کمالوندی

کمالوندی

Selasa, 30 Agustus 2016 22:50

Pasanganmu Adalah Busanamu

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. …” QS. Al Baqarah: 187

Dalam banyak kesempatan, Al Quran memberikan analogi sederhana dalam menerangkan sesuatu. Dan inilah salah satu metode dalam memberikan pemahaman kala berdakwah, sehingga mudah dicerna siapa pun termasuk kalangan awam.

Metode sederhana dengan analogi ini memungkinkan kita menelaah dengan mudah apa yang dimaksudkan. Dalam psikologi komunikasi, menyampaikan pesan harus sesederhana mungkin hingga mudah dipahami, seperti dengan kisah-kisah maupun perumpaan sejarah masa silam. Karena menyampaikan suatu pemahaman dengan cara yang njlimet, bisa jadi bukti ketidakpahaman dengan apa yang akan disampaikan.

Dalam ikatan rumah tangga, Al Quran mengumpamakan suami dan istri layaknya pakaian. Banyak makna bisa digali dari analogi ‘pakaian’ ini, kata sederhana sarat makna dari kitab wahyu:

– Pakaian dalam dunia fashion memiliki filosofinya sendiri. Pakaian harus sesuai dengan karakter dan suasana hati si pemakai. Pakaian yang dipakai untuk musim apa dan suasana hatinya bagaimana. Begitu juga warna, bentuk dan ukuran si pemakai. Begitu pula seorang istri harus sepadan dan sesuai dengan suami, sejalan dengan pikiran dan kepribadian pasangannya. Karena jika tidak serasi, binasalah biduk rumah tangga yang dibina.

– Pakaian adalah hiasan si pemakai. Di kalangan tertentu, warna dan bentuk pakaian adalah sumber ketenangan. Seorang istri pun demikian bagi suaminya; dia pun ibu bagi anak-anaknya. Dialah sumber ketenangan anggota keluarganya yang lain.

– Pakaian adalah penutup aurat, karena jika aurat terbuka sama dengan membuka aib pemiliknya. Maka suami dan istri harus menutupi aib pasangannya, tidak mudah membuka aib rumah tangganya ke pihak lain. Keduanya harus saling menutupi dan menjaga kehormatan masing-masing.

– Pakaian adalah sumber perlindungan, melindungi manusia kala panas menerjang maupun dingin menghantam. Suami dan istri pun sumber kehangan bagi masing-masing pasangan dan anak-anaknya. Seorang istri menjaga biduk rumah tangganya dari beragam bahaya dan selalu berusaha mempertahankan hangatnya kehidupan.

– Pakaian adalah kehormatan manusia. Tidak berpakaian mendatangkan celaan orang lain. Begitu juga tidak menikah atau jauh dari pasangan hidup bisa mengundang aib dan menyebabkan penyimpangan. Maka kata Nabi, menikah adalah sunnah yang sangat dianjurkan.

– Kala cuaca dingin orang terbiasa memakai pakaian tebal namun di kala panas memakai katun tipis. Jika sebaliknya bisa dianggap tidak waras. Artinya, suami istri harus menyesuaikan pasangan masing-masing. Jika suami marah seorang istri harus meredam dengan prilaku lemah lembut, jika marah jangan dilawan dengan marah pula, bisa terjadi ‘ledakan’. Jika suami lelah, seorang istri salehah berusaha menghibur dan mengurangi rasa penat suaminya.

– Manusia harus menjaga pakaiannya dari kotoran dan bahaya yang bisa merusak busananya. Suami istri pun harus menjaga pasangannya dari perbuatan dosa dan maksiat, karena prilaku buruk salah satu pasangan bisa mengotori bahtera yang ditumpangi bersama.

Oleh Ustad Miqdad Turkan

قال الامام علي بن ابي طالب عليه السلام : اللهم اني ما عبدتك خوفًا من نارك ولا طمعًا في جنتك ولكني عبدتك لأنك أهلاً لذلك وابتغاء مغفرتك ورحمتك ورضوانك

Imam Ali as berdoa: “Ya Allah, sungguh aku menyembah-Mu bukan karena takut neraka-Mu, bukan pula berharap surga-Mu, akan tetapi aku menyembah-Mu karena Kamu pantas untuk disembah, serta berharap ampunan, rahmat dan ridoMu.”

Untuk memahami doa di atas, saya bawakan sebuah kisah berikut:

Ada seorang gila menghampiri seorang ahli ibadah yang sedang bermunajat kepada Tuhannya. Sambil menangis ahli ibadah itu berdoa: “Tuhanku, jangan Engkau masukkan aku dalam api neraka-Mu, sayangi dan belas kasihanilah daku. Tuhanku Yang Maha Rahim dan Maha Rahman, jangan Engkau siksa daku dengan panasnya api neraka-Mu.”

Menyaksikan doa dan tangisan orang ahli ibadah ini, si gila ketawa terbahak-bahak: “Ha ha ha ha.”
Ahli ibadah menghentikan doanya dan menoleh ke arah si gila. “Hai orang gila! Apa yang membuatmu ketawa terbahak-bahak?”

“Doamu membuat aku ketawa. Ha ha ha.” Jawab si gila sambil terus tertawa.

“Apanya yang kamu tertawakan, hai gila?” Tanya ahli ibadah itu geram.

“Ya kamu menangis karena takut api neraka” Jawab si gila ringan.

Ahli ibadah itu balik bertanya: “Dan kamu, apakah tidak takut api neraka?

Tanpa beban si gila itu pun menjawab: “Aku? Aku sama sekali tidak takut api neraka.”

Jawaban itu membuat ahli ibadah itu tertawa terbahak-bahak: “kak kak kak kak. Benar, kamu kan gila bagaimana mungkin takut neraka?”

Si gila balik bertanya: “Hai ahli ibadah, bagaimana kamu bisa takut neraka, padahal Tuhanmu Maha Kasih yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu?”

Ahli ibadah menjawab: “Aku takut, karena banyak berdosa. Sekiranya Allah menghisabku dengan keadilan-Nya, tentu aku akan dimasukkan ke dalam neraka-Nya. Aku menangis karena berharap Allah mengasihani aku, mengampuni dosaku, tidak menghisabku dengan keadilan-Nya, tapi dengan kemurahan, kasih dan rahmat-Nya. Hingga aku tidak akan dimasukkan ke dalam neraka-Nya.”

Si gila itu kembali tertawa keras terbahak-bahak: “Ha ha ha ha.”

Sikap si gila ini membuat ahli ibadah tersinggung.

