat 83, 180 dan 215, An-Nisa ayat 36, An-Na’am: 151, Isra’: 23 dan 24, Al Ahkaf: 15, Al Ankabut: 8, Luqman: 14, Ibrahim: 41, An Naml: 10 dan surah Nuh: 28. Jika melihat dari ayat-ayat tersebut, setidaknya kita bisa mengklasifikasikan ada 6 macam bentuk perintah Allah SWT untuk berbuat baik kepada kedua orangtua.
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Qs. Al-Israa: 23)

 

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi penghormatan dan pemuliaan kepada kedua orangtua. Apapun bentuk pelecehan dan sikap merendahkan orangtua maka Islam lewat pesan-pesan moralnya telah melarang dan mengharamkannya. Bahkan durhaka kepada kedua orangtua termasuk diantara dosa-dosa besar yang dilarang keras. Dengan melihat ayat di atas, terutama pada frase, “wa laa taqullahumaa ‘uff’, janganlah kamu mengatakan kepada keduanya, perkataan ‘ah’…” menunjukkan untuk bentuk pelecehan dan sikap merendahkan kedua orangtua yang paling kecil sekalipun Islam tidak luput untuk memberikan penegasan atas pelarangannya.

 

Imam Shadiq as bersabda, “Kalau sekiranya dalam berhubungan dengan kedua orangtua ada bentuk pelecehan yang lebih rendah dari melontarkan kata ‘ah’, niscaya Allah telah melarangnya.” (Ushul Kafi, Jilid 2, hal. 349).

 

Birrul Walidain berasal dari dua kata, birru dan al-walidain. Imam Nawawi ketika mensyarah Shahih Muslim memberi penjelasan, bahwa kata-kata Birru mencakup makna bersikap baik, ramah dan taat yang secara umum tercakup dalam khusnul khuluq (budi pekerti yang agung). Sedangkan, walidain mencakup kedua orangtua, termasuk kakek dan nenek. Jadi, birrul walidain adalah sikap dan perbuatan baik yang ditujukan kepada kedua orangtua, dengan memberikan penghormatan, pemuliaan, ketaatan dan senantiasa bersikap baik termasuk memberikan pemeliharaan dan penjagaan dimasa tua keduanya.    

 

Perintah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua dalam Al-Qur’an kurang lebih berulang sebanyak 13 kali. Seperti surah Al-Baqarah, ayat 83, 180 dan 215, An-Nisa ayat 36, An-Na’am: 151, Isra’: 23 dan 24, Al Ahkaf: 15, Al Ankabut: 8, Luqman: 14, Ibrahim: 41, An Naml: 10 dan surah Nuh: 28. Jika melihat dari ayat-ayat tersebut, setidaknya kita bisa mengklasifikasikan ada 6 macam bentuk perintah Allah SWT untuk berbuat baik kepada kedua orangtua.

 

Pertama, dalam bentuk perintah untuk berbuat baik dengan sebaik-baiknya, seperti dalam surah Al-Isra’ ayat 23 dan 24. Termasuk dalam hal ini, memberikan penjagaan dan pemeliharaan di hari tua keduanya dan mengucapkan kepada keduanya perkataan yang mulia.

 

Kedua, dalam bentuk wasiat. Allah SWT berfirman, “Dan Kami berwasiat kepada manusia untuk (berbuat) kebaikan kepada dua orang tuanya.” (Qs. Al-Ankabut: 8). Begitupun pada surah Al-Ahqaf ayat 15, Allah SWT berfirman, “Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula).”

 

Ketiga, dalam bentuk perintah untuk bersyukur. Allah SWT berfirman, “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, karena hanya kepada-Ku-lah kembalimu.” (Qs. Luqman: 14).

 

Keempat, perintah untuk mendo’akan kedua orangtua. Allah SWT berfirman, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhan-ku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku pada waktu kecil.” (Qs. Al-Israa: 24). Mendo’akan kedua orangtua adalah tradisi para Anbiyah as. Nabi Ibrahim as dalam do’anya mengucapkan, “Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat ).” (Qs. Ibrahim: 41). Begitu juga Nabi Nuh as, dalam lantunan do’anya, beliau berujar, “. Ya Tuhan-ku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku..” (Qs. Nuh: 28).

 

Kelima, perintah untuk berwasiat kepada kedua orangtua. Allah SWT berfirman, “Diwajibkan atas kamu, apabila (tanda-tanda) kematian telah menghampiri salah seorang di antara kamu dan ia meninggalkan harta, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah: 180).

 

Keenam, perintah untuk berinfaq kepada keduanya. Allah SWT berfirman, “… Setiap harta yang kamu infakkan hendaklah diberikan kepada kedua orang tua, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan setiap kebajikan yang kamu lakukan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (Qs. Al-Baqarah: 215).

 

Allah SWT dalam tujuh tempat pada Al-Qur’an setelah memerintahkan untuk hanya menyembah kepada-Nya dan tidak mempersekutukannya, perintah selanjutnya adalah berbuat baik kepada kedua orangtua. Dalam surah An-Nisa’ ayat 36 Allah SWT berfirman, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua..” Perintah Allah SWT untuk berbuat baik kepada kedua orangtua, setelah perintah untuk mentauhidkanNya lainnya terdapat pada surah Al-Baqarah: 83, Al-An’am: 151, Al-Israa: 23, An-Naml: 19, Al-Ahqaaf: 15 dan surah Al-Luqman  ayat 13 dan 14. Dari ayat-ayat ini, telah sangat jelas dan terang betapa agung dan mulianya berbuat baik kepada kedua orangtua. Perintah untuk berbuat baik kepada keduanya, ditempatkan setelah perintah untuk hanya menyembah kepada-Nya. 

 

Berhubungan dengan ketaatan kepada kedua orangtua, Al-Qur’an hanya dalam satu hal memberikan sebuah pengecualian. Allah SWT berfirman, “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti mereka, dan pergaulilah mereka di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lantas Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. Luqman: 15). Ketaatan seorang hamba kepada Allah adalah ketaatan mutlak, tanpa pengecualian. Sementara ketaatan kepada orangtua dengan pengecualian, selama keduanya tidak meminta untuk mempersekutukan Tuhan. Kalau kita memperhatikan ayat-ayat Allah berkenaan dengan hubungan kaum muslimin dengan kaum musyrikin, maka akan kita temukan perintah Allah untuk berlepas diri dari kaum musyrikin disampaikan secara keras dan tegas. Terutama pada ayat-ayat awal surah At-Taubah. Namun berkenaan dengan kedua orangtua, Allah SWT menyampaikan perintah secara lembut, dikatakan, kalau permintaan keduanya berkaitan dengan syirik kepada Allah, janganlah menaati keduanya. Selanjutnya ditambahkan, kekafiran dan kemusyrikan kedua orangtua tidaklah menjadi penyebab secara mutlak terputusnya hubungan dengan keduanya, namun tetap diperintahkan untuk berbuat ahsan kepada keduanya di dunia.

 

Perintah untuk tetap berhubungan, memuliakan, menyayangi dan berbuat baik kepada kedua orangtua meskipun keduanya kafir ataupun musyrik juga masih memiliki pengecualian ataupun persyaratan. Yakni, selagi keduanya tidak menunjukkan permusuhan dan penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman, “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Qs. Al-Mujaadilah: 22). Perintah yang lebih tegas mengenai hal ini, disampaikan oleh Allah SWT pada awal surah Al-Mumtahanah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu.”  Dan selagi keduanya meskipun termasuk golongan orang-orang kafir ataupun musyrik tidak ada halangan untuk tetap berlaku adil terhadap keduanya, yakni tetap berbuat baik dan berkasih sayang kepada keduanya selagi keduanya tidak menunjukkan permusuhan dan kebencian kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. Al-Mumtahanah: 8).

 

Apabila, kedua orangtua termasuk dari golongan orang-orang kafir ataupun musyrik, perintah Allah SWT untuk tetap mempergauli, menjalin hubungan dan berbuat baik kepada keduanya hanya sebatas di dunia ini atau sebatas keduanya masih hidup. Tidak ada hak bagi setiap orang yang beriman untuk mendo’akan keselamatan bagi kedua orangtuanya di akhirat, yang meninggalnya dalam keadaan tidak berserah diri kepada Allah, tidak mengimani-Nya ataupun mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman, “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat  (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (Qs. At-Taubah: 113).

 

Namun, jika kedua orangtua termasuk orang-orang yang beriman, maka berbuat baik kepada keduanya tidak hanya berlaku di dunia saja, namun hatta keduanya telah meninggal dunia, perintah untuk tetap berbuat baik kepada keduanya masih terus berlaku, dan menjadi kewajiban bagi segenap kaum mukminin untuk menunaikannya. Diantara bentuk berbuat baik kepada orangtua setelah meninggalnya adalah memohonkan ampun bagi keduanya. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, mendo’akan kedua orangtua adalah juga perintah dari Allah SWT dan termasuk diantara tradisi para Anbiyah as. Sebagaimana do’a Nabi Ibrahim as,“Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat ).” (Qs. Ibrahim: 41). Pada hakikatnya, mendo’akan keselamatan bagi kedua orangtua, bukan hanya setelah keduanya wafat, namun juga termasuk bentuk kebaikan semasa hidup keduanya, dalam keadaan dekat maupun jauh.

 

Satu hal yang mesti kita ingat, kebaikan hidup, keimanan ataupun kesalehan yang kita peroleh, tidak semata dari jerih upaya sendiri, kemungkinan ada kaitannya dengan do’a dan kesalehan orang-orang tua sebelum kita yang terijabah oleh Allah SWT. Sebagaimana telah diceritakan dalam Al-Qur’an mengenai do’a Nabi Ibrahim as, “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Baqarah: 128). Ataupun secara umum disampaikan oleh Allah SWT dalam surah Al-A’raaf ayat 189, “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur."

 

Pada ayat lainnya, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (Qs. Al-Ahqaaf: 15)

 

Diceritakan pula, mengenai dua anak yatim piatu yang mendapat pertolongan dari Allah SWT lewat perantaraan dua nabi-Nya, Nabi Musa as dan Nabi Khidir as, karena kesalehan kedua orangtua mereka sebelumnya, “Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh,  maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya." (Qs. Al-Kahfi: 82). Dari penjabaran ayat-ayat ini, kita bisa mengambil sebuah falsafah hidup, bahwa jika mendoa’kan keselamatan dan kesalehan bagi anak adalah fitrah dari orangtua, maka sebuah tuntunan nurani pula jika sebagai anak, kita tidak boleh luput dalam mendo’akan keselamatan dan memohonkan ampunan bagi kedua orangtua dan orang-orang sebelumnya.

 

Izinkanlah saya mengakhiri tulisan ini, dengan mengutip nasehat Imam Ja’far Shadiq as mengenai betapa pentingnya perintah berbuat baik kepada kedua orangtua.

 

Imam Shadiq as bersabda, “Apa yang menghalangi seseorang berbuat baik kepada kedua orang tuanya?, apakah keduanya masih hidup atau telah meninggal dunia, shalatlah, bersedekahlah, naik hajilah dan berpuasalah dengan menghadiahkan pahala untuk keduanya.” (Ushul Kafi, Jilid 2, hal. 159).

 

Pada kesempatan lain Imam Shadiq as bersabda, “Seseorang yang berbuat baik kepada kedua orangtuanya semasa keduanya masih hidup namun ketika keduanya telah meninggal dunia, hutang-hutangnya tidak dilunasi, dan tidak pernah memohonkan ampun bagi kedua orangtunya, maka Allah mencatatnya sebagai anak yang durhaka. Sementara seseorang yang berbuat durhaka kepada kedua orangtuanya semasa hidupnya, namun ketika keduanya telah wafat, melunasi hutang-hutang keduanya dan memohonkan ampun bagi kedua orang tuanya, maka Allah akan mencatatnya sebagai anak yang berbakti kepada kedua orangtuanya.” (Ushul Kafi, jilid 2, hal. 163).

 

Semoga, kita termasuk orang-orang yang berbakti dan berbuat kebaikan kepada kedua orangtua, ada dan tiadanya keduanya di sisi kita. Seperti begitu, insya Allah.  

 

Rabbi, irhamhumaa kamaa rabbayani shagiiraa…

 

Qom, 30 Maret 2010/ 12 Farvardin 1389 HS

 

Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw ketika didatangi oleh malaikat Jibril dengan membawa ayat: “Bacalah hai Muhammad dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan,” sampai ayat ke-5 dari surat Al-`Alaq, beliau pulang ke rumahnya dalam keadaan gemetar dan dan menggigil. Lalu beliau berkata kepada Khadijah: “Aku menghawatirkan diriku.” Lalu Khadijah berkata: “Bergembiralah! Demi Allah, Dia tidak akan menghinakan (menjerumuskan)mu selama-lamanya.” Lalu Khadijah pergi bersama Rasul menemui Waraqah bin Naufal–pada zaman Jahiliyah dia seorang yang beragama Nasrani. Lalu Rasulullah saw memberitahu apa yang telah beliau lihat. Waraqah berkata: “Inilah namus (wahyu atau Jibril) yang pernah diturunkan kepada Musa.1 Karena ucapan Waraqah, Nabi menjadi tenang dalam menjalani masa depannya. Jika bukan karena ucapan Waraqah, dia (Rasul) sudah ingin terjun dari tebing gunung—demikianlah yang diriwayatkan Ibnu Sa`ad dalam Thabaqat-nya). Adapun riwayat lengkapnya sebagai berikut: “Takkala Nabi saw sedang menyendiri di gua Hira’, tiba-tiba beliau mendengar suara menggema memanggil-manggilnya. Beliau ketakutan dan mengangkat kepalanya. Tidak disangka-sangka beliau melihat sosok makhluk yang menakutkan sedang memanggilnya. Lalu beliau pun bertambah takut dan tidak dapat bergerak maju dan mundur. Kemudian beliau berusah memalingkan wajahnya dari makhluk yang menyeramkan itu, namun yang dilihatnya itu meliputi langit semuanya.” Tragedi dramatis itu berjalan beberapa saat dan beliau pun tidak dapat mengontrol dirinya dan lupa akan jiwanya, sehingga hampir saja beliau mengambil keputusan untuk nekat terjun dari puncak gunung karena begitu berat beban rasa takutnya. Pada saat itu Khadijah mengutus seseorang untuk mencari Nabi di gua Hira’ namun tidak menemukannya. Kemudian setelah sosok wajah yang menyeramkan itu sirna dari penglihatan Nabi, beliau kembali dengan segala macam ketakutan dan kegelisahan yang meliputinya. Akhirnya beliau sampai di rumahnya dalam keadaan gemetar seperti menderita penyakit demam. Beliau memandang istrinya dengan sayu dan lesu seakan-akan minta pertolongan dan perlindungan. Beliau berkata: ‘Hai Khadijah, apakah gerangan yang sedang kualami?” Kemudian beliau pun menceritakan semua kejadian yang dialaminya, dan merebahkan diri dalam dekapan Khadijah dengan ketakutan yang membayanginya; perasaan yang mungkin hanya merupakan tipuan mata. Beliau berkata: “Aku mengkhawatirkan diriku dan aku yakin bahwa aku telah kemasukan jin.” Khadijah tidak tega dan dan memandangnya dengan penuh keprihatinan dan keharuan, seraya berkata: “Tidak, wahai suamiku. Bergembiralah dan teguhkanlah hatimu. Demi Allah, dia tidak akan mengecewakanmu. Mak demi Dzat yang nyawa Khadijah di tangan-Nya, sesungguhnya saya mengharapkan engkau menjadi nabi umat ini. Engkau selalu menjalin ikatan tali keluarga, menghormati tamu, menolong yang lemah, dan engkau tidak pernah melakukan kejelekan sama sekali.” Begitulah seterusnya ia berusaha menenangkan dan menghibur hati suaminya dengan kata-kata yang menyenangkan. Kemudian Khadijah mengadakan percobaan yang membawa keberhasilan. Ia berkata: “Hai suamiku, beritahukan kepadaku tentang orang yang mendatangimu itu!” Beliau menjawab: “Ya.” Ia berkata lagi: “Maka jika ia nanti mendatangimu kembali beritahulah aku.” Tidak lama kemudian malaikat itu pun datang kembali, lalu Rasulullah saw berkata: “Hai Khadijah, inilah dia telah datang kepadaku.” Lalu Khadijah berkata: “Ya, berdirilah dan duduklah di paha kiriku.” Nabi menuruti perintahnya dan duduk di paha kirinya. Khadijah bertanya: “Apakah engkau masih melihatnya?” Nabi menjawab: “Masih.” Setelah itu, beliau pindah ke paha kanan istrinya. Dan Khadijah bertanya lagi: “Apakah engkau masih melihatnya?” Beliau menjawab: “Ya.” Khadijah lalu berkata: “Pindahlah ke pangkuanku!” Beliau mematuhi perintahnya dan duduk di pangkuan Khadijah. Kemudian Khadijah membuka dan melemparkan kerudungnya, dan Rasul masih duduk terdiam di pangkuannya. Khadijah bertanya untuk ketiga kalinya: ““Apakah engkau masih melihatnya?” Kali ini Rasulullah saw menjawab: “Tidak.” Khadijah lalu berkata dengan penuh keceriaan: “Hai suamiku, gembiralah dan tetaplah teguh! Ia adalah malaikat dan bukanlah setan.” Untuk meneguhkan percobaan yang pernah dilakukan dengan penuh keberhasilan itu, maka Khadijah menuju saudara sepupunya yang bernama Waraqah bin Naufal, seorang penganut agama Nasrani, yang rajin membaca kitab kuno dan buku-buku agama. Ternyata Waraqah berkata dengan mantap: “Mahasuci! Seandainya engkau mempercayaiku wahai Khadijah! Ia telah didatangi oleh an Namus (Jibril) yang pernah mendatangi Musa as, maka katakanlah kepadanya, hendaklah ia tetap tabah dan selalu teguh. Ia sesungguhnya adalah Nabi bagi umat ini. Seandainya aku ditakdirkan hidup di zaman ini, niscaya aku akan beriman kepadanya.” Kemudian Khadijah pulang menemui suaminya dan menceritakan apa yang telah ia dengar dari Waraqah. Setelah itu, Nabi saw menjadi tenang dan dapat menguasai dirinya. Seketika itu pula ketakutannya sirna. Hal ini menimbulkan keyakinan yang mantap pada dirinya, bahwa ia adalah seorang Nabi.2 Sanggahan atas Riwayat Tersebut Nabi saw sangat mulia di sisi Allah. Tidak mungkin beliau dilepaskan begitu saja dalam kegelisahan dan ketakutan di saat-saat kritis yang merupakan detik-detik perubahan besar dalam lembaran hidup beliau. Masa transisi yang sangat vital dari seorang manusia sempurna yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, menjadi manusia utusan dan bertanggung jawab atas umat dan masyarakat seutuhnya. Sebelum memasuki babak yang menentukan dan kritis seperti itu, beliau telah melangkah maju ke depan ke arah kesempurnaan manusia yang sangat agung dan mulia dalam perjalanan yang dahsyat. Dimulai dari alam ciptaan (manusia) menuju kepada Pencipta (Allah SWT), dan setelah mencapai puncak lalu kembalilah ia ke alam ciptaan (makhluk) dengan membawa kebenaran dari yang Yang Maha Pencipta sebagaimana yang digambarkan oleh seorang filosof, al Hakim Shadruddin al Syirazi. Dengan demikian dapat kita sadari bahwa detik-detik yang menentukan itu merupakan jalur penghubung antara dua perjalanan: perjalanan pergi dan perjalanan kembali dalam situasi yang genting. Mahasuci Allah, Ia tidak akan membiarkan kekasih-Nya mengalami kepedihan dan kegelisahan, justru setelah ia sampai pada puncak pertemuan, di mana ia akan dipilih sebagai utusan-Nya kepada manusia. Tidak mungkin Dia membiarkannya dalam ketakutan yang membahayakan, kemudian menakutinya dengan wajah yang serba menyeramkan sehingga beliau hampir tidak mampu lagi untuk mengendalikan dirinya, terkacaukan jalan pikirannya dan nyaris membawa kematian akibat makhluk tersebut. Bukankah Muhammad lebih mulia di sisi Allah daripada Ibrahim al Khalil, Musa al Kalim, dan nabi-nabi yang lain? Mereka tidak ditinggalkan sendirian pada saat-saat yang genting seperti itu sehingga meminta bantuan kepada orang lain. Muhammad saw adalah lebih mulia daripada mereka. Sungguh mengherankan analisa ahli sejarah yang mengutamakan logika seorang Khadijah yang sebelumnya tidak mengetahui sama sekali tentang rahasia-rahasia dan isyarat kenabian daripada seorang manusia sempurna dan utama, yang telah memikul misi Allah SWT. Kemudian Khadijah mengadakan percobaan yang dimengerti apa maksudnya oleh Rasulullah saw dalam upaya meyakinkan perkataannya dan didukung oleh perkataan Waraqah bin Naufal. Aneh sekali ketika terdapat keyakinan dan perasaan puas pada diri Nabi saw saat mendengar keterangan dari istrinya dan kesaksian yang diberikan oleh pendeta tua—Waraqah bin Naufal. Sehingga beliau dapat diyakinkan bahwa yang datang itu wahyu dari Allah Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana? Jika dikatakan bahwa Waraqah membaca kitab-kitab kuno, maka kami bertanya, apakah ada di zaman itu kitab-kitab agama yang tidak mengalami perubahan dan campur tangan manusia? Bukankah mimpi yang pernah dialami Nabi Muhammad saw itu benar adanya? Bukankah ucapan salam yang diucapkan oleh Jibril pada awal pertemuan, assalamu alaikum wahai pesuruh Allah, telah beliau dengar? Begitu pula ucapan salam dari setiap pepohonan dan bebatuan setiap kali beliau lewat di depannya dalam perjalanan pulan kembali ke rumah Khadijah? Bukankah beliau menyadari sepenuhnya apa yang dirasakan dirinya selama beliau menyendiri di gua Hira’ sehingga beliau tidak perlu diyakinkan oleh istrinya dan pendeta Nasrani itu? Justru keberadaan beliau di gua Hira' berangkat dari kesadaran spiritual dan usaha untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk konsentrasi penuh menjemput wahyu. Khalwat adalah cara terbaik yang beliau pilih sebagai sarana perenungan dan media tafakur yang paling efektif dimana jauhnya beliau dari kebisingin duniawi dan polusi syirik yang menghiasi wajah kota Mekah membuat beliau mau tidak mau harus memilih tempat "yang sehat dan segar". Dan, gua Hira adalah pilihan terbaik untuk merealisasikan tujuan ini. Lagi pula, jika memang riwayat itu benar, mengapa Waraqah tidak segera beriman padahal ia tahu bahwa beliau (Muhammad) adalah seorang Nabi? Terbukti di dalam sejarah bahwa Waraqah meninggal dalam keadaan belum beriman. Sedangkan riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw melihatnya dalam mimpi bahwa Waraqah sedang mengenakan pakaian putih adalah maudhu` (palsu dan tak dapat dipercaya). Sebab jalur riwayatnya terputus dan tidak bersambung. Jika memang terbukti bahwa ia masuk Islam dan beriman, maka sudahlah pasti namanya akan tercantum di dalam golongan orang-orang yang beriman pada permulaan Islam (as sabiqunal awwalun). Ibu Asakir berkata: “Saya belum pernah menemukan seseorang pun yang mengatakan bahwa ia (Waraqah) telah masuk Islam.”2 Waraqah masih hidup beberapa waktu sejak Nabi diutus. Bahkan telah disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Waraqah pernah berjalan dan melihat Bilal sedang disiksa.3 Jadi, Muhammad saw tidak pernah mengalami stres saat menerima wahyu. Beliau berada di puncak kesadaran dan mengerti bahwa yang datang kepada beliau itu adalah Jibril yang membawa pesan-pesan Ilahi untuknya dan umatnya. Bahkan atas nikmat agung risalah ini, beliau sangat bergembira.

Rabu, 14 September 2016 23:42

Sejarah Hidup Ummu Salamah  

 

 

Dengan Menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

 

Nama sebenarnya beliau adalah Hind dan beliau adalah putri dari Umayyah bin al-Mughiroh bin Abdillah bin Makhzum.

Omar Reza kehaleh telah menjelaskan bahwa beliau dalam bukunya yang terkenal dengan nama "A’laamu an-Nisa’" dan mengatakan bahwa ada klaim yang berbeda tentang nama ayahnya dan dikatakan bahwa Hind adalah putri dari Sahl bin Mughiroh bin Abdillah bin Makhzum atau Huzaifah. Ibn saad menyatakan bahwa ayahnya adalah Suhail Zad al rakb bin Mughiroh dan gelarnya adalah Zad al rakb.

 

Beliau adalah wanita sangat murah hati dan dalam perjalanan hidupnya beliau gunakan untuk memenuhi dan membantu hal-hal yang diperlukan teman-temannya.

 

Ada beberapa klaim yang berbeda mengenai namanya. Dia juga disebut Ramlah. Ibn Abd al Bar meyakini bahwa namanya adalah Hind dan mengklaim bahwa beberapa ulama juga memiliki pendapat yang sama. (A’lamu Nisa’ Jilid 5 halaman 21 Dan 22)

 

Ibu dari Ummu Salamah adalah Atikah, putri Amr bin Rabiah bin Malik. Beberapa ulama mengakui bahwa Atikah adalah bibi dari nabi suci (saw) (ebn e Asir, alkamel fi Jilid altarikh 1 halaman 594 yang diterbitkan di Beirut pada tahun 1497 H.)

 

Ummi Salamah adalah seorang wanita terhormat dan bijaksana, beliau dibesarkan di sebuah keluarga bangsawan. Beliau meninggal pada tahun 63 H dalam usianya 84 tahun. Beberapa ulama mengklaim bahwa beliau berusia sampai 90 tahun dan meninggal pada tahun 61 H. Beliau dilahirkan sekitar 20 tahun sebelum hijrah (Hijrah Nabi Suci Muhammad (saw) dan para pengikutnya dari Makah ke Madinah, yang diakui sebagai awal kalender Hijriah ) dan menikah dengan Abdullan bin Makhzum. Ketika Islam mulai tersebar, beliau memeluk Islam bersama-sama dengan suaminya.

 

Salah satu lawan beliau adalah kakaknya sendiri, yang mana telah tewas dalam perang Uhud dengan tentara Muslim. Karena penyiksaan dan permusuhan dari orang musyrik yang tak tertahankan untuk pasangan muda ini, mereka akhirnya berhijrah ke Ethiopia dengan kelompok Muslim lainnya pada tahun ke-5 Kenabian (pengangkatan nabi suci Muhammad sebagai utusan terakhir dari Allah SWT), tapi setelah beberapa saat mereka kembali ke Makah. Mereka punya anak pertama mereka "Salamah" di Ethiopia. Mereka memutuskan untuk berhijrah ke Madinah pada tahun 13 kenabian. Bani Makhzum memberikan beberapa kesulitan dan tidak mengizinkan beliau untuk pergi ke Madinah, tapi akhirnya beliau berhasil berhijrah sampai ke Madinah.