“Apa lagi yang kamu tertawakan?” Bentak ahli ibadah itu.

Sambil meledek si gila itu menjawab: “Hai ahli ibadah. Tidakkah Tuhanmu Maha Adil yang tidak akan berbuat zalim kepad hamba-Nya. Kenapa kamu takut menghadapi keadilan-Nya? Tidakkah Tuhanmu Maha Kasih dan Maha Menerima taubat, kenapa kamu masih takut neraka-Nya?”

Sambil mendongkol ahli ibadah itu balik bertanya: “Hai gila, Apakah kamu tidak punya rasa takut kepada Allah sama sekali?”

Dengan santai si gila itu menjawab: “Bagaimana tidak, aku sangat takut kepada Allah, tapi bukan karena takut api neraka-Nya.”

Ahli ibadah tercengang, takjub dengan jawaban si gila ini.

“Kalo bukan karena takut api neraka, lalu kamu takut dari apa-Nya?” Tanya ahli ibadah penasaran.
Si gila itu menjawab: “Sungguh aku takut menghadapi Tuhanku ketika bertanya kepadaku.

“Wahai hamba-Ku, kenapa kamu bermaksiat kepada-Ku?. Karena itu, sekiranya aku sebagai penghuni neraka, aku berharap Allah segera memasukkan aku ke dalam neraka tanpa ada pertanyaan apapun kepadaku. Sungguh siksa Allah terasa lebih ringan dibanding aku disidang di hadapan-Nya. Aku tak mampu menatap-Nya dengan mata yang khianat, tak mampu menjawab-Nya dengan lisan yang berbohong. Jika masuknya aku ke dalam neraka membuat kekasihku puas (ridha), maka dengan senang hati aku rela menjalaninya.”

Ahli ibadah itu tertunduk, terkesima atas ucapan-ucapan si gila ini. Pikirannya tenggelam dalam lautan renungan yang amat luas.

Tiba-tiba si gila memegang pundaknya sambil berbisik: “Hai Ahli Ibadah, aku akan katakan sebuah rahasia, jangan kamu katakan pada orang lain.”

Dengan penuh hormat, ahli Ibadah itu menjawab: “Siap. Aku berjanji. Katakan, hai si gila yang bijak. Rahasia apa yang akan kau sampaikan itu?”

“Ketahuilah olehmu, hai ahli ibadah. Bahwa Tuhanku tidak akan memasukkan aku ke dalam neraka-Nya sama sekali. Apakah kamu tahu apa sebabnya?” Tegas si gila dengan yakin.

Ahli ibadah itu balik bertanya: “Ooh, kenapa kamu begitu yakin?”

“Karena aku menyembah-Nya semata-mata karena cinta dan rindu kepada-Nya, sedang kamu menyembah-Nya semata-mata karena takut dan mengharap sesuatu. Prasangkaku kepada-Nya lebih baik daripada prasangkamu kepada-Nya. Harapanku kepada-Nya lebih baik daripada harapanmu kepada-Nya.”

“Untuk itu aku perpesan, apa yg tidak kamu harapkan, jadikanlah ia sebagai harapan yang terbaik. Ingat, Musa as pergi mencari setitik api untuk menghangatkan tubuhnya dan kembali menjadi seorang nabi. Sedang aku pergi untuk menyaksikan keindahan kebasaran Tuhanku, dan aku kembali menjadi gila.” Katanya.

Lihatlah diri kita masing-masing, sudah sampai pada pringkat manakah kita sekarang ini! (DarutTaqrib/Adrikna)

*Dari Laman Facebook Ustad Miqdad Turkan.

Oleh Ustad Miqdad Turkan

وسعت رحمتي كل شيئ

“Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…”. QS. Al `Araf: 156

Konon ada seorang pria dari Bani Israel, meminta kepada Tuhan: “Ya Tuhan. Aku ingin beribadah kepada-Mu dengan ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh siapapun dari hamba-Mu selain para nabi.
Lalu Allah menyuruhnya keluar menuju pulau terpencil yang letaknya di tengah laut yang sangat jauh. Dengan senang hati, orang itu menuruti perintah Allah dan pergi menuju pulau seorang diri, tanpa anak, tanpa istri, tanpa keluarga dan tanpa siapapun. Dia berada di pulau itu selama 500 tahun hanya untuk beribadah kepada Allah.

Untuk memenuhi kebutuhan makan, Allah telah menumbuhkan pohon delima untuknya. Sehingga setiap kali merasa lapar, cukup dengan memetik buah delima tersebut untuk dimakannya.
Seluruh waktunya hanya digunakan untuk solat, ibadah, zikir, bertasbih dan merenung tentang kebesaran ciptaan-Nya.

Ketika sudah sampai 500 tahun beribadah, maka Allah mencabut nyawanya dan mati dalam keadaan suci tanpa sedikit pun dosa. Selama hidupnya tidak pernah makan harta orang lain, tidak pernah ghibah, tidak pernah makan riba, tidak pernah dengar musik, tidak pernah berzina, tidak pernah maksiat, dan tidak pernah memberi kesaksian palsu, apalagi menghujat sesama.

Lalu Allah bertanya: “Hai hamba-Ku, apakah kamu ingin masuk surga dengan amalmu ataukah dengan rahmat-Ku.

Dengan penuh keyakinan, sang hamba miskin ini menjawab, ‘Aku ingin masuk surga dengan amalku, Tuhan.”

Dia mengira bahwa ibadahnya selama lima ratus tahun itu mampu membuatnya masuk surga.
Allah mengulangi pertanyaan lagi.

“Apakah kamu ingin masuk surga dengan amalmu, ataukah dengan rahmat-Ku?”

Dengan tegas sang hamba menjawab: “Dengan amalku, wahai Tuhan.” Jawabnya mantap.

Allah menjawab: “Kalau begitu, Aku akan menghitung seberapa besar nilai nikmat yang telah Aku limpahkan kepadamu dengan nilai ibadah yang telah kamu lakukan untuk-Ku.”

Kemudia para Malaikat menimbang seluruh amal yang dilakukan hamba tersebut selama 500 tahun itu dan dibandingkan dengan nikmat Allah yang telah diterima selama hidupnya. Setelah dihitung, para malaikat memberikan catatan akhir kepada sang hamba. Sesuai catatan, ternyata seluruh ibadah selama 500 tahun itu tidak sebandiang dengan nikmat Allah kecuali satu, yaitu nikmat penglihatan. Sedang nikmat-nikmat lainnya, seprti hati, telinga, kehidupan, nafas, akal, hidayah dan lain-lainnya belum terhitung.