 

Abu Salamah terluka dalam perang Uhud dan syahid pada tahun ke-4 Hijrah. Setelah kesyahidannya, Khalifah pertama dan kedua ingin menikahinya tetapi ditolak. Pada tahun yang sama nabi (saw) mengajukan pernikahan kepada beliau dia akhirnya pun diterima.

 

Ummu Salamah adalah seorang wanita yang mulia dan sangat berbudi luhur, sebanyak istri lain dari nabi suci (saw), terkhusus (Aisyah dan Hafsah) sangat cemburu dengan beliau.

 

 

Pada suatu hari Ummu Salamah bertanya kepada Nabi Suci (saw), mengapa nama laki-laki telah disebutkan dalam program hijrah, akan tetapi nama perempuan tidak disebutkan? Menanggapi pertanyaan ini Allah Yang Maha Kuasa menurunkan ayat 195 di surat Ali-Imran.

 

Ummu Salamah juga berpartisipasi dalam perang Khaibar dan telah menyatakan keinginannya untuk menjadi seperti seorang pria dan ikut dalam perang, oleh karena itu ayat 32 Surat an-Nisa’ pun diturunkan kepada nabi suci (saw).

 

Ummu Salamah adalah di antara perawi hadis dari nabi suci (saw) dan Sayyidah Fatimah (as) (putri tercinta Nabi (saw) .Beliau adalah lawan berat Muawiyah dan pada saat yang sama pengikut yang kuat dari Imam Ali (sebagai Imam pertama sekte Syiah dan penerus Nabi (saw) dengan dalil Ghadir Khom sebagai peristiwa besar dalam perjalanan sejarah umat Islam).

 

Ummu Salamah menemani Nabi (saw) dalam berbagai pertempuran dan juga dalam haji terakhir Nabi (SAW).

 

Selama periode 3 khalifah (sekitar 25 tahun) beliau digunakan untuk membantu mereka jika diperlukan.

 

Ummu Salamah selalu mendukung Imam Ali (a.s.), terutama pada periode Muawiyah. Beliau menulis kepada Muawiyah dan menekankan bahwa Imam Ali (a.s.) dicintai oleh Allah Yang Maha Kuasa dan Nabi (saw). Sadarilah bahwa jika Ali (a.s.) terkutuk dan terganggu, maka Nabi (saw) dan Allah SWT menjadi marah, (Elam al nisa halaman 225).

 

Ummu Salamah telah meriwayatkan dari Nabi (saw) "Barang siapa yang mengagumi Imam Ali (a.s.) maka dia sudah menyenangkan saya dan Allah SWT dan jika tidak suka terhadap Imam Ali (a.s.), jelas ia telah mengganggu saya dan Allah SWT."

 

Ummu Salamah mengklaim bahwa Jibril memberitahu Nabi (saw) bahwa Imam Hussein (a.s.) akan syahid di Irak. "Nabi suci (saw) meminta Jibril untuk menunjukkan tanah Karbala dan Jibril menawarkan beberapa tanah Karbala dan Ummu Salamah pun percaya., Nabi suci (saw) menegaskan bahwa" Anda akan melihat bahwa satu hari , tanah ini akan berubah menjadi darah. Kemudian cucu saya dibunuh. "Ummi Salamah pun menyimpang tanah tersebut dengan hati-hati dan melihatnya setiap hari dan berkata, ketika tanah itu berubah menjadi darah, maka hari itu akan menjadi hari yang besar.

 

Dalam riwayat lain, Ummu Salamah mengatakan bahwa: Suatu hari Nabi (saw) menangis, saya menanyakan alasan beliau menangis dan menjawab: "Baru saja Jibril menyingkap bahwa di masa depan pengikut Anda akan membunuh anak Anda (Imam Hussein a.s.) di Karbala. "Juga dia telah meriwayatkan dari Nabi (saw) bahwa Imam Hussein (a.s.) akan dibunuh pada tahun 60 A.H.

 

Abwab al Manakib di Sunan Tirmidzi meriwayatkan: Pada suatu sore Ummu Salmah sedang tidur dan bermimpi nabi Kudus (saw) menangis dan dalam kondisi tertekan dan mengatakan bahwa saya baru saja datang dari peristiwa kesyahidan Imam Hussein (a.s) dan saya melihat orang-orang yang telah syahid di Karbala.

 

Tirmidzi, menegaskan kembali bahwa Ummu Salamah menyebut tanah Karbala

 

dan melihat bahwa tanah itu telah berubah menjadi darah.

 

Ummu Salamah adalah istri terakhir dari Nabi (saw) yang telah wafat pada tahun 63 Hijrah dan telah menyaksikan kesyahidan Imam Hussein (a.s.)

 

Ummu Salamah setelah wafat dimakamkan di pekuburan Baqi’.

 

Disusun oleh; Seyyed Abd al Hussein reis al sadat

 

 

Rujukan:

-Zahry, altabaghat al kobra Jilid 8 halaman 94

 

-Belathery, al nesab al eshraf, Jilid 1 halaman 190

 

- Zahabi, SIER Elam al nobla, Jilid 2 halaman 209

 

Rabu, 14 September 2016 23:41

Sejarah Hidup Juwairiyah binti Al-Harits  

 

Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

 

Pertempuran Bani Mustalaq

Pada tahun keenam Hijrah, tepatnya pada bulan Sya'ban, telah tersebar berita ke Madinah bahwa Harits bin Abi Diraar, kepala suku Bani Mustalaq, sedang mengumpulkan senjata dan pasukan militer untuk menyerang Madinah. Nabi memutuskan untuk dapat mengalahkan mereka di tanah mereka sendiri, oleh karena itu, tentara-tentara kaum muslimin bersama dengan nabi, bergerak ke arah mereka sampai mereka sampai di salah satu mata air di tanah mereka dengan nama Muraysi di wilayah Qadid. Awalnya, nabi (SAW) memerintahkan untuk mengajak mereka mememluk Islam, tapi mereka menolak ajakan tersebut dan pertempuran pun terjadi. Umat Islam pun berhasil keluar sebagai pemenang, dan mendapatkan banyak rampasan perang dan tahanan, seperti; dua ribu unta, lima ribu domba dan dua ratus keluarga tahanan. Di antara tahanan tersebut, adalah putri berusia dua puluh tahun dari Harits bin Abi Diraar, kepala suku. Nama lengkap ayahnya adalah Harits bin Abi Diraar bin Habib bin Ha'idh bin Maalik bin al-Mustalaq bin Sa'id bin Amr bin Rabi'ah bin Haarithah bin Khuzaa'ah.

 

Pemicu Pertempuran Bani Mustalaq

Suku Bani Mustalaq, yang berjarak lima manzil (hitungan jarak pada waktu itu) dari Madinah, telah merencanakan untuk mengepung kota Madinah dengan bantuan sekutunya dari suku-suku Arab lainnya. Nabi (SAW) diberitahu tentang ini oleh karena itu Nabi mengirim seseorang dengan nama Barid ke tanah mereka untuk melihat masalah ini secara langsung. Ia berkomunikasi kepala suku tak dikenal dan belajar memahami strategi lawan. Setelah kembali ke Madinah, ia laporan segala yang didapatnya. Ia membawa beberapa berita bermanfaat untuk nabi (SAW). Pada saat yang sama, mata-mata mereka tertangkap di kalangan umat Islam, dan terpaksa tidak dapat memberikan kabar kepada komplotannya atas apa yang telah terjadi. Setelah mengetahui rencana mereka, nabi (SAW) pun mengambil ofensif dan menyerang mereka duluan. Keberanian para tentara Muslim dan membuat para lawan takut dan para prajurit musuh pun tercerai berai yang berakhir pada dengan sepuluh kematian dari sisi mereka dan satu syahid dari pihak Muslim. Dengan kekalahan mereka, banyak kekayaan datang untuk tentara Islam dan perempuan mereka dibawa sebagai tawanan.

 

Alasan Berbagai Pertempuran di zaman Nabi (SAW)

Kemampuan militer dan kekuatan Islam sangat signifikan pada tahun keenam Hijrah, sejauh bahwa kelompok khusus dari mereka dengan bebas dan mudah bisa pergi ke dekat Makkah dan kembali tanpa masalah; tapi kekuatan militer mereka tidak dimaksudkan untuk menaklukkan tanah dan penjarahan kekayaan mereka. Jika bukan karena orang musyrik merampas kebebasan umat muslim, dan jika mereka telah mengizinkan umat Islam untuk menyebarkan agama mereka tanpa pelecehan, maka Nabi (SAW) pun tidak akan pernah terpaksa untuk menggunakan kekerasan, namun, karena umat Islam dan para mubaligh mereka yang terus menerus dalam bahaya dan terancam oleh musuh-musuh mereka, maka  pemimpin negara Islam tidak punya pilihan selain untuk memperkuat pasukan pertahanan Islam.

Alasan pertempuran Nabi (SAW) yang berlangsung sampai hari-hari terakhirnya adalah salah satu dari hal berikut:

a) Pembalasan untuk pelanggaran yang tidak manusiawi dari orang musyrik, seperti yang terjadi dalam pertempuran Badar, Uhud dan Khandaq.

b) Menghukum para pemberontak yang telah membunuh umat Muslim dan delegasinya ditengah-tengah padang pasir dan daerah terpencil, atau karena mereka telah merusak perjanjian dengan kaum Muslimin dan karena jika tidak melakukan perang maka Islam terancam akan punah, seperti yang terjadi dalam pertempuran dengan tiga suku Yahudi dan Bani al-Hayyaan.

c) Untuk menetralisir mobilisasi yang berkembang dari suatu suku yang menentang dan membuat persiapan untuk menyerang Madinah setelah mengumpulkan senjata yang diperlukan dan sumber daya militernya.

 

 

Juwairiyah

Juwairiyah binti Harits (670 atau 677 M) adalah seorang putri Arab dan putri sulung dari suku Khuzaa'ah. Ayahnya adalah kepala suku Bani Mustalaq. Setelah kekalahan dalam pertempuran, kekayaan mereka diamankan dan laki-laki juga perempuan mereka dibawa sebagai tawanan, salah satu wanita tawanan tersebut adalah Barrah, putri Harits yang kemudian dikenal dengan nama Juwairiyah. Beliau adalah istri dari Naafi' bin Safwaan, sepupu dari pihak ayah, yang tewas dalam pertempuran.

Beliau menjadi bagian dari rampasan dari Tsabit bin Qais bin Shammaas Ansaari dan sepupunya. Mereka sepakat bahwa dia bebas setelah membayar tujuh mithqaals emas. Pada waktu itu, tawanan perang bisa membebaskan diri dengan membayar uang tebusan.

Tebusan ditentukan oleh Tsabit untuk kebebasan Barrah beberapa kali lebih banyak dari jumlah yang biasanya dan beliau sendiri tidak mampu membayar, jadi beliau mencari bantuan kepada nabi (SAW) melalui Ali (a.s).

 

Kisah yang diceritakan oleh Aisyah:

Halabi menceritakan kisah melalui perkataan Aisyah seperti sebagai berikut:

Aisyah telah meriwayatkan bahwa Juwairiyah adalah seorang wanita cantik. Semua yang melihat beliau maka akan tertarik padanya. Dalam perjalanan dengan nabi, ketika kami berada dekat dengan hamparan Muraysi', Juwairiyah datang ke nabi dan meminta beliau untuk kontrak mukaatabah (kontrak kebebasan imbalan uang dari seorang budak) dengan dia, maka Aisyah pun marah dan cemburu karena tahu bahwa nabi akan melihat keindahan yang sama seperti yang Aisyah lihat.

Dalam riwayat lain, Aisyah mengatakan bahwa Juwairiyah berdiri di belakang tirai untuk kontrak mukaatabah dengan nabi. Ketika Aisyah menatapnya, Aisyah melihat kecantikan di wajahnya dan yakin bahwa ketika nabi juga melihat dirinya, ia juga akan senang. Beliau berkata kepadanya: "Aku akan membayar tebusan kontrak mukaatabah Anda dan juga akan menikah. Beliau menikahi putri kepala pemberontak dan ini mengakibatkan ikatan bisa dipecahkan antara nabi dan suku ini, dan banyak dari perempuan yang telah ditawan yang tanpa syarat dibebaskan hanya karena hubungan ini. Salah satu hasil dari nikah ini adalah kebebasan seratus tahanan perempuan.

Aisyah juga telah meriwayatkan: "Saya tidak tahu apakah ada wanita yang lebih diberkati untuk sukunya daripada Juwairiyah?"

Suku Bani Mustalaq semua memeluk Islam dan kemudian diberkati oleh Allah. Juwairiyah pindah ke rumah nabi. Rumahnya berada di dekat rumah-rumah dari Ummahatul Mukminin; Ummu Salamah, Aisyah dan Hafsah.