Kemudia Allah berkata kepada para malaikat: “Kalau begitu, masukkan dia ke dalam neraka-Ku.”

Mendengar keputusan itu, sang hamba menjerit dan menangis sambil memohon; “Ya Tuhanku, aku mohon kepada-Mu, masukkanlah aku ke dalam surga dengan rahmat-Mu.”

Setelah sang hamba mengakui kekurangannya, Allah kemudian menyeru para malaikat: “Masukkanlah dia ke dalam surga dengan rahmat-Ku.”

Kisah ini mengingatkan kita, bahwa teramat banyak nikmat Allah yang kita terima namun teramat sedikit ibadah serta kebaikan yang kita perbuat.

Jika kelak aku dimintai pertanggung jawaban atas nikmat-nikmat ini, kemudian seluruh perbuatanku diperlihatkan untuk dihisab, sungguh betapa malu dan hinanya aku di hadapan keagungan-Nya.

Ya Allah, jangan Engkau permalukan aku di hadapan para kekasih-Mu, dengan Engkau tampilkan seluruh amal dan perbuatanku di hari hisab nanti.

Oh Tuhan, dengan meminjam bahasa tuanku Ali as tatkala berdoa: “Ya Allah, perlakukanlah aku dengan rahmat-Mu dan jangan perlakukan aku dengan keadilan-Mu”, maka mohon kabulkanlah daku. Hanya rahmat dan kasih-Mu satu-satunya tumpuan harapanku.

Ya Rasulullah, engkau adalah rahmat Allah terbesar untuk jagad raya ini, maka ijinkan aku bertawassul denganmu menuju Allah Tuhanmu dan Tuhanku.

Ya Rasulullah, aku kan terus memanggil namamu dalam suka dan duka, dan tidak perduli apa kata Wahabi tentang aku.

Ya Rasulullah, adrikna!
Ya Rasulullah, aghistna!
Ya Rasulullah, isyfa’ lana indallah!
Syafa’atilah aku, kedua orang tuaku, keluargaku dan kawan-kawanku.

Selasa, 30 Agustus 2016 22:34

Akhlak Pelajar: Amalkan yang Dipelajari

Ini catatan kecil yang dibuat ketika mengikuti kelas akhlak yang diasuh oleh imam Jum’at Qeshm, Hujjatul islam wal muslimin Jaukar.

Beberapa hal yang mesti dimiliki guru dan murid:
Niat yang tulus.
Mengamalkan yang dipelajari.
Orang yang mengamalkan ilmunya pasti beruntung, sedangkan yang tidak mengamalkan merugi.
Sebelum ilmu disebarkan dan diajarkan kepada orang lain, ilmu tersebut haruslah diamalkan terlebih dahulu. Ilmu itu harus dipakai untuk membangun diri sendiri, sebelum membangun diri orang lain.
Orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya, maka mauidhah (nasehat) hilang dari hatinya. Nasehat-nasehat yang ia berikan kepada masyarakat tak memiliki efek apa-apa, bahkan merugikan orang lain. Ada hadis yang menyatakan, “wahai orang yang beriman, jika kalian berilmu, maka amalkanlah (ilmu itu).”
Penyakit kita sekarang ini adalah kita membedakan apa yang kita lakukan dengan apa yang kita bicarakan kepada orang lain. Mestinya, Jika kita berbicara, kita sendiri yang mengamalkan apa yang dikatakan.
Imam Shadiq as pernah meriwatkan bahwa suatu hari seseorang datang kepada Rasulullah dan bertanya, “apa itu ilmu?” Rasul saw menjawab ilmu itu diam, mendengarkan, menghafal (mengingat), mengamalkannya, dan menyebarkannya. Jadi, menyebarkan ilmu adalah tingkatan terakhir dari pencarian ilmu. Setelah memahami, mengamalkan, baru men-tabligh-kan.
“Apapun yang berasal dari hati, pasti akan masuk ke hati.”
Mengapa Mafatihul Jinan karangan Syekh Abbas Qummi sedemikian populer? Karena beliau dengan menulis dan mengamalkannya. Sebelum disebarkan, beliau sendiri yang mengamalkan apa yang beliau tulis.
“Perkataan ahli amal akan didengar dan dilaksanakan. Karena dia sendiri yang pertama kali melaksanakannya.
Abu Bashir meriwayatkan bahwa Imam Shadiq as berkata bahwa Imam Ali as berkata, “wahai para pencari ilmu, sesungguhnya ilmu memiliki banyak keutamaan, seperti: Ilmu menjagamu, sedangkan engkau menjaga harta. Kepala ilmu adalah tawadhu (rendah hati), matanya adalah jauh dari kedengkian, telinganya adalah pemahaman, lidahnya adalah kejujuran… hatinya adalah niat yang baik, akalnya adalah pengenalan terhadap sebab-musabab dan perkara-perkara, tangannya adalah rahmat, kakinya adalah para ulama… hartanya adalah adab, kebaikannya adalah jauh dari dosa… dan temannya adalah cinta akan kebaikan.”
“Bersiaplah akan kematian. Bagaimana cara menyiapkan kematian? Menjalankan kewajiban dan menjauhi dosa.”
“Ketahuilah bahwa ilmu seperti pohon dan amal seperti buah. Tidak ada yang keluar dari pohon, selain buah.”

Selasa, 30 Agustus 2016 22:32

Akhlak Pelajar: Ikhlas Versus Sombong

Ini catatan kecil yang dibuat ketika mengikuti kelas akhlak yang diasuh oleh imam Jum’at Qeshm, Hujjatul islam wal muslimin Jaukar.

Pondok pesantren bukan tempat mencari uang. Hauzah adalah tempat memperbaiki diri, sebelum memperbaiki masyarakat.
Jangan cemas akan kehidupan, Allah yang akan mengurusnya.
Ciri-ciri ikhlas:
Tidak menunggu terima kasih orang lain. Semua yang dilakukan hanya karena Allah.
Tidak berdasarkan hawa nafsu. Semua yang dikerjakan berdasarkan hukum dan ketentuan Allah.
Tidak ada penyesalan. Karena semua yang dilakukan karena Allah, pasti tak akan ada penyesalan. Meskipun tak dihargai, kita tetap merasa tenang karena hanya kepada keridhoan Allah kita melihat.
Andaikan kita sudah melakukan kebaikan lalu merasa ‘ujub (bangga diri), bagaimana cara mengatasinya. Obatnya adalah ikhlas. Orang yang ikhlas tidak butuh pada pengakuan siapapun, sehingga tidak akan muncul rasa ‘ujub.
Setan selalu mengganggu manusia. Pertama lewat maksiat. Jika tak bisa maka setan akan mencegah manusia dari hal-hal yang baik. Lewat sombong misalnya. Juga lewat cara membisiki manusia sehingga menjadi sombong. Setan berbisik, “jangan salat, kamu akan menjadi sombong.” Maka dari itu, milikilah keihlasan.
“Pohon yang banyak buahnya semakin merunduk. Sebaliknya, pohon tanpa buah akan menjulang tinggi.”
Orang yang sombong maka tak ikhlas. Orang yang ikhlas tak akan bisa menjadi sombong. Karena seluruh perhatiannya hanya kepada Allah. Dihadapan Allah, dia akan selalu merasa kecil dan selalu memiliki kekurangan dalam menjalankan perintah-Nya.

Selasa, 30 Agustus 2016 22:14

Muhammadiyah: Tak Ada Beda Sunni dan Syiah

Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsudin, mengatakan tak ada perbedaan besar antara dua mazhab besar dalam Islam, Sunni dan Syiah, kata sebuah berita, sebuah pernyataan sejuk yang menutup pintu perpecahan dan adu domba yang bisa menghancurkan harmoni Muslimin Indonesia.

Berbicara di Jakarta hari ini, Din berkata baik Sunni dan Syiah “mengakui Tuhan dan Rasul yang sama. “Soal itu perlu diluruskan agar tidak memecah persaudaraan umat Islam,” katanya ke Kantor Berita Antar.

Din mengutarakan pandangannya itu lepas menjamu Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mahmoud Farazandeh, di Kantor Pusat Muhammadiyah di bilangan Menteng.

Kata Din, pertemuan itu terkait kerja sama Iran dengan Muhammadiyah untuk “mempererat hubungan” di bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. “Semuanya untuk memajukan umat,” kata Din.

Din mengatakan Muhammadiyah dan Kedutaan Iran akan menggelar seminar bertema “Islam, Perdamaian, dan Keadilan Global”.

Seminar untuk menanggapi ketidakadilan global yang sedang terjadi dan sebagai upaya menghilangkan Islamofobia, ketakutan dan kecurigaan tak beralasan pada Islam, katanya.

Muhammadiyah sebelumnya mengecam keputusan Prancis yang melarang Muslimin menggunakan Burqa dan cadar, mencapnya sebagai sebuah sikap yang tidak menghargai kebebasan beragama, elemen vital demokrasi.

Dalam kesempatan yang sama, Duta Besar Mahmoud bilang masyarakat Muslim perlu bekerjasama untuk menunjukkan Islam sebagai “agama kedamaian”. “Sejumlah negara besar di dunia memandang Islam sebagai ancaman yang amat menakutkan dengan dugaan melakukan pengeboman, teror serta kekerasan di sejumlah negara,” katanya. (daruttaqrib/Islam Times/Antara/sa]

Isu Syiah, Produksi Pragmatisme Politik
18 February, 2016 Leave a comment

 
Kenapa diskursus mengenai Syiah akhir-akhir ini makin menguak ke permukaan, meski sebenarnya Syiah sudah ada sejak awal mula sejarah Islam itu sendiri? Apakah ini murni soal ideologi dan sektarianisme atau berkaitan erat dengan kepentingan geopolitik?

Hal ini yang coba ditemukan jawabannya dalam Diskusi dan Peluncuran Jurnal Ma’arif dengan tema Syiah, Sektarianisme, dan Geopolitik di kantor pusat Muhammadiyah Jakarta, Rabu (17/2).

Hikmawan Saefullah, MA, pembicara dari Hubungan Internasional Universitas Pajajaran dalam paparannya menyebutkan bahwa isu Sunni-Syiah sebenarnya muncul lebih karena persoalan politik ketimbang persoalan ideologis. (Baca juga: Dr. Umar Shahab: Syiah Indonesia Moderat dan Pancasilais)

“Revolusi Islam Iran itu dulu berhasil karena ada cross alliance antara kelompok Syiah, Sunni dan Komunis. Inilah yang berhasil menumbangkan rezim Syah Pahlevi waktu itu. Ini membuat ketakutan monarki di Timteng, kalau oposisi bersatu mereka bisa jatuh,” terang Hikmawan.

“Karena itulah, strategi pihak monarki khususnya Saudi dan Bahrain memecah belah oposisi agar menghindarkan kolaborasi oposisi Sunni dan Syiah, dengan mempertajam perbedaan Sunni dan Syiah,” ujar Hikmawan.

“Jadi wacana ‘ancaman Syiah’ memang sengaja dibuat sebagai strategi kontra-revolusi yang sebenarnya merugikan kelompok oposisi,” tandasnya.

Pragmatisme Politik

Pembicara dari Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dicky Sofjan, Ph. D, juga menegaskan maraknya isu sektarian Sunni-Syiah akhir-akhir ini lebih karena masalah politik.

“Isu Sunni-Syiah ini tidak natural. Karena mestinya kalau dia itu nature, ia bersikap intrinsik, dan mestinya berlaku konstan sampai sekarang. Pertanyaannya adalah kenapa letupannya sekarang?” tanya Dicky.

Celakanya lagi, menurut Dicky politik pragmatisme juga muncul dalam isu Sunni-Syiah ini.

“Politik pragmatisme juga muncul dalam isu Sunni-Syiah ini. Banyak kelompok-kelompok yang kemudian mengkapitalisasi isu ini. Seperti kemarin beredar video tentang salah satu gubernur kita (Ahmad Heryawan/Aher) yang bicara dengan Syeikh dari Arab Saudi itu.”

“Dia mengatakan ada 3.000 orang Indonesia dikirim tiap tahun ke Iran. Ini jelas bukan sebuah fakta. Tapi kenapa seorang yang seterhormat beliau sebagai gubernur mau terlibat dan terseret dalam permainan-permainan primordial, ashabiyyah seperti ini?” kritik Dicky.

Direktur Eksekutif Ma’arif Institute, Fajar Riza ul Haq, juga menegaskan bahwa isu-isu sektarian ini sangat kontraproduktif bagi kemajuan Islam.

“Kalau kita masih terkotak-kotak dalam persoalan seperti ini, sibuk di masalah sektarian, umat Islam akan kesulitan menghadapi masalah-masalah global dan peradaban. Bagaimana umat Islam menjawab tantangan kemiskinan, keterbelakangan, dan bagaimana Muslim Indonesia menjawab persoalan-persolan keumatan yang demikian membatasi kemajuan umat Islam?” tanya Fajar.