 

Kisah dari Para Sejarawan

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sejarawan mengenai cerita ini sampai penawanan Juwairiyah dan datang beliau ke nabi; mereka semua sepakat tentang semua apa yang telah diriwayatkan memang telah terjadi. Namun ada, perbedaan mengenai apa yang terjadi setelah itu; ada dua riwayat di sini:

Riwayat Pertama:

Nabi memilih Juwairiyah untuk dirinya sendiri dan setelah membagi harta rampasan perang dan tahanan kepada pasukan Muslim, beliau kembali ke Madinah. Kemudian ayah Juwairiyah ini, Harits, datang ke Madinah dengan sejumlah unta untuk membayar kebebasan putrinya. Dalam perjalanan, ia menyembunyikan dua unta ini di daerah Aqiq karena masih sayang untuk tetap memilikinya, dan datang ke nabi dengan sisa unta, kemudian meminta putrinya dengan menggantinya dengan tebusan yang dia bawa, dia pun mengatakan: "Wahai Nabi Allah, putri saya tidak bisa menjadi tawanan perang, karena dia adalah gadis yang mulia dan terhormat. "nabi menjawab," Jika demikian, lantas mengapa unta yang anda bawa anda sembuyikan lembah itu?! "Setelah mendengar hal ini, Harits dan anaknya memeluk Islam. Nabi memberikan pilihan kepada Juwairiyah untuk tinggal bersama beliau atau kembali ke ayahnya. Harits mengakui bahwa keputusan nabi memang adil. Akan tetapi, dia kemudian pergi ke Juwairiyah dan menanyakan ke putrinya: "Putriku!! Jangan mempermalukan suku Anda dengan tinggal di sini " Juwairiyah menjawab:" Tapi aku telah memilih Allah dan nabi-Nya "Ayahnya berkata:"Semoga Anda dikutuk! Melakukan apapun yang Anda inginkan! "Nabi kemudian membebaskan Juwairiyah dan beliau menjadi salah satu istrinya.

Riwayat Kedua:

Setelah membagikan rampasan, Juwairiyah diberikan kepada Tsabit dan sepupunya sebagai bagian mereka dari rampasan. Mereka menetapkan tebusan dari tujuh mithqaals emas untuk kebebasannya. Juwairiyah kemudian datang ke nabi yang sedang duduk di dekat air. Beliau mengumumkan bahwa sudah memeluk Islam dan mengatakan tentang tebusan kepada Nabi untuk meminta bantuan. Nabi berkata: "Saya akan membayar uang tebusan Anda dan juga akan membawa Anda sebagai istri saya."

Beliau adalah istri pertama Nabi yang tidak berasal dari suku Quraish.

Aisyah yang mana bersama nabi (SAW) dalam pertempuran ini, yang juga ditemani oleh Ummu Salamah, meriwayatkan cerita seperti ini:

"Juwairiyah adalah seorang gadis cantik yang siapa pun melihatnya, maka akan jatuh cinta dengannya. Saya dan nabi duduk di waktu musim semi di Muraysi' ketika beliau meminta Nabi (SAW) untuk membantunya agar menebusnya. Beliau berkata: "Wahai Rasulullah, saya adalah seorang yang baru memeluk Islam dan saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Anda adalah utusan-Nya. Saya Juwairiyah, putri Harits bin Abi Diraar, yang mana ayah saya adalah kepala sukunya dan Anda tahu apa yang telah menimpa saya. Saya telah diberikan sebagai bagian dari Tsabit bin Qays dan sepupunya dan mereka telah menetapkan tebusan untuk kebebasan saya tapi saya tidak mampu membayar. Saya berharap bahwa Anda membantu saya. Nabi berkata: "Ada pilihan yang lebih baik juga." Dia bertanya: "Dan apa itu?" Beliau menjawab: "Saya akan membayar tebusan dan Anda juga akan menikah" Juwairiyah mengatakan: "Baiklah, saya akan melakukannya." Nabi mengirim pesan kepada Tsabit untuk meminta beliau. Tsabit berkata: "Demi Allah, beliau adalah milik mu yaa Rasul Allah!" Nabi membayar tebusan dan membebaskannya. Ketika orang-orang mengetahui bahwa Nabi telah menikah dengannya dan menjadi pengantin pria dari suku Bani Mustalaq, maka mereka membebaskan tawanan mereka yang telah diambil sebagai rampasan perang dan peristiwa ini membuahkan hasil hingga terbebasnya seratus keluarga Bani Mustalaq. Jadi, saya tidak tahu wanita lain lebih diberkati dan bermanfaat bagi sukunya selain dari Juwairiyah."

 

 

Mas Kawin Juwairiyah

Ketika kembali dari Muraysi', nabi meninggalkannya dengan seorang pria dari Anshar dan memerintahkan dia melindunginya dan pergi ke Madinah. Kebebasan beliau (dari harta rampasan perang) adalah dianggap sebagai mas kawin beliau, dan menurut beberapa riwayat, ditambah dengan kebebasan empat puluh, atau semua tawanan Bani Mustalaq.

Tapi Juwairiyah sendiri menggambarkan kisah seperti ini: "Ketika Nabi membebaskan saya dan menikah dengan saya, Demi Allah saya tidak menyebutkan suku saya [yang telah diambil sebagai tahanan]. Itu adalah umat Islam sendiri yang [sukarela] membebaskan mereka. Seorang gadis kecil yang mana saudara sepupu saya datang kepada saya dan memberitahu saya kebebasan mereka, dan saya bersyukur kepada Allah.

Juga telah dikatakan bahwa mas kawinnya adalah empat ratus dirham, dan bahwa ia mengubah namanya dari Barrah ke Juwairiyah, karena nabi mengatakan bahwa Barrah, yang secara harfiah berarti 'reputasi', adalah bentuk kekaguman diri, meskipun nama ini adalah yang umum kemudian. Nabi memerintahkan beliau untuk berjilbab dan mewajibkan pada dirinya (Juwairiyah) seperti juga wajibnya hal ini bagi istri-istri nabi yang lainnya.

 

 

Alasan Perubahan Nama

Tidak dapat diketahui secara pasti mengapa namanya berubah. Nabi mengubah nama dari sejumlah istri-istrinya, seperti Zainab binti Jahsy, Ummu Salmah, Maymunah dan Juwairiyah, sekaligus menjaga nama-nama lain, seperti Barrah binti Abi Najwah dan Barrah binti Sufyan, dan lain-lain.

 

Dari Pernikahan Hingga Wafatnya

Beliau tinggal dengan nabi selama lima tahun, akan tetapi tidak memiliki anak darinya dan akhirnya, pada tahun 56 H dan menurut beberapa riwayat lain 50 H, beliau wafat di Madinah. Jenazahnya dikawal sampai kuburan Baqi' dan dikuburkan di situ. Dikatakan bahwa Marwaan al-Hakam, penguasa Madinah pada waktu itu, dan Abu Haatam Hayyaan mensholatkan jenazah beliau.

Juwairiyah adalah seorang wanita solihah dan taat, beliau berpuasa hampir setiap hari dan menghabiskan sebagian besar malam dalam beribadah. Dari beberapat riwayat diceritakan tentang kesalehan dan ibadahnya yang menunjukkan maqom yang tinggi setelah beliau menjadi istri nabi (SAW).

Dalam bukunya Rayahin al-syari'ah, Dhabihullah Mahallati mengatakan: Juwairiyah adalah seorang wanita yang menarik dan lembuh dalam berbicara.

Beliau telah meriwayatkan hadits dari Nabi, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ubaid bin Sabbaaq, keponakannya Tufayl dan lain-lain juga telah meriwayatkan darinya. Syekh Tusi juga telah menganggap beliau sebagai salah satu ‘ashab’ (sahabat) dalam buku rijal nya.

Dia adalah seorang wanita pandai dan juga periwayat hadits yang hidup 39 tahun setelah wafatnya Nabi (SAW).

 

Referensi:

Dzahabi, Taarikh Islam wa Wafayaat al-Mashaahir wa al-A'laam, edisi kedua, 1992, vol. 2, h. 259 / Khalifah bin Khayyaat, Taarikhe Khalifeh, vol. 1, h. 36 / Ibn Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyyah, vol. 2, h. 290.

Maghaazi, edisi kedua, vol. 1, h. 407.

Maghaazi, ibid, h. 410./ Tabaqaat al-Kubraa, h. 49.

Dayyar Bakri, Syaikh Husain. Taarikh Khamis vi Ahwaal Anfus al-Nafis, h. 474./ Shaafi'i Halabi. Abu al-Faraj. Sirah Halabiyyah, edisi kedua, vol. 2, h. 380.

Taarikh Tabari, vol. 2, h. 260.

Ibid.

Shahid Khatibi, Husain, Shureshiyane Bani Mustalaq, pasal 34.

Miqrizi, Ahmad ibn Ali, Imtaa 'al-Istimtaa', hal. 84.

Halabi Ali bin Burhan al-Din, Al-Sirah al-Halabiyyah min Sirat al-Amin al-Ma'mun, vol. 2, h. 86-87.

Syaikh Mufid, Al-Irshaad fi Ma'rifat Hujajillah ala al-Ibaad, vol. 1, h. 118.

Sirah Halabiyyah, ibid, h. 295./ Ibn Hisyam, vol. 2, h. 290./ Manaaqib, h. 201.

Ibn Hisyam, vol. 2, h. 295./ Ibnu Asaakir. Taarikh Damishq. vol. 3. h. 218.

Sirah Halabiyyah, ibid, h. 382./ Manaaqib, h. 201./ Al-Irshaad, h. 118.

Ibn Hisyam. Ibid.

Maghaazi, h. 411./ tabaqaat al-Kubraa, vol. 8, h. 92./ Ibn Hisyam, ibid, h. 294.

Abd al-Rahman Suhayli, Al-Ruwad al-Alf fi Syarh al-Sirah al-Nabawiyyah, vol. 6, h. 406./ Ibn Hisyam, h. 295.

Imtaa 'al-Asmaa', vol. 1, h. 206./ Baladhuri, Ansaab al-Ahraaf, vol. 1, h. 443.

Sirah Halabiyyah, ibid, h. 383.

Ansaab al-Ashraaf, h. 442, Taarikh Khamis, h. 474.

Maghaazi, p 307. Ansaab al-Ashraaf, ph. 441-442.

Tabaqaat al-Kubraa, vol. 8, h. 94./ Maghaazi, h. 413.

Al-Sahih min Sirat al-Nabiyy al-A'dham, h. 313.

Taarikh Khamis, vol. 1, h. 475.

Sirah ibn Ishaq, h. 263.

Tabaqaat al-Kubraa, h. 95./ Ansaab al-Ashraaf, vol. 1, h. 443

Asqalani, Ibnu Hajar, Al-Isaabah fi Tamyiz al-sahabat, vol. 8, h. 74.

Ibnu Atsir, Usd al-Ghaabah, vol. 6, h. 57./ Al-Isaabah, ibid.

 

Ditulis oleh: Maryam Masdari

Rabu, 14 September 2016 23:39

Sejarah Hidup Maria Qibtiyah

Maria Qibtiyah adalah salah satu dari istri Nabi (SAW), beliau adalah putri dari Qibtiyah Simon, lahir dari seorang ibu Romawi di desa Hafan wilayah Ansnay Mesir.

Nabi suci (SAW) pada tahun keenam Hijrah mengirim utusan ke luar negeri dengan membawa surat-suratnya yang berisi ajakan bagi penguasa negara-negara untuk masuk Islam. Rasulullah juga mengirim Hateb ibn Abi Balteh kepada Maquqs, penguasa Mesir, dan mengundangnya untuk masuk Islam. Dalam Surat tersebut Nabi (SAW) berkata: "Dengan nama Allah, dari Muhammad bin Abdullah kepada Maquqs Agus di Mesir, salam kedamaian bagi para pengikut kebenaran, dengan ini Saya mengajak Anda untuk menerima agama Islam, dan Jika Anda melakukannya, Allah akan membalas dengan berlipat ganda, tapi jika Anda menolaknya maka Anda akan menanggung dosa seluruh Suku Qibti (Koptik). "

Karena melihat cap dan tanda tangan dari Nabi (SAW), Maquqs pun segera membaca surat tersebut. Kemudian surat itu ditempatkan dalam wadah gading dan meminta Hateb ibn Abi Balteh untuk berbicara tentang Nabi (SAW), gaya hidup dan karakter nya. Hateb ibn Abi Balteh pun memenuhi permintaan sang Raja tersebut. Maquqs berpikir sedikit dan kemudian berkata: "Saya pikir nabi terakhir akan datang dari Syam di mana para nabi muncul, sementara saya melihat bahwa beliau telah muncul dari semenanjung Arab, oleh karena itu bangsa Koptik tidak dapat mematuhinya"

Kemudian, ia memerintahkan sekretarisnya untuk mempersiapkan surat dan menuliskan: "Saya telah membaca surat Anda, dan saya mengerti apa yang ditulis dalam surat itu, saya pun juga sudah mendengar ajakan Anda, akan tetapi saya masih percaya bahwa nabi terakhir berasal dari Syam. Saya tetap menghormati Nabi Anda dan akan mengirimkan dua budak perempuan dari bangsa Koptik dengan pakaian dan kuda bersamanya, Wassalam."

Maquqs menyampaikan balasan melalui Hateb dan meminta maaf untuk penolakan bangsa Koptik terkait undangan untuk menerima Islam dan memintanya untuk menjaga rahasia apa-apa yang telah dilihat dan didengar di bangsa Koptik. Hateb pun kembali ke Nabi (SAW) dengan membawa dua budak perempuan bernama Maria dan Syrin bersama-sama dengan seribu ons emas dengan dua puluh baju Mesir dan seekor keledai abu-abu dan beberapa madu dan parfum.