Fajar berharap isu-isu sektarian yang kontraproduktif dan memecah-belah persatuan ini bisa diminimalisir agar energi umat fokus pada kemajuan dan kebangkitan Islam. Perlu terus diadakan dialog-dialog yang mengklarifikasi fitnah dan menepis dusta antar umat Islam agar umat Islam bersatu dalam semangat ukhuwah islamiyah.

Selasa, 30 Agustus 2016 22:10

Muslim Indonesia Dan Iran Banyak Kesamaan

Pelayan makam Imam Ali Ridha dari kota Masyhad, Iran bersilaturahmi ke kampus Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara, pada Rabu (10/8). Dalam kesempatan itu, Prof. Dr. Muhammad Jawad Nejawad Yazdi, selaku pimpinan rombongan disambut hangat Rektor UNISNU, Dr. Sa’dullah Assa’idi.

“Saya bergembira dengan kedatangan tamu dari Iran ini. Saya berharap bisa menjalin kerja sama budaya dan perabadaan keislaman,” kata Dr. Sa’dullah Assa’idi dalam sambutannya.

Rektor asal Jember ini juga berharap bahwa peluang kerjasama ini bisa terealisasi di masa depan.

“Kedepannya bisa kerjasama antar universitas, baik dalam bidang kebudayaan maupun pendidikan,” lanjutnya.

Sementara itu, Ustaz Miqdad Turkan dalam pengantarnya mengatakan bahwa banyak persamaan antara NU di Indonesia dengan Mazhab Syiah yang ada di Iran.

“NU yang Ahlisunnah dan Muslim Iran yang Syiah, sama-sama melakukan ziarah kubur dan memuliakan para wali. Para tamu yang datang ini adalah para pelayan di kuburan wali dari keturunan Nabi Muhammad saw, Imam Ridha di Masyhad,” terang Pimpinan Pesantren Darut Taqrib itu.

Menurut Kiai asli Jepara ini, silaturahmi semacam ini ampuh melawan gerakan intoleran dan merupakan cara terbaik menghilangkan prasangka sesama kaum Muslimin.

Ustaz Miqdad juga menyebutkan bahwa yayasan makam Imam Ridha sangat kaya, memiliki Rumah Sakit, Universitas, Pondok Pesantren dan juga mempekerjakan ribuan karyawan di samping ada juga para relawan yang berkhidmat.

“Mohammad Javad Zarif, Menteri Luar Negeri Iran adalah salah satu relawan di makam wali tersebut,” katanya.

Prof. Dr. Muhammad Jawad, dalam sambutannya memuji keramahan masyarakat Muslim Indonesia. Menurutnya Muslim Indonesia adalah Muslim yang mempraktikkan Islam rahmatan lil ‘alamin.

“Dengan melihat secara langsung masyarakat Indonesia yang ramah, maka apa yang saya dengar sejak lama ternyata benar. Dan kita sebagai kaum Muslimin adalah saudara, dan sesama saudara harus sering bertemu dan bertukar pengalaman,” kesannya.

“Persaudaraan Muslim antara Indonesia dan Iran karena berasal dari ayah yang sama yaitu Nabi Muhammad saw,” katanya. “Sebab jika sesama saudara akur dan saling menyapa tentunya akan menyenangkan orang tuanya. Dan kesenangan Nabi adalah kesenangan Allah SWT,” lanjut ulama bersurban itu.

“Saat ini kaum Muslimin membutuhkan persaudaraan dan persatuan, karena pusaka dan warisan Islam sekarang ini telah diserang oleh musuh-musuh Islam,” lanjutnya. “Maka kita harus memikirkan bagaimana mewariskan persatuan ini ke generasi setelah kita.”

“Muslimin Indonesia dan Iran banyak persamaannya, kita meyakini Alquran yang sama dan sama-sama mencintai Ahlul Bait Nabi saw. Dan mencintai keluarga Nabi adalah perintah Alquran.”

“Persamaan lain, adalah ziarah kepada para auliya yang merupakan ajaran Alquran. Para walilah yang mengingatkan kita kepada Allah, maka oleh karenanya, ziarah kita kepada wali hakikatnya mengingatkan kita kepada Allah.”

“Menjaga makam para wali adalah menjaga zikir kepada Allah. Dan sikap inilah yang harus kita wariskan kepada anak cucu kita,” terang ulama yang juga peneliti ini.

Ulama Iran ini juga mengingatkan, bahwa Imam Ridha bukan hanya milik Muslim Syiah semata akan tetapi milik semua kaum Muslimin. Karena kakeknya adalah Rasulullah, dan Imam Ridha mempraktikkan apa yang dilakukan kakeknya, yaitu menyebarkan rahmat kepada masyarakat di sekitarnya.

“Jutaan peziarah tiap tahun menziarahi makamnya, bahkan dari kalangan Kristen. Imam Ridha di masanya adalah seorang pejuang pemikiran, karena saat itu terjadi pergulatan pemikiran di tengah umat Islam,” tambahnya.

Dr. Muhammad Jawad juga mengingatkan, bahwa saat ini musuh-musuh Islam membiayai sekelompok  kecil umat Islam untuk merusak Islam dari dalam. Mereka menampakkan Islam yang buruk, kasar dan intoleran.

“Saya berharap semoga persaudaran di antara kita terbina dengan baik, dan bisa bersama-sama melawan kelompok intoleran,” pungkasnya.

Acara silaturahmi selesai menjelang Zuhur, diakhiri saling menukar cindera mata dan peluk erat persaudaraan seolah tak ingin berpisah. (

Selasa, 30 Agustus 2016 22:07

Ketika Para Saksi Memberikan Kesaksiannya

Ismail Amin*

“…Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka, dan para saksi akan berkata: “Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka.” Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim” (Qs. Huud: 18)

Kita harus senantiasa dalam kesadaran penuh, dan yakin bahwa apapun yang kita lakukan selalu ada yang menyaksikannya. Dan kelak di hari pertanggungjawaban, mereka akan memberikan kesaksian, tanpa ada sedikitpun yang terluput. Lewat firman-firman-Nya yang suci dan terjaga, yang termaktub dalam Al-Qur’anul Karim, Allah SWT menyampaikan siapa saja yang akan menjadi saksi atas setiap perbuatan kita.

Allah, Rasul-Nya dan Orang-orang Beriman

“Dan katakanlah, “Beramallah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. At-Taubah: 105).

Semoga ayat ini selalu menjadi pengingat bagi kita. Bahwa setiap amal yang kita lakukan, disaksikan oleh Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Dalam terminologi Syiah, orang-orang beriman yang dimaksud adalah para maksumin as. Bagi yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka merasa selalu disaksikan adalah juga bagian dari keyakinan yang mesti menghujam dalam ke sanubari. Keyakinan merasa disaksikan adalah termasuk derajat tinggi dalam maqam keimanan seseorang. Ketika ditanya apakah ihsan itu, Nabi Muhammad saww menjawab, “Ihsan adalah kamu beramal seakan-akan melihat Allah, kalau kamu tidak bisa melihatnya, maka yakinlah, Allah menyaksikanmu.”

Di sini kita merasa perlu mengajukan pertanyaan, mengapa Allah harus mengikutkan Rasul-rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai saksi, dan tidak cukup dengan Dia saja yang menjadi saksi?. Di sini Allah ingin menunjukkan keMaha Kuasaan-Nya, merasa disaksikan oleh Rasul-rasul-Nya dan para Aimmah as, mendidik kita untuk menjadi insan yang tahu berterimakasih. Mengingatkan kita, bahwa keimanan dan keyakinan yang benar kita kepada Allah SWT tidak datang serta-merta, namun melalui perantaraan mereka. Mengingatkan kita akan dakwah dan perjuangan mereka yang penuh pengorbanan. Keyakinan disaksikan oleh mereka, mendidik kita bahwa ada manusia-manusia yang pada hakikatnya seperti kita juga, semasa hidup mereka layak sebagaimana kesibukan kita, beraktivitas sebagaimana biasanya, makan, minum, berjalan, bekerja dan beristrahat. Namun kemudian, mendapat posisi yang teramat istimewa di sisi Allah, karena ketakwaan dan loyalitas mereka di jalan Allah. Karenanya, untuk menjadi orang-orang yang didekatkan di sisi Allah sebagaimana mereka, menjadi sebuah keniscayaan bagi kita untuk mengenal dan menjadikan mereka sebagai suri tauladan dalam kehidupan kita. Di antara hikmahnya pula, kita akan merasa senantiasa punya keterikatan dan kedekatan maknawi dengan para Anbiyah as dan para Aimmah as, bahwa diantara bentuk keadilan Ilahi disetiap masa, umat manusia bisa merasakan keberkahan akan kehadiran mereka. Kalau mereka menjadi saksi atas setiap perbuatan kita, maka apa yang menghalangi mereka untuk menjadi penolong, ketika berseru kepada mereka?. Allah SWT berfirman, “Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya.” (Qs. Yunus: 3). Syafa’at dan berbagai bentuk pertolongan semuanya pada hakikatnya datangnya dari Allah, melalui perantara orang-orang yang di ridhai-Nya. Dan adakah, yang lebih diridhai Allah melebihi keridhaan-Nya kepada para Anbiyah as dan Aimmah as?. Allah SWT berfirman, “Dia mengetahui yang ghaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapapun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya..” (Qs. Al-Jinn: 27).

Karenanya, tidak ada hujjah apapun bagi kita, bahwa dengan wafatnya para Rasul ataupun kegaiban imam di masa kita, menjadikan kita berkeyakinan bahwa mereka adalah sekedar orang-orang yang telah berlalu dan tidak memiliki sangkut paut apapun dalam kehidupan keseharian kita. Bersama Allah, mereka menyaksikan apapun yang kita lakukan. Mereka ikut bangga dan turut mendo’akan ketika yang kita lakukan adalah kebaikan, begitupun sebaliknya, betapa malu dan geramnya jika mengaku sebagai pecinta mereka namun yang dilakukan justru keburukan demi keburukan. Imam Husain as bersabda, “Bukanlah pedang-pedang terhunus di Karbalalah yang melukaiku, yang melukaiku adalah kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukan orang-orang yang mengaku sebagai pecintaku.”

Setiap hendak melakukan sesuatu, semoga firman Allah SWT berikut senantiasa menjadi pengingat kita.

“Kalau begitu…” kata Allah, “ Saksikanlah (Hai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.” (Qs. Ali-Imran: 81)

Kesaksian Para Malaikat

“Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qs. Qaf: 18).

Saksi selanjutnya adalah para malaikat. Mereka atas perintah Allah SWT tidak sekedar mengawasi dan menyaksikan saja apa yang sedang dan telah kita perbuat, namun lebih dari itu mereka mencatatnya dengan catatan yang sangat detail. Allah SWT berfirman, “Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. Al Jaatsiyah: 29). Kelak di hari perhitungan hisab, malaikat akan memberikan kesaksiannya dengan memberikan catatannya kepada tiap-tiap manusia. Allah SWT berfirman, “Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.” (Qs. Al-Isra’: 13). Dari penjelasan Al-Qur’an, ada tiga cara malaikat memberikan catatannya atas amal-amal perbuatan manusia.

Pertama, memberikannya dari sebelah kanan, “Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: “Ambillah, bacalah kitabku (ini).” (Qs. Al Haaqqah: 19). Dalam lanjutan ayat ini kita membaca, bahwa orang-orang yang diberikan kitab dari sebelah kanannya adalah mereka yang semasa hidupnya di dunia sangat yakin bahwa kelak apapun yang mereka lakukan akan diperhitungkan dan dimintai pertanggungjawaban. Karenanya, mereka hanya sibuk melakukan amalan-amalan kebaikan, kata mereka, “Sesungguhnya  aku yakin, bahwa (suatu saat) aku akan menerima perhitungan terhadap diriku.” (Qs. Al-Haaqqah: 20). Keyakinan inilah, yang akan membentengi seseorang dari berniat ataupun hendak melakukan keburukan-keburukan, sebab kemaksiatan dan dosa-dosa hanya akan mengotori catatan amalnya. Allah SWT berfirman kepada mereka yang menerima kitab catatan amalnya dari sebelah kanan, “Makan dan minumlah dengan nikmat, karena amal yang telah kamu kerjakan di hari-hari yang lalu.” (Qs. Al-Haaqqah: 24).

Kedua, memberikannya dari sebelah kiri., “Dan adapun orang yang kitabnya diberikan dari sebelah kirinya, maka dia berkata, ‘Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku.” (Qs. Al-Haaqqah: 25). Bagi yang menerima catatan amalnya dari sebelah kiri yang ada hanyalah penyesalan. Ia sendiri malu kalau sampai harus membaca sendiri kitab catatan amalnya, sehingga menganggap lebih baik, jika catatan itu tidak diperlihatkan saja. Mereka adalah orang-orang yang semasa hidupnya tidak beriman kepada Allah, tidak juga kepada para malaikat pengawas yang mencatat amal perbuatannya, sehingga kesibukannya adalah memperturutkan apa yang dikehendakinya. Setelah menerima kitab amalnya dari sebelah kiri, Allah SWT berfirman kepada mereka, “Ambillah dia, lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Karena dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar, dan juga tidak menganjurkan kepada (orang lain) untuk memberi makan orang miskin. Maka ia tidak memiliki seorang teman pun pada hari ini di sini, dan tiada (pula) makanan sedikit pun kecuali dari darah dan nanah, yang tidak akan dimakan kecuali oleh orang-orang yang berdosa.” (Qs. Al-Haaqqah: 30-37).