Gadis muda yaitu Maria dan Syrin merasa tertekan karena semakin menjauh dari tanah air mereka. Oleh karena itu, Hateb pun menceritakan tentang keindahan Mekah dan Hijaz. Lalu juga menceritakan beberapa hal tentang Nabi (SAW). Mendengar sifat dan akhlaq mulia Nabi (SAW) dan kebaikan Islam, mereka merasa bahagia dan senang dengan Islam dan Nabi Muhammad (SAW). Kemudian mereka masuk Islam dan merenungkan tentang ajaran barunya. Mereka tiba Madinah pada tahun ketujuh Hijrah, dan pada waktu itu Nabi (SAW) telah baru pulang dari Hudaibiyah.

Nabi (SAW), menerima surat-surat dan hadiah yang dikirim oleh Moquqs. Kemudian beliau menikah dengan Maria dan adapaun Hasan bin Sabit, yang merupakan penyair terkenal dan cendekiawan, mengambil Syrin sebagai istrinya. Kemudian Syrin pun melahirkan seorang putra bernama Abdul Rahman, Nabi (SAW) juga membagikan hadiah dari raja Mesir itu kepada para sahabatnya.

Kabarpun menyebar di antara istri-istri Nabi (SAW) bahwa seorang wanita tanah Nil telah menikah dengan Nabi (SAW) dan beliau tinggal dia di rumah Haris bin Naman, yang mana rumahnya berdekatan dengan masjid.

Dalam satu tahun, Maria pun sudah sangat senang dengan posisi yang beliau peroleh, yaitu menjadi istri Nabi (SAW) dan keadaan beliau sekarang jauh lebih baik dibandingkan dengan kehidupan masa lalunya. Nabi (SAW) juga sangat senang dengan beliau, karena Maria melakukan yang terbaik untuk menyenangkan nabi (SAW). Dalam hubungannya dengan Nabi beliau tulus, berbudi luhur dan sepenuhnya patuh pada perintah nabi (SAW), karena Nabi adalah suaminya dan maula-nya.

 

Maria dan Hajar

Maria benar-benar kagum dengan Hajar, Ibrahim dan Ismail (a.s) dan beliau telah mendengar mereka berulang kali ketika Allah SWT membantu Hajar saat beliau sendirian di tanah Hijaz. Yang Maha Kuasa Allah telah menganugerahkan sebuah sumur zamzam, sebagai kehidupan baru untuk Hajar, beliau tahu bahwa kehidupan Hajar akan tetap dikenang sejarah, dan lari-lari kecil-nya antara bukit Shofa dan Marwah akan berubah menjadi salah satu ritual pada ibadah Haji.

Maria kadang berpikir kesamaan beliau dengan dari Hajar yang mana mereka berdua adaslah sama-sama hamba perempuan. Hajar diberikan kepada Ibrahim oleh Sarah dan Maria diberikan kepada Nabi (SAW) oleh Maquqs, satu-satunya perbedaan adalah bahwa Hajar adalah ibu dari Ismail dan Maria tidak punya anak dari Nabi (SAW).

Setelah kematian Khadijah, Nabi (SAW) tidak memiliki anak dari istri-istri setelahnya, hanya Khadijah saja yang memiliki enam anak, yaitu, Qasem, Zaenab, Ruqoyyah, Ummi Kulsum, Fatimah dan Abdullah (a.s), anak-anak lain diantara mereka telah meninggal saat masih bayi.

 

Kelahiran Ibrahim

Pada satu malam tahun delapan Hijrah, Maria mengetahui bahwa dirinya telah hamil. Berita itu datang kepada Nabi (SAW), beliau pun menjadi sangat senang dan sangat bersyukur kepada Allah.

Ibrahim lahir di bulan Dzulhijjah, dan bidannya waktu itu adalah , ‘Salamah’ yang telah memberi kabar kepada suaminya, "Abu Rafe", kemudian dia datang kepada Nabi (SAW) dan menyampaikan kabar dari bayi yang baru lahir. Karena Nabi (SAW) diberi hamba perempuan maka bayi itu diberi nama Ibrahim, diambil dari nama ayah yang agung, Nabi Ibrahim Kholilullah (a.s). Pada hari ketujuh dari kelahiran, domba pun disembelih (sebagai aqikah) untuk Ibrahim. rambut bayinya pun dicukur dan beratnya pun ditukar dengan perak untuk dibagikan kepada  fakir miskin di jalan Allah.

Ibrahim sangatlah dipuja oleh Nabi (SAW). Anas bin Malik mengatakan:

"Ketika Ibrahim lahir, Jibril datang kepada nabi (SAW) dengan mengucapkan salam ‘Assalamu alaika yaa Aba Ibrahim' (Salam sejahtera dari kami kepada Anda, wahai Ayah Ibrahim!)

Nabi (SAW), setelah kelahiran Ibrahim, menyatakan bahwa "tadi malam aku punya anak yang aku beri nama dia Ibrahim setelah nama ayah saya.

Wanita Ansar yang telah mendengar kabar tentang cinta Nabi kepada Maria membuat mereka bersaing menyusu Ibrahim, karena mereka bermaksud untuk mendekati Maria.

Nabi (SAW) sangat senang menyaksikan tumbuhnya Ibrahim. Setelah beberapa waktu, ketika Nabi (SAW) keluar kota, Nabi (SAW) diberitahu tentang keadaan yang tidak baik dari kesehatan anaknya, Ibrahim dan memaksa beliau kembali ke rumah, mengambil dia dari dada ibunya saat kesedihannya benar-benar luar biasa di wajahnya, beliau pun mengatakan:

يا إبراهيم لو لا انه امر حق ووعد صدق, وأن آخرنا سيلحق بأولنا, لحزنا عليك حزنا هو اشد من هذا, تدمع العين و يحزن القلب و لا نقول إلا ما يرضي ربنا والله يا إبراهيم, إنا بك لمحزونون.

"Wahai Ibrahim! Jika kematian bukanlah suatu hakikat dan janji yang benar dari Allah dan akhir dari ku adalah kembali kepada awal (asal) ku, maka aku akan sangat sedih melebihi kesedihan ku sekarang ini, mata ku menangis dan hati ku sangat sedih, tapi aku tidak akan melakukan sesuatu apapun kecuali untuk mendapatkan Ridha Allah. Namun, kamu harus tahu bahwa saya sangat sedih kehilang kamu dan atas kematian mu."

Beberapa orang mengeluh kepada Nabi "Wahai Rasulullah (SAW), Apakah Anda melarang kita menangis?" Nabi (SAW) menjawab: "Tidak, saya tidak melarang Anda untuk menangis atas kematian orang-orang anda cintai. Karena menangis adalah tanda kebaikan dan kasih sayang dan siapa pun yang tidak memiliki simpati kepada orang lain maka dia tidak akan di kasihani oleh Allah SWT.

(Dengan cara apapun), yang (Kudus) Nabi (SAW) memerintahkan untuk mencuci (mayat Abraham), membalsem dan kain kafan (It). Kemudian, mereka mengambil (itu) Baqi Cemetery dan dimakamkan di tempat yang sekarang disebut "Abraham Grave".

(Ketika Abraham meninggal) gerhana terjadi dan orang-orang dari Madinah berkata: 'gerhana matahari terjadi karena kematian Ibrahim. Nabi melanjutkan mimbar dan berbicara dengan orang-orang untuk (meningkatkan) kesalahan ini dan melawan takhayul ini sebagai berikut:

ايها الناس إن الشمس والقمر آيتان من آيات الله لاتخسفان لموت احد ولا لحياته.

“Wahai Manusia, matahari dan bulan adalah dua tanda-tanda kekuasaan Allah SWT dan mereka ditakdirkan oleh Allah tidak akan menangis (terjadi gerhana) atas kematian siapa pun.

Dalam riwayat lain berbunyi:

إن الشمس والقمر لاينكسفان لموت احد ولا لحياته فإذا رأيتم فصلوا وادعوا الله.

"Sesungguhnya, matahari dan bulan tidak akan menangis (terjadi gerhana) karena kematian dan kehidupan siapa pun, karena itu, ketika Anda hadapi itu (melihat Gerhana) maka Anda harus mulai melakukan Shalat."

Maria sangat sedih dan terus berkabung untuk Ibrahim:

"Wahai Ibrahim, Kau anak saya yang masih menyusui, dari sekarang malaikat akan menyusuimu di surga."

Setelah wafatnya Ibrahim, Maria menjadi suka berdiam diri di rumah, setiap kali Nabi mengunjunginya dia terus mengatakan, "Kami (berasal) dari Allah SWT dan kami akan kembali kepada-Nya"

"انا لله وانا اليه راجعون"

Maria adalah di antara istri-istri yang dihormati oleh Nabi dan beliau tertarik kepada Sayyidah Zahra (a.s). Untuk membuat Maria bahagia, Nabi (SAW) pun membuat rumahnya di dekat taman Madinah dengan nama “Masrobiyatu Ibrahim".

 

Maria dan hidupnya dengan Rasulullah

Rumah pertama Ummul Mukminin Maria adalah rumah Haris bin Naman. Beliau tinggal di rumah itu selama satu tahun dan kemudian beliau meminta pindah ke tempat lain dan Rasulullah (SAW) menempatkan beliau di dataran tinggi Madinah di tengah kebun kecil yang Rasulullah (SAW) dimiliki dari pertempuran dengan Bani Nazir, tempat ini dikenal dengan "Masrabiyatu Ibrahim". Beliau tinggal di sana pada musim panas dan musim panen, Nabi (SAW) pergi ke sana pada musim tersebut untuk mengunjunginya. Beberapa saat setelah beliau tinggal ditempat tersebut, maka beliau pada bulan Dzulhijjah tahun delapan Hijrah melahirkan anak Rasulullah (SAW) yang diberi nama Ibrahim.

 

Perhatian Ahlul Bait (a.s) terhadap Maria

Ali bin Abi Tholib (a.s) dan Fataimah Az-Zahra (a.s) memberi perhatian khusus terhadap Maria. Dikatakan saat Ibrahim lahir Ali (a.s) menjadi sangat senang. Beliau selalu mendukung Maria, dan beliau sendiri menangani masalah-masalahnya. Beliau memiliki perhatian khusus terhadap Maria.

 

Akhlaq Mulia Maria  

Maria adalah seorang wanita yang berbudi luhur, taat beragama, dan sopan. Beliau banyak disanjung oleh Nabi (SAW), juga dinilai oleh para sejarawan bahwa beliau adalah sosok religius. Nabi (SAW), dalam mengungkapkan cintanya terhadap beliau mengatakan:

"Ketika Anda nanti menaklukkan Mesir, tolong perlakukan mereka dengan baik, karena saya adalah menantu mereka”

 

Hidup Maria setelah Wafatnya Nabi Muhammad (SAW)

Setelah wafatnya Nabi Muhammad (SAW), Abu Bakar memberikan tunjangan pensiun bagi beliau dan pembayaran ini dilanjutkan sampai masa Khalifah kedua.

 

Wafatnya Maria

Pada akhirnya, beliau meninggal selama masa khalifah kedua pada bulan Muharram tahun ke enam belam Hijriyah. Umar bin Khattab menyuruh masyarakat untuk memakamkan beliau dan berdoa untuknya. Beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’.

Ditulis oleh: Sheila Maaleki Dizaji

 

Rabu, 14 September 2016 22:10

Siapakah Gerangan Sahabat Nabi?

apakah seorang ‘muslim fasik’ yang terlahir pada zaman Rasul akan lebih mulia dari seorang ‘muslim bertakwa’ yang terlahir di akhir zaman seperti sekarang ini, sehingga yang itu kebal hukum karena disebut sahabat dan mujtahid, sedang yang ini tidak semacam itu? Jika ya, lantas harus kita taruh mana ayat yang mengatakan “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian” (Inna Akramakum Indallahi Atqokum)? Dan dimana letak keadilan Allah yang tentu kita semua yakini bahwa, Ia Maha Adil dan Bijaksana?
Siapakah Gerangan Sahabat Nabi?
 
Salah satu fitnah yang dilancarkan musuh-musuh Syiah terhadap mazhab Islam ini adalah bahwa Syiah telah mengkafirkan para sahabat. Apakah benar Syiah mengkafirkan semua sahabat ataukah sebagian saja? Apa arti pengkafiran, apakah sama dengan kekafiran kaum non muslim atau sekedar kritisi karena kesalahan yang dilakukankan sebagian sahabat? Tentu, dalam menjawab semua itu perlu tulisan tersendiri, namun di sini kita akan membahas definisi sahabat menurut ulama Ahlusunnah sendiri.

 
Untuk mempersingkat kajian, kita akan lihat sebagai contoh definisi sahabat dari dua ulama Ahlusunnah di bawah ini;

 
Dalam kitab Bukhari disebutkan, ada satu bab yang menjelaskan tentang; “Keutamaan para sahabat Nabi dan orang yan menemani Nabi atau orang muslim yang pernah melihatnya maka ia disebut sahabat beliau” (Bab Fadhoil Ashaab an-Nabi wa man Sohaba an-Nabi aw Ra’ahu min al-Muslimin fa Huwa min Ashabihi). (Sahih Bukhari 3/1335)

Atau dalam Syarh Muslim oleh Imam an-Nawawi dimana beliau mengatakan; “Yang benar menurut mayoritas adalah bahwa setiap muslim yang pernah melihat Nabi walau sesaat maka ia tergolong sahabat beliau” (As-Sohih al-Ladzi Alaihi al-Jumhuur anna Kulla Muslim Ra’a an-Nabi wa lau Sa’ah fa Huwa min Ashabihi). (Syarh muslim oleh Imam an-Nawawi 16/85)

Dan masih banyak ulama Ahlusunnah lain yang kurang lebih batasan sahabat menurut mereka sangat longgar, bahkan –dengan istilah ilmu mantiq (logika)- definisi mereka kurangjami’ dan tidak mani’ sehingga ‘muslim fasiq’ atau ‘munafiq’ pun akan bisa masuk kategori sahabat Nabi. Kita lihat bagaimana al-Quran membagi sahabat Nabi menjadi tiga golongan yang berbeda-beda: “Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiridan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar” (al-Fathir: 32).