Ketiga, memberinya dari arah belakang, “Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang. Maka dia akan berteriak, “Celakalah aku”, dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (Qs. Al Insyiqaaq: 10-12). Saya terpancing untuk membayangkan, saking geramnya malaikat pencatat, maka ia menyerahkan catatannya dengan cara melempari punggung pemiliknya, tidak menyerahkan dengan menunggu sipemiliknya berbalik terlebih dahulu. Pada kelompok ini, mereka bukan hanya tidak beriman kepada Allah, mereka bahkan yakin bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada-Nya. Lebih dari itu, mereka malah bangga dan bergembira telah melakukan dosa-dosa. Kebanggaan atas dosa-dosalah yang malah mendorong seseorang untuk cenderung memperbanyak dosa. Catatan amalnya penuh oleh tumpukan dosa-dosa dan sepah-sepah kekejian.

Lebih dari itu, bukan hanya malaikat pencatat saja yang mengetahui apa yang telah tercatat dari kitab catatan amalan-amalan kita, namun juga malaikat-malaikat yang tinggi kedudukannya di sisi Allah, “(Yaitu) kitab yang tertulis, yang disaksikan oleh para malaikat yang didekatkan kepada Allah (muqarrabin).” (Qs. Al-Muthafifin: 20-21).

Semoga dengan menyadari keberadaan dua malaikat pengawas di sisi kanan dan kiri kita yang tak pernah luput dari mencatat apapun yang kita lakukan, mendorong kita untuk senantiasa berbuat kebaikan dan malu jika keduanya harus menorehkan catatan hitam dalam catatan amal kita, yang di hari akhirat kelak, akan dibukakan dan diperlihatkan kepada semua penghuni langit, “(Ingatlah) suatu hari betis tersingkap (lantaran rasa takut yang menguasai) dan mereka dipanggil untuk bersujud, tapi mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tertunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) telah diseru untuk bersujud, ketika mereka dalam keadaan sejahtera. (Tapi sekarang mereka tidak mampu lagi untuk itu).” (Qs. Al-Qalam: 42-43).

Kesaksian Dunia Beserta Segala Isinya

“Dan tak ada sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.” (Qs. Al-Isra’: 44)

Saya pilih ayat ini, untuk memberikan kita keyakinan, bahwa sesungguhnya segala yang maujud di alam semesta ini pada hakikatnya memiliki perasaan, ilmu dan kemampuan. Dari firman Allah SWT tersebut, sangat gamblang menjelaskan bahwa segala sesuatu bertasbih kepada Allah SWT. Hanya saja, kita tidak mengerti dan mampu memahami bagaimana tasbih mereka. Gunung, awah, curahan hujan, benda-benda langit, tanah, pepohonan dan binatang-binatang semuanya di alam maujud ini bertasbih dan senantiasa memuji Allah dengan caranya sendiri-sendiri. Allah SWT berfirman, “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) sepertimu.” (Qs. Al-An’am: 38).

Oleh manusia-manusia pilihan dan yang diridhai-Nya, tasbih-tasbih dan bentuk peribadatan segala benda-benda yang cenderung kita klaim sebagai benda mati mampu mereka pahami dan dengarkan. Diriwayatkan, setiap Nabi Daud as membaca kitab Zabur yang memuat firman-firman suci Allah yang diwahyukan kepadanya, dia mendengar benda-benda di sekelilingnya mengulang-ulangi apa yang dibacanya. Beliau mendengarkan suara tasbih dan munajat yang dipanjatkan lirih oleh gunung, pintu, dinding rumah, pepohonan dan burung-burung. Allah SWT berfirman, “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud.” (Qs. Saba’: 10). Diriwayatkan pula, suatu hari Rasulullah saww mendengarkan rintihan tangis dari sebuah pohon kurma. Ia bersedih karena sebelumnya setiap Rasulullah saww menyampaikan khutbahnya, Nabi sering menyandarkan  tubuh mulianya di batangnya. Setelah dibuatkan mimbar oleh sahabat-sahabatnya, maka sejak saat itu Rasulullah saww menyampaikan khutbahnya di atas mimbar. Untuk menghentikan tangisnya, Nabi pun seringkali mendekap untuk menenangkannya. Sayang, sepeninggal Nabi, pohon yang sangat mencintai dan dicintai Nabi ini, atas perintah khalifah kedua, ditebang dan disingkirkan.

Dari riwayat tersebut,  tersampaikan, segala benda yang ada disekitar kita, bukan hanya sekedar mampu bertasbih dan memuji Allah saja, namun juga memiliki perasaan sebagaimana manusia. Mereka diberi kemampuan oleh Allah untuk bisa melihat dan mendengar apapun yang kita lakukan. Mereka bisa memberi respon kecewa, marah, sedih ataupun turut bahagia atas apa-apa saja yang telah menjadi kesibukan dan kesenangan kita. Namun mereka hanya bisa diam, terpaku dan sekedar membiarkan saja apapun yang hendak kita lakukan. Mereka tidak punya kuasa apa-apa, sampai hari, dimana Allah memberikan kemampuan kepada mereka untuk membeberkan aib dan memberikan kesaksian.

Allah SWT berfirman, “Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat) dan bumi telah mengeluarkan beban berat (yang dilindungi)nya, dan manusia bertanya, “Mengapa bumi (jadi begini)?.” Pada hari itu, bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan yang demikian itu kepadanya.” (Qs. Al-Zalzalah: 1-5).

Dari ayat ini, Allah menjelaskan bahwa bumipun kelak di yaumul hisab, akan memberikan kesaksiannya. Meskipun secara dzahir beban berat yang dimaksud akan dikeluarkan bumi adalah batu-batuan, lahar, lumpur panas dan sebagainya, namun juga bisa kita tafsirkan, beban berat yang dimaksud adalah tumpukan aib-aib, dosa-dosa dan kekejian yang selama ini dilakukan umat manusia di atas permukaannya, yang bumi terasa berat lagi untuk menanggungnya, sehingga hari itu bumi menceritakan segala sesuatu yang dilihat dan didengarnya. “Pada hari itu, bumi menceritakan beritanya.” Kata Allah. Pada saat itu manusia betapa terkejutnya dan bertanya kepada bumi, “Mengapa engkau memberikan kesaksian yang memberatkanku?”. Bumi menjawab, “Karena Allah SWT telah memberikan izin kepadaku untuk berbicara. Hari ini adalah hari diungkapkannya segala aib dan cela. Kalaupun ketika di dunia aku diam itu karena aku belum mendapat izin saja untuk berbicara.”

Mullah Shadra ra, dengan bahasa irfani mengungkapkan, “Seluruh wujud mempunyai ilmu, perasaan, kemampuan dan kehendak, seukuran seberapa luas wujudnya.”

Pintu, dinding, meja, kursi, laptop, jam dinding yang berdetak, lampu, malam, siang, cahaya, kegelapan, botol-botol, gelas, ranjang, kelambu, sajadah dan debu-debu yang beterbangan setiap saat menyaksikan apa-apa yang kita lakukan. Kelak mereka akan menceritakan beritanya. Makanan dan minuman akan menuturkan kisahnya dengan cara apa ia diperoleh dan dihabiskan. Film-film dan gambar-gambar akan berbagi cerita. Sepatu, parfum dan pakaian yang kita kenakan, kesemuanya akan memberikan kesaksian, kemana dan untuk keperluan apa saja ia dikenakan.

Rasulullah saww bersabda, “Sesungguhnya berita yang akan disampaikan oleh bumi ialah bumi menjadi saksi terhadap semua perbuatan manusia, sama ada lelaki ataupun perempuan terhadap apa yang mereka lakukan di atasnya. Bumi akan berkata: Dia telah melakukan itu dan ini pada hari itu dan ini. Itulah berita yang akan diberitahu oleh bumi.” (HR. Imam Tirmizi).

Nah, mau kemana kita?. Kalau mau bermaksiat, silahkan cari tempat dimana tak satupun yang akan memberikan kesaksiannya kelak.

Allah SWT berfirman,“Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam aneka ragam kelompok, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Qs. Al-Zalzalah: 6-8).

Ketika Tangan dan Kaki Bersaksi

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan bersaksilah kaki mereka terhadap apa yang dahulu telah mereka kerjakan”. (Qs.Yasin: 65)

Saksi selanjutnya adalah anggota tubuh sendiri. Diantara para saksi, bisa jadi kesaksian yang diberikan anggota tubuh sendirilah yang paling dramatis sekaligus menyakitkan. Semasa di dunia, anggota tubuh sepenuhnya taat pada majikannya. Ia dikendalikan sepenuhnya, untuk memegang, berjalan dan beraktivitas. Tanpa kita sadari mereka seolah-olah, teman yang sangat loyal dan setia. Namun di padang Masyhar, ketika manusia diperhadapkan di pengadilan Ilahi yang Maha Dahsyat, anggota tubuh kita malah membeberkan aib-aib dan kesalahan kita secara terang-terangan dan terbuka. Tangan yang selama ini menjadi sahabat terdekat, yang membantu terpenuhinya segala hasrat dan keinginan, yang membuat kita mampu menggenggam dan meraih segala impian dan cita-cita, atas kehendak Allah membeberkan tentang kekejian, kebohongan, pengkhianatan, kejahatan dan kemunafikan. Tidak ada yang luput dan meleset sedikitpun. Kaki yang dahulunya loyal dan setia dilangkahkan kemana saja, berkonspirasi untuk mengumbar kejahatan-kejahatan apa saja yang telah dilakukannya.

Allah SWT berfirman, “Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang benar lagi yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).” (Qs. An-Nur: 24-25).

Setiap anggota tubuh memberikan kesaksiannya atas amal-amal kita di dunia. Mata akan bersaksi atas apa yang dilihatnya, telinga bersaksi atas apa yang telah didengarnya, tangan berkisah tentang apa saja yang telah digenggam dan disentuhnya, kakipun menuturkan kembali riwayat perjalanannya layaknya reportase jurnalistik saking mendetailnya. Namun ada perlunya juga kita mengajukan pertanyaan, apa hikmahnya Allah memerintahkan kepada seluruh anggota tubuh untuk turut memberikan kesaksian?. Apakah saksi-saksi sebelumnya belumlah cukup?. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (Qs. Al-Kahfi: 54), di antara hikmahnya, kalau manusia masih bisa berkelit dan membantah kesaksian-kesaksian yang telah diberikan sebelumnya, namun dengan kuasaNya, anggota tubuh tidak bisa mengingkari berbagai hal yang telah dilakukannya, mereka akan menceritakannya sedetail-detailnya. Ditutup atau dikuncinya mulut, bukan berarti mulut terhalangi dari memberi kesaksian, melainkan maksudnya, mulut berbicara bukan lagi atas kehendak pemilik sebelumnya, semuanya telah kembali kepada Allah dan dengan izin-Nya, mulut dan lidahpun diperkenankan memberikan kesaksiannya.

Lidah, tangan dan kaki pada hari itu menjadi saksi-saksi nyata yang tak terbantahkan lagi, mengingat kebersamaannya selama di dunia dalam kehidupan manusia. Bersama lidah, tangan dan kaki, kebajikan-kebajikan ditunaikan, bersamanya pula, kemaksiatan diselenggarakan. Bersamanya, pengabdian maupun pengkhianatan, kesetiaan maupun perselingkuhan berjalan saling tumpang tindih dan berebut pengaruh. Manusia bisa saja membantah dan mengelak dari catatan amalnya, namun tidak kuasa lagi membantah, ketika anggota tubuhnya sendiri yang memberi kesaksian. Maka yang  ada tinggal kepasrahan menanti nasib, tidak ada lagi daya dan upaya selain keputus asaan, karena persaksian telah menjadi kuat dan pembuktian sudah menjadi akurat.

“Dan (ingatlah) hari (ketika) para musuh Allah digiring ke dalam neraka lalu mereka dikumpulkan (semuanya). Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab, “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. Kamu senantiasa menyembunyikan dosa-dosamu bukan sekali-kali lantaran kamu takut terhadap persaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu terhadapmu, tetapi karena kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. Dan ini adalah prasangka jelek yang kamu miliki sangka terhadap Tuhan-mu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Qs. Fushilat: 19-23).

Yang tersisa hanyalah sebuah protes yang tak berarti, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?”

Allah SWT menjawab, “ …agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah..”(Qs. An-Nisa: 165).

Begitu… ampuni aku ya Allah….

* Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran (Qom, 22 April 2010)