Tentu, jika kita teliti dari obyek tadi maka orang-orang yang dimaksud pada ayat di atas adalah orang yang hidup sezaman dengan Nabi yang biasa disebut dengan sahabat. Adapun yang dimaksud dengan “ada yang menganiaya (baca: zalim) diri mereka sendiri” adalah orang fasik yang melanggar batasan-batasan yang telah ditentukan Allah.

Dikarenakan penggunaan kata sahabat sangat umum maka dalam al-Quran pun sering dinyatakan bahwa, walau manusia durjana dan pendurhaka (kafir Quraisy) pun dimasukkan katagori sahabat seorang yang mulia (seperti Rasulullah). Sebagai contoh:

“Kawan (Shohib) kalian (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru” (QS an-Najm: 2)

“Apakah (mereka lalai) dan tidak memikirkan bahwa teman (shohib) mereka (Muhammad) tidak berpenyakit gila…” (QS al-A’raf: 184)

Dan atas dasar itulah (ketidakjelasan definisi) maka Nabi pernah bersabda berkaitan denan sebagian kaum muslimin yang sezaman dengannya yang masuk kategori sahabat beliau dengan ungkapan: “Sesungguhnya ada dua belas orang pada sahabatku yang tergolong munafik” (inna fi Ashabi Itsna Asyara Munafiqan). (Sahih Muslim 4/2143 hadis ke-2779)

Apakah definisi di atas tadi mencakup para manusia muslim yang baik pada zaman Rasul saja, atau juga mencakup yang penzalim yang hidup di zaman Nabi juga?

Apakah dalam ajaran Islam mengkritisi manusia penzalim hanya berlaku pada zaman tertentu saja, atau mencakup setiap zaman, termasuk kaum muslim penzalim zaman Rasul juga? Jika saudara dari Ahlusunnah berpendapat hanya pada zaman dimana kita hidup sekarang saja maka, dari sekarang kita gak usah menjadikan al-Quran sebagai pegangan karena al-Quran telah menyinggung kaum ‘muslim munafik’ zaman Rasul juga yang jika kita kembalikan kepada definisi di atas tadi maka muslim munafik tadi masuk kategori sahabat Nabi.

Bukankah seruan yang mengatakan “Setiap fenomena yang terjadi di antara sahabat hendaknya kita diam” (Kullu Maa Jara Baina as- Sohabah Naskutu) -yang terkenal dalam ajaran Ahlusunnah- akan menyebabkan terjadi kerancuan dalam berpikir dan bertindak, akibat paradoksi dalam tindakan dan prilaku sebagian sahabat berkaitan dengan selainnya. Karena seringnya diantara mereka –sebagaimana yang telah terukir dalam sejarah- terjadi saling dengki, saling caci-maki, saling laknat, saling ghibah, saling menuduh (fitnah), dan bahkan saling bunuh. Bukankah itu semua dilarang dalam Islam?

Mungkin sebagian dari kita beralasan bahwa para sahabat SEMUA adalah pelaku ijtihad (mujtahid).

Apakah mungkin ruang lingkup ijtihad para sahabat tanpa batas sehingga hatta yang bertentangan atau bahkan melanggar batas kejelasan hukum Islam pun diperbolehkan? Dengan kata lain, apakah konsep ijtihad di Ahlusunnah istilah “ijtihad fi muqobil an-Nash” (ijtihad yang bertentangan dengan kejelasan teks agama) diperbolehkan?

 

Hukum ijtihad mujtahid mana yang membolehkan membunuh seorang mujtahid (sahabat) lain seperti yang dilakukan Muawiyah terhadap Amar bin Yasir, berzina dengan istri orang sebagaimana yang dilakukan Khalid bin Walid terhadap istri sahabat Malik bin Nuwairah, meminum minuman keras sebagaimana yang dilakukan Walid bin Utbah, melakukan kebohongan atas nama Rasul sebagaimana yang dilakukan Abu Hurairah sehingga membuat sahabat Umar, sahabat Ali dan Ummulmukminin Aisyah marah, dan perbuatan keji lain yang jelas dilarang oleh ajaran Islam?

 

Kalaupun kita terpaksa harus menerima bahwa mereka berijtihad, kenapa kita yang hidup sekarang ini tidak boleh melakukan dan mencontoh ijtihad mereka dalam perbuatan ‘bejat’ tadi? Apakah penyebab mereka kebal hukum –atas setiap pelanggaran- dan kebal kritisi –dari umat yang datang setelahnya- hanya karena takdir Allah yang karena mereka telah tercipta (baca: terlahir) di masa hidup Rasul sehingga mendapat gelar Sahabat Rasul, walau hanya karena melihat beliau selintas saja?

Apakah seorang ‘muslim fasik’ yang terlahir pada zaman Rasul akan lebih mulia dari seorang ‘muslim bertakwa’ yang terlahir di akhir zaman seperti sekarang ini, sehingga yang itu kebal hukum karena disebut sahabat dan mujtahid, sedang yang ini tidak semacam itu? Jika ya, lantas harus kita taruh mana ayat yang mengatakan “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian” (Inna Akramakum Indallahi Atqokum)? Dan dimana letak keadilan Allah yang tentu kita semua yakini bahwa, Ia Maha Adil dan Bijaksana?

Jika saudara masih tetap bersikeras untuk mengatakan yang mereka yakini itu –bahwa semua sahabat Nabi adalah baik, mujtahid dan layak diikuti kita juga harus kembali menyinggung ke kajian Teology, terkhusus tentang konsep Keadilan Ilahi yang diawali dengan pertanyaan; Benarkah Allah Maha Adil? Benarkah Allah akan memuliakan hamba-Nya yang ‘tanpa kehendaknya (ikhtiyar)’ telah terlahir di zaman Rasul sedang ia telah berani menentang sebagian perintah Ilahi, dibanding seorang hamba yang berilmu nan bertakwa namun dia ditakdirkan untuk terlahir di zaman yang jauh dari kehidupan Rasul?. (isw)

Rabu, 14 September 2016 22:09

Imam Ali Adalah Barometer Keimanan

Dalam sabdanya yang sangat masyhur, Nabi saw menegaskan bahwa “Tidak mencintai Ali kecuali orang mukmin dan tidak membencinya kecuali orang munafik.”. Ini adalah sebuah ketetapan dan janji Rasulullah saw.

 

Hadis tentangnya telah diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi saw. melalui para sahabat ra., tiada keraguan brang sedikitpun dalam kesahihannya. Ibnu Abi al Hadid al Mu’tazili dalam Syarah Nahjul Balaghahnya menegaskan, “Dan telah sepakat berita-berita (hadis) sahih yang tiada keraguan padanya di kalnagn para muhaddisin bahwa Nabi saw. bersabda kepada Ali, “Tiada membencimu keculai munafik dan tiada mencintaimu kecuali mukmin.”[1]

 

Ibnu ‘Asakir dalam Târîkh Damasyqus-nya telah meriwayatkan hadis tersebut dari tiga puluh jalur. Demikian juga para ulama lain, mereka meriwayatkannya dengan berbagai jalur.

Riwayat Ibnu ‘Asakir dalam Târîkh Damasyqus.

Hadis Imam Ali dengan Riwayat al A’msasy dari Adi ibn Tsâbit

Seperti telah disebutkan bahwa Ibnu ‘Asakir telah meriwayatkan hadis tersebut dari tiga puluh jalur. Ia meriwayatkannya dari Imam Ali as. melalui jalur  A’masy dari Adi ibn Tsabit, dan darinya hadis tersebut telah diriwayatkan oleh banyak tokoh hadis penting, diantaranya:

  1. Sufyan ats Taswri.
  2. Abdunûr ibn Abdullah ibn Sinân.
  3. Abu Hafsh Al A’sya Amr ibn Khalid.
  4. Ibnu Numair.
  5. Wakî’.

Di bawah ini akan saya sebutkan jalur-jaluiar riwayat itu.

1) Dengan sanad bersambung kepada ats Tsawri dari A’masy dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, ia berkata, “Aku mendengar Ali as. bersabda:

وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الأُمِّيْ أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.

Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik. [2]

2) Dengan sanad bersambung kepada Abdunnûr ibn Abdillah ibn Sinân dari A’masy dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy dari Ali berkata:

عَهِد إلَيَّ رسُولُ اللهِ أََنَّهُ لاَ يُحِبُّكَ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُكَْ إلاَّ مُنافِقُ.

“Rasulullah saw telah menetapkan untukku, “Sesungguhnya tidak mencintaimu kecuali mukmin dan tidak membencimu kecuali munafik.”

3) Dengan sanad bersambung kepada Abu Hafsh Al A’sya Amr ibn Khalid dari A’masy dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, dari Ali as., ia (Zirr) berkata, “Aku mendengar Ali as. Berpidato di hadapan manusia, ia bertahmid dan memuji Allah, kemudian berkata:

عَهِد إلَيَّ رسُولُ اللهِ أََنَّهُ لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.

“Rasulullah saw. telah menetapkan untukku, “Tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.”

4) Dengan sanad bersambung kepada Ibnu Numair, ia berkata, ‘telah mengabarkan kepada A’masy, dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, ia berkata, Ali berkata:

وَ اللهِ إنَّهُ مِمَا عَهِدَ إِلَيَّ رَسُولُ اللهِ (صلى الله عليه و آله و سلَّمَ أّنَّهُ لاَ يُحِبُّني إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.

“Demi Allah sesungguhnya termasuk yang ditetapkan Rasulullah saw. untukku, “Sesungguhnya tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.”

5) Dengan tiga belas sanad beragam yang bersambung kepada Wakî’ ibn al Jarrâh dari  A’masy, dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy dari Ali, ia berkata:

عَهِد إلَيَّ النبي (ص) أََنَّهُ لاَ يُحِبُّكَ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُكَْ إلاَّ مُنافِقُ.

“Nabi saw. telah menetapkan untukku, “Sesungguhnya tidak mencintaimu kecuali mukmin dan tidak membencimu kecuali munafik.”

Baca Juga Ali Sahabat Paling Utama

6) Dengan sanad bersambung kepada al Husain ibn Muhammad ibn ash Shabâh az Za’farâni, ia berkata, Abu Mu’awiyah adh Dharîr mengabarkan kepada kami, ia berkata, A’masy mengabarkan kepada kami dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, dari Ali, ia berkata:

وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الأُمِّيْ أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.

Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.

7) Dengan sanad bersambung kepada Ahmad ibn Abdil Jabbâr, ia berkata, Abu Mu’awiyah adh Dharîr mengabarkan kepada kami, ia berkata, A’masy mengabarkan kepada kami dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, dari Ali, ia berkata:

وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الأُمِّيْ أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.

Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.

Dengan dua sanad bersambung kepada Al A’masy dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, ia berkata, Ali berkata:

وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ [الأُمِّيْ] أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.

Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.

9) Dengan sanad bersambung kepada Abdullah ibn Daud (al KHuraibi), ia berkata, Al A’masy mengabarkan kepada kami dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, ia berkata, “Aku mendengar Ali berkata:

وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ وَ تَرَدّى بالعَظَمَةِ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الأُمِّيْ أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.

Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa serta menyandang ke maha agungan, ini adalah ketetapan Nabi yang Ummi kepadaku bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.

10) Dengan tiga sanad bersambung kepada Abdullah ibn Daud dari  Al A’masy dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, ia berkata, “Bahwa Ali berkata:

فِيْما اَسَرَّ إلَيَّ رسولُ اللهِ (ص) أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّنِيْ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُنِيْ إلا مُنافِقُ.

Termasuk yang dibisikkan Rasulullah saw. Kepadaku ialah bahwa tiada mencintaiku kecuali mukmin dan tiada membenciku kecuali munafik.

11) Dengan sanad bersambung kepada Abu Khaitsamah ia berkata, mengabarkan kepada kami Ubaidullah ibn Musa, ia berkata Al A’masy mengabarkan kepada kami dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, dari Ali, ia berkata:

وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ رسولِ الله إلَيَّ أنَهُ : أََنَّهُ لاَ يُحِبُّكَ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُكَْ إلاَّ مُنافِقُ.

Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Rasulullah saw. Bahwa “Sesungguhnya tidak mencintaimu kecuali mukmin dan tidak membencimu kecuali munafik.”

12) Dengan sanad bersambung kepada Muhammad ibn Yusuf ibn ath Thibâ’ ibn Bakr, ia berkata, mengabarkan kepada kami Ubaidullah ibn Musa, ia berkata Al A’masy mengabarkan kepada kami dari Adi ibn Tsabit dari Zirr ibn Hubaisy, dari Ali, ia berkata:

وَ الذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ و بَرَأَ النَّسَمَةَ إنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ إلَيَّ أَنَّهُ : لاَ يُحِبُّكَ إلاَّ مُؤْمِنٌ ولاَ يُبْغِضُكَ إلا مُنافِقُ.

Demi Dzat Yang membelah biji-bijian dan menciptakan makhluk bernyawa, ini adalah ketetapan Nabi saw. kepadaku bahwa “Tiada mencintaimu kecuali mukmin dan tiada membencimu kecuali munafik. Inilah dua belas jalur periwayatan hadis tersebut, dan sengaja kami cukupkan dengan dua belas dulu untuk mengambil berkah dari jumlah imam-imam suci dari Ahlulbait Nabi saw.. selain apa yang kami sebutkan di atas masih banyak jalur-jalur lain.

 

 

Catatan Kaki

  1. Syarah Nahul Balaghah,4/63 pada keterangan mutiara hikmah ke 57.
  2. Sumber Hadis: Selain Ibnu ‘Asakir, hadis ini juga telah diriwayatkan para muhaddis kenamaan seperti:1)Imam Muslim dalam Shahihnya 2)An Nasa’i dalam Sunannya dengan dua jalur dan dalam Khashâishnya dengan tiga jalur: hadis 95,96 dan 97, yang semuanya sahih berdasarkan komentar Abu Ishaq al Hawaini (korektor kitab Khashâish).3)Turmudzi dalam Sunannya, Manâqibu Ali, bab 95 (Tuhfatu al Ahwadzi,10/239-230) dan ia berkata, :Hadis ini hasan sahih.”4)Ibnu Mâjah dalam Shahihnya,bab fadhlu ali ibn Abi Thalib ra.,1/42, hadis114. Ia hadis ertama dalam bab itu.5)Ibnu Abi ‘Âshim dalam kitab Sunnahnya,2/598.6)Abu Nu’aim dalam Hilyatu al Awliyâ’,4/185 dari tiga jalur dari Adiy ibn Tsâbit dari Zirr, kemudian ia berkata, “Hadis ini muttafaqun ‘alaih (disepakati kesahihannya)”. Setelahnya ia menyebutkan banyak ulama yang meriwayatkan dari Adiy.7)Al Muttaqi al Hindi dalam Kanz al ‘Umâlnya,6/394 dan ia berkata, “hadis ini telah dikeluarkan oleh Al Humaid, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad ibn Hanbal, Al Adani, At Turmudzi, An Nasa’i, Ibnu Mâjah, Ibnu Hibbân, Abu Nu’aim dan Ibnu Abi ‘Âshim.

Menurut Kantor Berita ABNA, Ayatullah Sayid Ali Khamenei, Rabu (7/9) dalam pertemuan dengan keluarga-keluarga syuhada tragedi Mina dan Masjid Al Haram, menilai kelalaian dan ketidakmampuan rezim Al Saud dalam menangani insiden tersebut, sebagai bukti tambahan atas ketidaklayakan dari “Pohon kebengisan yang terlaknat” ini dalam mengatur dan mengelola Haramain Syarifain (Mekah dan Madinah).

 
Rahbar menyinggung kesyahidan sekitar 7000 jemaah haji dalam tragedi Mina dan menyampaikan protes keras kepada pemerintah Arab Saudi, “Kenapa negara-negara dunia tidak menunjukkan reaksinya atas peristiwa besar dan menyedihkan ini ?.”

 
Ia menyebut diamnya negara-negara bahkan ulama, aktivis politik, intelektual dan tokoh-tokoh Dunia Islam menyaksikan gugurnya 7000 jemaah haji tidak berdosa sebagai “Bencana besar Umat Islam”.

“Tidak sensitif atas masalah-masalah seperti tragedi besar dan menyedihkan di Mina adalah musibah terbesar Dunia Islam,” ujar Rahbar.

Ayatullah Khamenei menganggap penolakan penguasa Saudi untuk meminta maaf secara lisan, sebagai puncak dari keburukan dan hilangnya rasa malu mereka.

“Bahkan jika dilakukan tanpa sengaja sekalipun, semua kalalaian dan ketikdabecusan ini adalah kejahatan bagi sebuah pemerintahan,” imbuhnya.

Rahbar menyebut diamnya para pengklaim hak asasi manusia sebagai sisi buruk lain tragedi Mina. Ia juga menyinggung kegaduhan politik dan propaganda lembaga-lembaga pengklaim pembela HAM terkait pelaksanaan hukuman pengadilan di beberapa negara.

Rahbar menuturkan, kebisuan di hadapan kelalaian sebuah pemerintahan dalam melaksanakan tanggung jawabnya dan tewasnya 7000 manusia tertindas dan tidak berdosa, semakin memperjelas wajah asli para pengklaim HAM dunia, dan siapapun yang berharap pada lembaga-lembaga internasional, harus mau menerima realtias pahit ini.

Menurut Ayatullah Khamenei, pembentukan sebuah tim pencari fakta, termasuk pekerjaan wajib dan darurat bagi negara-negara Muslim, serta para pengklaim HAM.

Ia menerangkan, setelah berlalu setahun sejak terjadinya tragedi Mina, pemeriksaan bukti-bukti visual, audio dan dokumen-dokumen tertulis, telah banyak membantu memperjelas realitas.

Rahbar juga menganggap para pendukung rezim Al Saud sebagai sekutu kejahatan-kejahatan rezim itu dalam tragedi Mina.

“Rezim Saudi dengan dukungan Amerika Serikat, terang-terangan berdiri melawan Muslimin dan menumpahkan darah rakyat tidak berdosa di Yaman, Suriah, Irak dan Bahrain, oleh karena itu Amerika dan para pendukung Riyadh lainnya, punya andil besar dalam kejahatan-kejahatan yang dilakukan Saudi.

Rabu, 14 September 2016 22:08

Hari Arafah Menurut Para Imam Ahlulbayt As

Rasulullah Saw bersabda;

 
“Barang siapa menjaga pendengaran dan lisannya di hari Arafah, maka Allah akan menjaganya dari Arafah ke Arafah berikutnya”.

Imam Ali as berkata;

 
“Kalian tahu ketika jamaah haji sudah berihram, mengapa mereka pergi ke Arafah dan kemudian kembali lagi ke Ka’bah untuk tawaf?

 
Ini dilakukan karena Arafah telah keluar dari batas haram, dan jika seseorang ingin menjadi tamu Allah, ia pertama kali harus keluar dari gerbang batas dan bermunajat sedemikian rupa sehingga ia layak untuk memasuki wilayah haram.”

Imam Ali Zainal Abidin as dalam Sahifah Sajjadiyah berkata;

“Ya Tuhanku! Ini adalah hari Arafah, sebuah hari di mana Engkau memberikan kemuliaan dan keagungan kepada mereka.

Pada hari ini, Engkau membuka lebar-lebar pintu rahmat dan pengampunan untuk hamba-Mu dan Engkau mencurahkan pemberian sebesar-besarnya dan Engkau mengutamakan mereka karena hari ini.”

Imam Jakfar Shadiq as berkata;

“Jika seorang pendosa belum memperoleh rahmat dan pengampunan Allah pada malam-malam yang penuh berkah di bulan Ramadhan, dan khususnya di malam-malam Qadar, maka ia tidak akan terampuni sampai tahun depan kecuali ia memahami Arafah dan memanfaatkan keutamaan-keutamaannya.”

Imam Ali Zainal Abidin as berkata;

“Ketika kalian memasuki Arafah pada hari kesembilan dan saat kalian tiba di sebuah padang yang luas, maka ketahuilah bahwa itu adalah tanah kesaksian, makrifat, dan irfan.

Ia tahu siapa saja yang melangkahkan kakinya di tanah itu dan dengan motivasi apa mereka datang dan juga dengan niat apa mereka kembali.

Allah menjadikan daerah itu sebagai saksi atas perbuatan kalian, di mana ia mengetahui dengan baik apa yang kalian lakukan.”

Imam Jafar Shadiq as berkata;

“Pada hari Arafah, barang siapa yang menunaikan shalat dua rakaat di tempat terbuka sebelum mengikuti acara doa Arafah dan mengakui semua dosa-dosanya di hadapan Allah dan tulus memohon ampunannya, maka Allah akan menuliskan untuknya pahala yang diberikan kepada penduduk Arafah dan menghapus semua dosa-dosanya.”

Rasulullah Saw bersabda;

“Orang yang paling berdosa di Arafah adalah individu yang kembali dari sana, sementara ia merasa dirinya tidak akan pernah terampuni.”

Jeritan dan Tangisan Al-Husein as di Arafah;

“Akulah wahai Tuhanku yang mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah aku. Akulah yang berbuat kejelekan, akulah yang bersalah, akulah yang menginginkan (maksiat), akulah yang bodoh, akulah yang lalai, akulah yang lupa, akulah yang bersandar (pada-Mu), akulah yang sengaja (berbuat dosa), akulah yang berjanji dan akulah yang mengingkari, akulah yang merusak, akulah yang menetapkan, akulah yang mengakui akan nikmat-Mu atasku, namun aku menghadap-Mu dengan dosa-dosaku. Maka ampunilah aku.”

Melalui Alquran, Allah Swt memerintahkan kepada orang-orang beriman agar berwasiat kepada keluarga terdekatnya, sebagaimana dalam dua ayat di bawah ini:

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.(QS. Al-Baqarah [2]: 180)
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama de-ngan kamu, jika kamu dalam perjalanan di  muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: ”(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan sum-pah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) Kami me-nyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”.(QS. Al-Mâidah [5]: 106)
 
Dalam dua ayat tersebut, pesan Alquran adalah kewajiban untuk memberikan wasiat sebelum wafat, dan Nabi mengetahui bahwa beliau akan wafat. Jika ayat tersebut hanya dibatasi wasiat atas warisan harta, maka Nabi Saw tidak mungkin mengabaikan urusan yang lebih penting dari sekadar harta, yaitu kepemimpinan yang bersifat spiritual dan ukhrawi. Tentu Nabi Saw lebih memahami bahwa urusan kepemimpinan sangat penting untuk diwasiatkan kepada umatnya sebagai pelanjut pemegang kendali syari’ah.

 

 
Adanya perbedaan pendapat terkait jumlah para Imam justru menjadikannya sebagai bukti adanya wasiat Nabi Saw kepada imam setelah Nabi, terlepas berapa pun jumlahnya.

Boleh jadi setiap orang/golongan akan mengklaim kebenaran atas jumlah imam seperti yang telah mereka yakini, namun klaim hanya akan dikatakan benar, manakala didukung oleh segepok dalil, riwayat dan hadis yang benar-benar berasal dari Nabi Saw, sehingga dapat dikatakan bahwa golongan itulah yang benar dan diakui.

Ketiga, perlu kita ketahui bahwa riwayat adanya 12 imam/khalifah setelah Rasulullah Saw tertera dengan jelas di dalam kitab-kitab ulama muslimin, di antaranya;

Imam Muslim meriwayatkan dalam Kitab Sahîh-nya

Jabir bin Samurah berkata, Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Agama Islam ini akan tetap mulia sampai (berlalu) dua belas khalifah.” Jabir berkata, ‘Rasulullah kemudian mengatakan sesuatu yang tidak aku pahami. Aku pun bertanya kepada ayahku apa yang beliau ucapkan?’ Dia berkata,‘Mereka semua (khalifah) itu dari Quraisy.’”

Ref: Imam Muslim bin Al-Hajjaj, op.cit., hal 925-6, hadis 4598 dan yang senada dengannya hingga hadis 4604.

Selain riwayat di atas, hadis dua belas khalifah/amir juga tercantum di dalam beberapa kitab berikut:

Imam Bukhari dalam Shahîh–nya meriwayatkan sebuah hadis dari Jabir bin Samurah, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Akan ada dua belas amir.’ Maka beliau menyebutkan kata yang aku tidak mendengarnya, ayahku berkata, Rasulullah bersabda, ‘Mereka semua dari Quraisy.’  [Imam Al-Bukhâri,Shahîh Al-Bukhârî, h. 1812, hadis 7223-3, kitab Al-Ahkâm, bab sebelum Ikhrâj Al-Khushum, cet. 1, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon, 2000 M, 1420 H]

 

Imam Muslim bin Al-Hajjaj meriwayatkan beberapa hadis lain tentang dua belas khalifah, yaitu;

Jabir bin Samurah dengan sanad berbeda berkata, “Aku dan ayahku datang kepada Nabi Saw dan mendengarnya bersabda, ‘Urusan umat ini tidak berlalu selama mereka dipimpin dua belas orang.’Kemudian beliau berbicara perlahan kepadaku. Aku bertanya kepada ayahku, ‘Apa yang Rasulullah Saw katakan?’Beliau bersabda, ‘Semuanya berasal dari Quraisy.’ [Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj, Shahîh Muslim, hal 926, hadis 4599]

 

Jabir bin Abdullah dengan sanad berbeda berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Islam senantiasa mulia hingga dua belas khalifah.’ Kemudian beliau mengucapkan kata yang tidak aku pahami. Maka aku bertanya kepada ayahku, ‘Apa yang beliau katakan?’ Beliau bersabda, ‘Mereka semua berasal dari Quraisy.’” [Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj, Shahîh Muslim, hal 926, hadis 4601]

 

Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241/855 M), Abu Ya’la Al-Maushili (w. 307/919 M) dan Al-Hakim (w. 405/1015 M) meriwayatkan hadis dengan matan dan sanad yang sama perihal dua belas khalifah, dari Masruq, ia berkata, “Kami pernah berkumpul bersama Abdullah bin Mas’ud dan ia membacakan kami Alquran. Seseorang bertanya kepadanya, ‘Wahai Abu Abdurrahman, apakah kalian bertanya kepada Rasulullah Saw tentang jumlah khalifah umat ini?’ Abdullah bin Mas’ud menjawab, ‘Tidak seorang pun sebelum kamu bertanya kepadaku perihal itu sejak aku datang ke Irak.’Kemudian berkata, ‘Ya, sungguh kami menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw. Beliau bersabda,‘Dua belas sejumlah pemimpin(nuqaba’) Bani Israil.’”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 6, h. 321, hadis 3781, dan h. 406, hadis 3859, Muassasah Al-Risalah, Beirut, Lebanon, cet. 1, 1996 M (1416 H). Ahmad bin Ali Al-Tamimi, Musnad Abî Ya’lâ Al-Maushili, j. 8, h. 444, hadis 5031, dan j. 9, h. 222, hadis 5322, Dar Al-Ma’mun li Al-Turats, Damaskus, Suriah, cet. 1, 1986 M (1406 H). Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘alâ Al-Shahîhain, j. 4, h. 546, hadis 8529, cet. 2, Dar Al-Kutub Al-Al-’Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, 2002 M (1422 H).

Imam Ahmad meriwayatkan hadis berasal dari Jabir bin Samurah tentang dua belas khalifah/amir dengan berbagai redaksi dan sanad hingga mencapai tiga puluh dua hadis:

Pertama, tiga buah hadis dengan redaksi (لا يزال الإسلام عزيزا إلى اثنيعشر خليفة كلهم من قريش) “Islam senantiasa mulia sampai datang dua belas khalifah” “Mereka semua dari Qurasiy”.

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 427 hadis 20838, h. 482-3 hadis 20951, h. 518-9 hadis 21020

 

Kedua, sebuah hadis dengan redaksi (لا يزال الدين قائما حتى تقوم الساعة، أو يكون عليكم اثنا عشر خليفة كلهم من قريش )“Agama ini senantiasa tegak sehingga hari Kiamat, atau datang dua belas khalifah dari Quraisy”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 421 hadis 20830

 

Ketiga, sebuah hadis dengan redaksi (لا يزال الدين قائما حتى يكون اثنا عشر خليفة من قريش) “Agama ini senantiasa tegak sehingga dua belas khalifah dari Quraisy”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 401 hadis 20805

 

Keempat, dua buah hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الأمر صالحا حتى يكون اثنا عشر أميرا) “Urusan ini senantiasa baik sehingga dua belas amir”.

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 468 hadis 20922, h. 525 hadis 21039

 

Kelima, lima buah hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الأمر عزيزا منيعا حتى يملك اثنا عشر (كلهم من قريش)) “Urusan ini senantiasa mulia dan kuat sehingga dipangku dua belas. Mereka semua dari Quraisy.”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 449 hadis 20880, h. 471 hadis 20926, h. 472 hadis 20927, h. 476 hadis 20937, dan h. 490 hadis 20966

 

Keenam, dua buah hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الأمر ماضيا حتى يقدم اثنا عشر أميرا (كلهم من قريش)) “Urusan ini senantiasa berlalu sehingga datang dua belas amir” “Mereka semua dari Quraisy”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 469 hadis 20923, dan h. 487 hadis 20962

 

 Ketujuh, sebuah hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الأمر موائما حتى يقوم اثنا عشرخليفة) “Urusan ini senantiasa selaras sehingga tampil dua belas khalifah.”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 523 hadis 21033

 

Kedelapan, dua hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الدين عزيزا إلى اثني عشر خليفة) “Agama ini senantiasa mulia sampai dua belas khalifah”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 449, hadis 20879 dan h. 469 hadis 20924

 

Kesembilan, lima hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الدين ظاهرا على من ناواه، لا يضره مخالف ولا مفارق، حتى يمضي من أمتي اثنا عشر أميرا كلهم (كلهم من قريش)) “Agama ini senantiasa menang atas penentangnya, tidak ada perpecahan dan perbedaan sehingga berlalu dua belas amir. Mereka semua… Mereka semua dari Quraisy”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 409 hadis 20814, h. 413 hadis 20817, h. 429 hadis 20841, h. 461 hadis 20905 dan 20906. Bandingkan dengan h. 476 hadis 20938 yang terputus redaksi dua belas khalifah/amirnya

 

Kesepuluh, sebuah hadis dengan redaksi (لا يزال هذا الدين عزيزا منيعا ينصرون على من ناواهم عليه إلى اثني عشر خليفة)“Agama ini senantiasa mulia dan kuat menang atas penentang mereka sampai dua belas khalifah”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 477, hadis 20939

 

Kesebelas, tiga buah hadis dengan redaksi (يكون اثنا عشر أميرا (كلهم من قريش)) “Akan datang dua belas amir” “Mereka semua dari Quraisy”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 426 hadis 20836, h. 445 hadis 20872, dan h. 456 hadis 20896

 

Keduabelas, empat buah hadis dengan redaksi (يكون بعدي اثنا عشر أميرا (كلهم من قريش)) “Akan datang setelah aku dua belas amir” “Mereka semua dari Quraisy”.

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 440 hadis 20862, h. 454 hadis 20889, h. 477-8 hadis 20941, h. 529 hadis 21050

 

Ketigabelas, sebuah hadis dengan redaksi (يكون بعدي اثنا عشر خليفة، كلهم من قريش) “Akan datang setelah aku dua belas khalifah. Mereka semua dari Quraisy”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 439-40 hadis 20860

 

Keempatbelas, sebuah hadis dengan redaksi (يكون لهذه الأمة اثنا عشر خليفة) “Akan datang atas umat ini dua belas khalifah.”

Ref: Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, juz 34, h. 515 hadis 21013

 

Imam Al-Tirmidzi meriwayatkan dan menyahihkan hadis dari Jabir bin Samurah yang berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Akan datang setelah aku dua belas amir.’ Kemudian beliau berbicara sesuatu yang tidak aku pahami, maka aku menanyakannya. Maka ia bersabda, ‘Mereka semua dari Quraisy.”

Ref: Muhammad bin Isa Al-Tirmidzi, Jâmi’ Al-Tirmidzi, h. 368, hadis 2223, kitab Al-Fitan, bab Ma Ja’a fi Al-Khilafah, Bait Al-Afkar Al-Dauliyyah, Riyadh, Saudi Arabia, 1999 M (1420 H)

 

Abu Dawud Al-Sijistani (w. 275/888 M) meriwayatkan dua hadis dari Jabir bin Samurah. Pertama, dari Jabir bin Samurah. ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Agama ini senantiasa tegak sehingga berlaku atas kalian dua belas khilafah. Mereka semua mengayomi umat.’ Maka aku mendengar pembicaraan Nabi yang tidak aku pahami. Aku berkata kepada ayahku, ‘Apa yang beliau katakan? Ia bersabda, ‘Mereka semua dari Quraisy.’”; Kedua, dari Jabir bin Samurah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Agama ini senantiasa mulia sampai dua belas khalifah.’ Maka manusia bertakbir dan berteriak, kemudian beliau menyebut kata perlahan. Aku berkata kepada ayahku, ‘Wahai ayahku, apa yang beliau katakan?’ Ia bersabda, ‘Mereka semua dari Quraisy.”

Ref: Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-Azdi Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, juz 6, h. 335-6, hadis 4279 dan 4280, kitab Al-Mahdi, Dar Al-Risalah Al-’Ilmiyyah, Damaskus, Suriah, 2009 M (1430 H).

 

Dari seluruh hadis di atas, maka ada tiga asumsi: asumsi pertama, pada saat Nabi Saw mengucapkan adanya dua belas khalifah yang akan menjadi Imam setelah beliau, mungkin tidak seorang sahabat pun bertanya siapa gerangan dua belas orang itu; asumsi kedua, mungkin para sahabat telah bertanya tentang siapa dua belas khalifah tersebut, namun Nabi Saw tidak memberikan jawabannya; asumsi ketiga, Rasulullah Saw telah menjelaskan setiap nama dua belas Imam tersebut.

Sebagian ulama Sunni sesungguhnya juga meyakini wasiat Nabi atas dua belas imam tersebut. Ibnu Taimiyah pernah mereka-reka siapa gerangan dua belas orang yang pernah dijanjikan oleh Nabi Saw,“Para khalifah itu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Lalu diangkatlah seseorang yang disepakati oleh manusia. Dia meraih kemuliaan, dan kekuasaan; dia adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dan Yazid anaknya, yang dilanjutkan Abdul Malik bin Marwan dan ke empat anaknya, di antaranya Umar bin Abdul Aziz. Khalifah yang kedelapan dari dua belas khalifah itu dari para pembesar bani Umayyah…. Dua belas khalifah itu telah disebutkan dalam Taurat dimana Nabi Ismail as telah memberikan kabar gembira tentang mereka, ‘Akan lahir dua belas pembesar.”

Ref: Ibnu Taimiyah, Minhâj Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, juz 8, h. 238-241, cet. 1, Jami’ah Al-Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia, 1986 M, 1406 H

 

Sementara itu, Muhammad bin Abdul Wahab dalam Kitab Mukhtashar Sîrah Al-Rasûl Sawberkata,“Muawiyah bin Abi Sufyan meninggal dunia…dan mengangkat anaknya sebagai khalifah ….Sampai Yazid bin Walid bin Abdul Malik…dan sepeninggal dia berakhirlah kekhalifahan secara sempurna, dan umat tidak sepakat sepeninggalnya kepada satu imam sampai saat ini, dia adalah yang terakhir dari para khalifah dua belas yang telah disebutkan Nabi Saw dalam hadis sahih.”

Ref: Muhammad bin Abdul Wahab, Mukhtashar Sîrah Al-Rasûl, h. 291-3, peristiwa tahun 60 H, tahkik Muhammad Al-Ali Al-Barrak, Jami’ah Al-Imam Muhammad bin Saud, Saudi Arabia, TT

 

Jika pada Buku Putih Mazhab Syiah disebutkan seorang Al-Qunduzi meriwayatkan nama-nama dua belas Imam, maka seorang muslim Ahlus Sunnah bermazhab Maliki juga merinci nama-nama tersebut di dalam kitabnya. Beliau adalah Ibnu Shabbagh Al-Maliki penulis Kitab Al-Fushûl Al-Muhimmah fîMa’rifah Al-Aimmah. Ia mengatakan, “Aku menyebutkan dalam kitab ini, beberapa bab-bab penting di dalam mengenal para imam, yang dimaksud imam di sini adalah dua belas Imam, yang diawali oleh Amirul Mukminin Ali Al-Murtadha, dan diakhiri oleh Al-Mahdi……..dan aku menyiapkan satu bab untuk masing-masing imam…..

(Bab Pertama) menyebutkan tentang lautan luas, gunung kokoh, saudara Rasul, sitri Al-Batul, pedang Allah yang maslul, penakluk batalion, sumber keajaiban, singa Bani Ghalib, Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib kw.

(Bab Kedua) menyebutkan tentang putranya, Al-Hasan.

(Bab Ketiga) menyebutkan tentang saudaranya, Al-Husein.

(Bab Keempat) menyebutkan tentang putranya, Zainal Abidin Ali bin Al-Husein.

(Bab Kelima) menyebutkan tentang putranya Muhammad Al-Bagir.

(Bab Keenam) menyebutkan tentang putranya Ja’far Al-Shadiq.

(Bab Ketujuh) menyebutkan tentang putranya Musa Al-Kadzim.

(Bab Kedelapan) menyebutkan tentang putranya, Ali bin Musa Al-Ridha.

(Bab Kesembilan) menyebutkan tentang putranya, Muhammad bin Ali Al-Jawad.

(Bab Kesepuluh) menyebutkan tentang putranya, Abul Hasan Ali Al-Hadi.

(Bab Kesebelas) menyebutkan tentang putranya, Al-Hasan Al-’Askari.

(Bab Kedua belas) menyebutkan tentang putranya, Muhammad Al-Qaim Al-Mahdi.

Aku menamakannya “Al-Fushûl Al-Muhimmah fî Ma’rifah Al-Aimmah.”

Ref: Ibnu Shabbagh, Ali bin Muhammad bin Ahmad Al-Maliki Al-Makki, Al-Fushûl Al-Muhimmah fîMa’rifah Al-Aimmah, h. 17-18,

cet. 2, Majma’ Al-’Alami li Ahli Al-Bait, Beirut, Lebanon, 2011 M, 1432 H.

Bermazhab apakah Ibnu Shabbagh yang telah meriwayatkan nama-nama dua belas Imam tersebut?

Al-Sakhawi menyebutkan dalam Kitab Al-Dhau’ Al-Lâmi’, Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdillah Nur Al-Din Al-Asfaqasi Al-Ghazi Al-Ashl Al-Makki Al-Maliki, dikenal dengan Ibnu Shabbagh, lahir pada bulan Dzulhijjah tahun 748 H. Dia menghafal Alquran juga risalah Fikih Imam Malik, dan menunjukkan keduanya kepada Syarif Al-Rahman Al-Fasi dan Abdul Wahhab bin Afif Al-Yafu’i juga Al-Jamal bin Zhahir….. dia mempunyai banyak karangan, di antaranya Al-Fushûl Al-Muhimmah fîMa’rifah Al-Aimmah……………..”

Ref: Al-Sakhawi, Syams Al-Din Muhammad bin Abdurrahman, Al-Dhau’ Al-Lâmi’ li Ahl Al-Qarn Al-Tâsi’, j. 5, h. 283, Dar Al-Jil, Beirut, Lebanon, TT

Umar Ridha Kuhalah dalam Mu’jam Al-Muallifîn menyebutkan, “Ali bin Muhammad Ahmad (Nur Al-Din, Ibnu Shabbagh), seorang ahli fiqih Maliki berasal dari Safaqas dan wafat di Mekkah. Di antara tulisannya adalah Al-Fushûl Al-Muhimmah lima’rifah Al-Aimmah.”317

Ref: Umar Ridha Kuhalah, op.cit., j. 2, h. 492